Keesokan harinya, Grace berdiri di depan cermin besar di kamar yang kini menjadi miliknya. Gaun hitam yang membalut tubuhnya begitu elegan, dengan potongan yang memperlihatkan bahunya. Namun, tak peduli seberapa indah gaun itu, dia merasa seperti boneka yang dipersiapkan untuk dipertontonkan.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk, berkata dengan sedikit ketus. "Tuan Smith sudah menunggu di bawah" Grace menarik napas dalam. Ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kesepakatan mereka. Tidak ada gunanya berpikir terlalu jauh. Dia melangkah keluar dari kamar dan menuruni tangga. Di bawah, Lucas sudah berdiri dengan jas hitam sempurna, tampak seperti pria yang ditakdirkan untuk berada di puncak kekuasaan. Saat melihatnya, senyum tipis terukir di bibir pria itu. "Bagus. Setidaknya kau masih tahu caranya tampil layak." Grace tidak menjawab, hanya menundukkan kepala sedikit. Lucas berjalan mendekat, menyelipkan tangannya di pinggang gadis itu tanpa peringatan. Tubuhnya menegang, tetapi dia tidak menolak. "Malam ini, ingat peranmu," bisiknya di telinga Grace. "Tersenyumlah, bertingkahlah seperti wanita yang seharusnya berada di sisiku. Dan jangan sekali pun mempermalukanku." Grace mengangguk tanpa suara. Saat mereka tiba si sebuah hotel mewah, mereka masuk ke ruang VIP. semua mata langsung tertuju pada Gadis yang ada di sisi Lucas. Bisikan-bisikan mulai terdengar. "Bukankah ini adalah Grace Williams?" Imbuh salah satu kolega bisnis Lucas. "Bukankah keluarganya sudah jatuh miskin, bagaimana bisa dia bersama dengan Tuan Smith" imbuh salah satu dari mereka lagi. Sedikit senyuman mengejek terukir di wajah Lucas "Nona Williams... malam ini akan mewakiliku minum. Perutku saat ini sedang tidak baik!" "Oh begitu... ayo ayo duduk sini!" imbuh salah satu kolega yang langsung berdiri dan menarik Grace untuk duduk diantara mereka. Grace mencoba menolak, tapi teringat perkataan Lucas, "jangan sampai mempermalukan dirinya!" Dengan mata sedikit memerah, Grace berdiri lalu mengambil segelas anggur merah, "Aku mewakili Tuan Smith, malam ini akan banyak bersulang untuk kalian!" Lucas masih dengan santai bermain kartu, sementara Grace entah sudah menyesap berapa gelas anggur merah. Wajah gadis itu sudah sangat memerah karena mabuk. Grace duduk di bawah cahaya lampu temaram, jemarinya dengan santai menggenggam gelas kristal berisi anggur merah. Hangatnya cairan itu mengalir melewati tenggorokannya, meninggalkan jejak manis yang samar. Malam ini, dia sudah meneguk beberapa gelas, dan efeknya mulai terasa kepalanya sedikit ringan, tubuhnya lebih rileks, dan yang paling mencolok adalah rona merah yang kini menghiasi wajahnya. Pipi Grace merona seperti kelopak bunga yang baru mekar, memberikan sentuhan lembut pada kecantikannya. Cahaya lampu yang berpendar menyoroti kulitnya yang halus, mempertegas pesona yang sebelumnya tersembunyi di balik sikapnya yang tenang dan anggun. Matanya yang biasanya tajam kini tampak lebih lembut, dengan kilauan samar yang menggoda. Bibirnya, yang sedikit terbuka karena tawa ringan yang sesekali lolos, tampak lebih hidup, seolah menggoda siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Alih-alih tampak lemah karena mabuk, justru ada daya tarik tersendiri dalam caranya menggelengkan kepala pelan, dalam senyum kecil yang terbit setiap kali ia mengangkat gelasnya kembali. Seakan tanpa sadar, gadis itu telah menjadi pusat perhatian. Kemerahan di wajahnya bukan hanya tanda alkohol yang menghangatkannya, tetapi juga pesona yang semakin menguar tanpa bisa dihindari. Tatapan orang-orang di sekelilingnya mulai tertuju pada Grace, seolah terhipnotis oleh pesona yang tanpa sadar dia pancarkan. Namun, di antara mereka, ada satu pasang mata yang tak pernah lepas darinya, mata pria yang sejak tadi duduk di sudut ruangan,yang memperhatikannya selama dia bermain kartu Lucas, yang biasanya selalu tenang dan tak mudah terpengaruh, kini mendapati dirinya tak bisa mengalihkan pandangan. Grace terlihat begitu berbeda malam ini. Bukan karena alkohol semata, tetapi karena cara dia tersenyum lebih lepas, tawa kecilnya yang terdengar ringan, dan ekspresi wajahnya yang tanpa beban. Saat Grace tanpa sadar menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu. Gadis itu tidak mengatakan apa pun, hanya tersenyum samar, sebelum kembali menyesap anggurnya. Seakan tertarik oleh magnet yang tak terlihat, Lucas akhirnya berdiri dan berjalan mendekatinya. Dia berhenti di sisi meja, menatap gadis itu dengan penuh perhatian. “Kau menikmati malam ini, hm?” tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik. Grace menatapnya dengan mata sedikit berbinar karena efek alkohol. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tak bisa diartikan. “Mungkin… atau mungkin aku hanya menikmati perasaan ringan ini,” jawabnya pelan. Lucas menatapnya lebih dalam, lalu menghela napas kecil. "Apa kau sedang menggodaku!" Bisik kecilnya di daun telinga Grace. Grace mengangkat alisnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia tertawa kecil, lalu meletakkan gelasnya di meja. Gadis itu tersenyum miring, jari-jarinya memainkan tepi gelas kosongnya. Grace meliriknya sekilas, sudut bibirnya terangkat. “Sejak kapan kau jadi seseorang yang suka menemani orang mabuk?” candanya. Lucas tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapnya, mengamati wajahnya yang masih bersemu merah, bagaimana helaian rambutnya jatuh lembut di sisi wajahnya, dan bagaimana matanya tampak lebih hidup di bawah cahaya remang-remang. Tanpa sadar, tangannya bergerak, mengambil helai rambut yang jatuh di pipi Grace dan menyelipkannya ke belakang telinga. Gerakan itu begitu alami, begitu lembut, hingga gadis itu terdiam sesaat. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari yang seharusnya. Lucas tersenyum kecil, seakan menyadari efek tindakannya. “Mungkin aku hanya tidak ingin melewatkan momen ini,” gumamnya pelan seraya menarik tubuh Grace dan menggendongnya. "Tuan-tuan lain kali Nona Williams akan menemani kalian lagi!" imbuhnya seraya melangkah pergi. "Lucas... lepas!" hardik marah Grace. "Apa kau ingin melemparkan dirimu ke pelukan pria lain!" imbuh sarkas Lucas. "Apa yang aku ambil, meski aku membuangnya tidak ada yang boleh memungutnya! Apa kau paham!" imbuh Lucas yang baru saja mengukir takdir Grace Lucas membawa Grace ke kamar suite di hotel mewah ini. Begitu masuk dia langsung melemparkan tubuh gadis itu ke ranjang besar di kamarr itu. Air mata terjatuh dari ujung mata Grace "Lucas mengapa kau sangat membenciku!" tanya Grace sedikit terisak dan mata memerah.Grace hampir tersedak mendengar ucapan itu. Dia menoleh cepat pada Lucas, menatapnya seolah baru saja mendengar sesuatu yang asing. “Alric?” ulang Grace, suaranya sedikit meninggi. “Kau… sudah memikirkan itu sejauh ini?” katanya lagi sambil memberi tatapan serius kepada suaminya itu.Lucas mengangkat bahu, bibirnya melengkung tipis. “Bukankah kau bilang tadi malam kita akan bicara tentang masa depan? Aku serius, Alric berhak merasakan keluarga yang utuh.”Grace bersedekap tangan. “Keluarga utuh? Lucas, kita baru saja melewati malam paling gila dalam hidup kita. Kau pikir aku bisa langsung memikirkan anak?”"Melahirkan dan menyusui?" yang benar saja. Lucas mendekat, duduk lebih rapat. “Justru karena itu. Kita sudah hancurkan masa lalu kita malam ini. Bukankah wajar jika memulai membangun sesuatu yang baru? Sesuatu yang... hidup?”Grace menatap laut, bibirnya bergetar. “Kau bicara seolah semuanya bisa diperbaiki hanya dengan satu keputusan.”Lucas menghela napas panjang, menatap Grace
Huru hara hari ini telah usai, Mobil pun melaju meninggalkan kompleks gudang, melewati jalan yang masih basah oleh embun malam. Di kursi belakang, Grace menyandarkan kepalanya di bahu Lucas. Matanya terbuka lebar, tetapi pandangannya kosong, seolah pikirannya masih tertinggal di gudang.“Lucas…” suaranya lirih, hampir tak terdengar di atas suara mesin.Lucas menoleh. “Ya?”“Kenapa aku merasa... ini belum selesai? Seperti masih ada yang mengintai.”Lucas menarik napas panjang. “Karina sudah di tangan kita. Jaringannya lumpuh. Yang tersisa hanya sisa-sisa kecil yang akan diburu dalam beberapa hari.”Grace menggeleng pelan. “Bukan itu. Rasanya seperti... aku baru saja membuka luka lama. Semua kemarahan itu keluar, tapi yang tertinggal hanya rasa hampa.”Lucas meraih tangannya, menggenggam erat. “Kemarahan itu yang membuatmu bertahan sejauh ini. Tapi mulai sekarang, kau tidak perlu menyimpannya lagi. Kita bisa mulai saling menyembuhkan.”Grace menatap jendela, melihat langit yang di ufuk
Villa kembali sepi setelah mobil yang membawa Karina pergi. Namun Lucas tidak bergerak dari tempatnya. Ponselnya bergetar, tanda pesan terenkripsi masuk.Lucas menatap layar sebentar, lalu mendesah. “Kita belum selesai. Gudang di pelabuhan barat sudah aman, tapi laporan terakhir bilang masih ada perlawanan di kompleks pergudangan utara.”Grace menoleh, matanya masih sembab. “Kita akan ke sana?”Lucas mengangguk. “Ya. Kita harus selesaikan malam ini. Kalau tidak, mereka akan memindahkan semua barang bukti.”Pak Tua ikut mendekat. “Aku sudah siapkan mobil. Tim kedua sudah menunggu di titik pertemuan.”Grace menelan ludah, lalu menghapus air matanya. “Aku ikut.”Lucas menatapnya ragu. “Kau yakin? Ini bisa berbahaya.”Grace mengangguk tegas. “Aku ingin melihat semua ini berakhir dengan mataku sendiri.”Konvoi mereka melaju cepat melewati jalanan gelap menuju utara kota. Di dalam mobil, Alex membuka peta digital dan menunjuk salah satu gudang. “Ini pusat distribusi terakhir. Jika kita lump
Villa itu sunyi sejenak, hanya suara napas yang terdengar dari setiap orang yang kini saling menodongkan senjata.Lucas melangkah maju, pistolnya tetap terarah ke kepala Karina. “Turunkan senjata kalian,” perintahnya datar.Salah satu pengawal Karina mendengus. “Kau pikir kami takut?” kata Karina dengan sedikit menyeringai.Lucas tersenyum tipis. “Kau benar. Bukan takut yang kubutuhkan darimu. Yang kubutuhkan hanya waktu.”Karina menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”Grace berdiri di sisi Lucas, matanya tidak lepas dari Karina. “Dia tidak butuh kau menyerah sukarela. Semua jalur keluar sudah diputus. Lihat ke luar jendela.”Karina menoleh sekilas ke kaca besar yang menghadap halaman. Lampu-lampu mobil kini memenuhi jalan setapak. Beberapa bayangan bersenjata tampak bergerak cepat mengelilingi villa.Pak Tua menambahkan dengan suara rendah, “Tim kami sudah di posisi sejak sejam lalu. Semua jalur ke dermaga, jalan belakang, bahkan jalur udara dengan drone, sudah diawasi. Malam ini, kau t
Suara mesin mobil akhirnya terdengar mendekat dari jalan setapak yang mengarah ke villa. Lampu sorot menembus kegelapan, menyapu dinding kayu dan kaca besar yang menghadap laut. Semua yang berada di dalam ruangan otomatis menoleh.Grace merapatkan topeng setengah pink dan setengah hitam ke wajahnya. Napasnya terasa lebih berat daei balik topeng. Tapi dia tahu penyamaran kecil ini bisa memberi keuntungan. Lucas berdiri tidak jauh dari pintu, pistol tersembunyi di balik jasnya. Alex kembali membuka laptop, seolah-olah dia hanyalah teknisi yang sibuk dengan presentasi. Pak Tua menegakkan punggung, siap memainkan perannya.Pintu utama diketuk tiga kali.Lucas menoleh ke Grace. “Itu dia.”Grace memberi isyarat dengan anggukan.Pintu dibuka perlahan. Seorang wanita dengan mantel gelap melangkah masuk. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, bibirnya melukis senyum dingin. Dua pria berjas hitam mengikuti di belakang, jelas pengawal pribadi.Karina.Tatapannya langsung menyapu ruangan, berhen
Fajar berikutnya datang dengan langit kelabu. Ombak di tepi laut bergemuruh lebih keras dari biasanya, seolah memberi pertanda. Villa itu tidak lagi sekadar tempat perlindungan tapi telah berubah menjadi arena di mana setiap detik terasa seperti hitungan mundur.Grace berdiri di balkon, menatap laut dengan wajah tegang. Napasnya berat, pikirannya penuh oleh bayangan Karina yang segera datang.Lucas menghampiri dari belakang. “Kau bahkan belum sarapan,” katanya pelan.“Aku tidak lapar.” Grace masih menatap jauh. “Aku hanya memikirkan apa yang akan dia bawa. Senjata? Anak buah? Atau hanya kata-kata yang bisa menusuk lebih dalam daripada peluru?”Lucas berdiri di sampingnya. Grace menoleh, matanya menatap Lucas yang terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan mantap, “Kalau itu terjadi, ingatkan aku dengan ketukan di meja. Agar aku tidak lupa diri?”Grace mengangguk pelan. “Benar. Tiga ketukan. Itu jangkar kita.”Di ruang utama, Alex sudah sibuk dengan persiapan terakhir. Kabel-kabel