Share

Bab 3

Author: Bintu Hasan
last update Huling Na-update: 2025-05-23 09:31:28

Setelah delapan jam yang terasa seperti perjalanan menuju neraka versi darat, akhirnya kami sampai juga di kampung halaman Ayah. Di sana, sambutan hangat dari Nenek dan kedua putrinya langsung memeluk kami seperti keluarga utuh yang bahagia. Aku pun berlari kecil, memeluk mereka seolah ini adalah pertemuan yang paling kutunggu, lalu segera masuk rumah. Lelah? Tentu. Tapi lebih lelah lagi menahan rasa muak.

“Mau mandi dulu, Nan?” tanya Ayah dengan nada selembut kapas berparfum mahal.

“Iya, Mas. Agak gerah ini, rasanya pengen…”

“Pengen apa?”

Tante Nanda tersipu malu-malu. Aduh, sinetron banget. Apa dia lupa punya suami yang banting tulang di luar kota? Atau mungkin memang sejak lahir sudah punya bakat alami jadi perusak rumah tangga orang.

Dan Ayah? Ya, pria yang kusebut ‘Ayah’ itu ternyata tak lebih dari aktor murahan dalam drama keluarga ini. Selingkuh dengan manis, menipu dengan senyum. Kalau bukan karena takut dosa, sudah kucabik mereka berdua dari tadi.

Aku tidak kejam. Aku cuma sangat buruk kalau terusik.

“May tidur sama Tante Husna, ya? Atau mau sama Tante Hanen?”

“Mas Hanan tidur di mana?” tanya Tante Husna, masih dengan logika normal yang tampaknya mulai langka di rumah ini.

“Kalau Mas, tidur di mana aja bisa. Nanda yang di kamar kamu aja, Nen. Toh kamu bisa pindah ke kamar Ibu,” jawab Ayah sambil melirik ke arah kamar mandi, memastikan sang selingkuhan nyaman.

Tante Nanda, tamu tak tahu diri yang bikin repot seluruh penghuni rumah. Mau tidur pun bikin musyawarah. Kenapa gak tidur di mobil aja?

Aku mengabaikan semuanya. Badanku remuk. Tepat pukul 20.25, aku membersihkan diri seusai makan malam. Air mengguyur tubuhku dan menghapus lelah meski tak cukup untuk mencuci rasa jijik.

Satu jam kemudian, suara mereka menggema dari ruang keluarga. Tawa mereka memekakkan telinga. Tante Nanda dengan lihai memikat hati semua orang, termasuk Nenek. Pemenang sejati adalah mereka yang tahu cara bermain peran.

Aku tak tahan. Kudekati mereka dengan senyum, lalu duduk manis dan bertanya polos, “Bunda lagi ngapain, ya, sekarang? Aku kangen Bunda.”

“Bunda kenapa nggak ikut, May?” Tante Husna bertanya.

Aku menatap Tante Husna lalu menarik tangannya dan mengajaknya ke dapur. Sudah waktunya bicara tanpa penonton.

“Kamu gak suka sama Mbak Nanda?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan telak itu membuatku terdiam. Apa mereka sudah mendiskusikanku juga?

“Tante juga gak suka, May. Walau Tante sama bundamu gak begitu deket, tapi Tante bisa rasa, bundamu jaga jarak bukan tanpa alasan.”

Aku mengangguk. Aku tahu, sejak setahun terakhir, Bunda mulai menjauh setiap kali ke rumah ini. Mungkin karena beliau sudah tahu semuanya, tapi memilih diam. Sungguh perempuan yang luar biasa sabar.

“Ada rahasia, May. Tante bingung harus cerita ke siapa. Sama Nenek pun takut, nanti malah heboh,” bisiknya hati-hati.

“Apa, Tan?”

“Ingat waktu kalian ke sini terakhir? Tante sempat nanya kalian datang berapa mobil. Kamu, kan, waktu itu nginap di rumah Paman.”

“Iya, aku masih inget Tante Husna kira kami datang bareng keluarga Bunda.”

“Nah, waktu itu, Mbak Nanda kirim pesan ke Tante. Katanya mobil kalian masuk bengkel. Mas Hanan di mobil lain. Kamu, adik-adik, dan Mbak Ida ada di mobil beda.”

Aku spontan menjawab, “Bunda sama kita, kok. Kita semua satu mobil. Gak ada mobil lain.”

“Nah, itu, padahal Mbak Nanda tahu persis lokasi kalian. Sampe tahu mobil masuk bengkel. Info itu bukan dari kita, May. Dari siapa lagi kalau bukan dari ayahmu?”

Aku mencengkeram ujung meja. Napasku memburu. Pantas saja waktu itu Ayah sibuk main ponsel, katanya mengabari teman supaya datang menolong, ternyata teman mesranya.

“May, Tante cuma mau bilang, kita harus buka kedok mereka. Aku gak peduli Mas Hanan itu saudaraku. Mbak Ida, lebih terluka dalam cerita ini.”

Detik itu juga, aku tahu, aku tidak sendirian. Perjuangan ini bukan sekadar amarah, tapi warisan luka yang harus dibayar lunas.

“May sama Husna kenapa duduk di sini?” Suara melengking Tante Nanda menginterupsi.

“Gak apa, Tan. Cuma kangen aja. Lagi nitip pesan dari Bunda juga. Daripada ngobrolin Bunda di ruang tengah, mending di sini,” jawabku santai, padahal hatiku mendidih.

Tante Nanda mengangguk lalu mengambil dua gelas air. Sok akrab, sok istri sah. Apa dia lupa statusnya?

“Ada satu hal lagi, May,” ucap Tante Husna sangat pelan—ketika wanita itu sudah kembali ke ruang tengah—menandai bahwa percakapan ini belum selesai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 87

    Malam begitu tenang, seolah langit ingin menidurkan bumi. Hujan deras mengguyur tanpa jeda, memukul-mukul atap seng dengan irama yang sama sejak magrib. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air, menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang pecah setiap tetes jatuh.Di kejauhan, suara kodok bersahutan, kalah oleh gemuruh hujan yang menutup rapat semua suara lain. Udara lembap merayap masuk lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah yang menenangkan sekaligus menusuk kenangan lama.Di dalam rumah, hanya suara hujan yang berbicara. Selebihnya, malam seperti menahan napas.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di tengah riuhnya hujan dengan pelan, tapi cukup jelas menembus dinding kesunyian. Hanan bangkit, melangkah ke arah pintu dengan rasa heran.Begitu daun pintu terbuka, udara dingin menerpa wajahnya. Di teras, berdiri Tiara dengan payung hitam yang meneteskan air. Di sebelahnya, Kiara mengerutkan bahu, jaketnya sudah basah di bagian lengan.Wajah Tiara data

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 86

    Karena benar-benar tak ada satu pun yang mau menerima Hanan bekerja, rasa putus asanya makin menjadi. Terlintas di benak, adik iparnya sedang libur dan berada di rumah. Dengan niat yang setengah berharap, dia memutuskan untuk berkunjung. Pria berusia tiga puluh tiga tahun bertubuh tinggi dengan raut wajah tenang itu tengah duduk di ruang tamu. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap, ditemani sepiring nasi goreng yang aromanya memenuhi ruangan. Asap rokok melayang di udara, bergulir sebelum menghilang. Beberapa saat kemudian, dia mematikan puntung rokok di asbak, kemudian menoleh ke arah pintu. “Mas Hanan? Masuk, Mas!” “Fatih.” Hanan tersenyum tipis lalu melangkah masuk dan ikut duduk. “Hanen, buatin Mas Hanan minum!” seru Fatih dari kursinya. Dari dapur, suara Hanen terdengar menyahut pelan, tanda mengiyakan. Hanan menarik napas panjang. “Walau adikku keras kepala, aku lihat rumah tangga kalian baik-baik aja.” “Mas, rumah tangga itu nggak bisa cuma salah satu y

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 85

    "Makasih, ya, Dek. Kamu udah bantuin masmu." Husna mendengkus kesal lalu melangkah cepat menuju kursi di ruang tamu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau berita kedatangan Nanda yang mengaku hamil tersebar di lingkungan itu. Tadi saja kebohongannya sudah jelas terbongkar, tapi gosip itu sifatnya seperti api di sekam—baru benar-benar panas ketika ada yang meniup dan menambah-nambahi cerita dari kejadian sebenarnya. "Mas, kalau aja dulu kamu nggak selingkuh sama perempuan kayak dia, nggak akan ada kejadian hari ini. Semua yang Mas alami setengah tahun ini seharusnya nggak pernah ada. Mungkin aku masih bebas chat sama May, ngobrol sama adik-adiknya juga." Husna membuang napas kasar. "Kamu nggak akan dipermalukan kayak gini, dipandang remeh tetangga, bahkan kehilangan muka. Mas, kamu nggak pernah kepikiran buat mengakhiri hidup aja?" Hanan menunduk. Perkataan adiknya menusuk tepat di dada. Dalam hati, dia mengakui semua itu benar. Andai saja dia tidak jatuh cinta

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 84

    Mentari baru saja mengintip dari balik bukit, sinarnya lembut menyapu kabut yang masih menggantung di atas sawah. Udara pagi segar menyelinap lewat jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok dari kejauhan. Daun-daun pisang bergoyang pelan diterpa angin, sementara suara lesung ditumbuk dari dapur tetangga terdengar bersahut-sahutan. Hari baru telah dimulai begitu pelan, sederhana, tapi penuh kehidupan. Seorang wanita berdiri di depan rumah Bu Siti. Tak lama, dia pun mengetuk pintu. “Mas Hanan, buka pintunya!” Teriakan itu membuat langkah Hanan terhenti di depan cermin. Dia baru saja merapikan kemeja untuk pergi mencari lowongan kerja ke luar kota. Tak perlu berpikir lama, suara itu sangat dia kenali dan tak pernah dia harapkan datang di pagi buta. Saat membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Husna yang berdiri dengan wajah masam, kedua tangan dilipat di dada, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. “Mas Hanan, buka pintunya!” teriak suara

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 83

    "Intinya begini. Bu Nanda itu pelakor yang sekarang nyamar jadi korban. Mungkin tadi dia didatangi istri sah. Entah sesakit apa hatinya sampe bisa kayak gini."Nanda menatap tajam wanita itu lalu mengelus dahinya yang masih terasa perih karena coretan lipstik. "Lucu ya, kalian semua langsung percaya omongan begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan heran kalau suatu hari suami kalian pun akan menyesal menikahi kalian dan kalian bakal duduk di pos ronda sambil saling menyalahkan seperti sekarang."Beberapa ibu tampak tersinggung, tapi Nanda tak berhenti."Aku dituduh pelakor? Hanya karena tulisan di dahi dan fitnah dari perempuan yang jelas-jelas dendam karena mantan suaminya lebih memilihku? Kalian tahu apa? Ida, perempuan yang katanya istri sah itu, sudah menggugat cerai suaminya sebelum aku bahkan kenal dekat dengannya!""Ih, jangan muter-muter, Bu. Udah jelas ada yang nyoret, itu tandanya pelampiasan dari istri sah."Nanda menertawakan mereka, getir tapi ny

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 82

    Terik matahari menggantung tepat di atas kepala. Suasana kompleks perumahan masih cukup tenang, beberapa anak pulang sekolah dijemput orang tuanya, sementara suara tawa kecil terdengar dari arah taman.Seorang ibu yang baru saja menutup pagar rumahnya mendadak berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok di teras rumah seberang."Eh, itu Bu Nanda?"Langkahnya pelan-pelan mendekat, rasa penasaran makin tumbuh. Dan saat melihat lebih dekat, dia langsung menjerit."Astaga, Bu Nanda?!"Teriakannya mengundang perhatian warga sekitar. Pintu-pintu terbuka, beberapa orang keluar, heran dengan keributan mendadak."Ada apa sih?""Itu ... itu Bu Nanda! Astaga, kenapa kayak gitu?!"Nanda tergeletak di teras dengan lipstik merah menyala belepotan seperti badut dan tulisan norak di dahinya, aku pelakor."Waduh, gila! Siapa yang tega?""Itu beneran Bu Nanda? Ya ampun, aku baru kemarin pindah, kok, langsung lihat beginian.""Pelakor? Maksudnya pelakor siapa? Kita aja baru kenal beliau, kan?""Aku pikir

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status