"May, kenapa masih gak keluar kamar?" Ayah mengetuk pintu berkali-kali, suaranya terdengar sabar, tapi sedikit memaksa.
Aku masih terpaku di depan cermin. Menatap pantulan diriku sendiri dengan wajah penuh riasan tipis dan senyum palsu yang siap kupakai sepanjang perjalanan nanti. Napasku berat, dadaku sesak, tapi aku tahu, ini harus dijalani. Aku harus pergi, harus jadi saksi hidup kebusukan yang selama ini disembunyikan Ayah dan pelakornya. Bunda akan tetap di rumah, syukurlah tidak sendirian. Tapi aku? Aku berangkat demi kebenaran. "Khumairah, Ayah gak suka kamu ngurung diri terus!" seru Ayah, kali ini lebih tegas. Aku menarik napas panjang, berdiri, mengambil tas, dan membuka pintu perlahan. Tatapan kami bertemu. Mataku kosong, tapi bibirku tersenyum. Senyum palsu, penuh benci. "Udah siap? Tante Nanda udah nungguin dari tadi," katanya sambil tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Aku mengangkat alis, menahan geli yang mencekik tenggorokan. "Tante Nanda? Wah, syukurlah. Aku suka kalau ada dia. Perjalanan jadi nggak ngebosenin. Kita satu mobil, kan?" Ayah sempat diam. Tangannya mengambil tasku tanpa komentar lalu melangkah ke mobil. Aku hanya tersenyum miring dan melangkah ke arah Bunda yang sedang memasukkan bolu ke dalam kantong kertas hijau muda. Tangannya begitu terampil—wanita ini, istrinya, tak pernah absen memberi perhatian. "Bunda harus kuat dua hari ini. Aku janji pulang bawa bukti." Aku memeluknya dari belakang, menahan gemetar dalam dada. Bunda membalikkan badan, menggenggam tanganku. Tak ada kata-kata, hanya tatapan yang cukup membuatku nyaris menangis. Tapi aku tahan. Ini bukan saatnya lemah. Tepat di teras, si Pelakor sudah berdiri. Aku nyaris tertawa melihat bedaknya yang dempul, alisnya setajam golok, dan lipstick merah cabai yang tak cocok dengan usianya. Aku menunduk mencium tangan Bunda. "Hati-hati di jalan, ya, Sayang," ujar Bunda lembut. "Tenang, Bun. Aku jagain Ayah kok. Gak bakal dia ngelirik cewek gatel di jalanan. Apalagi kan ada Tante Nanda juga yang jagain," ucapku manis sambil tersenyum pada wanita itu. Mataku menatapnya tajam. Sengaja. Biar tahu diri. Dia hanya terkekeh kecil, entah pura-pura tidak tersindir atau memang sudah kebal. Kami masuk mobil. Aku duduk di depan, dia di belakang. Katanya, nanti temannya nyusul di hotel dan setelah itu kami pisah. Tapi dalam hati, aku tahu: ini bukan urusan bisnis. Ini urusan hati yang kotor. Di jalan, Ayah tak henti melihat spion, mencuri pandang ke arah si wanita sialan di belakang. Kadang dia senyum-senyum sendiri, kadang berdeham sok keren. Aku yang melihat dari sudut mata, ingin sekali muntah. "Mas, Aliyah chat aku. Mobil mereka masuk bengkel, jadi aku harus nunggu sampe besok." Belum sempat Ayah menjawab, aku langsung memotong, "Tante Nanda ikut kita aja. Barangnya udah di mobil, kan? Gak usah repot nunggu. Kalau Tante mau duduk depan juga boleh, aku pindah ke belakang." "Tante duduk di depan? Serius kamu bolehin?" Ayah tampak antusias. "Iya, Yah. Serius." Senyumku makin manis. Di dalam hati, aku sudah menyalakan alarm perang. Kami tukar tempat. Di kursi belakang, aku diam, tapi mataku awas. Telingaku tajam. Ponselku siaga. "Mas, lapar ...." "Mau makan apa?" "Terserah." "Gak ada makanan terserah, Sayang—" "Ayah," potongku datar. Keduanya tersentak. Ayah langsung mengelak. "Tadi refleks. Biasanya Bunda juga bilang gitu." "Tante juga udah nikah, May. Udah punya anak juga. Jadi jangan salah paham, ya," sambung Tante Nanda sambil menoleh setengah. Aku hanya tersenyum tipis, mematikan rekaman, dan menjawab dengan lembut tapi tajam, "Salah paham. Iya, ini salah paham." Sepanjang perjalanan, obrolan mereka mengalir. Aku mengumpulkan potongan demi potongan. Video. Suara. Mimik. Nada. Semua. Di rumah makan, mereka duduk berhadapan. Aku duduk sendiri. Kamera menyala. Bukti direkam. "May, duduk di sini aja," ajak Tante Nanda. "Gapapa, Tan. Aku mau video call sama Bunda. Kalau lihat Tante ngobrol terus sama Ayah, takutnya Bunda salah paham. Iya, kan?" Aku menyeringai, tetap dengan wajah manis. Ayah ikut bersuara. "Tapi jangan videoin yang aneh-aneh, ya. Kita cuma temen." Aku acungkan jempol. "Cuma temen." Saat pesanan belum datang, aku mengirim hasil rekaman ke Bunda. Tak lama, kami saling terhubung lewat panggilan video. Kami tidak membahas Ayah. Kami bahas hal-hal kecil yang hangat, sampai Bunda tidak lagi bersuara karena adik bungsuku butuh bantuannya. Lalu .... "Mau makan sosis nggak?" tanya Tante Nanda dengan suara menggoda. "Biasanya kamu yang suka so—" Ayah tidak melanjutkan kalimatnya, mungkin kembali menyadari ada aku di dekat mereka. Aku bisa melihat gerakan tangan Bunda, yang tadinya sibuk memeriksa PR Adik, mendadak berhenti. Panggilan langsung terputus. Dan tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Bunda: May, tetap pura-pura seperti biasa. Bunda ada rencana.Malam begitu tenang, seolah langit ingin menidurkan bumi. Hujan deras mengguyur tanpa jeda, memukul-mukul atap seng dengan irama yang sama sejak magrib. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air, menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang pecah setiap tetes jatuh.Di kejauhan, suara kodok bersahutan, kalah oleh gemuruh hujan yang menutup rapat semua suara lain. Udara lembap merayap masuk lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah yang menenangkan sekaligus menusuk kenangan lama.Di dalam rumah, hanya suara hujan yang berbicara. Selebihnya, malam seperti menahan napas.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di tengah riuhnya hujan dengan pelan, tapi cukup jelas menembus dinding kesunyian. Hanan bangkit, melangkah ke arah pintu dengan rasa heran.Begitu daun pintu terbuka, udara dingin menerpa wajahnya. Di teras, berdiri Tiara dengan payung hitam yang meneteskan air. Di sebelahnya, Kiara mengerutkan bahu, jaketnya sudah basah di bagian lengan.Wajah Tiara data
Karena benar-benar tak ada satu pun yang mau menerima Hanan bekerja, rasa putus asanya makin menjadi. Terlintas di benak, adik iparnya sedang libur dan berada di rumah. Dengan niat yang setengah berharap, dia memutuskan untuk berkunjung. Pria berusia tiga puluh tiga tahun bertubuh tinggi dengan raut wajah tenang itu tengah duduk di ruang tamu. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap, ditemani sepiring nasi goreng yang aromanya memenuhi ruangan. Asap rokok melayang di udara, bergulir sebelum menghilang. Beberapa saat kemudian, dia mematikan puntung rokok di asbak, kemudian menoleh ke arah pintu. “Mas Hanan? Masuk, Mas!” “Fatih.” Hanan tersenyum tipis lalu melangkah masuk dan ikut duduk. “Hanen, buatin Mas Hanan minum!” seru Fatih dari kursinya. Dari dapur, suara Hanen terdengar menyahut pelan, tanda mengiyakan. Hanan menarik napas panjang. “Walau adikku keras kepala, aku lihat rumah tangga kalian baik-baik aja.” “Mas, rumah tangga itu nggak bisa cuma salah satu y
"Makasih, ya, Dek. Kamu udah bantuin masmu." Husna mendengkus kesal lalu melangkah cepat menuju kursi di ruang tamu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau berita kedatangan Nanda yang mengaku hamil tersebar di lingkungan itu. Tadi saja kebohongannya sudah jelas terbongkar, tapi gosip itu sifatnya seperti api di sekam—baru benar-benar panas ketika ada yang meniup dan menambah-nambahi cerita dari kejadian sebenarnya. "Mas, kalau aja dulu kamu nggak selingkuh sama perempuan kayak dia, nggak akan ada kejadian hari ini. Semua yang Mas alami setengah tahun ini seharusnya nggak pernah ada. Mungkin aku masih bebas chat sama May, ngobrol sama adik-adiknya juga." Husna membuang napas kasar. "Kamu nggak akan dipermalukan kayak gini, dipandang remeh tetangga, bahkan kehilangan muka. Mas, kamu nggak pernah kepikiran buat mengakhiri hidup aja?" Hanan menunduk. Perkataan adiknya menusuk tepat di dada. Dalam hati, dia mengakui semua itu benar. Andai saja dia tidak jatuh cinta
Mentari baru saja mengintip dari balik bukit, sinarnya lembut menyapu kabut yang masih menggantung di atas sawah. Udara pagi segar menyelinap lewat jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok dari kejauhan. Daun-daun pisang bergoyang pelan diterpa angin, sementara suara lesung ditumbuk dari dapur tetangga terdengar bersahut-sahutan. Hari baru telah dimulai begitu pelan, sederhana, tapi penuh kehidupan. Seorang wanita berdiri di depan rumah Bu Siti. Tak lama, dia pun mengetuk pintu. “Mas Hanan, buka pintunya!” Teriakan itu membuat langkah Hanan terhenti di depan cermin. Dia baru saja merapikan kemeja untuk pergi mencari lowongan kerja ke luar kota. Tak perlu berpikir lama, suara itu sangat dia kenali dan tak pernah dia harapkan datang di pagi buta. Saat membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Husna yang berdiri dengan wajah masam, kedua tangan dilipat di dada, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. “Mas Hanan, buka pintunya!” teriak suara
"Intinya begini. Bu Nanda itu pelakor yang sekarang nyamar jadi korban. Mungkin tadi dia didatangi istri sah. Entah sesakit apa hatinya sampe bisa kayak gini."Nanda menatap tajam wanita itu lalu mengelus dahinya yang masih terasa perih karena coretan lipstik. "Lucu ya, kalian semua langsung percaya omongan begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan heran kalau suatu hari suami kalian pun akan menyesal menikahi kalian dan kalian bakal duduk di pos ronda sambil saling menyalahkan seperti sekarang."Beberapa ibu tampak tersinggung, tapi Nanda tak berhenti."Aku dituduh pelakor? Hanya karena tulisan di dahi dan fitnah dari perempuan yang jelas-jelas dendam karena mantan suaminya lebih memilihku? Kalian tahu apa? Ida, perempuan yang katanya istri sah itu, sudah menggugat cerai suaminya sebelum aku bahkan kenal dekat dengannya!""Ih, jangan muter-muter, Bu. Udah jelas ada yang nyoret, itu tandanya pelampiasan dari istri sah."Nanda menertawakan mereka, getir tapi ny
Terik matahari menggantung tepat di atas kepala. Suasana kompleks perumahan masih cukup tenang, beberapa anak pulang sekolah dijemput orang tuanya, sementara suara tawa kecil terdengar dari arah taman.Seorang ibu yang baru saja menutup pagar rumahnya mendadak berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok di teras rumah seberang."Eh, itu Bu Nanda?"Langkahnya pelan-pelan mendekat, rasa penasaran makin tumbuh. Dan saat melihat lebih dekat, dia langsung menjerit."Astaga, Bu Nanda?!"Teriakannya mengundang perhatian warga sekitar. Pintu-pintu terbuka, beberapa orang keluar, heran dengan keributan mendadak."Ada apa sih?""Itu ... itu Bu Nanda! Astaga, kenapa kayak gitu?!"Nanda tergeletak di teras dengan lipstik merah menyala belepotan seperti badut dan tulisan norak di dahinya, aku pelakor."Waduh, gila! Siapa yang tega?""Itu beneran Bu Nanda? Ya ampun, aku baru kemarin pindah, kok, langsung lihat beginian.""Pelakor? Maksudnya pelakor siapa? Kita aja baru kenal beliau, kan?""Aku pikir