Share

Bab 2

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2025-05-23 09:30:55

"May, kenapa masih gak keluar kamar?" Ayah mengetuk pintu berkali-kali, suaranya terdengar sabar, tapi sedikit memaksa.

Aku masih terpaku di depan cermin. Menatap pantulan diriku sendiri dengan wajah penuh riasan tipis dan senyum palsu yang siap kupakai sepanjang perjalanan nanti. Napasku berat, dadaku sesak, tapi aku tahu, ini harus dijalani. Aku harus pergi, harus jadi saksi hidup kebusukan yang selama ini disembunyikan Ayah dan pelakornya.

Bunda akan tetap di rumah, syukurlah tidak sendirian. Tapi aku? Aku berangkat demi kebenaran.

"Khumairah, Ayah gak suka kamu ngurung diri terus!" seru Ayah, kali ini lebih tegas.

Aku menarik napas panjang, berdiri, mengambil tas, dan membuka pintu perlahan. Tatapan kami bertemu. Mataku kosong, tapi bibirku tersenyum. Senyum palsu, penuh benci.

"Udah siap? Tante Nanda udah nungguin dari tadi," katanya sambil tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.

Aku mengangkat alis, menahan geli yang mencekik tenggorokan. "Tante Nanda? Wah, syukurlah. Aku suka kalau ada dia. Perjalanan jadi nggak ngebosenin. Kita satu mobil, kan?"

Ayah sempat diam. Tangannya mengambil tasku tanpa komentar lalu melangkah ke mobil. Aku hanya tersenyum miring dan melangkah ke arah Bunda yang sedang memasukkan bolu ke dalam kantong kertas hijau muda. Tangannya begitu terampil—wanita ini, istrinya, tak pernah absen memberi perhatian.

"Bunda harus kuat dua hari ini. Aku janji pulang bawa bukti." Aku memeluknya dari belakang, menahan gemetar dalam dada.

Bunda membalikkan badan, menggenggam tanganku. Tak ada kata-kata, hanya tatapan yang cukup membuatku nyaris menangis. Tapi aku tahan. Ini bukan saatnya lemah.

Tepat di teras, si Pelakor sudah berdiri. Aku nyaris tertawa melihat bedaknya yang dempul, alisnya setajam golok, dan lipstick merah cabai yang tak cocok dengan usianya. Aku menunduk mencium tangan Bunda.

"Hati-hati di jalan, ya, Sayang," ujar Bunda lembut.

"Tenang, Bun. Aku jagain Ayah kok. Gak bakal dia ngelirik cewek gatel di jalanan. Apalagi kan ada Tante Nanda juga yang jagain," ucapku manis sambil tersenyum pada wanita itu. Mataku menatapnya tajam. Sengaja. Biar tahu diri.

Dia hanya terkekeh kecil, entah pura-pura tidak tersindir atau memang sudah kebal.

Kami masuk mobil. Aku duduk di depan, dia di belakang. Katanya, nanti temannya nyusul di hotel dan setelah itu kami pisah. Tapi dalam hati, aku tahu: ini bukan urusan bisnis. Ini urusan hati yang kotor.

Di jalan, Ayah tak henti melihat spion, mencuri pandang ke arah si wanita sialan di belakang. Kadang dia senyum-senyum sendiri, kadang berdeham sok keren. Aku yang melihat dari sudut mata, ingin sekali muntah.

"Mas, Aliyah chat aku. Mobil mereka masuk bengkel, jadi aku harus nunggu sampe besok."

Belum sempat Ayah menjawab, aku langsung memotong, "Tante Nanda ikut kita aja. Barangnya udah di mobil, kan? Gak usah repot nunggu. Kalau Tante mau duduk depan juga boleh, aku pindah ke belakang."

"Tante duduk di depan? Serius kamu bolehin?" Ayah tampak antusias.

"Iya, Yah. Serius." Senyumku makin manis. Di dalam hati, aku sudah menyalakan alarm perang.

Kami tukar tempat. Di kursi belakang, aku diam, tapi mataku awas. Telingaku tajam. Ponselku siaga.

"Mas, lapar ...."

"Mau makan apa?"

"Terserah."

"Gak ada makanan terserah, Sayang—"

"Ayah," potongku datar. Keduanya tersentak.

Ayah langsung mengelak. "Tadi refleks. Biasanya Bunda juga bilang gitu."

"Tante juga udah nikah, May. Udah punya anak juga. Jadi jangan salah paham, ya," sambung Tante Nanda sambil menoleh setengah.

Aku hanya tersenyum tipis, mematikan rekaman, dan menjawab dengan lembut tapi tajam, "Salah paham. Iya, ini salah paham."

Sepanjang perjalanan, obrolan mereka mengalir. Aku mengumpulkan potongan demi potongan. Video. Suara. Mimik. Nada. Semua.

Di rumah makan, mereka duduk berhadapan. Aku duduk sendiri. Kamera menyala. Bukti direkam.

"May, duduk di sini aja," ajak Tante Nanda.

"Gapapa, Tan. Aku mau video call sama Bunda. Kalau lihat Tante ngobrol terus sama Ayah, takutnya Bunda salah paham. Iya, kan?" Aku menyeringai, tetap dengan wajah manis.

Ayah ikut bersuara. "Tapi jangan videoin yang aneh-aneh, ya. Kita cuma temen."

Aku acungkan jempol. "Cuma temen."

Saat pesanan belum datang, aku mengirim hasil rekaman ke Bunda. Tak lama, kami saling terhubung lewat panggilan video. Kami tidak membahas Ayah. Kami bahas hal-hal kecil yang hangat, sampai Bunda tidak lagi bersuara karena adik bungsuku butuh bantuannya.

Lalu ....

"Mau makan sosis nggak?" tanya Tante Nanda dengan suara menggoda.

"Biasanya kamu yang suka so—" Ayah tidak melanjutkan kalimatnya, mungkin kembali menyadari ada aku di dekat mereka.

Aku bisa melihat gerakan tangan Bunda, yang tadinya sibuk memeriksa PR Adik, mendadak berhenti. Panggilan langsung terputus. Dan tak lama kemudian, sebuah pesan masuk.

Bunda: May, tetap pura-pura seperti biasa. Bunda ada rencana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 130

    Udara siang menembus kisi besi penjara, membawa aroma besi tua dan keringat. Hanan duduk di sudut ruang tahanan, membungkuk di atas meja kecil yang catnya mulai terkelupas. Kertas lusuh di tangannya berisi huruf-huruf yang tak lagi terbaca jelas—surat yang tak pernah sempat dikirim untuk Ida.Suara rantai bergemerincing di lorong panjang. Petugas memanggil, “Tahanan nomor 207, ada tamu.”Langkah Hanan terhenti sesaat. Matanya menatap kosong ke arah pintu. Siapa yang mau datang menemuinya setelah semua ini? Dia berdiri pelan, tubuhnya tampak lebih kurus, rambut mulai memutih di sisi pelipis. Wajah yang dulu selalu percaya diri kini tampak layu, seperti pohon tua kehilangan akar.Di ruang kunjungan, kaca tebal memisahkan dunia yang masih hidup dan yang sudah setengah mati. Hanan duduk di kursi logam, menunggu. Lalu, pintu terbuka.Seorang wanita muda masuk, diikuti seorang pria dengan jas abu-abu. Langkah mereka tenang, berwibawa. Hanan menegakkan tubuhnya, tapi napasnya tercekat saat m

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 129

    Langit pagi masih bersih tanpa awan dan mentari menyorot lembut ke Gedung Bimasena, sebuah bangunan megah bergaya kolonial yang hari itu bertransformasi menjadi taman surga sementara. Fasadnya dihiasi dengan karangan bunga melati, mawar putih jenis Avalanche, dan anyelir segar yang disusun sedemikian rupa sehingga menjuntai indah dari pilar-pilar tinggi. Aroma lembut floral berpadu dengan wangi khas lilin aromaterapi yang diletakkan tersembunyi, menciptakan lapisan wangi yang elegan.Di dalam, suasananya adalah perwujudan kesempurnaan sosial. Setiap sudut ruangan memancarkan kebahagiaan yang dipoles dengan baik. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya kristal dari lusinan lampu gantung, dan di tengah ruang, karpet merah membentang menuju pelaminan yang dihiasi dengan instalasi bunga raksasa.Tawa pelan para tamu, yang kebanyakan adalah wajah-wajah penting dari kalangan bisnis dan politik, bercampur dengan denting gelas sampanye kristal dan lantunan musik lembut dari orkes kecil di p

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 128

    Saat kertas itu kembali terselip rapi di dalam laci, kegembiraan dingin merayap ke dada May. Lampu kamar meredup jadi latar. Dia berdiri, menutup mata, lalu menari pelan di antara bayangan. Langkahnya ringan, senyum samar melengkung di bibir. Di dalam kepalanya, kenangan dua bulan lalu berputar seperti potongan film lama di masa ketika semuanya mulai bergerak sesuai rencana. Hari itu, di taman kota yang sepi dan jarang dilalui orang, bangku panjang dekat kolam menjadi saksi. Hanan duduk di sana, bahunya sedikit menunduk, kemeja abu-abu yang dia kenakan tampak kusut di bagian siku. Dari kejauhan, bayangan seorang gadis muncul perlahan. “May.” Suara Hanan terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang lama mengganjal. “Aku cuma punya waktu sebentar, Yah. Bunda lagi tidur,” jawab May sambil duduk di sampingnya. Gerakannya tenang, tatapannya lembut, tapi penuh hitungan. Mereka diam sejenak. Angin menyentuh permukaan air, memantulkan wajah keduanya yang sama-sama menanggung sisa luka la

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 127

    Berita di televisi sudah berakhir, meninggalkan ruang tamu yang senyap. May, Raya, dan Risa duduk berdekatan di sofa, belum benar-benar paham seluruh arti dari kabar yang baru saja mereka dengar. Hanya tahu bahwa seseorang yang dulu mereka panggil Ayah kini berada di balik jeruji besi. Dari luar, suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu diketuk pelan, disusul suara perempuan terisak. Ida menoleh cepat, lalu berdiri. Di ambang pintu berdirilah Hanen dengan mata bengkak, wajah pucat, dan pundak bergetar menahan tangis. “Masuklah, Nen,” ucap Ida pelan. Begitu langkah Hanen melewati ambang, suasana di ruang tamu langsung berat. Dia menutup mulutnya, menahan sesak yang tak terbendung. “Aku nggak nyangka, Mbak. Husna belum genap empat puluh hari, sekarang Mas Hanan juga harus masuk penjara.” Suaranya pecah, tubuhnya goyah. Ida meraih bahu wanita itu, menuntunnya duduk. “Aku juga nggak pernah berharap semua ini terjadi. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tangis Hanen pecah tanpa

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 126

    Dua hari kemudian, kantor polisi semakin dipenuhi tumpukan berkas, rekaman digital, dan peta jalur CCTV. Setiap detil mulai disusun rapi oleh tim detektif. Sementara itu, sebuah telepon masuk ke meja detektif senior. “Hanan berada di lobi, ingin menyerahkan diri,” kata petugas sambil menahan napas. Detektif senior mengerutkan alis, menatap Hanan yang baru saja melangkah masuk. Wajahnya pucat, mata menunduk, tapi ada sesuatu di sana, tentang kesadaran dan ketegasan yang sebelumnya tak terlihat. Hanan menyerahkan ponsel genggamnya, tablet, dan beberapa dokumen. “Ini semua bukti yang membuktikan siapa yang mengatur semuanya. Aku yang merencanakan semuanya dan aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin kebenaran keluar, tanpa ada yang lagi jadi korban kebohongan atau dendam orang lain.” Detektif senior mengambil satu per satu dokumen itu. Di layar ponsel, chat-chat itu membuka rahasia gelap: Hanan menyuruh Raisa menaruh sapu tangan dengan huruf N di rumah Ida agar terlihat seperti bu

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 125

    Ruang penyelidikan apartemen dipenuhi layar monitor. Detektif senior menatap salah satu rekaman CCTV, matanya menyipit. “Perhatikan jam tujuh malam. Di sini, sebelum keributan mulai, ada seseorang yang menarik perhatian.” Seorang detektif muda menekan tombol pause, memperbesar layar. Di lobby, seorang gadis muda tampak sibuk menelepon. Rambutnya diikat tinggi, tas kecil tergantung di bahunya, gerak-geriknya cemas. Dia sesekali menengok ke lift dan pintu masuk, seolah menunggu seseorang. “Lihat itu,” desis detektif muda, “dia bukan penghuni, kan? Gerakannya terlalu waspada.” Senior mencondongkan tubuh. “Benar. Catat setiap detil. Posisi tasnya, arah pandang, gerakan tangannya. Bisa jadi ini orang yang menaruh racun atau bahkan yang mematikan kamera koridor.” Seorang detektif lain mengangguk. “Nomor telepon yang dia pakai bisa kita telusuri. Siapa tahu ada koneksi dengan pihak ketiga yang sengaja menjebak Tiara.” Senior menghela napas. “Timeline malam itu mulai terlihat lebih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status