Share

BAB 7

Aku berlari ke luar rumah. Baru sampai di daun pintu sudah terdengar suara cangkulan. Aku menuju sumber suara, dan benar, Aira dan ibu sedang menggali tanah.

Aku menatap mereka dari kejauhan dan kuteriaki, "Kalau mau mencangkul di sawah sana!" Aku pun mentertawakan kegiatan istri yang menurutku tak bermanfaat. Mungkin dia mau menanam bunga. Ah, dasar wanita. Sukanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna.

Aira menoleh padaku. Masih dengan tatapan sini. Bibirnya yang berwarna pink itu tak mengembang sedikit pun. Kalau hubunganku dengan istri seperti ini terus, kapan akan punya keturunan.

Aku berjalan cepat mendekati istri dan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu menatapku sembari mengulas senyum. Berbeda sekali dengan putrinya. Akhir-akhir ini sering sekali melipat wajah dan bibirnya.

"Sudah bangun, Vin? Kalau bisa, bangun tidur sebelum subuh supaya bisa salat subuh," ujar Ibu. Dia memang sering menasehatiku dengan kata-kata yang sama. Andai dia tahu kalau aku bangun kesiangan juga karena ulah putrinya.

Semalam aku seperti tidur di dalam lemari pendingin besar yang ada di mall atau pabrik. Mau pindah kamar lain sungkan karena ada ibu mertua. Aku ingin dia melihat kalau hubunganku dengan putrinya baik-baik saja, supaya wanita kepala lima itu tidak mengkhawatirkan putrinya di rumah ini.

"Dapat cangkul dari mana ya, Bu? Perasaan aku tidak pernah menyimpan cangkul."

"Tadi pinjam pada tukang kebun yang ada di rumah depan."

Hah. Memalukanku.

"Lagian ngapain kamu nyangkul segala, Sayang? Kalau cuma untuk menanam bunga cukup pakai alat kecil."

"Buat mengubur suami pelit."

Aira menghentakkan kali. Lalu berdiri tegap dengan napas terengah-engah. Keringat mengumpul di kening dan jidadnya. Wajah kuning langsat itu semakin glowing meski si pemilik tetap menunjukkan wajah juteknya.

Dia meninggalkan diriku dan ibunya. Aku tidak mengejar. Percuma. Sepertinya dia sangat membenciku. Entah apa salahku.

"Maafkan sikap Aira ya, Vin? Dia cuma mau memindahkan bunga yang ada di pot kecil itu. Sekalian, Vin. Hari ini Ibu mau pulang kampung. Ada yang telepon kalau jagung Ibu mau ditebas."

Bagus kalau ibu mertua kembali. Aku bisa leluasa dalam mengenali karakter putrinya.

"Mau kuantar, Bu?" tanyaku basa-basi. Padahal males banget kalau harus ke desa terpencil dengan aspal yang sudah pada rusak itu.

"Tidak perlu. Ibu akan dijemput sama yang ngantar kemarin. Selama ibu tidak di sini, titip Aira ya, Vin! Tolong, jangan pernah main tangan padanya."

Aku mengangguk saja. Aku pantang menyakiti fisik wanita.

***

"Lho, kenapa kamu kemasi baju-bajumu?"

Aira tak menjawab. Dia terus memasukkan pakaian yang terlipat rapi di almari ke koper.

"Jawab pertanyaanku, kamu mau kemana?! Kamu bisa mendengar kan?" Aku menarik lengannya. Wajah yang dari tadi tersembunyi sekarang berada tepat di hadapanku berjarak satu jengkal saja. Dia memejamkan mata seolah jijik menatapku.

"Aku ini suamimu. Aku ber-hak tahu kamu mau kemana!"

"Lepaskan, Mas! Sakit! Ngomong saja sama tembok. Percuma ngomong sama manusia berhati batu. Nggak akan tembus. Aku mau pulang kampung bareng ibu. Aku sudah nggak betah di sini. Aku siap kalau kita harus pisah."

"Aira!"

Mataku membelalak secara spontan ketika mendengar kata pisah. Itu adalah kalimat yang paling kubenci.

"Apa?! Dia balik menantang. Rahangku kian mengeras.

"Jangan sekali-kali mengatakan pisah! Aku tidak suka. Begini saja, kita bicarakan lagi baik-baik. Aku akan mengikuti maumu!"

Huhf, untuk pertama kali aku merasa takut kehilangan istriku.

"Aku tidak percaya lagi padamu. Kamu cuma mementingkan uangmu itu. Tak pernah peduli dengan perasaanku. Aku mau pulang saja."

Aku tak bisa hidup tanpamu Aira ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status