Aira berjalan menuju nakas. Kemudian mengambil buku dan pulpen. Lalu duduk di ranjang memunggungiku. Entah apa yang dia tulis.
Menit kemudian ...Glotak.Buku ia lempar ke punggungku. "Baca!"Aku menoleh. Memegang buku kecil itu. Lalu berkata, "Maksudmu apa melempar-lempar punggunggu dengan buku seperti ini? Apa nggak bisa menyerahkan dengan pelan?" Aira mematung dalam posisi yang sama. Sumpah, aku mati gaya dalam memahami sikapnya. Buat yang masih jomlo, mendingan kalau memutuskan menikah jangan melihat wajahnya yang cantik saja. Tapi cari tahu dulu sifat-sifat buruknya. Karena mengenali pasangan dalam waktu singkat itu sulit."Baca saja, Mas! Tidak buta huruf kan?" Ih. Tanganku memuk*l tanpa menyentuh badannya. Lalu kembali duduk dalam posisi nyaman. Rentetan tulisan tangan berjejer sampai bawah. Gaji rata-rata koki, gaji rata-rata cleaning servis ... seratus ribu/jam? "Apa maksudmu menulis gaji provesi orang? Lagi pula mana ada gaji OG/OB sebanyak itu? Ngarang. Kalau memang ada, aku pensiun saja jadi pengusaha."Kulempar buku yang menurutku tidak penting itu ke lantai."Mas pikir tenaga itu murah? Kalau memang Mas tidak mau mencari ART, aku akan mengerjakan semua dengan senang hati sesuai harga yang sudah kutulis. Lagi pula seratus ribu/jam itu sangat murah untuk biaya bersih-bersih rumah sebesar ini. Kalau Mas tidak percaya, datang saja ke Jerman. Bagaimana berharganya sebuah tenaga." Membayangkan rentetan nominal di kertas tadi keningku nyut-nyutan. Sementara Aira terus saja menuntutku seperti aku ini adalah majikan yang dzolim. Apa dia lupa kalau kami sudah menikah dan menjadi sepasang suami istri yang perlu kerja sama?"Kita bukan di Jerman. Kenapa kamu berpatokan pada negara maju itu? Nggak Feir dong!"Aira membaringkan badan masih dalam posisi memunggungiku. Ia nyalakan AC. Lalu menarik selimut tebal hingga menutupi sekujur tubuhnya. Ngambek lagi. Setiap istriku yang melakukan kesalahan, jadi seolah aku yang harus bertanggung jawab. Udara di kamar ini semakin dingin. Aku sudah bilang pada Aira agar tidak menyalakan AC. Kalau panas tinggal buka baju atau pakai kain yang tipis. Selalu ngeyel.Benda berbentuk balok kecil itu berada dalam genggaman Aira. Aku tidak bisa mengambilnya karena tubuhnya sudah tergulung kain tebal berwarna putih itu. Dingin semakin merasuk ke tulang. Keterlaluan Aira. Tega sekali mengatur suhu sampai mines di bawah tiga derajat celsius. Kugoyangkan badannya dan berkata, "Sa-sayang, bagi selimutnya? Aku kedinginan."Seperti mayat hidup, Aira tak bergerak sedikit pun. Mungkin sebentar lagi kulitku bisa menjadi es batu.***Perlahan aku mengerjapkan mata. Dari jendela yang sudah dibuka gordennya terlihat di luar sudah terang, tapi tak ada cahaya matahari. Beralih pada jam dinding. Ternyata sudah pukul sepuluh. Di sebelahku sudah tidak ada Aira. Selimut yang menggulung tubuhnya tadi malam telah berpindah menghangatkanku.Aku duduk dan mengumpulkan nyawa. Rasa tulang nyeri dan linu. Aku sedikit menggeliat untuk melenturkan otot tubuh. Lalu bangun dan perlahan jalan ke luar kamar. Rumahku yang identik dengan furniture dan cat berwarna gold terasa lengang. Kemana Aira pergi?Aku menyusuri setiap ruangan, tapi tak kutemukan keberadaan istriku. Pun ibu mertua juga tak ada di kamarnya. Tas dan bajunya masih ada. Tidak mungkin dia pulang tanpa berpamitan denganku.Aku berlari ke luar rumah. Baru sampai di daun pintu sudah terdengar suara cangkulan.Aku berlari ke luar rumah. Baru sampai di daun pintu sudah terdengar suara cangkulan. Aku menuju sumber suara, dan benar, Aira dan ibu sedang menggali tanah. Aku menatap mereka dari kejauhan dan kuteriaki, "Kalau mau mencangkul di sawah sana!" Aku pun mentertawakan kegiatan istri yang menurutku tak bermanfaat. Mungkin dia mau menanam bunga. Ah, dasar wanita. Sukanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna.Aira menoleh padaku. Masih dengan tatapan sini. Bibirnya yang berwarna pink itu tak mengembang sedikit pun. Kalau hubunganku dengan istri seperti ini terus, kapan akan punya keturunan.Aku berjalan cepat mendekati istri dan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu menatapku sembari mengulas senyum. Berbeda sekali dengan putrinya. Akhir-akhir ini sering sekali melipat wajah dan bibirnya."Sudah bangun, Vin? Kalau bisa, bangun tidur sebelum subuh supaya bisa salat subuh," ujar Ibu. Dia memang sering menasehatiku dengan kata-kata yang sama. Andai dia tahu kalau aku bangun kesiangan juga kare
"Aku tidak percaya lagi padamu. Kamu cuma mementingkan uangmu itu. Tak pernah peduli dengan perasaanku. Aku mau pulang saja."Aku tak bisa hidup tanpamu Aira ...! Entah bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkan wanita yang mampu mengambil hatiku.Tak mudah bagiku jatuh cinta pada lawan jenis. Hidupku terlalu monoton. Cuma kerja, kerja, dan kerja tanpa memikirkan apa itu cinta. Tapi ketika mengenal Aira, hidupku terasa lebih berwarna. Kudekap tubuh kecil di hadapanku dan menguncinya dengan kedua tangan. Tak akan kubiarkan istriku pergi begitu saja dari hidupku."Dengarkan aku, aku akan menuruti keinginanmu untuk mencari ART. Tapi beri aku waktu. Karena mencari ART juga harus selekif."Tubuh yang sejak tadi tak bisa diam, meronta, menggeliat seperti ular, dan berusaha lepas dari genggamanku mulai tenang."Aku nggak percaya sebelum ada hitam di atas putih," ujarnya lirih. Aku menghela bafas perlahan, lalu mengeluarkannya. Perempuan sangat ribet. Terpaksa aku mengiyakan dari pada membia
Mam-pus. Gara-gara berdebat dengan Aira, aku sampai lupa kalau teman-temanku akan datang ke rumah. Aku belum menyediakan jamuan apa-apa."O-oke, Brow!""Jangan lupa teh merahnya. Biar lebih asyik ngobrolnya. Selena juga ikut lho.""Apa?!" Aku menutup mulut karena nada terlalu keras. Aira yang dari tadi cuek langsung menoleh dengan tatapan tajam. Aku pun memunggunginya, tapi tetap bisa kilihat dari sudut mata kalau Aira penasaran. "Kenapa Selena harus ikut? Aku dan istriku sedang tak baik-baik saja. Kamu malah mengajak dia. Kamu mau rumah tanggaku berakhir sekarang juga?" lirih suaraku. Kupastikan Aira tak bisa mendengar."Maaf, Brow. Dia memaksa. Aku bisa apa?"Aku meremas rambutku yang semakin terasa panas."Sebentar lagi kita sampai," seru Zaki.Panggilan diakhiri.Aku membalik badan. Aira berdiri tegap di belakangku dengan tangan dilipat sejajar dada."Sayang, tolong bantu aku kali ini saja. Temanku mau ke rumah." Aku menangkupkan kedua tangan sejajar dada dengan tangan memelas. B
POV MERTUAMeski cuma sebentar, aku merasa senang karena bisa bertemu dengan putri semata wayangku. Aku bisa melepas kerinduan padanya. Tapi, ada sedikit keganjalan dalam hati ketika mengingat Aira sempat mengeluh ingin pisah dari suaminya.Mudah-mudahan apa yang dikeluhkan oleh putriku bisa segera menemui titik terang. Jangan sampai ikatan pernikahan yang mereka jalankan kandas begitu saja. Setiap pernikahan memiliki ujian sendiri-sendiri. Bisa dari pasangan, orang tua, atau saudara. Dan putriku saat ini diuji dengan pasangannya.Mobil sudah memasuki aspal yang sudah cukup rusak, berlubang sana-sini. Ini artinya sebentar lagi akan masuk ke perkampunganku. Kulihat kanan-kiri jalan hanya ada pohon jati dan ilalang. Berbeda jauh keadaannya dari kota yang baru saja kuinjak. "Wah, Bu Aminah sudah pulang!"Tetangga menyapaku ketika mobil bak melintas di depan rumah pemilik warung.Aku hanya mengulas senyum pada wanita-wanita seumuranku itu. Mereka memang tidak ada kerjaan lain selain me
Meski naik mobil, tetap saja tubuhku yang sudah tua merasa letih dalam perjalanan. Aku duduk di kursi teras sebelum membuka pintu.Kubuka tas dan kuambil beberapa kue yang sengaja dibelikan Aira ketika jalan-jalan. Kue berbentuk bulat dengan isian daging itu akan kubagikan pada tetangga yang menyusul ke rumah. Rata-rata orang yang memang dekat denganku."Ini oleh-oleh dari Aira. Di bagi ya!" seruku. Mereka yang berjumlah empat orang membagikan pada cucu-cucu balitanya."Enak, Yu. Baru kali ini aku mencicipi roti isi daging.""Bener, Bu Aminah. Rotinya lembut, tapi padet. Makan sedikit langsung kenyang."Aku mengulas senyum. "Alhamdulilah kalau pada suka.""Bu Aminah belum menjawab. Bagaimana rasanya tinggal di rumah menantu yang kaya? Pasti meja makannya mewah, terus kamar tidurnya luas seperti di tipi-tipi," tanya Bu Tuti kegirangan. Dia menepuk lenganku karena terlalu bersemangat. Wanita bertubuh gempal itu memang sering menimpuk orang dengan telapak tangannya yang tebal."Iya, Bu T
POV KEVIN"Gil@ kamu, Vin! Mau nge-prank ya! Asin banget." Dadaku langsung sesak. Kurang ajar Aira. Dia benar-benar mau mengajak perang."Maaf, maaf. Mungkin aku tadi salah ambil. Kupikir gula, ternyata garam. Tunggu sebentar."Baru saja mau berdiri dan melabrak Aira, ternyata wanita yang kerap kali membuat kepalaku bersungut-sungut itu datang dengan tampilan yang sangat berbeda. Bahkan aku tak pernah melihat dirinya dadan cantik seperti yang kulihat saat ini."Lho, kenapa pada bengong? Minumannya kok cuma dianggurin?" Aira berlenggok-lenggok melewati pandangan Selena dan duduk di sampingku menggeser posisi wanita satu-satunya dalam tim kami."Maaf, Mbak. Tolong agak bergeser. Lagi pula tak pantas seorang wanita duduk berdekatan dengan pria yang sudah punya istri. Nanti jadi fitnah. Lebih parahnya dikira pelak@r." Aira memicingkan mata pada Selena. Lalu bergelayut di lenganku. "Salah minum apa istriku tiba-tiba seperti uler keket," batinku. Karena sikapnya, aku jadi lupa mau marah
Sepertinya istriku ingin mengajakku hidup susah. Masak cuma membeli makanan habis lebih dari satu juta. Jumlah segitu bisa dipakai makan sebulan.Sembari menunggu orderan datang, kami pun membahas kerjaan. Aira masih duduk di sampingku sembari main ponsel. Aku tidak bisa menyuruhnya pergi. Karena dia pasti ngambek dan memberi celah Zaki untuk menghiburnya.Menit kemudian orderan datang. Rata-rata makanan dalam porsi besar. Seperti seefood yang dalam porsi berisi kepiting, udang, cumi, dan berbagai jenis kerang. Dia enak, aku rugi banyak.Aira pun membawa makanan itu ke meja makan dan memindahkannya ke berbagai mangkok dan piring."Makanan sudah siap ...!" serunya istriku. Zaki begitu antusias. Dia langsung berdiri dan menuju meja makan paling awal."Wah, mantab, Brow!"Semua temanku sangat menikmati hidangan. Mereka makan dengan lahap. "Vin, kok nggak makan? Puasa?" tanya Angga.Bagaimana aku bisa makan? Kalau otakku terus terbayang harga makanan yang selangit ini. Lama-lama saldoku
Pasca acara selesai. Meja makan seperti kapal pecah. Piring kotor dengan berbagai sisa-sisa tulang, cangkang, berserakan. Bahkan bekas kuah yang menempel di meja sudah seperti lukisan abstrak.Kuperhatikan Aira sedang video call dengan seseorang di dekat daun jendela. Terlihat serius sekali."Teleponan sama siapa?" tanyaku ketika dia berjalan ke arahku."Ibu.""Ada apa lagi? Ibu kesasar atau kecelakaan?""Kamu ya, Mas! Kalau ngomong nggak dipikir dulu. Kamu mendoakan ibuku kecelakaan?""Aku cuma bertanya. Ini siapa yang mau membersihkan?""Ini acara siapa?" Aira bertanya balik. Lalu berjalan menjauhiku."Kamu mau kemana?""Mencari hidayah!" sahutnya tanpa menoleh.Aku bisa saja membentak atau menyuruh Aira membereskan semua ini. Tapi, aku terlanjur menandatangi surat perjanjian itu.Aku mencoba menghubungi ibu mertua. Siapa tahu di kampung halamannya ada yang membutuhkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. "Hallo, Kevin. Ini Bu Tuti. Masih ingat kan, emak gemoy yang mengambilkanm