Share

Bocilnya Arrasya

Setelah menghabiskan waktu paginya di pantai, Seana dan Baskara pulang lagi ke Jogja. Setibanya di Jogja laki-laki yang adalah senior Seana di kampus tidak menetap di Jogja dan memilih pulang ke Jakarta.

Istirahat sebentar di penginapan, siangnya Seana melanjutkan jalan-jalannya.

Makan siang di samping stasiun Tugu, dilanjut jalan-jalan beserta belanja-belanja sedikit untuk teman-teman dan beberapa akan dibagikan ke tetangganya.

Sepertinya cuaca di Jogja makin siang itu semakin panas atau mungkin ini sedang musimnya jadi cuaca di Jogja semakin hari semakin panas.

"Baju udah, oleh-oleh ud–"

Brak!

Barang-barang Seana berceceran di trotoar, tanpa basa-basi Seana memunguti barang belanjaannya yang takut diinjak orang dibantu lelaki mengenakan masker putih.

"Maaf saya–" Seana hapal suara siapa itu refleks ia mendorong orang itu sampai terjungkal.

Mata coklat hazel dan hitam saling beradu pandang beberapa detik, Seana buru-buru memunguti pakaian yang berserakan di trotoar.

Berbanding terbalik dengan Seana, laki-laki itu justru menyunggingkan sudut bibirnya. "Bocil," lirihnya sangat pelan seraya kembali berdiri, belum sempat Seana melangkah, Rasya lebih dulu menarik tangan Bocil-nya itu. "Mau kemana huum?"

Seana memutar bola matanya, malas meladeni orang ini dan sialnya kini mereka bertemu lagi. "Lepas ih!"

Bukannya melepaskan Seana, Rasya justru memeluk perempuan yang mengenakan kaos putih dan celana jeans biru navy yang senada dengan baju yang Rasya pakai. "Liat ke arah jam dua."

Mata Seana memicing memperhatikan orang berbadan tinggi seperti sedang memperhatikan.

"Dia siapa? Kamu DPO ya?" tuduh Seana dan Rasya semakin erat memeluk Seana.

"Cih… memang ada DPO setampan aku?" Seana memutar matanya kini ia semakin malas menanggapi orang tidak jelas seperti Rasya.

Tak!

"AH!" ringis Rasya cukup kencang, kakinya mulai terasa ngilu diinjak sepatu Seana.

Tanpa rasa ampun dan peduli Seana melenggang pergi dan menenteng barang belanjaannya di kiri dan kanan.

"Dasar orang gila! Main peluk-peluk aja!" Sepanjang jalan Seana mengulang-ulang kalimat itu beberapa kali sesekali mendumal.

Janu yang melihat kejadian itu dari seberang mall langsung bergegas menghampiri Rasya yang duduk disalah satu bangku taman sambil mengerang kesakitan.

"Ke rumah sakit–"

"Hotel aja." Janu mengangguk.

Orang-orang yang lewat hanya sebatas melihat dan meringis saat Rasya membuka sepatu sport putihnya yang memperlihatkan kakinya bengkak.

Didalam hati Janu meringis. "Kuat juga ya tenaganya," celetuknya memuji kekuatan kaki dan tangan Seana yang mampu membuat Rasya meringis kesakitan.

Baru kemarin wajah Rasya bengkak dan baru keluar dari rumah sakit, sekarang kakinya yang bengkak.

Beruntung hotel mereka berdua tidak jauh dari sini, Janu membantu sahabatnya itu berjalan ke arah hotel mereka menginap.

Selama perjalanan ke hotel terasa sangat lama padahal, di maps itu hanya 5 menit jalan kaki dan Janu harus menahan emosinya mendengar Rasya yang terus mengerang kesakitan.

"Gara-gara si bocil! Gua apes mulu kalau ketemu dia," omel Rasya dan Janu justru menggeleng harus menjawab apa. Padahal, tadi Rasya yang memeluk bahkan menabrak Seana.

Sesampai di hotel Rasya dan Janu masuk ke dalam lift, bersyukur lift-nya kosong jadi Janu tidak perlu menahan malu kalau Rasya tiba-tiba mengumpat tidak jelas.

Kalau boleh jujur Janu juga bingung kenapa Rasya berani memeluk Seana di ruang publik seperti itu dan bukannya katanya bocil itu pembawa kesialan.

Tetapi, Janu tidak mau memperpanjang masalah itu dan ia mengantar Rasya ke kamar hotelnya dan disana sudah ada dokter yang menunggu, karena sebelumnya Rasya memang harus check up ke rumah sakit. Tapi, Rasya tidak mau ke rumah sakit lagi jadi dia menyuruh dokternya datang ke hotel tempatnya menginap.

Dokter muda yang umurnya sekitar 25 tahun meringis melihat kondisi pasiennya yang kemarin mulai baik-baik saja sekarang tambah mengenaskan.

Janu lantas membantu Rasya duduk di tepi ujung ranjang. Dia memilih bergeser dan berdiri di sudut kiri bawah ranjang memperhatikan dokter yang mulai mengecek kaki bengkaknya Rasya.

Tiba-tiba sepintas pertanyaan muncul di otak dokter muda itu. "Apa anda baru bertengkar dengan pacar anda?" tanyanya agak ragu.

Rasya yang dari tadi menundukkan kepalanya tiba-tiba mengangkat kepalanya dan tatapan mata yang tajam agaknya membuat nyali dokter muda itu menciut.

Dokter muda menundukkan kepalanya. "Tidak ada cedera yang serius dan kurang lebih satu minggu ini ada istirahat total."

Istirahat? Rasya malah melempar tatapan tidak suka, dokter muda itu berbalik menatap Rasya dengan raut wajah yang datar.

"Istirahat selama satu minggu itu saya rasa sudah sangat cukup, wajah anda masih terlihat luka lebam dan kaki anda masih bengkak."

Janu melirik Rasya. "Kayaknya lu emang butuh istirahat Ar…" celetuknya yang kini menempatkan diri antara teman.

Rasya menarik napas panjang. "Ya," cetusnya. "Akhir-akhir ini gue gak bisa mikir jernih," sambungnya.

"Good! Kayaknya Lembang atau Bandung kota cocok buat lu? Gak jauh dari Jakarta," saran Janu.

Dokter membereskan alat-alatnya kemudian beranjak. "Ini resep obatnya, hanya salep untuk mengurangi sakitnya," ucapnya sambil mengulurkan secarik kertas kepada Janu.

Janu menerima kertas itu. "Terima kasih dok."

"Ya sama-sama dan semoga lekas sembuh," ucap dokter dengan senyum tipis yang sangat samar. "Kalau begitu saya permisi," pamitnya lantas melangkah pergi.

"HAH!" Rasya merebahkan badannya di ranjang. "Sialan, cewek sialan!"

Janu menggeleng. "Cewek sialan? Gue rasa lu yang aneh. Kenapa gak lu datengin aja temen dating lu?"

Rasya merengut kesal memang, tadi rencananya dia mau bertemu teman kencannya yang sudah disusun papa-nya dan adanya Janu disana karena, Janu yang ditugaskan untuk memantau Rasya, kalau Rasya tiba-tiba kabur.

Kini Rasya yang harus memutar otak untuk alasan kenapa dia tidak menemui perempuan itu dan kali ini tanpa menyebutkan nama si bocil.

"Soal liburan, jangan langsung ke Jakarta. Pesenin tiket kereta ke Bandung aja," ucap Rasya.

Janu menggaruk tengkuknya. "Nggak mau pesawat aja? Soalnya tiket kereta ke Bandung pasti udah sold out, minggu depan orang-orang udah masuk kerja."

"Pokoknya harus ada!" Janu mengangkat bahunya acuh. Kadang, ia lelah dengan sifat keras kepala dan tidak menerima penolakannya Rasya.

"Kenapa sih lu tiba-tiba pengen naik kereta? Lu berharap ketemu cewek itu?" tuding Janu yang menyambut baik itu. Ya, daripada temannya itu terus-menerus mengharapkan sesuatu yang tidak perlu diharapkan.

"Kalau kereta gua bisa liat pemandangan dan lebih kerasa liburannya! Kalau pake kereta vibes yang gue rasain kayak mau kerja di luar kota," tutur Rasya yang diangguki Janu. 

"Okelah terserah lu," balas Janu cuek. "Tapi habis lu liburan gaji gua bulan ini naikin ya?"

Mata Rasya berubah tajam sekali. "Oke gua naikin tapi handle kerjaan gua selama 2 minggu? Gimana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status