LOGINAku menunduk dan seketika sadar. Itu suara kaleng bir yang terpelanting. Kaleng bir Irish!Baunya masih samar-samar menusuk hidung.Aku panik. Jika ibu melihatnya, hukumanku bisa ditambah.Buru-buru aku jongkok, ingin menyambar dan menyembunyikannya. Namun, suara Ibu memotong lebih cepat, tajam dan penuh curiga.“Itu apa, Audrey?”Gerakanku terhenti. Tanganku melayang di udara dan suasana hening seketika.**Ini pagi yang sungguh buruk.Peluh dingin mulai merembes di pelipis. Aku bisa merasakan tatapan Ibu menusuk belakang kepalaku. Napasku tersendat sementara otakku bekerja keras mencari alasan. Ibu jelas tidak akan menerima alasan bodoh.Satu kalimat saja yang salah… tamatlah kebebasanku.Irish menggeliat di tempat tidur tepat pada momen paling krusial. Dia bangun dengan wajah kusut, rambut awut-awutan. Matanya tetap sembab. Dia memandangku, lalu memandang Ibu, lalu… memandang kaleng yang masih tergeletak di lantai.Tatapannya melebar. Aku bisa membaca bibirnya yang terkatup dalam
Mataku membelalak. Kata 'menguliti' itu membuatku spontan tersedak hingga terbatuk panjang. Tanganku refleks merebut kaleng di tangan Irish. Kuteguk isinya hingga tandas untuk meredakan batuk dan menutupi kepanikan.Irish menunjuk kaleng kosong itu dengan wajah merengut. “Kenapa kau habiskan? Aku cuma beli satu.”"Ah, maaf," ucapku menyesal. "Nanti akan kuganti."Namun dia malah tertawa kecil, menambah kebingunganku. “Kau tidak tahu itu apa?” tanyanya membuatku bergeleng kaku.“Apa?”Irish menunjukkan label kaleng lebih dekat ke wajahku. Mataku menyipit membaca tulisannya dalam temaram lampu tidur. Namun tak lama kemudian, kedua alisku terangkat naik. Wajahku langsung pucat.“Ini bir? Kau memberiku bir?!” seruku panik.Irish terkekeh pendek, hampir seperti kehabisan tenaga. Suaranya parau, tapi jelas menikmati keterkejutanku.“Akhirnya kau sadar juga.” Ia memijat pelipisnya dan merebut kaleng kosong di tanganku. “Kupikir dengan otak cerdasmu, kau akan tahu dari awal dari aroma dan ra
Pikiran itu membuat tenggorokanku kering.Aku menelan ludah, lalu bertanya hati-hati, seolah satu kata saja bisa meledakkan situasi.“Terus… apa yang Sean katakan setelah kau bilang begitu?”Irish mengusap wajahnya kasar, tertawa pendek yang terdengar seperti tangisan.“Dia bilang…,” suaranya bergetar, “dia cuma menganggapku sebagai sahabat.”Dadaku makin sesak.“Dan?” desakku pelan.Irish menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara hampir tak terdengar, “Dia bilang… dia sudah menyukai gadis lain.”Seolah ada sesuatu yang menghantam dadaku keras-keras. Tangis Irish kembali pecah. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang hebat, isaknya tertahan-tahan namun tak bisa lagi disembunyikan. Aku refleks mendekat, tapi tubuhku justru terasa kaku, seperti kehilangan koordinasi. Karena aku tahu—dengan kepastian yang menyakitkan—gadis yang dimaksud Sean adalah aku.Ya Tuhan... apa sebenarnya yang terjadi dengan persahabatan kami?Kenapa semua jadi serumit ini?Aku merai
“Apa?” aku spontan bangkit dari dudukku. Ini kejutan kesekian kalinya yang kudapat hari ini. “Pergi? Maksud ibu… Laura dipulangkan?”Ibu mengangguk singkat. Tak ada rasa bersalah di sana. Tak ada penjelasan tambahan yang manusiawi.Aku menelan ludah, tenggorokanku mendadak kering. Karena kepergian Laura berarti tak ada lagi yang menjamin aku bisa berkomunikasi bebas dengan Sam. “Kenapa, Bu?” tanyaku pelan, hampir tak mengenali suaraku sendiri.Ibu memutar tubuh sepenuhnya menghadapku. Tatapannya tajam, seperti sedang menghakimi sesuatu yang sudah lama dia pendam.“Kau sudah tidak membutuhkan perawat lagi,” katanya dingin.“Apa maksud ibu?” Aku melangkah satu tapak mendekat, meski tahu jarak itu tak akan mengubah apa pun.“Karena nyatanya...,” lanjut ibu dengan suara rendah yang mengeras, “kau cukup kuat untuk berkeliaran ke mana-mana, cukup kuat untuk melanggar larangan dan cukup kuat untuk menyeret semua masalah dari luar masuk ke dalam rumah ini.”Kata-katanya menampar lebih keras
Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering dan menyakitkan. Pengakuan itu masih menggantung di udara, asing, bahkan di telingaku sendiri. Aku baru saja mengungkap rahasia besarku untuk pertama kalinya kepada orang lain. Dan orang itu adalah Sean. Tanganku terkepal di sisi tubuh, menunggu ledakan, penyangkalan, atau kemarahan. Namun Sean tidak bereaksi seperti yang kubayangkan. Dia tetap bergeming, kedua telapak tangannya masih menutup telinga. Matanya terpejam rapat, menolak melihatku. “Sean… kau dengar aku, kan?” suaraku bergetar. Dia masih tak bergerak. “Sean, kumohon dengar baik-baik.” Aku melangkah lebih dekat, berusaha menarik tangannya. Tapi lagi-lagi dia menghindar, memalingkan wajah. “Kumohon jangan lakukan ini padaku,” pintaku putus asa. Hening merayap, menekan dada seperti beban yang tak terlihat. Lalu Sean akhirnya bersuara. “Audrey… aku akan menemuimu nanti. Saat kau siap. Dan saat aku sudah menyelesaikan masalah...” Kalimat itu belum selesai dia ucapkan ketika
“Sean!” Cindy berteriak, tak percaya bujuk rayunya gagal.“Aku tidak mau menikahi gadis yang tidak kucintai!” Sean balas berteriak.Cindy tertawa pendek, putus asa. “Kami bisa membantu kalian saling mengenal. Perasaan cinta akan tumbuh seiring waktu.”“Tidak, Bu.” Suara Sean menggema mantap. “Bagiku, memaksakan perasaan adalah bentuk pengkhianatan. Aku tidak mau pernikahanku berakhir seperti pernikahan kalian.”Mata Cindy membulat. Sam memalingkan wajah, ekspresinya sarat rasa bersalah. Sekarang mereka pasti menyadari trauma sebesar apa yang Sean dapatkan dari hubungan buruk mereka.Aku ingin mendekat mengelus punggung Sean, namun suaranya kembali terdengar.“Aku mau hidup dengan orang yang memahamiku, menerima keinginanku, mendukungku. Bukan yang terus mengajakku berdebat.”“Sean, kau bisa membicarakan itu dengan Sofia—”“Aku mau gadis yang sederhana, Bu,” potongnya tegas, “tidak berambisi, dan penuh kasih sayang pada keluarga.”Cindy tercekat. Kata-katanya terhenti.Ketegangan di wa







