Share

TAS 12

last update Last Updated: 2025-09-23 16:21:55

Dua minggu berlalu dan tibalah aku di hari pertama magang.

Lobi perusahaan Arsen Corporation terasa begitu megah hingga langkahku sempat ragu saat menapakinya. Dinding kaca setinggi langit-langit memantulkan bayangan tubuhku yang tampak kecil dibandingkan riuh para karyawan yang hilir-mudik.

Aku merapikan blazer biru tua yang kupakai sekali lagi, memastikan kartu identitas magang yang kupegang tidak sampai kusut oleh genggaman tanganku yang berkeringat dingin.

“Nama?” tanya resepsionis dengan ramah, jarinya sudah siap di atas layar tablet.

“Adams, Audrey Adams. Program magang arsitektur,” jawabku sedikit tercekat.

Setelah memeriksa daftar, wanita itu mengangguk lalu memintaku menuju lantai sebelas, tempat briefing peserta magang berlangsung. Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa tegang. Ini bukan kampus, pikirku, ini dunia nyata dan sayangnya, perusahaan ini juga milik pria yang sempat membuatku kalut selama tiga tahun terakhir.

Begitu pintu lift terbuka, aku disambut lorong berkarpet lembut dengan deretan pintu kaca berlogo perusahaan. Di ruang briefing, beberapa mahasiswa lain sudah berkumpul, sebagian tampak akrab satu sama lain. Mereka serentak mengamati kedatanganku. Aku mendadak canggung. Ternyata sebagian besar mereka datang dari universitas yang sama, hanya aku yang sendirian.

“Eh, kau peserta tambahan itu, kan?” sapa seorang mahasiswi berambut ombre, nadanya penuh ingin tahu. Aku tertegun sesaat, berusaha menyembunyikan keterkejutan.

“Aku… ah, iya...,” jawabku gugup kemudian mengalihkan pandangan.

Belum sempat suasana mencair, pintu ruangan terbuka. Langkah berat dengan sepatu kulit terdengar mendekat. Aku bahkan tak perlu mengangkat kepala untuk tahu siapa yang datang. Aroma cologne itu masih sama seperti yang kuingat.

Para peserta magang lain yang juga mengagumi Sam terdengar mulai berbisik histeris. Beberapa sengaja maju ke depan untuk lebih dekat melihatnya.

Tiga tahun berlalu dan wajah tampannya yang kharismatik masih sama. Dia mengenakan jas biru gelap, kemeja putih tanpa dasi. Aku tahu dia suka warna biru, karena itu aku memakai blazer ini. Sekarang kami tampak seperti pasangan.

Tapi ekspresi datarnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa kami pernah punya kisah di masa lalu. Dia berubah dari sosok ramah ke mode profesional. Tatapannya menyapu ruangan sebelum akhirnya berhenti sejenak di wajahku. Hanya sedetik, tapi cukup untuk membuatku kembali menunduk.

“Selamat datang di Arsen Corporation,” suaranya tenang, tegas, yang bagiku justru menenangkan. “Kalian di sini bukan untuk bermain. Kami tidak menerima peserta magang yang hanya mau nama besar perusahaan kami di CV. Kalian akan bekerja, belajar, dan dievaluasi ketat. Paham?”

“Paham,” jawab kami serempak.

Aku bisa merasakan beberapa pasang mata melirikku. Mungkin mereka berpikir aku ada di sini karena koneksi. Mereka tidak tahu aku bahkan melewati proses administrasi yang sama seperti mereka. Hanya saja, Sam-lah yang memberiku keberanian untuk akhirnya mendaftar.

Saat briefing selesai, peserta mulai diarahkan ke divisi masing-masing. Aku mendapat penempatan di divisi dokumentasi dan perencanaan renovasi, jauh dari bayangan semula yang kubuat tentang bekerja langsung di bawah arahan Sam.

Namun, sebelum meninggalkan ruangan, langkah Sam sempat berhenti di dekatku. “Semoga kau bisa menunjukkan potensimu, Audrey,” ucapnya pelan, hanya cukup terdengar olehku. Tidak ada senyum, hanya tatapan yang sulit diartikan. Antara menguji atau memperingatkan.

Aku mengangguk kecil. “Saya usahakan yang terbaik, Tuan Arsen.”

Dan saat dia berbalik, aku mendapati beberapa rekan magang berbisik-bisik. Aku pura-pura tidak peduli, meski dada ini diam-diam berdegup kencang.

Lima hari pertama berlalu tanpa jeda. Tugasku datang bertubi-tubi mulai dari membuat salinan dokumen, menyusun presentasi gambar renovasi, hingga mengantar laporan ke divisi lain yang letaknya berjauhan. Rasanya seperti bukan magang arsitektur, melainkan jadi kurir serabutan.

“Audrey, gambar denah apartemen itu sudah?” tanya salah satu senior, tanpa menoleh, jari-jarinya terus mengetik di laptop.

“Belum, masih proses…,” jawabku hati-hati.

“Cepat sedikit. Deadline jam tiga.”

Jam tanganku menunjukkan pukul dua lewat sepuluh. Aku belum makan siang, belum menyelesaikan revisi dari pagi. Mataku pun sudah perih karena memandangi layar komputer terlalu lama.

Pekan berikutnya tidak jauh berbeda. Bahkan, tugas-tugas yang kudapatkan sudah melebihi kapasitas peserta magang lainnya. Aku sempat bertanya-tanya apakah ini memang prosedur normal, atau… karena beberapa dari mereka tak suka kedekatanku dengan Sam?

Puncaknya terjadi di pekan ketiga. Aku terlambat menyelesaikan laporan mingguan karena harus menggambar ulang detail pilar yang berubah mendadak. Senior yang membimbingku—seorang wanita dengan bibir merah mencolok dan wajah selalu sinis—menatapku datar.

“Kalau begini caramu bekerja, lebih baik kau belajar dasar dulu.”

Aku menunduk. “Maaf. Akan kuselesaikan secepatnya.”

Tapi dia malah menutup laptopnya, lalu menyodorkan sebuah kunci kecil. “Tidak usah. Sebagai hukuman, kau rapikan arsip di gudang lantai dua belas. Semua folder lama di sana harus diurutkan sesuai tahun proyek. Jangan pulang sebelum selesai.”

"Gudang? Tapi ini sudah hampir jam pulang."

"Jangan berharap pulang cepat kalau kerjamu seperti siput.”

Aku kembali ingin membantah, tapi melihat beberapa pasang mata lain yang sudah memandangku seolah aku bawahan rendahan, aku memilih mengatupkan bibir.

“Baik.”

Gudang itu sunyi, bau debu serta kertas tua memenuhi udara. Aku mulai mengangkat box demi box, menata folder proyek yang bahkan usianya lebih tua dariku. Jarum jam terus berputar. Ketika teman-teman magang lain sudah pulang, aku masih di sana.

Perutku mulai melilit, mataku perih dan kepalaku semakin berat. Aku mengambil jeda sebentar, duduk bersandar di dinding, menatap lampu neon yang berkedip-kedip. Aku ke sini dengan harapan bisa sering melihatnya. Namun, ternyata dia begitu sibuk. Bisa melihatnya melintas di lobi sudah sangat beruntung.

Ponselku bergetar. Notifikasi masuk dari grup magang: “Terima kasih kerja kerasnya minggu ini! Jangan lupa besok ada evaluasi langsung dari Tuan Arsen di ruang meeting pusat.”

Jantungku mencelos. Evaluasi? Besok? Aku bahkan belum beres mengerjakan ini!

Aku kembali jongkok di antara tumpukan arsip yang berserakan, berusaha mengurutkan dokumen sesuai kode yang sudah pudar di tepinya. Jari-jari mulai perih terkena debu kertas tua.

Ponsel di kantongku bergetar. Nama Irish terpampang di layar. Aku menghela napas dan menyapanya, “Ya, ada apa?”

“Bagaimana magangnya?” suaranya penuh antusias.

Aku mengembuskan napas berat. “Seperti pekerja paksa. Serius, Irish. Aku yakin aku jadi target senior. Disuruh ini-itu tanpa henti.”

“Lho, kenapa tidak kau laporkan ke Ayah Sean? Tunggu. Aku telepon dia sekarang juga!”

“Jangan!” seruku cepat. “Aku yang memilih magang di sini. Aku tidak mau buat masalah.”

Irish mendengus. “Audrey, ini sudah lewat jam kerja. Lembur itu ilegal, apalagi kau anak magang.”

Aku melirik jam tangan. Sudah hampir pukul delapan malam. Astaga! Aku buru-buru menutup telepon. “Nanti aku kabari lagi, ya!”

Aku kembali memindahkan berkas ke rak. Tapi belum sempat bernafas lega, ponselku kembali berdering.

“Ya ampun, Irish!” desisku, menyambar ponsel itu dengan kesal. “Sudah kubilang jangan. Aku sudah lelah menyusun arsip tua ini, kau mau aku dihukum tambah parah, hah?!”

“Audrey?” Suara di seberang itu bukan milik Irish. Lebih berat. Lebih tenang.

Aku membeku. “P… Paman?”

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 89

    Aku mengangkat wajahku dengan mata memerah. Ingin sekali berteriak bahwa aku tidak baik-baik saja. Belum pernah kurasakan rindu segila ini. Aku bahkan tidak bisa berhenti memikirkannya.Namun yang bisa kulakukan hanya bungkam. Diam membendung semuanya dengan bibir terkatup rapat.Ibu tertawa kikuk melihat keganjilan responku. “Maaf ya, Tuan Arsen. Audrey sedang lelah, diia sepertinya malu menjawab,” ujarnya cepat, seolah takut aku terlihat tidak sopan.“Tidak apa,” jawab Sam lembut. Dia mengangguk memaklumi, tetapi dari lirikan matanya aku tahu, dia mengerti semuanya. Dia tahu betapa aku tertekan oleh kehadirannya yang tiba-tiba setelah memutuskan untuk saling menjaga jarak. Dan di wajahnya, rasa bersalah itu kembali lewat seperti bayangan gelap.Sam lalu menambahkan, “Audrey pasti mencemaskan kegiatan magangnya. Tapi tidak perlu khawatir. Semuanya sudah diatur. Insiden ini juga akan kami bantu laporkan ke kampus agar tidak memberatkannya.”Ibu langsung menatapnya dengan rasa lega yan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 88

    'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 87

    Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 86

    Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 85

    Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 84

    Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status