LOGIN“Apa maksudmu dihukum? Kau di mana sekarang? Kenapa kau masih di kantor?” nada suaranya tiba-tiba terdengar dingin.
Jantungku berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol End Call. Layar mati. Napasku tersengal. Dari mana dia tahu nomorku? Suasana gudang tiba-tiba terasa semakin sunyi dan menakutkan. Aku makin panik menggerakkan tanganku. Berkas-berkas berserakan di lantai, sebagian sudah kususun kembali, sebagian lagi masih menunggu nasib. Saat kembali melirik jam, hampir setengah sembilan malam. Gawat, aku harus segera pulang sebelum satpam juga curiga aku tidur di kantor. Baru saja aku selesai meletakkan satu tumpukan dokumen ke rak atas, suara ketukan keras menghentak pintu. Tok! Tok! Tok! Aku hampir menjatuhkan map di tangan. “Siapa?” seruku lirih, jantungku seolah merangkak ke tenggorokan. Pintu terbuka setengah berderit. Sosok tegap dengan kemeja lengan panjang yang sudah digulung dan kancing dilonggarkan, berdiri di ambang pintu. Aku terkesiap. Tak menyangka Sam akan muncul di sana. “Kau sedang apa di sini?” tanyanya tajam, seperti sedang menahan amarah atau kebingungan. “Aku…” Aku berputar, menyembunyikan gugupku di balik senyum kaku. “Sedang mencari arsip yang diminta senior. Sekalian… membereskan, karena tempatnya berantakan.” Sam mengangkat alis, tatapannya menyapu ruangan yang lebih mirip kapal pecah. “Membereskan jam segini?” Aku menelan ludah. Kalau aku bicara jujur soal hukuman itu, aku bisa tamat. Mereka akan menjadikanku bulan-bulanan lebih parah. “Pulanglah.” Hanya itu ucapannya, tegas dan tak memberi ruang tawar. “Tak ada anak magang yang boleh bekerja di luar jam kantor.” Aku mengangguk cepat. Meraih tasku, melangkah terburu-buru melewati gunungan dokumen di lantai, lalu... Brak! Kakiku terjegal tumpukan map tebal. Tubuhku limbung. Tanganku spontan menarik rak di sisi kanan untuk bertumpu. Rak itu ikut bergoyang keras. Beberapa bundel besar di atasnya oleng, lalu jatuh satu-satu. “Aaakh!” jeritku memejamkan mata. Tapi sebelum rasa sakit sempat menyergap, lengan kokoh melingkar di pundakku. Sam menarikku ke dalam pelukannya, tubuhnya menjadi tameng. Satu bundel sempat menghantam bahuku, sisanya jatuh berhamburan di sekeliling kami. Hening. "Kau terluka?" tanyanya panik. Aku mendongak refleks. Wajahnya begitu dekat. Nafasnya hangat menyapu wajahku. Pandangannya menatap lurus, tajam, dengan garis rahang yang mengeras. "Audrey?" Aku mengerjap cepat dan menggeleng. “Ceroboh. Kalau kau terluka, siapa yang harus bertanggung jawab?” gumamnya rendah, nyaris seperti omelan tertahan. Aku tercekat. “M-maaf…” Di momen itu, jarak kami yang hilang membuatku bisa merasakan denyut jantungnya yang berdebar sama sepertiku. Pelukannya di tubuhku terlerai saat asistennya ikut masuk. "Ada apa pak?" Sam melirikku dengan tatapan dingin dan berkata. "Suruh supir mengantarnya pulang, pastikan juga semua ruangan dikunci di luar jam kerja." ** Keesokan harinya, seluruh peserta magang dan para senior pendamping di ruang meeting pusat untuk evaluasi. Suasana terasa tegang sejak awal. Sam duduk di ujung meja, jasnya rapi, tangan bersedekap di atas permukaan kayu. Aku tak bisa berhenti meliriknya sejak masuk ruangan. Bayangan tubuh tegapnya melindungiku dari hujanan bundel map berkas masih terus menari-nari dalam otakku sejak semalam. Aromanya yang manly, serta dekapan erat yang meski hanya sekejap tapi seperti membungkus tubuhku hingga sekarang. Aku jadi menggigil mengingatnya. Semua itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ya, lagi-lagi dia hadir tiap malam. Aku jadi tak fokus pada pembahasan. Lirikanku baru terhenti saat bertemu dengan lirikannya juga. Aku lekas menunduk dan pura-pura mencatat. Dia mungkin masih marah soal semalam. Aku tak berani menanyakannya. Dia bosku sekarang. Evaluasi berjalan tenang. Dia memberi catatan ringan soal laporan mingguan, hingga akhirnya matanya beralih padaku. “Kemarin malam, ada yang masih berada di ruang arsip setelah jam kerja.” Suaranya berat, tenang, tapi setiap kata menggedor udara. “Audrey Adams, kau bisa jelaskan?” Semua mata langsung mengarah padaku. “Saya… sedang membereskan arsip, Pak.” Sam hanya mengangguk tipis, lalu menoleh pada Maya, senior yang selama ini mendampingiku. “Apa kau yang menugaskannya?” Maya pucat dengan senyum kaku. “Ya, Pak. Audrey sendiri yang setuju, karena dia tidak menyelesaikan tugas tepat waktu. Jadi saya beri dia tugas tambahan." Aku menggigit bibir. Itu bukan alasan yang kuberikan semalam. Aku bisa merasakan tatapan Sam yang tajam, menusuk, seolah bertanya, ‘Kau berani berbohong padaku?’ “Maaf, tidak akan kuulangi lagi,” ucapku lirih, memilih mengalah. Hening menggantung. Detik itu, jantungku berpacu tak keruan. “Kalau begitu,” suara Sam memecah keheningan, “tugas tambahan itu memang pantas untukmu.” Aku tercekat. Maya tersenyum puas. Sementara peserta magang lain melirikku dengan ekspresi iba. Kesalahan kecil dalam proses magang bisa sangat berpengaruh pada penilaian. Tapi sebelum aku sempat tenggelam dalam rasa malu itu, Sam kembali bicara. “Karena kau tidak berhasil menyesuaikan diri di divisi ini, bahkan mengacaukan ruang arsip... dengan berat hati, kau akan dipindahkan ke ruang arsip dinamis.” Seketika, ruangan bergemuruh pelan. Beberapa senior saling berbisik, sementara para magang—terutama yang terang-terangan mengidolakan Sam—melirikku dengan campuran iri dan benci. Aku tak terlalu paham. Aku hanya pasrah menerima hukumanku. “Dan kau, Maya,” lanjutnya tajam, “pendamping yang baik seharusnya mengawasi dengan benar, bukan melempar tugas tambahan sembarangan. Anggap ini teguran keras.” Wajah Maya langsung mengeras, senyumannya menghilang seketika. "Iya, Pak." Aku menahan napas sampai pertemuan itu selesai. Keluar dari ruangan, tatapan-tatapan yang tadi iba kini berubah menusuk, lebih berbahaya daripada belas kasihan. Mereka melewatiku dengan bisik-bisik menggerahkan. "Bagus, sekarang aku jadi musuh semua orang," gumamku sebelum melanjutkan langkah. Saat membereskan barangku di meja, mereka mulai terang-terangan menyindir keras. "Sepertinya dia sengaja berulah untuk menarik perhatian," ucap si rambut ombre menatapku kesal. "Tapi trik murahannya berhasil, dia akan semakin dekat dengan Tuan Arsen." Yang lain menimpali dengan kekaguman bercampur tatapan jijik. "Dia mungkin berpikir bisa menyaingi Cindy Arsen dan menggantikannya." Kudengar tawa mengejek meledak di belakang punggungku. Aku memutar bola mata mendengar kalimat-kalimat itu dan pergi. Mereka tak tahu saja sedekat apa aku dan Sam sebelumnya, serta semenyebalkan apa seorang Cindy Arsen yang mempesona itu. Meski begitu, kupikir tak ada gunanya membela diri pada orang-orang yang sudah memutuskan tak suka padaku sejak awal. Kulangkahkan kaki menyusuri lorong kantor dengan kardus di pelukan. Bayanganku terpantul di dinding kaca, membuatku sempat berpikir bagaimana satu malam bisa mengubah begitu banyak hal. Dari anak magang yang diabaikan jadi bahan gosip yang diincar. Petunjuk ruangan yang diberikan sekretaris Sam membawaku ke lantai ini. Aku berhenti sejenak, menarik napas, lalu mataku tertuju ke ruangan besar berdinding kaca yang penuh deretan rak logam berisi dokumen rapi. Lalu tak jauh di depannya, ruang kaca yang sama tapi lebih besar. Aku berjalan pelan mendekat dengan perasaan tak yakin. Tapi saat tiba di depan pintu, mataku bisa melihat jelas plat nama Sam Arsen – Chief Executive Officer, terpampang gagah di sana. Mulutku terbuka penuh keterkejutan. "Jadi ruang arsip dinamis yang dia maksud.... ruang sekretarisnya???" **Aku mengangkat wajahku dengan mata memerah. Ingin sekali berteriak bahwa aku tidak baik-baik saja. Belum pernah kurasakan rindu segila ini. Aku bahkan tidak bisa berhenti memikirkannya.Namun yang bisa kulakukan hanya bungkam. Diam membendung semuanya dengan bibir terkatup rapat.Ibu tertawa kikuk melihat keganjilan responku. “Maaf ya, Tuan Arsen. Audrey sedang lelah, diia sepertinya malu menjawab,” ujarnya cepat, seolah takut aku terlihat tidak sopan.“Tidak apa,” jawab Sam lembut. Dia mengangguk memaklumi, tetapi dari lirikan matanya aku tahu, dia mengerti semuanya. Dia tahu betapa aku tertekan oleh kehadirannya yang tiba-tiba setelah memutuskan untuk saling menjaga jarak. Dan di wajahnya, rasa bersalah itu kembali lewat seperti bayangan gelap.Sam lalu menambahkan, “Audrey pasti mencemaskan kegiatan magangnya. Tapi tidak perlu khawatir. Semuanya sudah diatur. Insiden ini juga akan kami bantu laporkan ke kampus agar tidak memberatkannya.”Ibu langsung menatapnya dengan rasa lega yan
'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter
Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai
Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian
Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan
Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem







