LOGINAku mengerjap beberapa kali.
“Paman?” suaraku nyaris tak terdengar saat mataku membelalak. Itu benar-benar dia. Bukan mimpi atau halusinasiku. Aku sangat terkejut melihat kehadiran Sam di sana. Rasanya seperti jantungku berhenti berdetak sesaat. Bagaimana mungkin? Orang yang selama ini menghilang dari hidupku, yang tak pernah memberi kabar lagi, tiba-tiba berdiri hanya beberapa langkah di depanku. Sama seperti diriku, Sam juga tampak tak kalah heran. Tatapannya menyapu wajahku dengan sorot menyelidik, seolah menimbang apakah aku nyata atau hanya bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Dosenku tampak kebingungan melihat interaksi aneh kami. Dia akhirnya angkat bicara, “Audrey salah satu mahasiswi arsitektur di kelas saya, Tuan Arsen.” Seketika wajah Sam berubah. Ia memandangku sekali lagi, kali ini dengan keterkejutan yang lebih jelas. “Kau… ambil jurusan arsitektur?” tanyanya, nadanya setengah tidak percaya. Aku mengangguk singkat. "Aku tak tahu kalian saling kenal," ucap dosenku disertai cengiran lebar. Tak menyangka mahasiswi yang selalu dia persulit memiliki koneksi dengan orang penting yang dihormatinya. "Kami sudah kenal lama. Dia... teman putraku." Sam Arsen menjawab ragu. Tapi cukup jelas bagiku bahwa untuknya, aku bukan siapa-siapa. Hanya teman putranya. Bukan seseorang yang harus menerima ucapan perpisahan yang layak. Kebodohankulah yang membuatku menunggu hingga tiga tahun. Rasanya aku tak sanggup lama-lama berada di antara dua pria ini. Suasana mendadak terlalu sempit, terlalu menekan. “Maaf, Pak… saya rasa sebaiknya saya menemui Anda di kampus saja,” ucapku buru-buru, sebelum dosenku sempat merespons. Aku segera melangkah pergi, menuruni tangga dengan tergesa. Tidak memberi siapa pun kesempatan untuk menghentikanku. Namun semakin cepat langkahku, semakin berisik ingatan masa lalu menabrak pikiranku. Pertemuan terakhir kami kembali berkelebat. Saat dia pergi begitu saja, tanpa pamit, tanpa penjelasan. Menghilang seolah aku ini tak pernah berarti apa-apa. Padahal saat itu, aku yang paling mengkhawatirkannya. Kupikir pertemuan setelah perpisahan yang begitu lama akan mengobati rinduku. Nyatanya, justru membuat dadaku makin sesak. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia berdiri di sana begitu santai, seakan tak pernah meninggalkan luka. “Audrey Adams, tunggu!” Suara Pak Paul—dosenku—menggema di tangga. Langkahku terhenti. Aku berbalik, mendapati pria berkacamata itu mendekat. Dia menatapku dengan senyum yang sulit kutebak. “Jangan pulang dulu. Kau sudah jauh-jauh ke sini. Kita bisa cari tempat untuk membahas laporanmu.” Aku mengerjap, nyaris tak percaya. Dosen pelit itu menawarkan waktu untuk memeriksa tugas yang berkali-kali dia tolak? “Harusnya kau bilang sejak awal kalau kau kenal keluarga Arsen,” gumamnya santai. Mataku refleks naik ke puncak tangga. Sam berdiri di sana. Diam. Mengamati. “Ikut kami makan siang,” ujar Pak Paul merebut laporan dari tanganku lalu menarik lenganku tanpa banyak basa-basi. Dua puluh menit kemudian, aku sudah duduk kaku di sebuah restoran elegan. Suara denting gelas bercampur obrolan para ahli arsitektur tentang rencana renovasi museum tua tadi. Tanganku bergerak seperti robot, menyuap makanan dengan teratur tanpa menikmatinya. Setiap kali aku ingin mengangkat kepala, aku bisa merasakan sorot mata Sam yang diam-diam mengawasi. Hangat, namun penuh misteri. Sesekali, saat aku tanpa sengaja menggeser gelas atau menjatuhkan sendok, Sam akan lebih dulu bergerak. Jemarinya yang panjang meraih sendok itu, meletakkannya kembali di sisiku dengan senyum samar. “Masih sama, selalu ceroboh,” ucapnya pelan, hampir seperti gumaman yang hanya bisa kudengar. Aku mengerjap, pura-pura tak paham. Kupilih menyeruput jusku. Tidak ingin ikut larut dalam caranya menatapku seakan tiga tahun yang hilang itu tidak pernah ada. Percakapan yang menjemukan itu berakhir dengan satu kejutan lain, Pak Paul menandatangani laporanku, lalu dengan enteng membubuhkan nilai A+ di sudutnya. “Anda belum memeriksa bagian revisinya, Pak,” protesku pelan. Begadang berhari-hari rasanya jadi sia-sia. Dia hanya tersenyum tipis. “Aku yakin kau mengerjakannya dengan baik,” jawabnya datar, sebelum melirik Sam. “Dia ini pintar, masuk dengan beasiswa.” Kata-kata itu seperti sengaja meluncur untuk memancing reaksi seseorang di meja itu. "Dia memang selalu pintar." Suara Sam menanggapinya dengan datar. Karena matanya belum lepas dariku. Percakapan berakhir. Dosenku pamit lebih dulu karena ada jadwal kelas. "Audrey, kau mau ikut pulang?" "Aku yang akan mengantarnya." Sam menjawab cepat. Aku belum sempat menolak saat dosenku tersenyum senang seolah baru saja terlepas dari sebuah beban. "Oh, tentu. Terima kasih banyak, Tuan Arsen. Senang sekali Anda bisa meluangkan waktu." Pak Paul menyalami Sam dengan suka cita. Aku berdecak melihatnya melesat pergi begitu saja. Tinggallah aku dengan Sam di meja yang kini terasa terlalu lengang. “Jadi… akhirnya kau memilih arsitektur?” tanyanya tiba-tiba. Tenang, tapi matanya tidak. Dua bola mata hazel itu menelusuri wajahku dengan sabar, seperti ingin menemukan sesuatu yang kututupi. Aku mengangguk singkat dan menjawab asal, “Ya. Kebetulan jurusan ini menyediakan kuota untuk penerima beasiswa.” Sam menyandarkan punggung, menyilangkan tangan di dada. “Tadinya aku khawatir kau tidak lanjut. Tapi sepertinya aku terlalu meremehkanmu." Khawatir? Yang benar saja. Urat di pelipisku berdenyut. Aku ingin menjawab tajam, tapi hanya bisa mengeratkan jemari di pangkuanku. Dia berdiri, meraih kunci mobil dari seorang stafnya. “Ayo. Aku antar pulang. Kau bawa banyak berkas dan aku tidak yakin kau akan selamat dari hujan sore ini.” Aku lekas mendongak. "Tidak perlu repot-repot, Tuan Arsen. Aku bisa pulang sendiri." Suaraku terdengar lebih tegas dari yang kuharapkan, seolah ada dinding yang sengaja kubangun di antara kami. Wajah Sam seketika tampak terkejut. Alisnya sedikit terangkat, menatapku, mencari petunjuk. "Kenapa memanggilku seperti itu? Kau masih marah?" Aku menghempaskan napas dan buru-buru membuang pandangan. Jadi dia tahu aku marah? Bahkan setelah tiga tahun berlalu? "Maaf, waktu itu aku tidak bisa menunggumu pulang. Aku juga tak tahu bagaimana caranya menghubungimu." Senyum kecut tersungging di bibirku. Dia bisa saja menanyakan nomorku pada Sean, pikirku kesal. Tapi detik berikutnya, aku tersadar. Kami merahasiakan semuanya dari Sean, juga Irish. Menelpon ke rumahku? Itu akan terlalu mencolok. Jadi mungkin benar, dia tak punya cara menghubungiku tanpa menimbulkan kecurigaan. Astaga. Tiba-tiba rasa menyesal menyergapku karena telah berburuk sangka selama ini. "Aku..." "Tapi waktu itu aku menitipkan pesan pada perawat. Kubilang kau boleh menjengukku di rumah jika sempat." Aku tertegun. Tak ada pesan itu. Aku bahkan tahu dia dipulangkan setelah bertanya pada perawat lain. "Aku tidak menerima pesan Paman." Raut kelegaan perlahan muncul di wajah Sam. Senyum tipisnya kali ini lebih tulus, matanya pun sedikit melunak. "Kupikir kau tidak datang karena marah." Aku menggeleng. Jadi, semua ini hanya salah paham? Perlahan, senyum lega ikut tersungging di bibirku. Dan entah selega apa aku saat ini, karena pipiku terasa kembali memanas. Aku mungkin tidak akan bisa menahan luapan emosi yang terbendung tiga tahun jika ponselku tidak mendadak berdering keras. Getarannya membuatku tersentak. Nama yang muncul di layar membuatku was-was. Ketua tingkat. Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya. Suara di seberang pun meluncur cepat, tegas, tanpa jeda, "Audrey! Formulir magang yang harusnya kau setorkan siang ini belum aku terima! Pihak jurusan sudah menunggu. Kalau hari ini lewat, kau harus menunggu untuk tahun depan." Aku spontan bangkit dari duduk. "Tunggu. Aku ke sana sekarang." "Ada apa?" Sam menghadang langkahku. Mataku terarah padanya yang kini memandangku penuh tanda tanya. “Aku harus kembali ke kampus!” seruku terburu-buru sambil meraup semua berkas dari atas meja. Sam mengerutkan dahi, memandangku heran. “Kenapa mendadak sekali?” Aku menarik napas dalam, berusaha menyusun kata-kata di tengah detak jantung yang kacau. “Formulir magang. Aku… aku belum mengisinya. Hari ini batas terakhir penyerahan. Kalau terlambat, aku gagal ikut tahun ini.” Dahi Sam berkerut. “Magang?" Untuk sesaat, dia hanya diam, memperhatikan wajahku yang mungkin tampak kusut. Lalu, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Kenapa tidak magang di perusahaan kami saja?” Aku mendongak spontan. “Hah?” **'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter
Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai
Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian
Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan
Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem
Sam membawaku berkeliling di taman rumah sakit yang cukup luas. Sore jelang senja itu, aku menghirup udara segar dengan puas. Rasanya dadaku begitu ringan terlebih aku melewati waktu ini bersama dengan orang yang begitu penting bagiku. Cahaya matahari yang keemaasan membentuk siluet-silut panjang dari tiap pohon bunga yang bermekaran. Sam mendorong kursi rodaku sambil bercerita tentang suasana kantor, kesibukan rapat dan jadwal peserta magang lain. "Aku minta maaf karena tertinggal," ujarku pelan. Sam tersenyum kecil. "Tak masalah. Kau hanya perlu bersiap menerima tugas tambahan setelah keluar dari sini." Aku mendongak cepat. "Itu ancaman?" Dia terkekeh, suaranya hangat. "Kalau begitu, kita ubah jadi... tugas pengganti." Aku bergeleng pelan. "Aku harusnya diberi kompensasi, bukan tugas." Segera kuacungkan jam tangan yang sejak tadi kugenggam. “Ini milikmu, kan?” Alis Sam terangkat dan meraih benda itu dariku. “Ah, iya! Aku buru-buru pergi dan lupa kalau ini tertinggal." “Hm.







