Share

TAS 14

last update Last Updated: 2025-09-23 16:24:52

Aku tak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari.

Kupikir dia akan menghukumku sungguhan kemarin, tapi ternyata tidak. Bukannya menjatuhkanku, Sam justru memindahkanku ke tempat yang lebih aman. Jauh dari lingkungan toxic. Aku merasa harus berterima kasih. Tidak secara terang-terangan, tentu saja. Itu akan terlalu mencolok.

Maka aku menyiapkan sesuatu yang lebih sederhana. Sebuah kotak bekal kecil dengan menu buatan sendiri. Entah ide siapa yang menyusup di kepalaku tadi malam, tapi aku melakukannya juga.

"Mana dokumen yang mau dibawa ke ruang CEO? Biar kubawa sekarang," ucapku pada Sarah, sekretaris Sam.

"Ini, yang lain menyusul." Dia menyerahkan map, tak curiga sedikit pun.

Aku masuk ke ruangan CEO dengan langkah hati-hati. Sam melirikku sekilas lalu lanjut membahas laporan bersama asistennya, jadi aku hanya meletakkan berkas di meja dan sekalian menyelipkan kotak bekal itu di sisi tumpukan dokumen. Setelahnya, aku kabur sebelum ada yang menyadari.

Jantungku berdebar tak karuan, sementara senyum konyol nyaris tak bisa kutahan. "Semoga ini tidak memalukan."

Siang harinya, telepon di meja Sarah berdering. “Audrey, bawa arsip ini ke meja CEO,” katanya santai.

Aku langsung beranjak tanpa rasa curiga. Baru saat tanganku menyentuh gagang pintu ruangan Sam, aku ingat soal kotak bekal itu.

"Oh tidak..."

Aku ingin putar balik, tapi sudah terlambat. Sam menegakkan tubuhnya ketika melihatku muncul. “Ini berkas yang Anda minta, Pak,” kataku cepat, meletakkan map di meja, lalu segera membalikkan badan.

“Audrey.”

Aku memejamkan mata sesaat. Tamatlah aku. Pelan-pelan, aku menoleh lagi. “Ya, Pak?”

“Kau sudah makan siang?” tanyanya.

Aku menelan ludah. “Sebentar lagi.”

Alisnya sedikit terangkat, seulas senyum nyaris tak tertahan di wajahnya. “Kenapa tidak makan bersamaku? Kebetulan… ada seseorang yang berbagi bekal denganku hari ini.”

Seketika wajahku memanas. Rasanya ingin menghilang ke balik rak arsip. “Maaf, Pak… sepertinya tidak pantas kalau karyawan makan di ruangan CEO.” Aku mencoba tetap profesional.

Sam menyandarkan tubuhnya, menatapku dengan senyum yang nyaris seperti ejekan lembut. Senyum yang membuatku terpaksa kembali ke mode asli.

Aku menghempaskan napas. “Paman jangan salah paham, itu bukan sogokan. Aku cuma… mau berterima kasih.”

Tawa kecilnya pun pecah. Terdengar ringan. “Berterima kasih? Untuk apa?”

“Karena Paman sudah menyelamatkanku kemarin.”

Dia menggeleng kecil. “Aku tidak menyelamatkanmu. Aku hanya membereskan masalah di kantorku. Itu tugasku.”

“Tetap saja,” aku menggumam, “aku mau berterima kasih.”

Keheningan singkat menyusul. Tiba-tiba saja suasana terasa canggung. Sampai akhirnya Sam berkata dengan suara yang kembali datar tapi tegas, “Baiklah. Selesaikan dulu pekerjaanmu. Jam tiga nanti ikut survei ke lokasi.”

**

Udara di luar kota terasa lembab ketika kami tiba di lokasi renovasi gedung pemerintahan tua. Dinding-dindingnya retak, sebagian atap sudah ambruk, menyisakan aroma tanah basah bercampur debu.

Sam melangkah lebih dulu, diikuti beberapa teknisi dan konsultan. Aku tertinggal sedikit di belakang, sibuk merapikan helm keselamatan yang sedikit longgar di kepala.

“Tunggu.” Suara berat itu terdengar dari depanku. Sam menghampiri, tangan besarnya terangkat, memperbaiki posisi helmku dengan gerakan yang terlalu hati-hati untuk sekadar prosedur keselamatan. “Kalau ini lepas di tengah reruntuhan, repot urusannya,” katanya datar, namun sorot matanya menyapu wajahku sepersekian detik lebih lama dari seharusnya.

Kami menelusuri tangga yang separuhnya sudah keropos. Tanganku sempat ragu meraih pegangan besi yang berkarat, tetapi Sam sudah lebih dulu menggenggam pergelangan tanganku, memandu langkahku perlahan.

“Pelan-pelan. Kananmu masih kokoh, jangan injak bagian kiri,” ujarnya. Aku mengangguk, meski bagian dalam dada terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa kusebutkan.

Mendampinginya terjun ke lokasi, jauh berbeda dengan mengantar berkas ke ruangannya. Di sini, kami punya lebih banyak interaksi dari sekedar saling lirik atau saling tatap.

Tiba-tiba langit yang sejak tadi mendung, jadi pecah. Hujan turun deras, menampar lantai semen yang belum ditambal. Kami berlari mencari tempat berteduh di bawah sisa bangunan yang hanya memiliki setengah atap. Nafasku memburu dan sebelum aku sempat mengatur napas, Sam sudah melepas jasnya, menyampirkannya ke pundakku.

“Jangan sampai masuk angin,” katanya sambil menepuk-nepuk ringan bahuku.

Klise. Sangat klise. Tapi perlakuannya itu hampir membuatku meleleh. Kami berdiri berdampingan, mengamati hujan yang makin menggila.

“Kau masih sering komunikasi dengan Sean?” tanyanya tiba-tiba, matanya tak lepas dari derasnya air di luar.

“Kadang. Kenapa?” sahutku, mencoba santai.

“Setidaknya, dia masih punya teman jika pulang ke sini.”

Aku membalasnya dengan pertanyaan lain, kali ini dengan nada menggoda. “Dari mana paman dapat nomorku? Memintanya pada Sean?”

Sam melirik sekilas, bibirnya menahan senyum samar. “Itu tercantum di biodata peserta magang, Audrey. Aku tidak perlu bantuan Sean untuk hal sesederhana itu.”

Aku mendengus pelan, malu sendiri karena tak memikirkannya.

Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras menjelang malam. Kami akhirnya memutuskan kembali ke mobil. Jalanan pulang macet parah, sebuah truk tergelincir menutup jalur utama. Sam mengetuk setirnya pelan, lalu menoleh ke arahku. “Kita cari tempat istirahat dulu. Tidak bisa memaksakan perjalanan.”

Aku mengangguk saja. Dia pasti lelah.

Mobil berbelok ke sebuah penginapan kecil di dekat pom bensin. Dari luar tampak biasa saja, namun cukup hangat di tengah hujan yang menggila. Aku memeluk jasnya erat-erat, masih tercium samar aroma maskulin yang tadi menyelimuti bahuku.

"Maaf, Tuan. Hanya tersisa satu kamar. Banyak orang yang singgah seperti anda." Ucapan kasir penginapan itu membuat kami saling menatap. Tapi kembali ke jalan atau mencari penginapan lain di tengah deras hujan juga bukan ide bagus.

Malam ini, kami duduk saling membelakangi dalam sebuah kamar. Di atas tempat tidur. Dengan pikiran tak menentu.

"Kau tidak kedinginan?" tanyanya tanpa menoleh.

Aku spontan mendekap tubuhku yang masih terbalut pakaian basah. Jasnya tak berani kutanggalkan karena kemeja putih basah yang kukenakan jadi transparan. Ini mengingatkanku pada kejadian di kolam renang tiga tahun silam.

Lalu sebuah pertanyaan aneh meluncur begitu saja dari mulutku. "Kenapa Paman menolongku hari itu, di kolam?"

Aku merasakan kasur bergesek. Dia mungkin menoleh padaku, meski tak langsung menjawab. Seperti sibuk menimbang jawaban apa yang akan dia berikan.

Aku meremas tepi jas saat dia akhirnya bicara.

“Karena aku tidak suka melihatmu tenggelam, Audrey,” katanya pelan. “Bukan hanya di kolam waktu itu… tapi juga di tempat kerja, di lingkungan yang salah, di situasi yang tidak adil. Kalau aku bisa menarikmu keluar sebelum kau benar-benar tenggelam… aku akan melakukannya.”

Aku menggigit bibir, terdiam. Kata-katanya dalam, menenangkan, tapi menyisakan sesuatu yang sulit kuartikan. Apa ini berarti, bukan hanya aku yang diam-diam selalu memperhatikan?

Di tempat asing dengan suara hujan yang terus mengetuk jendela, aku sadar satu hal, aku sudah terlalu sering berdetak karena pria ini. Maka, saat ini juga kuputuskan untuk mengaku.

"Aku... sebenarnya... sudah lama menyukai Paman," ucapku sambil memejamkan mata kuat-kuat. Menahan malu yang tak lagi punya tempat.

Suara hujan mengisi kekosongan udara di antara kami. Dia tak bicara apapun hingga menit berikutnya.

“Karena itu… kau menciumku di rumah sakit?”

Mataku terbuka lebar. Jadi dia menyadarinya? Tapi bungkam selama tiga tahun?

Kuberanikan diriku berbalik untuk bertanya kembali. Namun tubuhku langsung membeku saat menyadari, wajahnya tiba-tiba berada sangat dekat dariku. Terlalu dekat.

Napasku tercekat. Sementara napasnya bisa kurasakan samar menyentuh kulitku.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 89

    Aku mengangkat wajahku dengan mata memerah. Ingin sekali berteriak bahwa aku tidak baik-baik saja. Belum pernah kurasakan rindu segila ini. Aku bahkan tidak bisa berhenti memikirkannya.Namun yang bisa kulakukan hanya bungkam. Diam membendung semuanya dengan bibir terkatup rapat.Ibu tertawa kikuk melihat keganjilan responku. “Maaf ya, Tuan Arsen. Audrey sedang lelah, diia sepertinya malu menjawab,” ujarnya cepat, seolah takut aku terlihat tidak sopan.“Tidak apa,” jawab Sam lembut. Dia mengangguk memaklumi, tetapi dari lirikan matanya aku tahu, dia mengerti semuanya. Dia tahu betapa aku tertekan oleh kehadirannya yang tiba-tiba setelah memutuskan untuk saling menjaga jarak. Dan di wajahnya, rasa bersalah itu kembali lewat seperti bayangan gelap.Sam lalu menambahkan, “Audrey pasti mencemaskan kegiatan magangnya. Tapi tidak perlu khawatir. Semuanya sudah diatur. Insiden ini juga akan kami bantu laporkan ke kampus agar tidak memberatkannya.”Ibu langsung menatapnya dengan rasa lega yan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 88

    'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 87

    Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 86

    Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 85

    Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 84

    Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status