"Baby, aku tidak mau lama-lama membiarkan hubungan kita tanpa ikatan resmi. Aku tidak rela jika ada laki-laki lain yang merebutmu dariku.”
Naura menutup mulutnya dengan kedua tangan disertai linangan air mata saat Wisnu bersimpuh, mengeluarkan kotak beludru dari saku celananya dan membukanya memperlihatkan cincin berlian yang sangat cantik dan berkilau. “Naura, bersediakah kamu menikah denganku?” Naura tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat akhirnya dihadapkan pada momen sakral yang selama ini dinantikannya dari lelaki yang selama satu tahunan ini menjadi kekasihnya dan membuat mereka mendapatkan predikat relationship goals. Wisnu, lelaki yang memiliki perusahaan furniture merupakan sosok yang diimpikannya untuk menjadi calon suami masa depan.Saat ini mereka sedang makan malam romantis di salah satu rooftop hotel bintang lima yang dihias aneka bunga mawar hidup yang harum semerbak. Seharusnya, acara lamaran itu bersifat rahasia tapi dia tidak sengaja mencuri dengar rencana itu membuatnya lebih banyak tersenyum semingguan ini karena sibuk membayangkan hal romantis apa yang akan dilakukan kekasihnya sampai dia dikatain sinting karena tersenyum sendiri persis orang gila.
"Aku bersedia!" pekiknya, menjawab terlalu bersemangat. "Tentu saja aku bersedia menjadi istrimu." "Jadi kamu bersedia menikah denganku?" Ulang Wisnu. Naura menganggukkan kepala. "Tentu saja." "Terima kasih sayang." Wisnu menyematkan cincin di jemarinya kemudian berdiri dan menariknya mendekat lalu mencium bibirnya. Kembang api yang sangat meriah menghiasi langit seakan ikut berbahagia dengan status baru mereka. Setelah saling berpelukan, Naura memilih duduk di pangkuan Wisnu dan mengalungkan lengannya di leher lelaki itu dengan segelas wine di tangan. "Sayang, aku saja ya yang merancang pernikahan kita. Pokoknya aku mau mewujudkan pernikahan impianku selama ini." "Iya. Semuanya aku serahkan padamu." Naura menyesap winenya seraya mengangguk, bahagia. "Tapi, kamu nggak boleh protes kalau aku akan langsung membuatmu hamil. Aku sudah tidak sabar untuk punya anak dari kamu.”Naura batuk-batuk, menatap Wisnu dengan pandangan horor.
"Anak?" Naura berharap kalau dia salah dengar.Wisnu mengangguk. "Iya, anak. Kenapa?"
Naura meletakkan gelasnya di meja dan berucap serius. "Kamu nggak bisa mutusin sepihak gitu dong ,sayang. Kamu kan tahu bagaimana buruknya interaksiku dengan anak-anak. Aku nggak pernah cocok sama mereka." "Iya tapi bukan berarti kamu nggak mau punya anak sendiri kan?" "Yang pasti saat ini aku belum mau memikirkan hal itu. Kita nikmati saja dulu kehidupan pengantin kita sampai puas.” Wisnu nampak tercengang, "Are you seriously?" "Yes, of course." "Aku nggak setuju!!" Wisnu menolak tegas. “Kamu bisa bilang begitu karena belum merasakan menjadi ibu. Nanti kalau kamu sudah melahirkan anakmu sendiri, itu akan menjadi sesuatu yang berbeda." "Sekali tidak tetap tidak! Aku nggak mau punya anak dulu," Naura tetap pada pendiriannya, berdiri dari duduknya dan melipat lengan di dada. "Aku membutuhkan penerus!!" Wisnu tidak mau kalah,berdiri di depannya dengan ekspresi marah. "Kalau itu ya dipikirkan nanti saja lah. Aku tetap tidak mau." Wisnu ternganga, mengacak rambut belakangnya dengan kesal kemudian menendang pinggiran kolam. "Jangan memaksaku," tambah Naura. "Oke, aku tidak akan memaksa." Naura tersenyum, Wisnu buru-buru menambahkan. "Aku tidak akan membahasnya lagi karena aku tidak jadi menikahimu." Naura ternganga, menatap Wisnu tidak percaya. "Lebih baik kita putus saja!" "What?!" Naura jelas kaget. "Lebih baik kamu cari saja lelaki lain yang mau menerima pemikiran sempitmu itu." "Tapi—" Naura melepas cincin yang baru saja disematkan Wisnu beberapa menit yang lalu. "Kamu baru saja melamarku." Wisnu berdecak, "Kamu simpan saja cincin itu atau buang sekalian karena aku tidak mungkin melamar wanita lain dengan cincin yang sudah aku berikan padamu." Perlahan Wisnu mundur, berbalik pergi meninggalkan Naura yang menatap punggungnya tidak percaya. Dihinggapi keterkejutan yang membuatnya membeku hingga punggung Wisnu menghilang dari pandangan. Naura tersentak, buru-buru tersadar kalau dia tidak bisa membiarkan semua kebahagiaannya malam ini berantakan. "WISNUU!!" teriaknya, bergegas mengejar dengan tergesa namun seseorang yang tiba-tiba saja muncul membuatnya harus menghentikan laju jalannya meski tabrakan itu tidak terhindarkan. “Aduhh—” pekik Naura, terduduk di lantai dingin. “Mamaaaa—” Naura kaget, seseorang yang ditabraknya tadi terduduk di lantai sembari menangis. Naura kaget karena bertabrakan dengan seorang anak kecil. “Sakit Mamaaaaa—” Naura menahan kesal, melihat ke sekitar yang tidak ada siapa-siapa karena memang area di luar sudah di pesan sama Wisnu khusus untuk melamarnya. Jadi, anak laki-laki di hadapannya ini pasti menyelinap masuk. “Heh! Di sini nggak ada Mamamu. Cepatan berdiri dan pergi sana!” usirnya, tanpa berniat sedikitpun membantu hingga membuat anak itu semakin menangis kencang. Naura jelas kesal, “Ah, masa bodoh!” Naura melewati anak itu begitu saja berniat meninggalkannya karena dia harus mengejar Wisnu untuk kembali membicarakan pernikahan saat tiba-tiba ada seseorang yang menghadang langkahnya. Naura mengatupkan bibir saat berhadapan dengan laki-laki tampan berkemeja rapi yang ekspresinya sedater triplek. “Key—” Laki-laki itu mendorongnya ke samping dengan lengan hingga membuatnya hampir saja kembali mendarat di lantai dingin untuk mendekati anak laki-laki yang masih menangis tadi. “Aduhh.” Naura mengusap lengannya. “Sialan!” “Kenapa kamu menangis,sayang?” Naura tersadar kalau dialah yang membuat anak itu menangis, buru-buru dia balik badan dan berjalan pelan-pelan untuk pergi dari sana sebelum ketahuan. “Kamu mau kemana, hah?!” Naura berjengit kaget, remasan kuat di bahunya memaksanya untuk menghentikan langkah. Sialan! “Kamu yang membuatnya menangis dan sekarang kamu mau melarikan diri dengan tidak tahu malunya?” Naura menggeram dalam hati dengan kesal, berbalik sembari menepis tangan laki-laki itu dan mundur beberapa langkah. Tatapan sangar laki-laki itu membuatnya takut tapi dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Anak kecil yang ditabraknya tadi masih terisak dalam gendongannya. “Iya, memangnya kenapa?!” Lagaknya sok marah. “Kita sama-sama terjatuh karena bertabrakan tadi tapi aku sedang terburu-buru jadi tidak punya waktu untuk meladeni—” Naura mengatupkan bibir saat laki-laki itu maju mendekat, Naura harus mendongak untuk melihat tatapan matanya yang nampak menahan kesal. “Setidaknya kamu bisa sedikit merasa prihatin dan menenangkannya.” “Maaf, aku tidak punya waktu. Permisi.” Naura merasa tidak ada gunanya mereka berdebat jadi dia langsung balik badan berniat pergi. “Hei—” Lengannya di tahan, Naura reflek menepisnya dengan kuat hingga membuat sesuatu yang sedari tadi di genggamnya langsung terbang bebas ke arah kolam renang. “TIDAK!” pekik Naura, mengejar cincin lamarannya yang menggelinding ke arah kolam dan masuk ke dalam sana tanpa hambatan. Naura yang hanya memikirkan harus mendapatkan cincin itu kembali langsung loncat ke dalamnya dan menyelam masih menggunakan gaun dan heelsnya. Naura berusaha mencarinya, mengabaikan sengatan dingin yang menusuk tubuhnya hingga akhirnya dia bisa menemukan cincin itu dan mengambilnya. Naura berniat naik tapi sialnya, kakinya terasa kram. Naura mencoba untuk menggapai permukaan tapi tubuhnya tidak bisa diajak kerja sama hingga dia merasa harus pasrah pada keadaan sampai samar-samar dia mendengar seseorang ikut terjun ke dalam kolam. Semoga saja Wisnu, ucapnya dalam hati. Naura tidak rela jika acara lamarannya harus berakhir dengan tragis seperti ini. Naura kehilangan kesadarannya saat seseorang berusaha membawanya naik ke permukaan dan mengangkatnya ke pinggir hingga beberapa menit kemudian dia batuk-batuk setelah seseorang memaksa mengeluarkan air kolam yang masuk ke tenggorokannya meski matanya enggan untuk membuka. “Jangan mati konyol,” decakan suara laki-laki yang begitu dekat dengannya terdengar, hidungnya dipencet dan mulutnya terbuka lalu dia merasakan bibir seseorang menciumnya hingga membuat Naura langsung membuka mata lebar-lebar dan terbelalak melihat laki-laki sedatar triplek tadi wajahnya begitu dekat dengannya hingga Naura reflek mendorong dadanya. “WOI, kesempatan lo ya!!” pekiknya, menjauh dari laki-laki itu yang menatapnya heran. Naura mengusap bibirnya dengan punggung tangan. “DASAR MESUM!” Naura mencoba berdiri dengan sisa-sisa tenaganya, berbalik pergi dengan langkah cepat, memgambil tas tangannya di atas meja lalu berlari meninggalkan penolongnya dengan perasaan malu. Sial! Sampai di dalam lift yang kebetulan sedang kosong, Naura merosot jatuh mengabaikan tubuhnya yang basah kuyup, merasakan perasaan berdebar yang tidak dimengertinya dan menangis di sana. “Arrghh, sialan!” isaknya. Bagi Naura, anak-anak itu hanya berarti satu hal yaitu masalah dan inilah yang terjadi padanya saat ini. Malam itu, Naura harus pulang dengan basah kuyup kedinginan setelah berhasil menyelamatkan cincin miliknya meski dia tidak berhasil menyelamatkan hubungannya dengan Wisnu dan parahnya dia malah berciuman dengan laki-laki lain meskipun karena insiden. Hancur sudah!***
“Gak nyangka kalau Papa bisa melihat Naura seperti ini.” Arjuna yang sedang memeluk Alvaro yang namplok di dadanya menoleh ke samping, dimana Papa mertuanya Restu duduk, memandangi anak bungsunya yang saat ini sedang duduk di atas hamparan karpet di area kebun belakang rumah bersama para keponakannya. Minggu ini jadwalnya cucu-cucu keluarga Widjaja berkumpul untuk memeriahkan rumah yang biasanya hanya diisi oleh Papa Restu dan istrinya. Di sisi lain, kakak iparnya dan Mama mertuanya sedang memanggang daging juga ayam dan membiarkan Naura yang menjaga semua keponakannya. Arjuna yang duduk di kursi seraya meluruskan kakinya membiarkan Alvaro menarik-narik bajunya dengan mata yang mulai sipit kerena mengantuk sementara saudaranya masih asik bermain. Didekapnya erat pungung anaknya dan mengelusnya supaya anaknya itu bisa tidur. “Kalau bukan karena kamu, Papa speechless bisa melihat hal seperti ini mengingat begitu kerasnya Naura menghindari yang namanya anak-anak sampai dia be
Satu tahun kemudian,Rumah, menjadi tempat yang paling Arjuna rindukan saat berada jauh dari sana. Jadi, setelah semua urusannya di Vancouver beres, dia menolak ajakan kawan-kawannya bertahan sehari untuk mengelilingi kota sebelum kembali ke Indonesia. Dia hanya ingin cepat-cepat pulang dan berkumpul bersama keluarganya.Berada dua minggu di sana membuatnya tidak tenang, meskipun setiap ada kesempatan, Arjuna selalu melakukan panggilan video call untuk menyalurkan rindu pada keluarganya tercinta.Arjuna memandangi layar ponsel, di mana ada senyuman Naura juga si kembar di sana. Seketika perasaan rindu itu seperti tidak bisa dibendung lagi, berharap kalau saat dia sampai nanti, mereka semua masih terjaga untuk menyambutnya.Arjuna mencoba untuk melakukan panggilan ke istrinya tapi suara deringnya hanya berlalu begitu saja.“Apa dia sudah tidur?” gumamnya.Dilihatnya jam tangannya dan menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung di kursi mobil taksi yang dinaikinya. Pantas s
Setelah mengalami proses hukum dan sidang yang panjang, Wisnu dijatuhi hukuman karena bersalah telah melakukan tindakan kriminal dan dijatuhi hukuman selama lima belas tahun penjara. Suaminya nampak belum puas tapi setidaknya dia sudah mendapatkan keadilan seperti yang dia inginkan.Minggu sore ini, mereka hanya berdua di rumah, duduk di sofa panjang menoton film Filipina romantis. Naura memeluk popcorn jagung di tangannya sementara Arjuna memeluknya dari belakang, melingkupi perutnya yang besar.“Fransisca sedang menjalani rehabilitasi akibat kecanduannya akan obat-obatan.”Naura menoleh, “Aku gak nyangka dia wanita yang seperti itu.”“Selama aku mengenalnya dulu, dia tidak pernah menunjukkan gejala pecandu obat jadi aku pikir, kalau dia baru-baru saja memakainya.” Naura mengangguk, sibuk memandangi wajah tampan James Reid di film This Time yang sudah dia tonton ratusan kali. “Aku harap dia dapat ganjarannya karena berniat menabrakmu hari itu.”“Dia mabuk.” Naura menoleh. “Dia s
Hal pertama yang dirasakannya saat dia sadar hanyalah kepalanya yang terasa sakit. Naura mengerjapkan mata, menatap langit-langit yang putih bersih, aroma rumah sakit kembali tercium. Merasa heran kenapa dia yang hanya pingsan malah kembali berakhir tergeletak di sini. Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini dia sering sekali terbangun di rumah sakit. “Ini sebenarnya kenapa?” Samar-samar Naura mendengar suara suaminya di tempat yang agak jauh. “Aku yang dioperasi kenapa malah Naura yang gak sadar-sadar?” “Kami juga tidak tahu Pak Arjuna. Bu Naura tidak mengalami luka serius, kondisinya stabil dan kami hanya memberikan dia obat tidur dosis kecil untuk mengistirahatkan tubuhnya selama bapak di operasi.” “Tapi sudah tiga hari dia belum sadar? Apa dia koma?” “Tidak. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya belum bangun. Kami akan segera memeriksanya lagi.” “Sebaiknya begitu karena aku tidak mau dia kenapa-napa—“ Nada suara suaminya tegas. “Juga anak-anakku di sana.” N
Makan malam keluarga kali ini lengkap dan ramai. Diadakan di salah satu restoran milik keluarganya di area outdoor dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Naura duduk memperhatikan keponakan-keponakannya yang bermain disekitarnya sambil mengaduk-aduk nasi di piring untuk mereka. Masih aja lebih suka minta disuapin terutama si kembar dan juga Keylan. “Tan-tan, kata Mama, kita mau jalan-jalan ke Disneyland nanti.” “Oh ya—“ Naura menyuapi para bocil yang dulu sering dia sebut troublemakers. “Asyik dong. Tante gak diajak?” “Tante kan sudah besar jadi gak boleh main ke tempat mainan anak kecil.” Naura pura-pura merengut, “Ih kalau gitu nanti Tante nangis aja deh.” “IHH JANGANNN—“ teriak si kembar bersamaan. “Nanti minta diajak sama Mama aja ya.” Lalu mereka berlari mendekati Arabella dan menariknya untuk mendekatinya dengan wajah mengeryit. “Apaan sih ini?” “Tan-Tan mau ikut kita ke Disneyland Ma,” ucap Kesha. “Ajak Tan-Tan ya biar dia gak nangis terus,” tambah Kaisar. N
Mungkin ini karma yang harus dia tanggung karena di awal-awal dulu, dia tidak mensyukuri berkah yang Tuhan berikan untuknya berupa kedatangan bayi kembar di dalam rahimnya. Terkesan tidak menginginkan meskipun pada akhirnya pelan-pelan, dia malah menikmati momen-momennya sebagai seorang calon Ibu.Tapi sekarang dia seperti merasakan kosong. Seminggu sejak keluar dari rumah sakit, Naura terus memegangi perutnya berharap kalau mereka masih ada di sana, bertumbuh dan menunggu momen untuk lahir ke dunia.Naura berusaha keras mencoba untuk mengikhlaskan tapi yang tertinggal hanyalah sebuah penyesalan yang tidak tahu kapan akan bisa dia lepaskan.Orang-orang disekelilingnya terutama keluarganya tidak lagi menyinggung tentang kehamilannya yang dulu, begitu juga dengan suaminya. Ada perbedaan yang begitu nyata dia rasakan, bahkan sikap suaminya yang terlihat begitu hati-hati saat berbicara dengannya.Satu hal yang tidak tertahankan harus dia lihat setiap hari hanyalah, tatapan suaminya ya
“Aku besok harus ngapain Mas?”Naura merasa khawatir karena besok siang dia harus datang ke persidangan sebagai saksi dan bertemu lagi dengan Mirza. Suaminya yang tidur di sebelahnya mengelus kepalanya. “Jangan hiraukan keberadaan Mirza di sana. Kamu hanya harus menceritakan kejadian saat kamu mendengar Mirza menelepon preman-preman suruhannya itu dan juga saat dia mengancammu di swalayan.”Naura mengigit ujung kukunya. “Apa bukti rekaman ancamannya yang aku rekam diam-diam itu belum cukup?”“Kamu harus tetap bersaksi sayang. Ini salah satu prosedur persidangan yang harus dilakukan agar bukti-bukti semakin kuat.”“Aku bukan saksi utamanya kan?” Naura menatap suaminya. “Secara tidak langsung semua ini bermula karena hubungan kami yang hancur. Seperti yang dikatakan oleh Tante Marina.”“Andai saja aku ada di sana saat dia datang.”“Sikapnya itu menunjukkan siapa mereka sebenarnya,” ucap Naura. “Dulu, aku bertemu dengannya hanya beberapa kali dan itu juga bukan pertemuan yang men
“Event kuliner Asia ya?” Tanya Naura, memperhatikan proposal di tangannya yang baru saja diserahkan oleh Marketing Head untuk mendapatkan persetujuannya. “Iya Bu. Tahun ini kita memenuhi kualifikasi untuk ikut pagelaran kuliner yang diadakan di hotel Armani Dubai.”“Ini kesempatan langka.” Naura membaca baik-baik proposalnya, sementara Amel yang duduk di depan mejanya memperhatikan. “Mereka melakukan sistem seleksi—“ Naura mengangkat pandangannya. “Orang kita harus benar-benar menyiapkan banyak hal itu event ini.”Amel mengangguk, “Pak Dani sudah mempersiapkannya sejak jauh-jauh hari. Meeting akan dilakukan lusa untuk membahas event ini dan saya sudah mengirim semua bahan meetingnya ke email Bu Naura.”Naura mengangguk, mengelus perutnya yang terasa lapar membuat Amel langsung berdiri siaga. “Ibu Naura mau makan apa? Biar Amel pesankan.”Naura memerengkan bibirnya, “Tumben kamu perhatian banget.”“Nanti saya disemprot sama Pak Arjuna Bu,” kekeh Amel, Naura memutar bola mata. “
Tiga bulan kemudian, "Deg..Deg…Deg..Deg” Naura merasakan matanya berkaca-kaca saat mendengar detak jantung kedua anaknya yang saling bersahutan saat mereka cek kandungan ketika kehamilannya memasuki trimester kedua. Suaranya begitu menenangkan dan Naura tidak bisa berhenti mendengarnya. “Semuanya sehat, Ibu dan bayi sehat dan berkembang dengan baik. Detak jantungnya bisa kalian dengar sendiri.” Arjuna menghembuskan napas lega. “Syukurlah. Mual-mualnya juga sudah mulai berkurang dok.” Dokter Melani mengangguk. “Itu artinya, setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Ibu bisa beraktifitas lebih banyak karena masa mabuknya sudah berkurang tapi tetap harus hati-hati karena kehamilan kembar lebih membuat cepat lelah dari pada kehamilan tunggal.” “Rasanya perut pasti bakalan sesak ya dok," Tanya Naura. “Iya begitulah. Semakin besar mereka akan semakin memenuhi dinding Rahim, saling bersinggungan sesama saudara dan berbagi makanan. Ibu Naura harus banyak-banyak mengonsumsi makan