Dari jarak jauh aku melihat Santi dituding-tuding oleh seorang perempuan di depan SPBU. Entah apa yang diucapkan wanita asing itu, tapi yang pasti Santi terlihat menunduk, tidak berani menatap lawannya maupun ke sekeliling. Mungkin saat ini ia sudah kehilangan muka, karena dipermalukan di depan umum. Aku dan Nana yang sedang antri di tempat pengisian bahan bakar hanya bisa menjadikan mereka bahan tontonan. “Ada masalah apa mantan kakak ipar Mbak Amira sampai dimaki-maki seperti itu?” Nana yang sedang ada di belakangku melontarkan pertanyaan. Sepertinya ia sangat penasaran, jiwa keponya meronta-ronta untuk mencari bahan gibahan, mungkin. “Nggak tahu, Na. Bisa jadi itu istri dari selingkuhan Santi.” Aku menjawab sekenanya, hanya berdasarkan praduga. Siapa lagi yang bisa membuat Santi ketakutan kalau bukan istri sang pacar? “Mantan ipar Mbak Amira pacaran sama suami orang? Jadi ceritanya itu sedang dilabrak, ya, Mbak? Dih, amit-amit!” Nana mengumpat.Aku hanya mengedikkan bahu, mena
Di rumah, sedang sibuk-sibuknya hari ini. Banyak orang yang membantu mempersiapkan pembuatan nasi kotak untuk acara aqiqahan anaknya Ajeng. Kami semua sibuk, karena mengolah berbagai macam menu, sesuai permintaan ibu mertuanya Ajeng.Aku yang baru selesai membuat rendang daging kambing istirahat sejenak di ruang tengah. Menikmati secangkir es teh manis buatan Nana. Tanpa sadar bibir ini menyunggingkan senyum, mengingat bagaimana pertemuan pertamaku dengan mertuanya Ajeng. Kami menegosiasi harga dengan alot. Mertuanya Ajeng ingin bertemu denganku secara langsung katanya. Menjelaskan secara rinci apa yang beliau inginkan. Beliau ingin tambahan ini dan itu di atas nasi. Tapi, mertuanya Ajeng ingin harga standar dengan menu yang komplit. Tentu aku tidak bisa menerimanya. Bukankah ada harga ada kualitas? Sempat terjadi perdebatan mengenai harga. Beliau sempat ngotot ingin harga yang murah, aku pun ngotot untuk mempertahankan harga yang memang sudah sesuai perhitungan. Meskipun begitu,
“Belum puas kamu mencari masalah dengannya aku, Mir? Tidak ada bosan- bosannya kamu mengusik urusan pribadiku. Apa sih maumu, brengsek?” Jari telunjuk Santi mengarah tepat ke wajahku. Tentu aku tersentak kaget. “Wong edan songko ngendi kui, Nduk?” Bibi yang ada di belakangku berbisik.(Orang gila dari mana itu, Nduk? “Bi, tolong balik lagi ke belakang saja. Biar orang-orang nggak ikutan ke sini. Nanti bisa repot urusannya. Pekerjaan nggak kelar-kelar.” Aku meminta Bibi dengan setengah berbisik pula. Aku tak ingin menjadi bahan tonton. Setelah memastikan bibi pergi ke belakang, aku kembali menatap Santi yang masih ada di hadapanku.“Aku mencari masalah dengan kamu?” Seperti orang bego aku mengulang pertanyaan tersebut. Jari telunjuk ini mengarah pada dadaku sendiri. Keningku pun berkerut dengan lipatan yang banyak.“Sejak kapan aku mencari masalah sama kamu? Bukan selama ini kamu yang mencari perkara dengan aku?”Santi tersenyum mengejek. Kurang ajar memang! “Nggak usah merasa sok
“Mbak Amira?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Ajeng sudah berada di belakangku. Ia menyambutku dengan pelukan hangat. Lalu bercipika-cipiki dengan Nana yang ada di sebelahku. “Terima kasih sudah datang, Mbak. Aku senang sekali Mbak Amira bisa hadir. Tadi sempat khawatir Mbak Amira nggak bisa datang mengingat. Sebab punya ibu yang sedang sakit. Apalagi sampai acara mau dimulai Mbak belum kelihatan.” Ajeng mengembangkan senyum seolah bahagia dengan kehadiranku. Aku memang datang agak terlambat. Karena sudah hampir penuh tempat duduknya. “Insya Allah saya hadir, Mbak. Untuk masalah ibu ada yang menjaga, kok.” “Yuk, kenalkan pada suamiku.” Ajeng membawaku ke suami dan juga mertuanya. Setelah berbasa-basi dengan mertuanya, aku dibawa ke arah laki-laki yang mengenakan baju yang sama dengan Ajeng. “Mas, kenalkan ini Mbak Amira, pemilik cateringnya.” Ajeng menyentuh tangan seorang lelaki yang baru saja mempersilakan tamunya menempati tempat duduk. “Lho, Bu Amira? Kok, nggak
POV TamaAmira? Benarkah itu Amira? Aku berkedip, lalu membuka mata kembali. Menyakinkan diri bahwa mata ini ini tidak salah melihat. Dan memang benar, itu Amira. Suaranya, senyumnya, cara jalannya semua memang Amira. Bagaimana bisa dia ada di sini? Siapa yang mengundangnya? Sial! Kecantikan Amira membuatku tidak ingin berpaling. Detak jantung ini pun semakin tidak tahu diri. “Oh, jadi ini alasan kamu tadi ogah-ogahan ngajak aku ke sini? Mau ketemuan sama Amira?” Di sampingku Lilik berkata dengan sangat ketus meskipun samar.Aku abaikan komentar Lilik, memilih bergabung dengan Aldo dan yang lainnya. “Itu mantan istri kamu, Bro? Gila makin kinclong aja. Memang, seorang wanita kalau sudah menjadi janda auranya itu semakin kentara.” Aldo saja memujinya, bahkan matanya tak ingin berkedip saat menatap Amira meski dari jauh. Apalagi aku yang pernah memilikinya. Mengamati Amira dari jarak jauh. Ia tampak tersenyum pada perempuan di sebelahnya. Ternyata Amira memiliki senyum yang begit
POV 3“Kenapa pulang-pulang dengan marah nggak jelas begitu, San? Habis ketemu setan di mana?” Mumun menegur anaknya yang membanting tas dengan kasar.Mumun menatap anak sulungnya yang jarang pulang ke rumah itu dengan seksama. “Sudah berhari-hari nggak pulang, sekalinya pulang manyun, banting-banting tas nggak jelas banting-banting tas seperti itu. Ada apa sih?” “Sebel aku tuh, Bu. Barusan di toko baju ketemu Amira. Perempuan itu berhasil membuatku malu, Bu.” Santi mengingat bagaimana pertemuan mereka di Toko baju. Niat hati ingin mempermalukan Amira yang sedang belanja bersama Nana, tapi justru Santi sendiri yang dipermalukan oleh mantan adik iparnya tersebut. Senjata makan tuan, istilahnya yang tepat untuk Santi sewaktu di toko baju tersebut. “Memangnya apa yang telah dilakukan Amira padamu, Mbak?” Tama yang baru selesai mandi ikut nimbrung di ruang tengah.“Mantan istrimu itu memang benar-benar belagu sekarang, Tam. Sok kecantikan. Sombong.” Santi meremas tas yang ada di dek
“De, kemarin waktu lewat depan kontrakan Lilik, kok, rame orang. Kira-kira ada apa, ya? Ada dia melahirkan? Atau malah nikahan?” tanya Mbak Mayang yang baru saja datang dan menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa. Aku yang sedang mengupas buah mangga pun mendongak, menatapnya dengan serius.“Ya, ndak tahu. Kok, nanya saya.” Aku menjawab sembari cengengesan. Ada-ada saja pertanyaan Mbak Mayang. Memangnya aku seperhatian itu dengan mantan ipar? Sehingga tahu apa yang terjadi di sana.“Eh, kira-kira untuk kebutuhan sehari-hari Lilik itu dari mana, ya, De? Apa dia kerja dalam kondisi hamil tua?” Lagi, Mbak Mayang melontarkan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Aku hanya bisa menggendikan bahu. “Kenapa Mbak Mayang segitu perhatiannya pada Lilik, sih?” Aku menyodorkan piring yang sudah penuh dengan irisan daging mangga tersebut.Mbak Mayang mengambil garpu lalu mengambil daging buah berwarna kuning tersebut. Tapi, belum sampai mulut ia kembali bersuara. “Ya, heran saja dari mana ia men
“Na, aku mau turun di toserba Sepada. Kamu mau beli sesuatu nggak?” tanyaku pada Nana setelah pulang dari pabrik, mengantarkan pesanan teman-teman kerjaku dahulu. Tujuh puluh bok nasi kami antarkan hari ini. Bekerja sama dengan beberapa tetangga jam setengah sebelas pesanan sudah siap untuk diantarkan. “Nggak, Mbak. Aku mau jus buah yang ada di seberangnya aja. Aku tunggu Mbak Amira di sana.” Nana menjawab dari balik kemudi.“Oke. Kamu jangan kabur duluan. Soalnya aku bakal belanja banyak. Semua barang kebutuhan di rumah sudah habis.” Mumpung keluar sekalian belanja bulanan. Toserba Sepada salah satu toko retail milik warga pribumi yang cukup lengkap dan terbilang murah dibandingkan dengan toko biru yang berjamur di mana-mana itu.Nana menghentikan laju motornya tepat di depan toko Sepada, menurunkan aku yang hari ini menjadi penumpangnya.“Hati-hati, Mbak. Kalau jatuh bangun sendiri.” Nana berwasiat sebelum pergi meninggalkan aku sendiri.Ucapan selamat datang dari pramuniaga kus