“Kenapa kamu mau menikah denganku, bukannya kamu membenciku?” tanya Nesya pada Gunawan.“Bukankah kamu yang meminta aku bertanggung jawab,” jawab Gunawan melihat Nesya duduk disampingnya.“Yang aku mau, kamu masuk penjara.” Nesya menatap dingin ke arah Gunawan. “Kenapa kamu tidak melaporkan saja.” Gunawan masih melihat Nesya “Aku tidak mempunyai bukti kuat untuk memasukkan kamu ke penjara.” Gunawan tertawa kecil.“ Bukannya keluargamu mempunyai kekuasaan?” “Aku tahu.” Nesya menatap Gunawan kembali.“Lantas?” “Aku tidak mungkin hamil tanpa suami.” Nesya kembali berlinang air mata. Gunawan bagkit dari duduknya lalu berjalan mengambil tisu dan memberikannya pada Nesya.“Ya, aku tahu. Kita akan menikah hanya untuk sebuah formalitas tanpa ada rasa yang lebih,” ujar Gunawan.“Aku juga tidak pernah mengharapkan itu.”“Tapi aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku, Nes.” Nesya menganguk karena sudah tahu Gunawan pasti dalam tekanan sang Kakak' dan imbasnya jika kakaknya bertindak leb
Gunawan keluar dari kantor KUA bersama Nesya. Mereka baru saja mendaftarkan data diri mereka untuk pernikahannya nanti. Gunawan yang memang terpaksa menikahi Nesya tampak memasang wajah datar, jika bukan karena Nesya hamil anaknya, mungkin ia tidak akan pernah menikah dengan wanita yang ia anggap sudah merusak rumah tangga putrinya, Sarah. Begitupun Nesya yang juga terpaksa menikah dengan Gunawan karena ia dinodai Gunawan.Gunawan berjalan santai tetapi langkahnya begitu lebar membuat Nesya kesusahan mengimbangi langkahnya. Tiba-tiba Nesya menarik lengan Gunawan.“Kamu bisa tidak jalanya pelan!” gerutu Nesya.Gunawan menghela nafas panjang lalu melihat Nesya yang memegangi perutnya. Gunawan lalu meraih tangan Nesya dan mengandengnya masuk kedalam mobil.Gunawan memberikan sebotol air mineral yang sudah dibukanya.“Ini minum.” Gunawan menyodorkan botolnya.“Terima kasih,” balas Nesya. Nesya meminumnya sampai habis setengah karena sedari tadi ia menahan haus.“Kenapa tidak bilang kalau h
Bintang saat ini sedang liburan sekaligus berkunjung ke rumah Nesya yang ada di Surabaya. Bintang hanya ingin memastikan Nesya baik-baik saja. “Kamu kenapa menangis, Nes?” tanya Bintang sang sahabat.“Rasanya berat, Kak. Harus menikah dengan pria kejam seperti Gunawan, apalagi setiap bertemu aku harus berpura-pura bersikap manis, manja padanya. Melihatnya saja aku merasa ingin mencakar wajahnya,” celoteh Nesya sambil mengusap air matanya.Bintang tersenyum.“Sabar, Nes. Dia ayah dari anakmu. Tapi jujur, pak Gunawan itu orang yang setia, buktinya sampai sekarang tidak menikah dari anaknya kecil sampai anaknya menikah.” “Halah! Tidak menikah lagi bukan berarti setia, mungkin perempuannya di luar sana pasti banyak. Kita itu tidak tahu kelakuan dia itu seperti apa?” Bintang tersenyum lalu bangkit dari duduknya.“ Nes, aku pamit ya. Maaf, aku nanti tidak bisa hadir di pernikahanmu.” “Iya, tidak apa-apa. Lagian nikah cuma di kantor KUA. Tidak ada pesta.” “Iya, aku mengerti. Bye,” ucap Bi
“Kamu niat menikahiku tidak? Ini sudah jam berapa kamu belum sampai, yang mau menikah bukan kita saja!” kesal Nesya berbicara dengan Gunawan di sambungan ponsel. “Iya sabar, ini lagi macet. Sebentar lagi sampai di kantor KUA,” jawab Gunawan santai.Nesya mematikan ponsel sepihak dengan begitu kesal lalu ia duduk di kursi. Arya hanya menghela nafas panjang mengusap pundak sang Adik. “Sabar, ini minum dulu.” Arya memberikan minum pada Nesya. "Terima kasih, Kak.” Nesya meminum air mineral kemasan gelas tersebut sampai habis. “Jaga emosimu, ingat kandungan kamu,” bisik Arya membuat sedikit meredam emosi dihatinya. Tak lama Gunawan sampai, ia berjalan masuk kedalam kantor KUA.“Maaf saya terlambat,” ucap Gunawan tidak enak hati. Nesya menatap tajam Gunawan, Gunawan mengerti dengan tatapan Nesya pun menghampirinya.“Maafkan aku, tadi macet jadi sedikit terlambat,” ucap Gunawan memberitahu lalu duduk disamping Nesya.“Aku pikir kau tidak jadi datang,” lirih Nesya yang sedari tadi menyemb
Gunawan menyandarkan kepalanya di setir mobil memperhatikan Nesya yang sedang tertidur. Ia tidak menyangka wanita dua puluh tujuh tahun itu saat ini menjadi istrinya. Perbedaan usia mereka juga cukup jauh yaitu enam belas tahun. Gunawan juga tidak menyangka akan memiliki anak lagi di usia kepala empat lebih. Padahal ia juga sudah mempunyai cucu dari Sarah.Gunawan menghela nafas panjang meregangkan otot-ototnya yang tegang karena ia juga kelelahan mengikuti acara di rumah keluarga Nesya.“Apa yang harus aku lakukan pada wanita sialan ini, sampai kapan aku berpura-pura baik padanya,” batin Gunawan. Gunawan membuka pintu mobil lalu keluar lebih dulu. Tiba-tiba Sarah datang mengagetkannya.“Oh, jadi papa benar-benar menikahi wanita murahan itu?” tanya Sarah dengan emosi.“Kecilkan suaramu, Sarah,” pekik Gunawan menahan emosi mendengar suara lantang putrinya. Sarah menyilangkan tangannya di dadanya melihat sang papa membopong Nesya masuk kedalam. Walau Sarah begitu kesal ia mengikuti la
“Non, biar saya saja yang memasak, nanti pak Gunawan marah sama saya, Non,” ucap asisten rumah tangga Gunawan. Nesya tersenyum melihat asisten rumah tangganya sambil membuat bumbu sop kesukaan Gunawan, Nesya mengetahui makanan kesukaan Gunawan dari sekretarisnya. “Nanti kalau dia marah sama Bibi, biar saya yang marahin balik, Bibi tenang saja. Bos kejam itu tidak akan pernah bisa marah dengan istri cantiknya ini. Lihat saja,” ucap Nesya lalu melanjutkan memasaknya. “Tapi, Non.”“Sssttt! Bibi bantu cuci wortelnya saja.” “Baik, Non.” “Bibi, kopiku mana?” teriak Gunawan tiba-tiba yang baru saja bangun tidur. “Iya, Pak. Sebentar!” jawab bibi melihat Nesya. Nesya tersenyum memberi isyarat agar ia saja yang membuatkannya kopi.“Bibi lanjutkan ini ya, tinggal masukin wortel dan daun bawangnya. Biar saya yang buat kopi.” Bibi hanya mengangguk lalu Nesy membuat kopi untuk Gunawan, tak lupa ia bawakan kue risoles buatannya. “Halo, selamat pagi, Sayang. Ini kopinya dan ini kue buatanku,
“Iya kak Bintang. Aku baik-baik saja. Jaga diri kakak juga ya. Bye,” salam Nesya pada Bintang diakhir sambungan ponselnya."Siapa?” tanya Gunawan tiba-tiba di belakang Nesya, membuat dirinya terkejut.“Astagfirullah! Kau kenapa tiba-tiba datang! Kaget tahu!” kesal Nesya. “Kamu saja keasyikan telpon sampai suami pulang tidak tahu, telepon dengan siapa” saut Gunawan menatap Nesya.“Hubungan kita hanya status, jadi aku telepon dengan siapapun itu hak ku.” “Aku hanya bertanya, bukan melarang. Iya aku tahu, status kita hanya diatas kertas.” Gunawan kemudian mengangkat sambungan ponselnya karena sedari tadi berdering.“Ya, Rin. Jadi dong. Besok kau siapkan saja berkas untuk meeting di Solo.” Gunawan sekilas melirik Nesya yang menirukan ia bicara.“Menginap di hotel seperti biasa, satu kamar saja berdua sama kamu,” balas Gunawan dan masih melirik Nesya yang saat ini seperti kesal mendengar kalimat Gunawan pada sekretarisnya. “Ok, sampai ketemu besok.” Gunawan mematikan sambungan ponselnya
“Nes, aku tahu kamu sangat membenciku saat ini. Aku tahu kesalahanku padamu tidak bisa dimaafkan. Tapi, mengapa harus mertuaku yang menjadi pilihan terakhirmu?” Nesya seperti sudah lelah dengan semua pertanyaan Adipati tentang pilihannya menikahi mertua sang mantan. Ia juga lelah memberikan jawaban yang sama. “Mas, ini mungkin terakhir kali aku katakan padamu, setelah ini, tolong jangan pernah lagi bicara atau menanyakan hal serupa lagi padaku. Aku hamil anak mertuamu dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini semua juga salahmu, jika kamu jujur, mungkin aku tidak terjebak dengan pernikahan yang tidak aku inginkan.” “Maaf, Nes. Tapi aku harap kamu tidak jatuh cinta dengannya. Aku harap rasa itu masih untukku.” Adipati memandang Nesya penuh harap. Berharap masih ada cinta di hati Nesya untuknya. “Untuk itu, itu urusanku. Tidak ada yang tahu hati ini untuk siapa. Begitu juga dirimu, hanya kau yang tahu isi hatimu. Pulanglah, jangan sampai Sarah melabrak diriku lagi. Aku