LOGINUcapan tanpa beban itu meluncur dari bibir Yuda. Renata segera mengusap air matanya. Tidak ingin terlihat semakin menyedihkan dan dianggap cengeng.
Meskipun faktanya, ucapan Yuda sangat menyakitkan. Perihal anak suatu hal yang sangat sensitif. Berulang kali, mertuanya bertanya tentang kehamilan. Renata yang menanggung beban dari berondongan pertanyaan. Yuda tidak peduli sama sekali. Bahkan, dia menanggapinya dengan sangat santai. Hal sepele. Selanjutnya, Renata dan Yuda menyelesaikan mandi dalam diam. Rutinitas pagi Renata menyiapkan semua keperluan Yuda. Setelah Yuda berangkat ke kantor, Renata bergegas ke sekolah. Sebenarnya, Yuda melarang Renata bekerja. Gaji sebagai guru SD tidaklah banyak. Lagi pula, Yuda sudah mencukupi semua kebutuhan Renata. Namun, Renata tidak betah berdiam diri di rumah. Bukan gaji yang Renata cari. Namun, panggilan hati mengajar sudah tertanam sejak masih kuliah. [Kamu harus siap-siap, Sayang! Sebentar lagi aku pulang dan kita ke butik. Nanti malam aku ada undangan!] Sebuah pesan singkat masuk ke handphone Renata. Wanita itu menyimpan kembali handphone ke dalam tas. Setelah membereskan semua benda pribadinya, dia bergegas pulang. "Aah, apa ini?" Renata menggerutu karena tiba-tiba mobilnya mogok. Beberapa kali dia mencoba menghidupkan mesin, tetapi gagal. Renata juga tidak paham mengenai mesin dan dunia otomotif. "Ya, Tuhan. Kenapa bisa begini?" Diliriknya jam digital di dashboard. Tidak ingin terlambat, Renata bermaksud memanggil taksi. Namun, tiba-tiba sebuah SUV mewah berhenti di depannya. Lalu, disusul ketukan pada kaca mobil. Tok ... tok! Renata yang sedang fokus dengan handphone langsung menoleh ke sumber suara. Dia mendapati seorang laki-laki sedikit membungkuk di dekat pintu mobil. Darren _teman Yuda_ menatap heran ke dalam mobil. "Rena, apa yang terjadi?" Renata membuka kaca jendela. "Sepertinya mobilku mogok, Mas!" jawabnya kembali menatap handphone. "Kamu mau ke mana?" tanya laki-laki berpakaian semi formal itu lagi. "Mau pulang, Mas. Aku lagi pesan taksi." "Aku antar saja. Sekalian cari bengkel!" Sejenak, Renata terdiam karena ragu. Namun, laki-laki itu sekali lagi menyakinkan Renata. Akhirnya, dengan berat dia pun mengangguk dan turun dari mobil. "Mas Darren dari mana?" tanya Renata, ketika sudah berada di dalam mobil. Laki-laki tampan bernama Darren itu menoleh sekilas, lalu mulai melajukan mobil. "Aku dari kantor suamimu!" "Hah?" Darren kembali menoleh, lalu tersenyum samar. "Ya, ada beberapa urusan kecil. Tapi Yuda masih ada tamu tadi!" "Oh, iya!" Kening Darren mengernyit karena Renata seperti tidak tertarik membicarakan Yuda. Renata menatap ke luar jendela. Tangan kirinya terangkat sembari memijit pelipis. Darren meliriknya. Kening laki-laki itu kembali mengernyit saat tanpa sengaja melihat warna kebiruan di leher Renata. Meskipun Renata sudah mengenakan pakaian berkerah tinggi, bekas gigitan itu terlihat samar. "Apa yang terjadi dengan kalian? Em, maksudku, kalian ada masalah?" tanya Darren memberanikan diri. Seketika, Renata menatapnya. "Mak-sud Mas Darren apa?" Darren mengangkat bahu tak acuh. "Aku tidak tahu, Rena. Justru itulah aku tanya. Apa kamu dan Yuda ada masalah?" "Ah, tidak. Kami baik-baik saja!" Darren mengangguk meskipun tidak percaya. Selanjutnya mereka diam. Tidak berapa lama, mobil berhenti di depan pintu pagar rumah. Renata menoleh sekilas pada Darren yang saat itu menatapnya. "Terima kasih, Mas." Darren mengangguk samar. "Bye bye!" "Kenapa kamu jalan kaki? Di mana mobilmu?" Langkah Renata terhenti seketika di depan pintu garasi. Rupanya, Yuda baru memarkir mobilnya. Kening Yuda mengernyit heran sambil memperhatikan Renata. "Mobilku mogok, Mas. Sekarang di bengkel!" "Terus kamu pulang naik apa?" Yuda tampak khawatir. "Kebetulan aku bertemu Mas Darren. Dia antar aku pulang sekalian mampir bengkel sebentar!" "Oh. Kenapa kamu tidak telepon aku, Rena?" "Ma-maaf, Mas. Kupikir kamu masih sibuk di kantor!" Yuda tidak merespon lagi. Dia bergegas mengikuti Renata memasuki rumah. Seperti rencana tadi, mereka segera bersiap pergi ke sebuah butik langganan. Yuda memang tipe suami royal. Apalagi untuk penampilan istrinya. Mereka sengaja membeli pakaian senada untuk acara nanti malam. Renata mematut diri di depan cermin ruang ganti. Yuda memperhatikan istrinya dengan kagum. Siapa pun pasti mengira, mereka adalah pasangan paling bahagia. Ya, seharusnya begitu. Jika saja Yuda tidak terlalu posesif. Yuda merangkul pinggang ramping Renata. "Ini bagus dan cocok untukmu." "Tapi kurasa ini terlalu mahal, Mas!" Renata tidak enak hati. "Jangan pikirkan! Yang penting kamu terlihat perfect untukku. Hanya untukku, Rena!" Setelah berkata begitu, Yuda langsung membayar semua belanjaan. Sambil bergandengan erat, mereka bergegas keluar dari butik. Rahang Yuda mengeras, ketika memergoki seorang laki-laki menatap tidak berkedip pada Renata. "Rasanya pengen kucongkel saja tuh mata!" gerutu Yuda sambil meletakkan sedikit kasar paper bag ke bagasi. Renata yang mendengarnya langsung mengerutkan kening. "Siapa yang kamu maksud, Mas? Kenapa kamu bicara begitu?" "Tua Bangka di dalam butik tadi. Menatapmu terus!" "Sudahlah, Mas! Biarkan saja, kan dia punya mata!" Yuda yang baru memasuki mobil, menatap tidak suka pada Renata. Renata yang tahu sifat posesif Yuda hanya menunduk. Tidak ingin lagi membahas hal-hal kecil yang berujung pertengkaran. "Oh, jangan-jangan kamu senang dilihat pria tua hidung belang itu? Menjijikkan!" "Mas, jangan ngawur! Aku bukannya senang, hanya saj--" "Diam, Rena! Ingat, kamu itu istriku! Tidak ada yang boleh menatapmu memuja seperti itu, selain aku! Oh, ya, aku tidak suka kamu dekat dengan Darren meskipun dia sahabatku!" Mata Renata terpejam rapat. Terdengar hembusan napas panjang dari bibirnya. Lalu, Renata menoleh pada Yuda. "Aku tidak dekat dengan siapa pun, Mas! Mas Darren hanya mengantarku. Kami kebetulan bertemu di jalan." "Ya, aku tidak mau ada acara kebetulan-kebetulan lagi di antara kalian, Rena!" ***Yuda yakin, kecurigaannya benar. Dia hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti hingga Renata dan Darren mengakuinya.Mobil Darren berhenti di dekat sebuah gang. Dista menoleh, lalu melepas seat belt. Darren menatap ke samping mobil. Berbeda dengan rumah Darren yang megah, bangunan di sekitar sini sangat sederhana."Kamu tinggal di sini, Dis?""Iya, Pak! Hanya kontrakan ini yang dekat dengan tempat kerja!"Darren mengangguk. "Oke, terima kasih atas kerja samanya! Sudah aku transfer. Coba dicek!"Dista segera membuka handphone. Matanya mendelik memperhatikan angka-angka yang masuk ke rekeningnya. Ternyata, Darren mentransfer lebih besar dari yang mereka sepakati."Pa-Pak, ini banyak sekali!""Untuk tambahan tabungan anakmu!" ucap Darren, lalu membuka lock bagasi. "Kamu ambil saja leci dan makanannya. Bisa kamu bagi sama keluargamu!""Tap-tapi itu punya Pak Darren!""Tidak apa-apa, Dista! Aku tidak mungkin makan lagi malam ini. Sudah, kamu ambil saja semuanya!""Ah, terima kasih, Pak! Bapak s
"Nina? Siapa Nina?" Wanita itu menoleh, tatapannya menuntut jawaban pada Darren.Darren menggaruk tengkuk yang tidak gatal, lalu segera merangkul bahu wanita itu. Melihat sikap agresif Darren, wanita cantik itu justru tidak nyaman.Yuda memperhatikan interaksi pasangan itu, dengan alis terangkat sebelah. Sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. Tiba-tiba, Yuda curiga dengan wanita bernama Nina itu.Darren segera menarik tangan Nina dan membawanya menyingkir. Meskipun sedikit terkejut, Nina hanya menurut saja. "Pa-Pak Darren, kenapa Anda begitu aneh?" tanya Nina palsu bingung dan tidak nyaman.Darren mengerutkan bibir, lalu tertawa kecil seolah tidak terjadi sesuatu. Dengan sengaja, dia merangkul dan mengusap kepala Nina palsu."Dista, maaf, ada yang salah. Seharusnya, tadi aku katakan dulu padamu. Please, kita harus menjalankan sandiwara ini sebaik mungkin!""Saya belum mengerti!" Wanita bernama Dista itu mengernyitkan dahi."Di depan semua orang, kamu kenalkan namamu Dista Karenina,
Kening Darren mengernyit tipis mendengar pertanyaan itu. Tatapannya pada Renata semakin dalam. Sedetik kemudian, Darren tertawa lirih. Menurut Darren pertanyaan Renata tergolong aneh."Mas Darren tahu juga tentang masa lalu Mas Yuda?" ulang Renata lirih. Meskipun tidak lazim, mengorek informasi dari Darren, Renata harus cari tahu tentang masa lalu Yuda. Seseorang yang memiliki fantasi seks nyleneh, biasanya dipicu oleh masa lalu. Karena orang normal tidak mungkin menyakiti pasangannya untuk mencapai puncak kepuasan."Aku belum mengerti, Rena! Maksudmu, tentang pacar Yuda sebelum bertemu denganmu?" Renata terdiam karena bimbang. Tidak mungkin dia menceritakan aib suaminya. Lantas, wanita itu menggigit bibir gugup.Di sampingnya, Darren terkekeh pelan. Sebelah alisnya terangkat, melihat sikap aneh Renata. Darren semakin yakin, kalau rumah tangga Renata dan Yuda tidak baik-baik saja."Yuda tidak selingkuh, kan?" canda Darren karena Renata masih diam. "Ha ha ha, aku cuma becanda, Rena!
"Rena, apa yang kamu bicarakan?""Kenapa kamu selalu kasar dan tidak ingin punya anak? Beri tahu aku alasan yang bisa kuterima!"Pertanyaan di luar perkiraan itu, sukses membuat Yuda termangu. Tatapannya berubah sendu, tetapi menyimpan teka teki. "Apa kamu tidak ingin cerita sesuatu, Mas? Mungkin kita butuh ke dokter! Aku yakin, kamu bisa berubah, Mas!"Tatapan sendu Yuda berubah tajam. "Tidak! Apa kamu pikir aku gila?"Yuda melengos, menghindari tatapan Renata. Dia enggan mengungkit masa lalu dan tidak tertarik membahasnya. Terdengar dengusan kecewa dari bibir mungil Renata. Jika Yuda sudah berkata begitu, apa yang diharapkan? Seumur hidup, Renata harus pasrah menerima siksaan."Baiklah, aku tidak memaksamu, Mas!" Renata memunggungi Yuda, lalu menggigit jari menahan luapan sedih."Apa kamu tidak mau menerima kekuranganku, Rena? Bukannya pernikahan itu harus saling menerima kekurangan pasangan?"Ucapan tanpa rasa bersalah itu, seolah menegaskan, Renata harus siap menanggung siksa seu
Renata langsung menatap Darren yang mengulurkan handphone padanya. Namun, tatapan Yuda justru tertuju ke lengan atas kemeja putih Darren."Ini ponselmu!" Darren mengulurkan handphone Renata.Dengan gerakan kaku, Renata menerima benda pipih itu. "Terima kasih, Mas!" "Tidak apa-apa. Hei, Bro!" Darren langsung menyapa Yuda. Namun, Yuda masih menatapnya datar. "Kenapa handphone Rena ada sama kamu?" selidiknya.Renata langsung menggigit bibir takut. Dia tidak berani menatap Yuda maupun Darren. Darren tersenyum sekilas, sambil mengusap tengkuknya."Oh, tadi kami berpapasan di depan toilet. Sepertinya, Rena buru-buru, sampai handphonenya jatuh!"Mata Yuda menyipit semakin curiga. Lalu, pandangannya kembali berhenti pada lengan atas Darren. Kemeja putih itu ternoda lipstick. Darren menunduk mengikuti arah pandangan Yuda. Dia baru menyadarinya, lalu menatap sekilas pada Renata yang masih mematung.Darren menelan ludah. Ternyata, pelukan tidak disengaja tadi meninggalkan bekas di sana. Senyum
"Apa kamu dengar, Rena?" Yuda memastikan, karena Renata tidak kunjung menjawab.Renata hanya mengangguk. "Iya, Mas. Maaf!"Yuda menarik jemari tangan Renata ke dalam genggaman. Sebelah tangannya memegang setir. Renata hanya diam, tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Bahkan, sampai di rumah, mereka tidak lagi membahas perihal Darren. Sebenarnya, Renata keberatan dengan sikap over Yuda. Namun, menjelaskan pada laki-laki itu, sama saja mengundang perbuatan kasar Yuda.Entah apa yang ada di benak Yuda. Setiap kali istrinya diperhatikan laki-laki lain, dia selalu menunjukkan sikap posesif. Bahkan, rasa tidak suka Yuda dibawa dalam setiap hubungan intim. Selalu saja ada alasan Yuda untuk menyakiti Renata di saat seharusnya romantis itu. Berulang kali, Renata menarik napas lelah. Dia meraba dadanya yang masih tampak jelas bekas tanda kepemilikan Yuda.Tangan Renata bergerak pelan, dan berhenti di perut. Matanya terpejam, ketika ingat penolakan Yuda atas kehadiran anak. Setidaknya untuk saa







