LOGIN"Apa kamu dengar, Rena?" Yuda memastikan, karena Renata tidak kunjung menjawab.
Renata hanya mengangguk. "Iya, Mas. Maaf!" Yuda menarik jemari tangan Renata ke dalam genggaman. Sebelah tangannya memegang setir. Renata hanya diam, tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Bahkan, sampai di rumah, mereka tidak lagi membahas perihal Darren. Sebenarnya, Renata keberatan dengan sikap over Yuda. Namun, menjelaskan pada laki-laki itu, sama saja mengundang perbuatan kasar Yuda. Entah apa yang ada di benak Yuda. Setiap kali istrinya diperhatikan laki-laki lain, dia selalu menunjukkan sikap posesif. Bahkan, rasa tidak suka Yuda dibawa dalam setiap hubungan intim. Selalu saja ada alasan Yuda untuk menyakiti Renata di saat seharusnya romantis itu. Berulang kali, Renata menarik napas lelah. Dia meraba dadanya yang masih tampak jelas bekas tanda kepemilikan Yuda. Tangan Renata bergerak pelan, dan berhenti di perut. Matanya terpejam, ketika ingat penolakan Yuda atas kehadiran anak. Setidaknya untuk saat ini. Namun, sampai kapan dia akan menanggung pertanyaan yang sama? "Sudah isi belum, Ren? Kapan kalian memberi kami cucu? Nanti keburu kami mati!" Pertanyaan ibu mertua yang kesekian kali, tanpa mampu dijawab Renata. Dia hanya minta mertuanya sabar. Padahal, Renata sendiri sudah tidak sabar memiliki anak. Barangkali dengan punya anak, Yuda akan berubah. Harapan itu masih menggantung di angan Renata, entah kapan terwujud. "Eh, Mas bikin aku kaget!" sungut Renata terkejut dari lamunan pedihnya. Yuda melingkari perut Renata dari belakang, lalu mencium sudut bibir istrinya itu. Renata menatap ke arah cermin. Jika begini, Yuda adalah suami yang romantis. Namun, bisa berubah dalam sekejap menjadi suami yang membuat Renata ketakutan. Renata tidak tahu apa penyebabnya. Dia tidak terlalu lama mengenal Yuda. Mereka berpacaran hanya setengah tahun, lalu memutuskan menikah. Yuda juga sosok yang tertutup tentang masa lalu. Sedikit pun, Renata tidak tahu, bagaimana masa lalu Yuda. Renata hanya tahu, Yuda anak tunggal dan pewaris kekayaan keluarga Hilmawan. Hidup Yuda tidak kekurangan finansial ataupun kasih sayang. "Malah melamun lagi!" ucap Yuda kembali menyentak lamunan Renata. "Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan, hm?" tanyanya. Tangan Renata bergerak, mengusap lengan Yuda. "Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir, mungkin kita butuh waktu untuk benar-benar quality time!" Kening Yuda mengerut tipis. "Kamu ingin kita bulan madu lagi?" tebaknya. Renata langsung membalikkan badan. Dia mengusap pelan dagu kasar suaminya. "Ya, kenapa tidak? Apa kamu keberatan, Mas?" Renata penuh harap. Alis Yuda terangkat sebelah. "Boleh. Aku atur jadwal. Sepertinya, kita harus berlibur selama satu minggu, Rena." Sejenak, Renata menggigit bibir. Matanya mulai menyiratkan ketakutan. Quality time? Bulan madu? Itu artinya, dia harus siap menjadi objek nyata fantasi seks Yuda yang nyeleneh. Renata menarik napas panjang. Tidak mengapa, asal dari bulan madu yang mungkin penuh penyiksaan di atas ranjang itu, dia akhirnya hamil. Sejenak, senyum Renata tersungging tipis. "Terima kasih, Mas!" Cup! Renata menghadiahi Yuda kecupan lembut di bibir dan pipi. Lantas keduanya tertawa lirih. Dengan gemas Yuda mengusap kepala Renata. "Kamu sangat cantik! Ayo, berangkat!" Yuda mengulurkan tangan dan disambut Renata. Acara malam itu diadakan di sebuah restaurant mewah. Ternyata, tidak hanya para pebisnis yang hadir. Namun, ada juga publik figur dan influencer negeri. Mereka mengadakan acara amal untuk penggalangan dana. Salah satu band ibukota mengisi acara malam itu. Meskipun menjadi istri seorang milyuner, Renata tampak canggung berbaur dengan mereka. Dia memilin jarinya di atas pangkuan tanda tidak nyaman. Yuda mencondongkan tubuh pada Renata. "Santai saja! Kamu bukan lagi gadis kampung. Tapi istri Yuda Eka yang terpandang. Jangan membuatku malu, Rena!" ucapnya di tengah suasana hingar bingar musik. Renata menelan ludah, lalu mengangguk kaku. Yuda meraih tangan Renata dan menggenggamnya sedikit kencang. Tidak menghiraukan perasaan Renata yang tercabik, Yuda asyik berbincang dengan rekan-rekannya. Dunia bisnis sangat asing dan tidak dimengerti oleh Renata. Maka, dia hanya menjadi pendengar setia. Sampai pada akhirnya, seorang perempuan menggeser kursi mendekati Renata. "Pak Yuda, boleh saya ajak Bu Rena? Kami para istri tidak paham urusan suami!" kelakar wanita cantik dengan gaun sebatas lutut. Yuda langsung menatap Renata minta persetujuan. "Oh, tentu saja, Bu Karin. Tidak apa, kalau kalian ingin kumpul dengan ibu-ibu lain!" Renata tersenyum tipis, lalu berpamitan pada suaminya. Yuda menatap sekilas langkah dua wanita itu yang menjauh. "Perempuan lebih nyaman dengan dunianya, Pak. Tidak apa-apa. Yang penting mereka happy, bisa menjaga marwah suami, dan setia. Saya bersyukur, sudah dua belas tahun ditemani Karina!" ucap rekan Yuda tanpa diminta. "I-iya, benar, Pak. Sepertinya, istri saya langsung nyaman dengan Bu Karin!" "Ya, semoga saja, mereka bisa berteman. Karina punya kegiatan positif di yayasan. Dia aktif mengikuti kegiatan bakti sosial. Kalau Bu Renata bersedia bisa gabung!" "Tentu, nanti saya bicarakan. Tapi pagi dia mengajar. Saya sudah melarangnya, tapi Rena bersikeras." "Jangan dikekang, Pak! Pernikahan itu bukan penjara bagi perempuan!" Gleg! Yuda terdiam mati kutu mendengar ucapan itu. Dia mengangguk-angguk samar dan meraih cangkir kopi, lalu meneguknya sedikit. "Bu Rena jarang ikut kegiatan, Pak Yuda?" tanya Karina tidak enak hati. "I-iya, Bu. Jarang sekali!" Karina tersenyum dan menatap prihatin pada Renata. Renata masih tampak canggung berbaur dengan orang-orang kalangan atas. Dia lebih nyaman bercengkrama dengan anak-anak. Cukup lama Karina dan Renata membahas kegiatan masing-masing. Pada akhirnya, Renata pamit ke toilet. Dia berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya. Tiba-tiba handphone Renata berdenting. Pesan singkat masuk dari Yuda yang mencarinya. Bergegas, Renata keluar dari situ. Bruk! Upss! Karena buru-buru, Renata menabrak seseorang. Handphone dalam genggamannya terjatuh. Tubuh Renata oling. Beruntung, dengan sigap orang itu menangkapnya. Mata Renata terpejam karena kaget. Namun, sedetik kemudian, aroma perfume maskulin itu segera menyadarkannya. "Kenapa kamu buru-buru? Kamu tidak apa-apa?" Suara baritone itu menginterupsi keterkejutan Renata. Lantas dia membuka mata dan bertemu pandang dengan Darren. Darren menunduk, menatap Renata yang masih bengong. "Hei, Rena! Are you okey?" ulang Darren. "Ah, em ... Mas Darren. Maaf!" Buru-buru Renata melepaskan diri dari pelukan Darren. Tanpa bicara apa-apa, Renata bergegas pergi melupakan handphonenya. Darren hanya tersenyum dan mengambil handphone Renata. "Dari mana sih, Sayang?" Yuda tampak cemas melihat kedatangan Renata. "Maaf dari toilet!" Renata menunduk takut. "Oh, aku pikir kamu ke mana. Makanya aku chat!" "Ponselku ..." Tiba-tiba Renata ingat handphonenya. Dia mencari di dalam tas, tetapi tidak menemukannya. "Kamu cari ini?" ****Yuda yakin, kecurigaannya benar. Dia hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti hingga Renata dan Darren mengakuinya.Mobil Darren berhenti di dekat sebuah gang. Dista menoleh, lalu melepas seat belt. Darren menatap ke samping mobil. Berbeda dengan rumah Darren yang megah, bangunan di sekitar sini sangat sederhana."Kamu tinggal di sini, Dis?""Iya, Pak! Hanya kontrakan ini yang dekat dengan tempat kerja!"Darren mengangguk. "Oke, terima kasih atas kerja samanya! Sudah aku transfer. Coba dicek!"Dista segera membuka handphone. Matanya mendelik memperhatikan angka-angka yang masuk ke rekeningnya. Ternyata, Darren mentransfer lebih besar dari yang mereka sepakati."Pa-Pak, ini banyak sekali!""Untuk tambahan tabungan anakmu!" ucap Darren, lalu membuka lock bagasi. "Kamu ambil saja leci dan makanannya. Bisa kamu bagi sama keluargamu!""Tap-tapi itu punya Pak Darren!""Tidak apa-apa, Dista! Aku tidak mungkin makan lagi malam ini. Sudah, kamu ambil saja semuanya!""Ah, terima kasih, Pak! Bapak s
"Nina? Siapa Nina?" Wanita itu menoleh, tatapannya menuntut jawaban pada Darren.Darren menggaruk tengkuk yang tidak gatal, lalu segera merangkul bahu wanita itu. Melihat sikap agresif Darren, wanita cantik itu justru tidak nyaman.Yuda memperhatikan interaksi pasangan itu, dengan alis terangkat sebelah. Sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. Tiba-tiba, Yuda curiga dengan wanita bernama Nina itu.Darren segera menarik tangan Nina dan membawanya menyingkir. Meskipun sedikit terkejut, Nina hanya menurut saja. "Pa-Pak Darren, kenapa Anda begitu aneh?" tanya Nina palsu bingung dan tidak nyaman.Darren mengerutkan bibir, lalu tertawa kecil seolah tidak terjadi sesuatu. Dengan sengaja, dia merangkul dan mengusap kepala Nina palsu."Dista, maaf, ada yang salah. Seharusnya, tadi aku katakan dulu padamu. Please, kita harus menjalankan sandiwara ini sebaik mungkin!""Saya belum mengerti!" Wanita bernama Dista itu mengernyitkan dahi."Di depan semua orang, kamu kenalkan namamu Dista Karenina,
Kening Darren mengernyit tipis mendengar pertanyaan itu. Tatapannya pada Renata semakin dalam. Sedetik kemudian, Darren tertawa lirih. Menurut Darren pertanyaan Renata tergolong aneh."Mas Darren tahu juga tentang masa lalu Mas Yuda?" ulang Renata lirih. Meskipun tidak lazim, mengorek informasi dari Darren, Renata harus cari tahu tentang masa lalu Yuda. Seseorang yang memiliki fantasi seks nyleneh, biasanya dipicu oleh masa lalu. Karena orang normal tidak mungkin menyakiti pasangannya untuk mencapai puncak kepuasan."Aku belum mengerti, Rena! Maksudmu, tentang pacar Yuda sebelum bertemu denganmu?" Renata terdiam karena bimbang. Tidak mungkin dia menceritakan aib suaminya. Lantas, wanita itu menggigit bibir gugup.Di sampingnya, Darren terkekeh pelan. Sebelah alisnya terangkat, melihat sikap aneh Renata. Darren semakin yakin, kalau rumah tangga Renata dan Yuda tidak baik-baik saja."Yuda tidak selingkuh, kan?" canda Darren karena Renata masih diam. "Ha ha ha, aku cuma becanda, Rena!
"Rena, apa yang kamu bicarakan?""Kenapa kamu selalu kasar dan tidak ingin punya anak? Beri tahu aku alasan yang bisa kuterima!"Pertanyaan di luar perkiraan itu, sukses membuat Yuda termangu. Tatapannya berubah sendu, tetapi menyimpan teka teki. "Apa kamu tidak ingin cerita sesuatu, Mas? Mungkin kita butuh ke dokter! Aku yakin, kamu bisa berubah, Mas!"Tatapan sendu Yuda berubah tajam. "Tidak! Apa kamu pikir aku gila?"Yuda melengos, menghindari tatapan Renata. Dia enggan mengungkit masa lalu dan tidak tertarik membahasnya. Terdengar dengusan kecewa dari bibir mungil Renata. Jika Yuda sudah berkata begitu, apa yang diharapkan? Seumur hidup, Renata harus pasrah menerima siksaan."Baiklah, aku tidak memaksamu, Mas!" Renata memunggungi Yuda, lalu menggigit jari menahan luapan sedih."Apa kamu tidak mau menerima kekuranganku, Rena? Bukannya pernikahan itu harus saling menerima kekurangan pasangan?"Ucapan tanpa rasa bersalah itu, seolah menegaskan, Renata harus siap menanggung siksa seu
Renata langsung menatap Darren yang mengulurkan handphone padanya. Namun, tatapan Yuda justru tertuju ke lengan atas kemeja putih Darren."Ini ponselmu!" Darren mengulurkan handphone Renata.Dengan gerakan kaku, Renata menerima benda pipih itu. "Terima kasih, Mas!" "Tidak apa-apa. Hei, Bro!" Darren langsung menyapa Yuda. Namun, Yuda masih menatapnya datar. "Kenapa handphone Rena ada sama kamu?" selidiknya.Renata langsung menggigit bibir takut. Dia tidak berani menatap Yuda maupun Darren. Darren tersenyum sekilas, sambil mengusap tengkuknya."Oh, tadi kami berpapasan di depan toilet. Sepertinya, Rena buru-buru, sampai handphonenya jatuh!"Mata Yuda menyipit semakin curiga. Lalu, pandangannya kembali berhenti pada lengan atas Darren. Kemeja putih itu ternoda lipstick. Darren menunduk mengikuti arah pandangan Yuda. Dia baru menyadarinya, lalu menatap sekilas pada Renata yang masih mematung.Darren menelan ludah. Ternyata, pelukan tidak disengaja tadi meninggalkan bekas di sana. Senyum
"Apa kamu dengar, Rena?" Yuda memastikan, karena Renata tidak kunjung menjawab.Renata hanya mengangguk. "Iya, Mas. Maaf!"Yuda menarik jemari tangan Renata ke dalam genggaman. Sebelah tangannya memegang setir. Renata hanya diam, tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Bahkan, sampai di rumah, mereka tidak lagi membahas perihal Darren. Sebenarnya, Renata keberatan dengan sikap over Yuda. Namun, menjelaskan pada laki-laki itu, sama saja mengundang perbuatan kasar Yuda.Entah apa yang ada di benak Yuda. Setiap kali istrinya diperhatikan laki-laki lain, dia selalu menunjukkan sikap posesif. Bahkan, rasa tidak suka Yuda dibawa dalam setiap hubungan intim. Selalu saja ada alasan Yuda untuk menyakiti Renata di saat seharusnya romantis itu. Berulang kali, Renata menarik napas lelah. Dia meraba dadanya yang masih tampak jelas bekas tanda kepemilikan Yuda.Tangan Renata bergerak pelan, dan berhenti di perut. Matanya terpejam, ketika ingat penolakan Yuda atas kehadiran anak. Setidaknya untuk saa







