“So, what can i do, Alea? Gimana kalo sampai aku cerai nanti, Papa kamu makin nggak setuju kamu nikahnya sama duda yang nggak jelas asal usulnya?”
“Kita kawin lari aja, Mas.”
“Lah, kalo akhirnya kawin lari juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja, Alea?”
“Kemarin-kemarin aku masih ngarep Papa kasian liat aku terus ngasih restu.”
“Terus sekarang?”
“Sekarang aku takut kamu bener-bener ninggalin aku. Aku takut kamu bener-bener serius dengan pernikahanmu. Aku takut kamu nyentuh Dinara.”
Aris tertawa nyaring. “Yang terakhir aku nggak janji, Al.”
“Mas!!!”
Tawa Aris semakin menjadi.
“Alea ....”
“Iya.”
“Nanti kalo Papa kamu tetap nggak ngasih restu, gimana kalo aku hamilin kamu aja?”
Tak ada jawaban dari sana, sebab cara Aris berbicara membuat seluruh tubuh Alea gemetar. Dia menginginkan pria di layar ponselnya ini.
“Udah dulu, Mas. Aku mau tidur. Sampai ketemu besok.”
“Hmm, besok pagi bangunin ya, Al. Aku pasti kesiangan lagi besok.”
“Kenapa kesiangan.”
“Karena malam ini pasti mimpiin kamu lagi.”
“Ck!”
“Di mimpiku kita udah sering ngapa-ngapain loh, Alea. Kamu nggak kepingin gitu mewujudkan mimpiku?”
“Udah ah, Mas. Bye!”
Aris tertawa melihat kekasihnya salah tingkah.
***
Menikahi gadis berusia dua puluh tahun, lalu semua hidup Dinara menjadi tanggung jawabnya membuat Aris kewalahan. Aris yang sejak kuliah sudah tinggal sendiri dan bebas di apartemen dengan fasilitas mewah dari Oma Lili tentu saja harus bersusah payah menyesuaikan diri dengan kehidupannya kini. Jika dulunya dia bebas melakukan apa saja dan bebas memilih kegiatan apa yang disukai, kini hidupnya harus berkutat dengan aturan-aturan main perusahaan, juga tak bisa bebas lagi karena haru mengurus hidup Dinara.
Aris Hermawan memang tumbuh besar di keluarga kaya raya, tetapi ia yang hanya merupakan anak adopsi tentu saja tetaplah berbeda dengan abangnya, Aldo. Jika Ardi selalu dibiarkan besan melakukan apa saja, maka tidak demikian dengan Aldo. Kakak angkat yang sejak kecil dekat sekali dengannya itu tentu saja sudah dipersiapkan dari awal untuk mewarisi Tulip Corp. Maka selama tumbuh bersama, Aris sudah menyaksikan bagaimana kakunya kehidupan Aldo yang membawa nama besar Tulip di pundaknya.
Kini semua kekakuan hidup Aldo itu terpaksa dirasakan juga oleh Aris, setelah ia menggantikan posisi Aldo sepeninggal kakak angkatnya itu.
“Mana kunci mobilku?” Aris masih berkutat dengan laptopnya ketika Dinara datang menghampiri.
“Kamu nggak boleh bawa mobil dulu,” jawabnya santai.
“Nggak boleh gimana, Om?! Hari ini kegiatan aku padat. Ada bakti sosial di sekolah sekolah dan aku perlu bawa mobil sendiri!” Dinara hampir berteriak.
Aris menutup laptopnya lalu melepas kaca mata.
“Kuantar ke kampus pagi ini. Nanti Pras nyusul ke sana dan kamu bisa nyuruh dia ngantar ke mana saja aktifitasmu hari ini.” Aris berdiri, merapikan diri sejenak di depan cermin lalu meraih tas kerjanya. “Ayo,” ajaknya.
“Nggak! Nara nggak mau! Nara mau bawa mobil Nara sendiri! Mana kunci mobilku?” Gadis dengan setelan kemeja dan celana jeans itu menghalangi langkah Aris.
“Setelah kamu ngelanggar peraturan kemarin, sekarang mau seenaknya gitu bawa mobil? Kamu mau liat Oma jantungan, hah?”
Kemarin Dinara memang terlibat insiden kecil saat mengendarai mobilnya. Hanya sebiah insiden kecil sebenarnya, karena mobil Dinara menabrak pohon saat berusaha menghindari kucing yang tiba-tiba saja berlari menyeberang jalan. Bumper depan mobilnya pun hanya terlihat tergores sedikit dan Dinara juga baik-baik saja. Akan tetapi, lokasi insiden Dinara kemarin lah yang membuat Aris melarangnya membawa mobil hari ini. Insiden itu terjadi di daerah puncak, sementara Dinara meminta izin untuk berangkat ke kampus hari ini. Parahnya lagi, setelah Aris mencari tahu, ia mendapat kabar bahwa hari itu Dinara sama sekali tak muncul di kampus dan melewatkan pelajarannya.
“Nara janji akan hati-hati.” Dinara masih memelas.
Aris menghela napas berat. Ini bukan pertama kalinya ia terlibat perdebatan seperti ini dengan istri muda belianya itu. Dinara benar-benar menjadikan hari-hari Aris selalu penuh masalah, otaknya menjadi penuh dengan urusan perusahaan lalu diganggu lagi dengan urusan Dinara yang manja dan selalu ingin menang sendiri.
“Kamu itu kalo dikasih tau didengarin, Nara! Kamu pikir aku nggak pusing ngurusin kantor terus ngurusin kamu lagi!”
Dinaras menoleh dengan sinis. “Yang nyuruh Om ngurusin perusahaan itu Oma, bukan Nara. Kenapa Nara yang kena getahnya? Lagian siapa juga yang minta Om ngurusin Nara? Nggak usah peduliin Nara, urus aja urusan Om Aris sendiri. Sekarang mana kunci mobil Nara?”
Gadis keras kepala itu membongkar laci meja rias, menghambur apa pun yang ada di sana demi menemukan kunci mobilnya, beberapa barang yang jatuh berserakan di lantai membuat Aris semakin meradang.
“Hentikan, Nara!” Aris mencengkram tangan Dinara agar berhenti mengobrak-abrik laci. “Hentikan dan rapikan kembali barang-barang itu!” katanya lagi sambil menunjuk barang yang berserak di lantai karena perbuatan Dinara.
“Mana kunci mobilku?!”
Dada Aris kembang kempis, bukan saja karena menahan amarahnya akibat perlawanan Dinara, tetapi juga karena gadis yang sedang dicengkramnya itu kini berdiri di hadapannya dengan dua buah kancing kemeja yang terbuka. Mungkin karena bergerak kasar membongkar laci tadi, kancing baju Dinara terbuka dengan sendirinya di bagian atas dan menampakkan dada putih mulus gadis itu yang menantang.
“Kamu bereskan kekacauan ini atau hukumanmu kutambah. Bukan saja nggak boleh bawa mobil tapi nggak boleh keluar rumah selama sebulan. Tinggal pilih mau yang mana.”
Dinara menatap tajam pada pria itu. “Om nggak bisa seenaknya ngatur-ngatur hidup Nara.”
“Aku berhak, aku suamimu, Nara.”
Tawa Dinara berderai. “Suami? Selain akad nikah, apa ada satu saja momen yang layak menjadikan Om suami Nara? Kita bahkan nggak tidur seranjang, Om! Dan Om masih mau memanfaatkan status suami untuk mengekang Nara? Nara nggak mau diatur!”
Di depan Aris, Dinara masih saja memamerkan tawanya. Tawa yang berisi ucapan meremehkan pria yang sedang menggunakan kuasanya sebagai suami itu. Akan tetapi, bagi Aris tawa Dinara justru mengundang rasa penasarannya. Matanya tertuju pada bibir mungil berwarna merah menyala milik Dinara yang sedang menertawakannya. Bibir yang tiba-tiba saja terlihat seksi di mata Aris. Jakun pria itu bergerak naik turun memperhatikan gadis di depannya.
Beberapa hari ini, hubungan Aris dengan Alea memang sedang dingin. Alea marah dan merajuk ketika berkali-kali Aris tak menepati janjinya demi urusan Dinara. Meninggalkannya di meja makan saat mereka sedang makan berdua, meninggalkan ruang meeeting begitu saja saat urusan Dinara memanggil, atau meninggalkan Alea di apartemennya ketika sepasang sejoli itu sedang melepas rindu. Alea beberapa hari ini memberi jarak karena kecewa padanya. Lalu sekarang, seorang gadis sedang berdiri menantang di hadapannya dengan dada yang sebagian terbuka dan menantang, juga dengan bibir merah yang mengusik naluri lelakinya.
Dan gadis itu adalah istrinya. Wanita yang seharusnya sudah disentuh seluruhnya jika saja pernikahan keduanya adalah hubungan perikahan yang normal. Sementara di sisi lain, harga dirinya sebagai suami seolah sedang dipermainkan oleh Dinara ketika gadis itu sama sekali tak menampakkan rasa hormat padanya, atau menuruti peraturan yang dibuatnya.
Harga diri dan hasrat lelaki yang menyeruak membuat Aris tak ingin berpikir panjang lagi. Pria itu mendorong Dinara yang terlihat heran dengan perlakuan lelaki yang dipanggilnya Om. Tubuh Dinara mundur oleh desakan Aris hingga punggungnya menyentuh dinding.
Lalu mata gadis itu terbelalak ketika merasakan sebuah benda kenyal menyentuh dan melumat bibirnya.
‘Om Aris menciumku!’ Itu yang ada di kepala Dinara. Ia ingin berontak tetapi kakinya terasa lemas tak bertulang oleh perlakuan tiba-tiba Aris padanya.
Sementara Aris memejamkan mata menikmati lembutnya bibir mungil Dinara, membiarkan hasratnya berbicara karena ia pun tak menyangka akan mencium bibir keponakannya sendiri. Ia baru melepaskan Dinara ketika gadis itu nyaris kehabisan oksigen.
Aris masih mengatur napasnya menikmati sisa-sia kenikmatan bibir Dinara yang baru saja disesapnya. Namun tangannya segera bergerak cepat saat gadis yang baru saja menerima serangan ciuman darinya terlihat lemas dan nyaris ambruk.
“Nara!”
Mata Aris menatap heran melihat wajah Dinara yang merah padam. “Pipimu panas,” katanya.
Dinara sendiri tak mampu berkata-kata dan hanya berusaha bertahan untuk tetap berdiri, tentu saja dengan sanggahan lengan Aris. Hingga kemudian Aris baru menyadari satu hal pada diri gadis itu.
“Your first kiss?” tanya Aris ragu-ragu.
Bersambung.
Rasanya ada kupu-kupu yang tengah beterbangan di perut Dinara, gadis itu masih berusaha bertahan meski seluruh tulangnya terasa lemah.“Your first kiss?”Lalu saat gadis itu mendengar pertanyaan Aris dengan gumaman, dia baru menyadari bahwa pria yang tengah menyanggah tubuhnya itu telah mencuri ciuman darinya, mencuri ciuman pertamanya. Sudut mata Dinara tiba-tiba saja basah oleh bening yang menetes.“Om jahat.” Ia ingin berteriak, tetapi yang keluar hanya serupa gumaman. Dalam benak gadis itu, pria di hadapannya kini seperti maling, maling yang mencuri ciuman darinya.Aris tertegun, bahasa tubuh Dinara, pipi gadis itu yang terlihat merah dan terasa panas, kaki Dinara yang tiba-tiba saja lemas sehingga harus dibantunya agar gadis itu tetap berdiri, lalu sekarang tangis tertahan Dinara saat mengatakan dirinya jahat, membuat Aris sedikit menyesali tindakannya pagi ini.“Ehm ... maaf, Nara. Om nggak tau kalo kamu ... ehm ... Om pikir Nara udah terbiasa dengan ....” Pria yang sudah rapi d
Sepeninggal Dinara, Aris masih memilih diam di dalam mobilnya. Pria itu memperhatikan langkah Dinara hingga punggung gadis itu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain. Pagi ini, setelah sekian lama pernikahan, Aris baru menyadari bahwa Dinara bukanlah gadis nakal seperti yang dipikirkannya selama ini. Hal itu terbukti dengan keluguan gadis itu saat menghadapi ciumannya tadi, juga terbukti dari pengakuan Dinara bahwa ia adalah pria yang pertama kali menciumnya.Ada senyum tipis yang tergambar di bibir Aris, setidaknya ia tak terlalu merasa bersalah pada kakak angkatnya mengenai Dinara yang selama ini dikiranya gadis liar. Selama ini, Aris hanya mengenal Dinara sebagai gadis yang nakal, keras kepala dan susah diatur. Beberapa kali ia bahkan harus menjemput Dinara bersama teman-temannya di area balap liar, lalu terakhir mendapatkan laporan bahwa Dinara menabrak pohon di daerah puncak. Maka yang ada di kepala Aris selama ini, Dinara adalah gadis yang pergaulannya sudah melampaui bat
Hanya mengenakan handuk putih menutupi tubuh bagian bawahnya, Aris melenggang santai keluar dari kamar. Menyeberangi ruang tengah di mana Alea duduk menunggunya di sana menuju ke kitchen set yang menjadi penghubung dapur dan ruang tengah. Pria itu akhirnya memilih mandi di apartemennya demi menghindari pertengkaran lebih jauh lagi dengan Alea mengenai aroma parfum Dinara yang tersisa di kemejanya.“Ada apa, Sayang?” Alis Aris bertaut ketika melihat wajah tegang Alea yang duduk di sofa.“Maaf, Mas. Aku keliru ngirim dokumen ke klien kita tadi.” Alea menoleh mencari sumber suara, lalu tertegun sejenak melihat kekasihnya di sana berdiri di depan kitchen set hanya mengenakan handuk. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.“Dokumen apa?”“Dokumen kontrak yang harusnya dikirim ke Kata Karya, ternyata kukirim ke PT. Totally, Mas. Dan ini pihak Totally komplain karena udah melewati deadline mereka.” “Ya udah. Kirim balik aja, dan bilang ada kesalahan teknis.”Alea kembali melirik kekasihn
Hari ini benar-benar kacau bagi Aris. Setelah pagi tadi dia mencuri ciuman dari Dinara yang sangat jelas menampakkan wajah kecewanya, sekarang ia harus kembali menerima tatapan kecewa bahkan air mata dari Alea karene kenekatannya. Sebenarnya Aris sudah paham siapa Alea, berulang kali sudah ia menerima penolakan dari gadis itu. Bahkan suatu waktu, Alea pernah memilih menjauh darinya setelah ia memaksa ingin memiliki kekasihnya itu. Sebelum kemudian Alea memaafkan dan menerimanya kembali saat Aris berjanji tak akan melakukannya lagi.Akan tetapi, keadaannya pagi ini benar-benar membuat Aris lupa akan janjinya. Setelah menatap tubuh Dinara dengan dua buah kancing yang terbuka tadi, setelah menikmati kelembutan dan getaran dari bibir istri belianya itu, Aris selalu membayangkan Alea-nya. Alea yang membuatnya tergila-gila, Alea yang membuatnya rela menunggu restu kedua orang tua gadis itu, juga Alea yang membuatnya bersabar menjalani kehidupan normal, tak lagi menganut pergaulan bebas yang
Sepasang kekasih itu masih menghabiskan waktu satu jam di apartemen Aris, membahas apa saja, berciuman sampai puas, lalu saling menyentuh dengan keinginan yang meletup-letup. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, meski benteng terakhir Alea masih berdiri kokoh dan tak mampu dirobohkan Aris.Aris tersenyum puas untuk kesekian kalinya setelah menyesap bibir sang kekasih. Harus diakuinya Alea pun sudah semakin berani saat dia menyentuhkan bibirnya, dan tentu saja itu semua dipelajari Alea sejak menjalin hubungan dengan Aris.Sama seperti Dinara, dulu dia pula lah yang pertama kali mencium bibir gadis itu. Bedanya, Aris melakukannya pada Alea dulu atas persetujuan gadis itu, sementara ia melakukannya pada Dinara dengan paksaan.“Kenapa, Mas?” Alea bertanya saat melihat gelengan kepala Aris. Sementara di kepala lelaki itu tiba-tiba saja melintas bagaimana ia mencium bibir mungil keponakannya tadi.“Manis.” Aris menggumam membayangkan manisnya bibir Dinara tadi, sementara Alea tersenyum malu-
Rumah yang menjadi tujuan Aris tak kalah mewahnya dengan rumah orang tua Dinara yang kini juga menjadi tempat tinggal Aris. Beberapa mobil mewah terlihat berjejer di sana saat Aris tiba.“Om Aris?” Seorang gadis datang menghampiri saat Aris tiba di sana.“Ya.” Aris menjawab tegas.“Sa-saya Novi, Om. Temannya Nara.”Aris memindai gadis yang mengaku bernama Novi itu dari atas hingga ke bawah. Selain penampilannya dengan rok mini di atas lutut, tak ada yang aneh pada diri gadis itu. “Ini rumah siapa?” Aris menunjuk ke arah rumah mewah.“Rumah ... rumah Kenzo, Om.” Novi terbata-bata.“Kenzo?” Alis pria itu bertaut, seperti mengingat-ingat sesuatu. Hingga akhirnya ia teringat nama itu, nama yang disebut Dinara sebagai pacarnya.“Kenapa Nara bisa ada di sini?” tanya Aris lagi.Lalu mengalirlah cerita dari bibir Novi tentang Dinara yang beberapa hari ini bertengkar hebat dengan pacarnya. Pertengkaran yang menurut Novi akhirnya menyebabkan Kenzo meminta putus.“Beberapa hari ini Nara frustasi
“Dasar penipu!”“Kamu emang jalang!”“Mau menipuku tapi ketahuan, kan?“Seleramu Om Om seperti ini Nara?”“Pantas aja selama ini nggak mau diajak ciuman, nggak mau diapa-apain. Rupanya seleramu yang udah tua gini, ya?”“Kamu dapat bayaran berapa dari Om Om ini?”Aris tak memedulikan Kenzo yang terus menerus mengumpati Dinara, pacar yang hampir saja dinodainya. Pria itu hanya berkonsentrasi mengurus Dinara yang terlihat lemah. Aris mengedarkan pandang, mencari-cari pakaian Dinara kalau saja tergeletak di lantai tetapi tak menemukannya.“Mana pakaian Nara?!” tanyanya dengan nada kasar setelah tak menemukan pakaian berserakan di lantai.“Cari aja di luar. Tadi aku maunya di luar, tapi Nara maunya di kamar.”Cih! Bocah! Aris menoleh dengan marah. Ia kembali melirik Dinara, tak mungkin meninggalkan gadis itu di sini sementara ia mencari pakaian Dinara di luar. Maka saat matanya melihat sehelai selimut yang menumpuk kusut di sudut ranjang, Aris memutuskan untuk memakaikan selimut itu untuk
Hari-hari yang selalu terasa menantang bagi Aris karena hingga kini ia belum mampu meruntuhkan benteng pertahanan gadis itu. Alea yang dicintainya memang berbeda dengan pacar-pacarnya terdahulu yang selalu mudah luluh padanya.Dan malam ini ia terkurung di dalam mobil masih dalam balutan pakaian kerja, mendengarkan desahan demi desahan Dinara di kursi belakang, juga tangisan iba Novi yang membuat kepala Aris rasanya seperi mau pecah saja.“Rumah kamu di mana, Novi?” Tiba-tiba saja sebuah ide melintas di kepala Aris. Mungkin akan lebih baik membawa Dinara ke rumah Novi. Sahabatnya itu pasti akan menjaga dan menemani Dinara hingga pengaruh obat dan minuman pada tubuh Dinara hilang. Dan ia tak perlu frustasi mendengar desahan-desahan Dinara sepanjang malam ini.“Rumah saya di Citra Indah, Om.” Novi menyebutkan alamatnya.“Di mana itu? Aku nggak pernah dengar.”Novi kembali menjelaskan alamat lengkapnya. Alis Aris bertaut sempurna mendengarkan Novi menyebut dan menjelaskan alamat. Itu ada