Share

Bab 4

So, what can i do, Alea? Gimana kalo sampai aku cerai nanti, Papa kamu makin nggak setuju kamu nikahnya sama duda yang nggak jelas asal usulnya?”

“Kita kawin lari aja, Mas.”

“Lah, kalo akhirnya kawin lari juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja, Alea?”

“Kemarin-kemarin aku masih ngarep Papa kasian liat aku terus ngasih restu.”

“Terus sekarang?”

“Sekarang aku takut kamu bener-bener ninggalin aku. Aku takut kamu bener-bener serius dengan pernikahanmu. Aku takut kamu nyentuh Dinara.”

Aris tertawa nyaring. “Yang terakhir aku nggak janji, Al.”

“Mas!!!”

Tawa Aris semakin menjadi.

“Alea ....”

“Iya.”

“Nanti kalo Papa kamu tetap nggak ngasih restu, gimana kalo aku hamilin kamu aja?”

Tak ada jawaban dari sana, sebab cara Aris berbicara membuat seluruh tubuh Alea gemetar. Dia menginginkan pria di layar ponselnya ini.

“Udah dulu, Mas. Aku mau tidur. Sampai ketemu besok.”

“Hmm, besok pagi bangunin ya, Al. Aku pasti kesiangan lagi besok.”

“Kenapa kesiangan.”

“Karena malam ini pasti mimpiin kamu lagi.”

“Ck!”

“Di mimpiku kita udah sering ngapa-ngapain loh, Alea. Kamu nggak kepingin gitu mewujudkan mimpiku?”

“Udah ah, Mas. Bye!”

Aris tertawa melihat kekasihnya salah tingkah.

***

Menikahi gadis berusia dua puluh tahun, lalu semua hidup Dinara menjadi tanggung jawabnya membuat Aris kewalahan. Aris yang sejak kuliah sudah tinggal sendiri dan bebas di apartemen dengan fasilitas mewah dari Oma Lili tentu saja harus bersusah payah menyesuaikan diri dengan kehidupannya kini. Jika dulunya dia bebas melakukan apa saja dan bebas memilih kegiatan apa yang disukai, kini hidupnya harus berkutat dengan aturan-aturan main perusahaan, juga tak bisa bebas lagi karena haru mengurus hidup Dinara.

Aris Hermawan memang tumbuh besar di keluarga kaya raya, tetapi ia yang hanya merupakan anak adopsi tentu saja tetaplah berbeda dengan abangnya, Aldo. Jika Ardi selalu dibiarkan besan melakukan apa saja, maka tidak demikian dengan Aldo. Kakak angkat yang sejak kecil dekat sekali dengannya itu tentu saja sudah dipersiapkan dari awal untuk mewarisi Tulip Corp. Maka selama tumbuh bersama, Aris sudah menyaksikan bagaimana kakunya kehidupan Aldo yang membawa nama besar Tulip di pundaknya.

Kini semua kekakuan hidup Aldo itu terpaksa dirasakan juga oleh Aris, setelah ia menggantikan posisi Aldo sepeninggal kakak angkatnya itu.

“Mana kunci mobilku?” Aris masih berkutat dengan laptopnya ketika Dinara datang menghampiri.

“Kamu nggak boleh bawa mobil dulu,” jawabnya santai.

“Nggak boleh gimana, Om?! Hari ini kegiatan aku padat. Ada bakti sosial di sekolah sekolah dan aku perlu bawa mobil sendiri!” Dinara hampir berteriak.

Aris menutup laptopnya lalu melepas kaca mata.

“Kuantar ke kampus pagi ini. Nanti Pras nyusul ke sana dan kamu bisa nyuruh dia ngantar ke mana saja aktifitasmu hari ini.” Aris berdiri, merapikan diri sejenak di depan cermin lalu meraih tas kerjanya. “Ayo,” ajaknya.

“Nggak! Nara nggak mau! Nara mau bawa mobil Nara sendiri! Mana kunci mobilku?” Gadis dengan setelan kemeja dan celana jeans itu menghalangi langkah Aris.

“Setelah kamu ngelanggar peraturan kemarin, sekarang mau seenaknya gitu bawa mobil? Kamu mau liat Oma jantungan, hah?”

Kemarin Dinara memang terlibat insiden kecil saat mengendarai mobilnya. Hanya sebiah insiden kecil sebenarnya, karena mobil Dinara menabrak pohon saat berusaha menghindari kucing yang tiba-tiba saja berlari menyeberang jalan. Bumper depan mobilnya pun hanya terlihat tergores sedikit dan Dinara juga baik-baik saja. Akan tetapi, lokasi insiden Dinara kemarin lah yang membuat Aris melarangnya membawa mobil hari ini. Insiden itu terjadi di daerah puncak, sementara Dinara meminta izin untuk berangkat ke kampus hari ini. Parahnya lagi, setelah Aris mencari tahu, ia mendapat kabar bahwa hari itu Dinara sama sekali tak muncul di kampus dan melewatkan pelajarannya.

“Nara janji akan hati-hati.” Dinara masih memelas.

Aris menghela napas berat. Ini bukan pertama kalinya ia terlibat perdebatan seperti ini dengan istri muda belianya itu. Dinara benar-benar menjadikan hari-hari Aris selalu penuh masalah, otaknya menjadi penuh dengan urusan perusahaan lalu diganggu lagi dengan urusan Dinara yang manja dan selalu ingin menang sendiri.

“Kamu itu kalo dikasih tau didengarin, Nara! Kamu pikir aku nggak pusing ngurusin kantor terus ngurusin kamu lagi!”

Dinaras menoleh dengan sinis. “Yang nyuruh Om ngurusin perusahaan itu Oma, bukan Nara. Kenapa Nara yang kena getahnya? Lagian siapa juga yang minta Om ngurusin Nara? Nggak usah peduliin Nara, urus aja urusan Om Aris sendiri. Sekarang mana kunci mobil Nara?”

Gadis keras kepala itu membongkar laci meja rias, menghambur apa pun yang ada di sana demi menemukan kunci mobilnya, beberapa barang yang jatuh berserakan di lantai membuat Aris semakin meradang.

“Hentikan, Nara!” Aris mencengkram tangan Dinara agar berhenti mengobrak-abrik laci. “Hentikan dan rapikan kembali barang-barang itu!” katanya lagi sambil menunjuk barang yang berserak di lantai karena perbuatan Dinara.

“Mana kunci mobilku?!”

Dada Aris kembang kempis, bukan saja karena menahan amarahnya akibat perlawanan Dinara, tetapi juga karena gadis yang sedang dicengkramnya itu kini berdiri di hadapannya dengan dua buah kancing kemeja yang terbuka. Mungkin karena bergerak kasar membongkar laci tadi, kancing baju Dinara terbuka dengan sendirinya di bagian atas dan menampakkan dada putih mulus gadis itu yang menantang.

“Kamu bereskan kekacauan ini atau hukumanmu kutambah. Bukan saja nggak boleh bawa mobil tapi nggak boleh keluar rumah selama sebulan. Tinggal pilih mau yang mana.”

Dinara menatap tajam pada pria itu. “Om nggak bisa seenaknya ngatur-ngatur hidup Nara.”

“Aku berhak, aku suamimu, Nara.”

Tawa Dinara berderai. “Suami? Selain akad nikah, apa ada satu saja momen yang layak menjadikan Om suami Nara? Kita bahkan nggak tidur seranjang, Om! Dan Om masih mau memanfaatkan status suami untuk mengekang Nara? Nara nggak mau diatur!”

Di depan Aris, Dinara masih saja memamerkan tawanya. Tawa yang berisi ucapan meremehkan pria yang sedang menggunakan kuasanya sebagai suami itu. Akan tetapi, bagi Aris tawa Dinara justru mengundang rasa penasarannya. Matanya tertuju pada bibir mungil berwarna merah menyala milik Dinara yang sedang menertawakannya. Bibir yang tiba-tiba saja terlihat seksi di mata Aris. Jakun pria itu bergerak naik turun memperhatikan gadis di depannya.

Beberapa hari ini, hubungan Aris dengan Alea memang sedang dingin. Alea marah dan merajuk ketika berkali-kali Aris tak menepati janjinya demi urusan Dinara. Meninggalkannya di meja makan saat mereka sedang makan berdua, meninggalkan ruang meeeting begitu saja saat urusan Dinara memanggil, atau meninggalkan Alea di apartemennya ketika sepasang sejoli itu sedang melepas rindu. Alea beberapa hari ini memberi jarak karena kecewa padanya. Lalu sekarang, seorang gadis sedang berdiri menantang di hadapannya dengan dada yang sebagian terbuka dan menantang, juga dengan bibir merah yang mengusik naluri lelakinya.

Dan gadis itu adalah istrinya. Wanita yang seharusnya sudah disentuh seluruhnya jika saja pernikahan keduanya adalah hubungan perikahan yang normal. Sementara di sisi lain, harga dirinya sebagai suami seolah sedang dipermainkan oleh Dinara ketika gadis itu sama sekali tak menampakkan rasa hormat padanya, atau menuruti peraturan yang dibuatnya.

Harga diri dan hasrat lelaki yang menyeruak membuat Aris tak ingin berpikir panjang lagi. Pria itu mendorong Dinara yang terlihat heran dengan perlakuan lelaki yang dipanggilnya Om. Tubuh Dinara mundur oleh desakan Aris hingga punggungnya menyentuh dinding.

Lalu mata gadis itu terbelalak ketika merasakan sebuah benda kenyal menyentuh dan melumat bibirnya.

‘Om Aris menciumku!’ Itu yang ada di kepala Dinara. Ia ingin berontak tetapi kakinya terasa lemas tak bertulang oleh perlakuan tiba-tiba Aris padanya.

Sementara Aris memejamkan mata menikmati lembutnya bibir mungil Dinara, membiarkan hasratnya berbicara karena ia pun tak menyangka akan mencium bibir keponakannya sendiri. Ia baru melepaskan Dinara ketika gadis itu nyaris kehabisan oksigen.

Aris masih mengatur napasnya menikmati sisa-sia kenikmatan bibir Dinara yang baru saja disesapnya. Namun tangannya segera bergerak cepat saat gadis yang baru saja menerima serangan ciuman darinya terlihat lemas dan nyaris ambruk.

“Nara!”

Mata Aris menatap heran melihat wajah Dinara yang merah padam. “Pipimu panas,” katanya.

Dinara sendiri tak mampu berkata-kata dan hanya berusaha bertahan untuk tetap berdiri, tentu saja dengan sanggahan lengan Aris. Hingga kemudian Aris baru menyadari satu hal pada diri gadis itu.

Your first kiss?” tanya Aris ragu-ragu.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pargaulan Ambarita
mantap ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status