Hanya mengenakan handuk putih menutupi tubuh bagian bawahnya, Aris melenggang santai keluar dari kamar. Menyeberangi ruang tengah di mana Alea duduk menunggunya di sana menuju ke kitchen set yang menjadi penghubung dapur dan ruang tengah. Pria itu akhirnya memilih mandi di apartemennya demi menghindari pertengkaran lebih jauh lagi dengan Alea mengenai aroma parfum Dinara yang tersisa di kemejanya.“Ada apa, Sayang?” Alis Aris bertaut ketika melihat wajah tegang Alea yang duduk di sofa.“Maaf, Mas. Aku keliru ngirim dokumen ke klien kita tadi.” Alea menoleh mencari sumber suara, lalu tertegun sejenak melihat kekasihnya di sana berdiri di depan kitchen set hanya mengenakan handuk. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.“Dokumen apa?”“Dokumen kontrak yang harusnya dikirim ke Kata Karya, ternyata kukirim ke PT. Totally, Mas. Dan ini pihak Totally komplain karena udah melewati deadline mereka.” “Ya udah. Kirim balik aja, dan bilang ada kesalahan teknis.”Alea kembali melirik kekasihn
Hari ini benar-benar kacau bagi Aris. Setelah pagi tadi dia mencuri ciuman dari Dinara yang sangat jelas menampakkan wajah kecewanya, sekarang ia harus kembali menerima tatapan kecewa bahkan air mata dari Alea karene kenekatannya. Sebenarnya Aris sudah paham siapa Alea, berulang kali sudah ia menerima penolakan dari gadis itu. Bahkan suatu waktu, Alea pernah memilih menjauh darinya setelah ia memaksa ingin memiliki kekasihnya itu. Sebelum kemudian Alea memaafkan dan menerimanya kembali saat Aris berjanji tak akan melakukannya lagi.Akan tetapi, keadaannya pagi ini benar-benar membuat Aris lupa akan janjinya. Setelah menatap tubuh Dinara dengan dua buah kancing yang terbuka tadi, setelah menikmati kelembutan dan getaran dari bibir istri belianya itu, Aris selalu membayangkan Alea-nya. Alea yang membuatnya tergila-gila, Alea yang membuatnya rela menunggu restu kedua orang tua gadis itu, juga Alea yang membuatnya bersabar menjalani kehidupan normal, tak lagi menganut pergaulan bebas yang
Sepasang kekasih itu masih menghabiskan waktu satu jam di apartemen Aris, membahas apa saja, berciuman sampai puas, lalu saling menyentuh dengan keinginan yang meletup-letup. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, meski benteng terakhir Alea masih berdiri kokoh dan tak mampu dirobohkan Aris.Aris tersenyum puas untuk kesekian kalinya setelah menyesap bibir sang kekasih. Harus diakuinya Alea pun sudah semakin berani saat dia menyentuhkan bibirnya, dan tentu saja itu semua dipelajari Alea sejak menjalin hubungan dengan Aris.Sama seperti Dinara, dulu dia pula lah yang pertama kali mencium bibir gadis itu. Bedanya, Aris melakukannya pada Alea dulu atas persetujuan gadis itu, sementara ia melakukannya pada Dinara dengan paksaan.“Kenapa, Mas?” Alea bertanya saat melihat gelengan kepala Aris. Sementara di kepala lelaki itu tiba-tiba saja melintas bagaimana ia mencium bibir mungil keponakannya tadi.“Manis.” Aris menggumam membayangkan manisnya bibir Dinara tadi, sementara Alea tersenyum malu-
Rumah yang menjadi tujuan Aris tak kalah mewahnya dengan rumah orang tua Dinara yang kini juga menjadi tempat tinggal Aris. Beberapa mobil mewah terlihat berjejer di sana saat Aris tiba.“Om Aris?” Seorang gadis datang menghampiri saat Aris tiba di sana.“Ya.” Aris menjawab tegas.“Sa-saya Novi, Om. Temannya Nara.”Aris memindai gadis yang mengaku bernama Novi itu dari atas hingga ke bawah. Selain penampilannya dengan rok mini di atas lutut, tak ada yang aneh pada diri gadis itu. “Ini rumah siapa?” Aris menunjuk ke arah rumah mewah.“Rumah ... rumah Kenzo, Om.” Novi terbata-bata.“Kenzo?” Alis pria itu bertaut, seperti mengingat-ingat sesuatu. Hingga akhirnya ia teringat nama itu, nama yang disebut Dinara sebagai pacarnya.“Kenapa Nara bisa ada di sini?” tanya Aris lagi.Lalu mengalirlah cerita dari bibir Novi tentang Dinara yang beberapa hari ini bertengkar hebat dengan pacarnya. Pertengkaran yang menurut Novi akhirnya menyebabkan Kenzo meminta putus.“Beberapa hari ini Nara frustasi
“Dasar penipu!”“Kamu emang jalang!”“Mau menipuku tapi ketahuan, kan?“Seleramu Om Om seperti ini Nara?”“Pantas aja selama ini nggak mau diajak ciuman, nggak mau diapa-apain. Rupanya seleramu yang udah tua gini, ya?”“Kamu dapat bayaran berapa dari Om Om ini?”Aris tak memedulikan Kenzo yang terus menerus mengumpati Dinara, pacar yang hampir saja dinodainya. Pria itu hanya berkonsentrasi mengurus Dinara yang terlihat lemah. Aris mengedarkan pandang, mencari-cari pakaian Dinara kalau saja tergeletak di lantai tetapi tak menemukannya.“Mana pakaian Nara?!” tanyanya dengan nada kasar setelah tak menemukan pakaian berserakan di lantai.“Cari aja di luar. Tadi aku maunya di luar, tapi Nara maunya di kamar.”Cih! Bocah! Aris menoleh dengan marah. Ia kembali melirik Dinara, tak mungkin meninggalkan gadis itu di sini sementara ia mencari pakaian Dinara di luar. Maka saat matanya melihat sehelai selimut yang menumpuk kusut di sudut ranjang, Aris memutuskan untuk memakaikan selimut itu untuk
Hari-hari yang selalu terasa menantang bagi Aris karena hingga kini ia belum mampu meruntuhkan benteng pertahanan gadis itu. Alea yang dicintainya memang berbeda dengan pacar-pacarnya terdahulu yang selalu mudah luluh padanya.Dan malam ini ia terkurung di dalam mobil masih dalam balutan pakaian kerja, mendengarkan desahan demi desahan Dinara di kursi belakang, juga tangisan iba Novi yang membuat kepala Aris rasanya seperi mau pecah saja.“Rumah kamu di mana, Novi?” Tiba-tiba saja sebuah ide melintas di kepala Aris. Mungkin akan lebih baik membawa Dinara ke rumah Novi. Sahabatnya itu pasti akan menjaga dan menemani Dinara hingga pengaruh obat dan minuman pada tubuh Dinara hilang. Dan ia tak perlu frustasi mendengar desahan-desahan Dinara sepanjang malam ini.“Rumah saya di Citra Indah, Om.” Novi menyebutkan alamatnya.“Di mana itu? Aku nggak pernah dengar.”Novi kembali menjelaskan alamat lengkapnya. Alis Aris bertaut sempurna mendengarkan Novi menyebut dan menjelaskan alamat. Itu ada
“M-maaf!” Bersamaan dengan Aris menarik tangannya dari dada Dinara, pintu mobilnya pun dibuka dari luar dengan wajah keki Novi di sana. “Saya nggak tau kalo ....” Gadis itu menggaruk tengkuk dan memilih menggantung kalimatnya.Dengan takut-takut, Novi menyerahkan beberapa potong pakaian pada Aris.“J-jangan di sini ya, Om,” kata Novi lagi.“Apanya yang jangan di sini?” Aris menautkan alis tak mengerti.“Itu ... itu kalo mau kayak tadi, tunggu di dalam aja. Jangan di sini. Nggak enak kalo ada tetangga yang ngeliat.”Aris baru menyadari bahwa Novi mungkin sempat melihat tangannya di dada Dinara tadi. “CK!” Pria itu berdecak kesal meski tak ingin menjelaskan apapun pada Novi. “Cepet pakein bajunya!” ujarnya lagi dengan nada memerintah.Novi mematung sesaat. Meski tak ingin terlalu menampakkan kekhawatirannya, tetapi dia sesungguhnya meragukan pria yang baru saja menjamah sahabatnya itu.‘Apa benar Om Om ini suami Dinara?’‘Mengapa pria itu tak kembali ke rumahnya saja dan justru memaksa
Novi menatap iba pada sahabat karibnya. Sudah berjam-jam ia menahan kantuk demi menjaga hingga Dinara terlelap dan tak lagi mengeluarkan suara-suara yang membuatnya merinding. Sudah berkali-kali pula napas berat Novi terhembus ketika ia merasa iba melihat wajah Dinara.Dinara, gadis yang awalnya tak pernah mengajaknya bicara dan Novi pun enggan mengenalkan diri terlebih dulu karena menyadari perbedaan status sosial mereka. Namun, sebuah kegiatan bakti sosial dari kampus keduanya terpaksa saling berinteraksi.Waktu itu ia dan Dinara serta beberapa teman lainnya bertugas untuk membagi-bagikan paket sembako ke perkampungan-perkampungan. Lalu Novi-lah yang mengusulkan kompleks perumahannya untuk dijadiakan sasaran. Waktu itu Novi mengajak Dinara ke rumahnya saat gadis kaya dan modis itu kebelet.Dan entah bagaimana caranya orang tua Novi menyambut Dinara, tetapi sejak saat itu Dinara selalu datang ke sana dengan berbagai macam alasan. Belakangan ia baru mengetahui bahwa gadis itu yatim pi