Kenyataannya, Alifa merasakan kehilangan ketika Kevin berlalu. Wanita itu memejamkan matanya, membiarkan air mata itu kembali menetes."Apa ini? Kenapa aku nggak ikhlas dia pergi? Nggak boleh! Nggak boleh!" serunya dalam hati sembari memukul kepalanya sendiri.Dia kembali menangis. Alifa membuka matanya ketika merasakan kedua tangannya dipegang erat. Laki-laki jangkung itu menatapnya dengan menyelidik."Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada datar. Lalu, tatapan matanya tertuju ke arah bouquet mawar putih yang tergeletak di atas nakas.Alifa belum sempat menyentuh benda itu. Farrel mengambil benda tersebut dan mengamatinya sesaat.["Cepat sembuh, Rabbit Kecil. Maafkan aku."] Begitu bunyi tulisan yang terselip di dalam rangkaian bunga itu."Shit!" Bersamaan dengan itu, bunga tersebut melayang tepat memasuki tempat sampah. "Jadi, dia nekad ke sini dan membuatmu menangis?" tanya Farrel dengan rahang mengeras.Alifa mengangguk pelan dan meraih tangan suaminya. "Dia hanya pamit pergi
Kevin berusaha tak terpancing. Sekarang dirinya harus profesional. Harus bisa mengesampingkan perasaannya pada Alifa. Di dalam kelas dan lingkungan kampus, Alifa adalah mahasiswinya."Selamat siang Pak Kevin," sapa Lili begitu berpapasan dengan Kevin di koridor."Siang!" Kevin membalas singkat tanpa senyum.Lili merasakan hatinya langsung mengkerut. Dia berpikir mengapa Kevin bersikap berbeda pada Alifa? Toh Lili dan Alifa sama-sama mahasiswi apalagi Alifa sudah menikah."Nggak usah bengong!" Zizi menepuk bahu Lili. Lili berjingkat kaget dan balas menepuk Zizi dan mensejajari langkah gadis itu. "Zizi, kenapa sikap Pak Kevin ke Alifa beda banget ya?" tanya Lili mulai ingin tahu.Zizi mengangkat bahunya. "Ya bedalah, Alifa dan Pak Kevin kan sahabatan sebelum Pak Kevin nikah!" jawabnya santai."Ni-nikah?" tanya Lili. Bukan hanya hatinya yang mengkerut. Bahunya juga ikut meluruh. Zizi mengangguk pelan. "Iyaa, tapi istrinya sudah meninggal. Makanya Pak Kevin balik ke sini. Biar bisa deket
Ucapan Farrel yang seolah menuduh Alifa sengaja berciuman dengan Kevin, sungguh membuat hati wanita itu terluka. Alifa langsung memalingkan wajahnya yang berembun. Dia tidak ingin bertemu pandang dengan Farrel yang masih menatapnya dengan tatapan tajam."Sejak kapan Kevin jadi dosen di sini?" tanya Farrel lirih. Alifa mengusap pelan sudut matanya. "Hampir seminggu." Alifa menjawab lirih.Farrel tersenyum miring. "Hm, ada saja caranya untuk mendekati kamu, ya? Sepertinya benar-benar nggak rela dia, kalau kamu bersamaku?" sindirnya."Aku nggak minta dia menggantikan Bu Aline!" Alifa menyahut ketus."Tapi pasti kamu senang kan, setiap kali bertemu dengannya? Sampai lupa kalau setiap saat suami kamu memikirkan keadaan istrinya?" Farrel bertanya dengan nada meninggi kemudian menggeleng pelan."Seandainya kamu nggak melihatku tadi, apa kira-kira yang terjadi? Kalian ciuman lagi?"Plak!Alifa melayangkan tamparannya ke pipi Farrel. Laki-laki itu memejamkan matanya sesaat. Lalu, Farrel menatap
"Mas boleh kan aku ikut?" rayu Alifa. Wanita itu mensejajari langkah Farrel yang seolah tidak melihat keberadaannya. "Mas, boleh ya, Mas?" ulangnya.Alifa ingin mengakhirinya. Dia yang cerewet itu tidak tahan jika didiamkan oleh Farrel walaupun laki-laki itu tetap memperhatikan dirinya.Farrel menghentikan langkah sejenak dan menatap istrinya dengan tatapan curiga. "Aku itu kerja, Fa. Kamu ikut mau ngapain? Mending kamu pulang dan tidur!" sahutnya acuh.Alifa menghentakkan kakinya ke lantai. "Pelit amat. Dikira aku itu anak kecil. Padahal cuma pengin ikut saja sekalian aku mau makan sama Zizi dan Evita." Alifa kembali menggerutu."Kalau sama Zizi mending ajak ke Cafè Biru karena Danang di sana. Nanti setelah ini aku nyusul." Farrel memberikan usulan."Aku laper Mas. Pengin makan sama kamu. Dicuekin suami itu ternyata bikin laper juga."Farrel menarik sebelah alisnya ke atas. "Hm, masa iya? Aku pikir kamu seneng aku diamkan. Biar bisa bebas."Farrel berkata santai."Iiihh ulangi terus. T
"Mas tunggu, Mas!"Alifa mempercepat langkahnya. Laki-laki itu menoleh sebentar, kemudian mengacungkan beberapa dagangannya ke arah Alifa."Mbak mau beli?" tanyanya penuh harap.Alifa masih diam. Jarak mereka hanya sekitar dua meter. Alifa meneliti penampilan laki-laki tersebut. Bodynya dan cara berjalannya...Laki-laki itu memang memakai masker dan berkacamata, juga berambut gondrong. Namun, Alifa tidak mungkin lupa akan gesture orang tersebut. Gesture orang yang bersamanya hampir tiga bulan dalam atap yang sama."Kenapa Mbak? Jadi, bagaimana? Jadi, beli nggak, kalau nggak saya keliling lagi. Permisi Mbak," laki-laki itu mengangguk samar dan kembali berlalu.Bergegas, Alifa mengikuti, lalu menarik tangan laki-laki tersebut dan melepaskan maskernya. Sedetik kemudian, dipeluknya dengan erat tubuh jangkung itu.Di sana, Novi, dan Evita ternganga. Namun, tidak bagi Zizi. Dia hanya menggaruk rambutnya melihat interaksi Alifa dan Farrel yang menyamar sebagai penjual baju. Zizi memang sudah
"Honey moon?" ulang Kevin dengan raut wajah berbeda.Zizi langsung mengangguk. Rasanya senang sekali melihat wajah Kevin berubah masam. Evita memilih diam karena dia tidak memiliki hobi bergosip seperti Zizi. "Mereka honey moon, Pak. Mungkin besok baru kembali, kalau nggak lanjut ke Bali!" Zizi menambahkan.Evita menyikut lengan sahabatnya itu. Dia menatap Kevin yang semakin menunjukkan wajah keruh. Namun, Zizi tidak peduli. Dia sengaja menyiramkan bensin di atas api. Bagi Zizi, yang terpenting Alifa dan Farrel bahagia dan dia bisa mendapatkan Danang."Oh, oke."Hanya kata itu yang keluar dari mulut Kevin. Dia menatap sekilas pada Evita yang mengangguk santun. Ucapan Zizi membuat Kevin terbakar api cemburu."Sial! Kenapa aku sakit hati mendengar Alifa honey moon?" gumamnya sambil melangkah gontai menuju kelas.Kevin memijit pelipisnya. Dia sudah berusaha menerima kenyataan jika semua tak lagi sama seperti dahulu, namun faktanya hati tak bisa selalu diajak kompromi.*Yogyakarta.Alifa
Alifa menyikut dengan kuat dada laki-laki tersebut. Doni kembali terhuyung ke belakang. "Apa kamu nggak lebih bajingan dari suamiku, Doni? Hanya laki-laki bajingan juga yang beraninya dengan perempuan. Kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan Mas Farrel!" Alifa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman mengejek."Sialan kamu, Lif. Aku nggak peduli, dia harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintainya. Itu yang aku inginkan, Lif!" Doni tersenyum miring, kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Alifa terbelalak, ketika laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mengacungkan padanya.Alifa mundur beberapa langkah dengan waspada. Tatapan matanya mengikuti pergerakan Doni. "Tolong! Tolong!" Alifa tak ingin celaka. Ada janin di rahimnya yang terlebih dahulu harus dia pikirkan. Teriakan Alifa mengundang beberapa orang mencari keberadaannya.Doni yang tak ingin dihajar massa, langsung melarikan diri. Laki-laki itu memanjat pagar dan melompat keluar dari tempat pa
"Nggak adil banget! Aku nggak mengerti apa-apa, malah menjadi sasaran. Cepat kalian lapor polisi, Mas!" seru Alifa jengkel. Farrel mengangguk tegas, kemudian mengusap-usap bahu istrinya untuk menenangkan. "Iya, Sayang. Kami pasti lapor polisi. Aku harus bertemu Mas Bintang dulu," ucapnya pelan.Alifa mengangguk lemah. Berkali-kali dia mendengus kasar. Menyesalkan kejadian yang hampir mencelakai diri dan calon bayi mereka. Alifa juga merasakan, semenjak menikah selalu ada saja cobaan dalam rumah tangga mereka. "Gini, Lif. Kalau malam pas Gundul ngelatih, kamu jangan di rumah sendirian. Lebih aman kalau kamu di rumah Budhe Halimah atau di rumah Pak Bintang." Danang memberikan saran. Dia juga merasa kasihan pada Alifa yang menjadi sasaran Doni.Alifa mengangguk sekali lagi. "Berasa aku istri seorang buronan saja kalau kayak gini. Mas, Mas. Makanya, kalau punya teman itu pilih-pilih lah. Pemakai narkoba dijadikan teman. Ngrepotin hidup saja!" gerutunya jengkel."Iyaa, paham. Lagian, seka