Share

Bab 3 : Malam Yang Menyakitkan

Ba'da maghrib, ijab kabul sederhana kami yang diadakan di masjid dekat rumah Mas Ifan berjalan dengan lancar tanpa kendala. Setelah menyelesaikan proses demi proses, kami melaksanakan salat Isya berjamaah sebelum akhirnya aku, Mas Ifan, dan Mbak Riska kembali ke rumah yang ditempati mereka. Rumah yang lumayan besar untuk kami tempati bertiga.

Ah ... bertiga? Dadaku tiba-tiba sesak memikirkannya.

"Tika, sudah sampai. Ini rumah kita," ucap Mbak Riska membuyarkan lamunanku.

"Ehm, iya, Mbak,"  jawabku kaget.

Kami segera keluar dari mobil dan berjalan ke arah teras.

Jantungku berdegub kencang saat melihat pemandangan di depanku. Mas Ifan menggendong Mbak Riska turun dari mobil dan mendudukkannya di kursi roda. Ya Allah, sanggupkah aku? Pemandangan seperti inilah yang akan aku lihat setiap hari nanti.

Mampukan aku, ya Rabb, doaku dalam hati.

Pintu dibuka.

"Masuklah, Tika. Ini juga rumahmu sekarang," ucap Mas Ifan.

"Ehm ...." Aku hanya bisa mengangguk.

"Kamu pasti capek, Tik. Kamarmu di sebelah sana," ucap Mbak Riska sambil menunjuk sebuah pintu kamar yang menghadap ke ruang keluarga.

"Ayo aku antar."

"Iya, Mbak."

Aku berjalan di samping kursi rodanya yang di dorong oleh Bi Ani, sementara Mas Ifan mengikuti di belakang kami. Mbak Riska membukakan pintu kamar.

"Masuklah, Tik," katanya lagi. Aku terdiam beberapa saat melihat seluruh isi kamar. Penuh dengan nuansa biru muda. Mulai dari dinding kamar, sprei, gorden jendela, dan lemari pakaian. Hanya meja rias yang berwarna putih terang. Namun, tetap ada vas bunga  warna biru muda di atasnya. Hhm, Mbak Riska masih ingat, kalau aku memang suka dengan warna ini, gumamku dalam hati.

"Tika, kamu istirahat, ya. Saya antar Riska ke kamarnya dulu," pamit Mas Ifan sambil mendorong kursi roda ke arah kamar Mbak Riska, ehm, bukan! Kamar tidur mereka. Yaah, itu lebih tepat. Aku tersenyum getir.

Setelah membersihkan badan, aku segera mengganti pakaian yang kugunakan untuk ijab kabul. Pakaian sederhana yang jauh berbeda dari apa yang kuimpikan selama ini. Aku menarik napas panjang. Untung saja tadi sudah melaksanakan salat Isya berjamaah di masjid, karena aku benar-benar mengantuk saat ini.

Aku duduk di samping ranjang, rasanya ingin segera tidur saja tapi tiba-tiba merasa sangat haus.

Kuputar perlahan gagang pintu kamar, menolehkan kepala ke kanan dan kiri mencari di mana letak dapur rumah ini. Aku berjalan perlahan melintasi ruang keluarga saat hampir sampai di pintu dapur, langkahku terhenti.

Terdengar seseorang sedang menangis dari arah dapur.

"Pergilah, Mas. Tika pasti menunggumu. Aku tidak apa-apa." Suara Mbak Riska terdengar sedang menangis. Kuberanikan diri untuk mengintip.

Kulihat mereka sedang berpelukan.

Membalikkan badan dan hendak pergi karena tak sanggup melihat pemandangan ini, tapi langkahku terhenti mendengar perkataan Mas Ifan.

"Ini sulit bagiku, Ris," ucap Mas Ifan.

"Ini juga sulit bagiku, Mas," jawab Mbak Riska.

"Jika ini sulit, lalu mengapa kau menginginkan hal ini?" tanya Mas Ifan.

"Karena aku mencintaimu, Mas," jawab Mbak Riska.

"Aku tahu, aku tak akan bertahan. Dan sepeninggalku aku tak ingin kau terus hidup sendiri. Sebelum aku pergi, aku ingin memastikan kau mendapat pengganti yang lebih baik dariku, dan aku yakin Tika lah orangnya."

"Kau tidak akan ke mana-mana, Ris. Kau akan baik baik saja," ucap Mas Ifan sambil memandang lekat wajah Mbak Riska.

Perih itu lagi. Aku meremas gaun tidurku dan mulai menangis.

Tak sanggup berlama-lama di tempat itu, aku kembali ke kamar. Rasa hausku hilang seketika.

Mulai menangis karena tak kuasa menahan sakit yang kurasakan. Aku mencintai, juga merindukannya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu malam pertama ini tak akan seperti malam pertama kebanyakan orang. Yang penuh suka cita, kemesraan, serta kebahagiaan.  Itu tak akan kudapatkan.

Puas menangis, kurebahkan kepala di atas bantal. Rasanya aku ingin segera terlelap dan melewatkan malam yang manyakitkan ini.

Terdengar suara pintu di buka.

Cepat-cepat kututup kedua mataku, menahan napas agar Mas Ifan tidak tahu, kalau aku hanya pura-pura tidur. Aku bisa merasakan Mas Ifan berdiri di depanku saat ini.

"Tika," panggilnya.

Aku tak bergeming.

Tidak malam ini, Mas. Aku tak sanggup mendengar penolakan apa pun darimu. Tidak malam ini, gumamku dalam hati, sambil menahan air mataku agar tidak menetes.

Mas Ifan menarik selimut menutup tubuhku, kemudian dia berjalan memutar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, tepat di sampingku. 

Kututup mulutku manahan tangis. Dadaku sesak, Ya Allah ... ini menyakitkan, tapi aku masih saja menyebutnya cinta? Cinta seperti apa? Cinta yang bagaimana? Aku terus bertanya dalam hati.

Kuat kan aku ya Rabb, pintaku seraya menutup mata.

 

***

"Tik ... Tika." Terdengar suara Mas Ifan memanggilku.

"Emm," jawabku membuka mata.

"Bangun, Tik. Salat Subuh dulu," kata Mas Ifan.

"Iya, Mas."

"Tolong bangunkan Riska, ya. Mas mau buru-buru ke masjid," pinta Mas Ifan.

"Iya, Mas." Aku bangun dari tempat tidur sambil memperhatikan punggungnya sampai hilang di balik pintu. Lalu bangun dan segera ke kamar Mbak Riska untuk membangunkannya.

"Mbak Ris," panggilku sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

Kuberanikan diri membuka pintu kamarnya. Ternyata Mbak Riska sudah lebih dulu bangun dan sedang melaksanakan salat Subuh. Menutup kembali pintu kamarnya dan kembali ke kamarku. Berwudu kemudian salat.

Selesai salat Subuh, ingin rasanya aku lanjut tidur, tapi sebentar lagi pagi dan sekarang aku bukan wanita single lagi. Aku seorang istri yang tentunya akan sibuk di dapur saat pagi tiba.

Aku mandi dulu sebelum memulai aktivitas pagi ini. Sengaja berlama-lama di kamar mandi. Berendam di air hangat tubuhku terasa lebih rileks. Seakan semua beban yang kurasakan hilang saat itu juga. Walaupun hanya untuk sementara.

"Aaaarg!" teriakku kaget, saat keluar dari kamar mandi.

Mas Ifan yang sedang duduk di pinggir ranjang pun ikutan kaget melihatku dan langsung menundukkan pandangannya.

"M-Mas," panggilku terbata, sambil membalikkan badan. Karena saat ini aku hanya menggunakan handuk sebatas paha.

 Ya Allah ... malunya.

"Mm-maaf, Tik, tadinya aku mau bicara sama kamu, tapi ... ehm nantilah kita bicara," ucapnya lagi dengan gugup, lalu berjalan ke arah pintu dan keluar dari kamar meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong.

"Ya Allah ...." Kututup wajahku dengan kedua tangan sambil menghentak-hentakkan kaki. Tubuhku berasa panas dingin.

Malu rasanya Mas Ifan melihatku seperti ini. Walaupun kami sudah sah, tapi kami belum...

"Ah, sudahlah!"

Setengah berlari aku mendekati pintu. Buru-buru menutup dan menguncinya.

Sepanjang berganti pakaian, kejadian barusan selalu terbayang di pelupuk mata. Tiba-tiba aku merasa tubuhku merinding tak karuan saat mengingat tatapan Maa Ifan padaku tadi.

"Aiich! Aku harus bagaimana nanti, kalau ketemu Mas Ifan? ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

*** Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status