Ternyata Mbak Riska sudah berdiri di ambang pintu. "Oh, ini vitamin, Mbak." Aku buru-buru berdiri menghalangi botol vitamin yang ada di atas, agar tak terlihat jelas oleh Mbak Riska. "Ada yang bisa kubantu, Mbak?" ucapku lagi sambil berjalan tertatih ke arah Mbak Riska. "Oh, nggak kok. Mau ngajak kamu nonton. Bosan cuma diam-diam aja di kamar. Pingin jalan-jalan, tapi Mas Ifan pasti nggak akan kasi izin." "Ya udah, yuk, kita nonton bareng." Aku cepat-cepat mengajak Mbak Riska pergi dari kamar. ***Kami menonton hingga terkantuk-kantuk. Karena tak kuat, akhirnya kami sudahi menonton, dan balik ke kamar masing-masing. Sampai di pintu kamar aku tertegun, terdiam tak mampu bergerak, melihat pemandangan yang ada di dalam kamar.Ibu tengah berdiri, memegang sesuatu di tangannya. Itu, vitamin khusus ibu hamil yang tadi lupa kuimpan. Gleg ! Aku menelan ludah.Aku masuk dan mengunci pintu. Saat berbalik, ibu sudah berdiri menghadapku."Obat apa ini,
Pagi ini kami sarapan seperti biasa. Setelah sarapan, kami mulai sibuk sendiri-sendiri. Aku duduk santai di ruang tamu. Selonjoran di sofa ruang tamu, sambil membaca majalah tentang Ibu dan bayi.Tiba-tiba bel berbunyi, aku berdiri perlahan, menarik jilbab yang kuletakkan di meja lalu memakainya. Kemudian berjalan ke pintu dan membukanya."Assalamualaikum." ucap suara yang tak asing dari balik pintu."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku.Senyum manis berlesung pipi menyambutku."Hai Tik, gimana kabarmu?" "Kamu, Yud? ngapain disini?" tanyaku heran."Gimana sih, ada tamu bukannya di suruh masuk malah di interogasi," ocehnya."maaf, masuklah." ucapku."Nah, gitu dong." ucapnya cengengesan.Yuda masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Kamu belum jawab pertanyaanku, gimana kabarmu? Juga kehamilanmu?" tanya Yuda."Ssstttt, jangan keras-keras ngomongnya, nanti yang lain dengar," ucapku, setengah berbisik."Tik, jadi kamu benar-benar merahasiakan kehamilanmu? Kenapa?" ocehnya."Kamu nggak
Mendengar ucapan Yuda barusan benar-benar membuatku jantungku hampir copotAh ... Tika! Itu pertanyaan bodoh! Harusnya aku sudah tahu jawabannya. Benar kata Ibu."Udah ah, bercandanya, aku masuk dulu," ucapku menghindar. "Aku tidak sedang bercanda!" ucapnya menghalangi jalanku.Langkahku terhenti."Kendalikan dirimu, Yud! Apa kamu lupa, aku udah punya suami" aku mulai marah.Yuda tersenyum."Tenang saja Tik, aku tahu batasanku. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar bahagia, sebelum aku kembali ke Hongkong," ucapnya.Apa? Hongkong? Jadi dia mau balik ke Hongkong? tanyaku dalam hati"Baiklah aku ke dalam dulu, tinggal sedikit lagi pekerjaanku selesai," ucapnya lagi kemudian masuk ke dalam rumah. Aku mematung di teras rumah. Yuda benar-benar menyukaiku? Jujur aku merasa risih, tapi mendengar kalau dia akan kembali ke Hongkong, membuatku sedikit lega. ***Karena kejadian tadi pagi, seharian aku mengurung diri di dalam kamar. Hanya saat makan siang aku keluar untuk makan bers
Aku benar-benar penasaran, sudah tak sabar rasanya ingin segera menanyakan kebenaran obat yang baru saja aku temukan di laci nakas pada pihak apotek, obat apa ini sebenarnya.Selain obat, aku juga menemukan sebuah wadah yang berisi bubuk yang aku yakin itu adalah susu, di dalam laci mejanya, tapi susu apa?Ah ... Tika? Apa yang kau sembunyikan dariku.Hampir satu jam menunggu. Aku bersyukur, akhirnya apotek pun buka. Aku segera menghampiri petugas yang masih sibuk beberes."Permisi, Mbak," ucapku."Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya."Maaf, saya datang sepagi ini, cuma mau nanya, Ini obat apa ya, Mbak?" tanyaku tak sabar, sambil menunjukkan obat yang aku temukan di laci."Coba saya, liat." Jantungku berdebar kencang, menunggu penjelasan darinya."Oo ini vitamin Pak. Biasanya, di konsumsi oleh wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang program hamil.""Oh, jadi, ini, vitamin?" tanyaku memastikan."Iya, pak.""Berarti yang mengkonsumsi obat ini, kemungkinan sekarang di
"Saya terima nikahnya Atika Ramadani binti Ismail Huda dengan mahar tersebut tunai." Lantang suara Mas Ifan mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan napas. Membuat dadaku bergemuruh. Ada rasa haru menyeruak di dalam hati."Saah! " ucap saksi dan saat itu pula kurasakan ada butiran bening membasahi pipiku.Kucium punggung tangan pria yang kucintai ini, dengan penuh rasa syukur. Kemudian lanjut mencium tangan Ayah dan Ibu mertua, serta Ayah dan Ibuku. Namun, saat berhadapan langsung dengan seorang wanita yang tak lain adalah istri pertama Mas Ifan, air mata pun tumpah. Sama sekali tak terfikir, wanita ini menepati janji yang pernah dia ucapkan secara tak sengaja beberapa tahun silam. Dia benar-benar menikahkan aku, dengan laki-laki yang aku cintai, meski laki-laki itu adalah suaminga sendiri. "Mbak." Aku tak mampu melanjutkan. Kupeluk erat tubuh kurusnya sambil menangis. "Selamat, Tika. Langgeng, ya," ucap Mbak Riska dengan suara bergetar, karena saat itu kami sama-sama sedang m
Aku mengangguk dengan air mata sudah menganak sungai di pipiku."Ya Allah, maafkan aku," ucap Mbak Riska."Oh, enggak, Mbak." Tersadar. Buru-buru kuhapus air mata dan segera bersimpuh di depan kursi rodanya."Kenapa Mbak minta maaf? Aku nggak apa-apa kok, Mbak," kataku menenangkannya. "Aku hanya kaget aja. Dua orang yang kusayangi ternyata berjodoh."Ada perih menyayat hati."Tapi, Nduk?" kata Mbak Riska dan segera kupotong ucapannya."Sssttt ... nggak, Mbak. Nggak perlu menjelaskan apa pun. Aku mengerti dan aku ikut bahagia," kataku sambil mengusap telapak tangannya."Oh ya, aku buru-buru, Mbak. Ada janji. Duluan, ya. Selamat buat Mbak," kataku sambil memeluknya kemudian berdiri. "Selamat untukmu Mas, titip Mbak Riska, ya?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin saat menghadap Mas Ifan. "Ehm ... terima kasih," jawabnya gugup. Buru-buru kutinggalkan merrka. Aku sampai tidak tahu harus apa dan harus kemana. Pandanganku mulai kabur. Tak kuhiraukan semua orang yang memandangiku yang
Ba'da maghrib, ijab kabul sederhana kami yang diadakan di masjid dekat rumah Mas Ifan berjalan dengan lancar tanpa kendala. Setelah menyelesaikan proses demi proses, kami melaksanakan salat Isya berjamaah sebelum akhirnya aku, Mas Ifan, dan Mbak Riska kembali ke rumah yang ditempati mereka. Rumah yang lumayan besar untuk kami tempati bertiga.Ah ... bertiga? Dadaku tiba-tiba sesak memikirkannya."Tika, sudah sampai. Ini rumah kita," ucap Mbak Riska membuyarkan lamunanku."Ehm, iya, Mbak," jawabku kaget.Kami segera keluar dari mobil dan berjalan ke arah teras.Jantungku berdegub kencang saat melihat pemandangan di depanku. Mas Ifan menggendong Mbak Riska turun dari mobil dan mendudukkannya di kursi roda. Ya Allah, sanggupkah aku? Pemandangan seperti inilah yang akan aku lihat setiap hari nanti.Mampukan aku, ya Rabb, doaku dalam hati.Pintu dibuka."Masuklah, Tika. Ini juga rumahmu sekarang," ucap Mas Ifan."Ehm ...." Aku hanya bisa mengangguk."Kamu pasti capek, Tik. Kamarmu di sebe
Setelah berpakaian aku putuskan untuk keluar dari kamar. Terdengar suara berisik dari arah dapur, mungkin Mbak Riska sudah lebih dulu ada di sana. Aku langsung saja ke dapur sedikit terkejut. Bukannya Mbak Riska yang ada di sana, melainkan Mas Ifan."Mas Ifan," panggilku. "Mas Ifan kok nyuci piring?" "Hhm ... hampir sebulan aku yang mengurus rumah, karena keadaan Riska tak memungkinkan untuk melakukan ini, Tik," jelasnya."Lalu Bi Ani?" tanyaku lagi."Bi Ani hanya datang seminggu dua kali, untuk bantu-bantu, karena Bi Ani itu asisten rumah tangga ibuku. Dan tadi pagi-pagi sekali dia pulang ke rumah Ibu," jelas Mas Ifan.Aku mendekat, mengambil piring dan kain cuci piring yang ada di tangannya."Biar aku aja, Mas," ucapku sambil melanjutkan mencuci piring.Mas Ifan hanya diam dan menatapku."Tika," kata Mas Ifan sambil menghentikan tanganku. "Mas mau bicara," katanya lagi.Detak jantungku mulai tak beraturan, tapi tetap kulanjutkan mencuci piring tanpa menghiraukan perkataannya. Aku m