Setelah berpakaian aku putuskan untuk keluar dari kamar. Terdengar suara berisik dari arah dapur, mungkin Mbak Riska sudah lebih dulu ada di sana. Aku langsung saja ke dapur sedikit terkejut. Bukannya Mbak Riska yang ada di sana, melainkan Mas Ifan.
"Mas Ifan," panggilku. "Mas Ifan kok nyuci piring?""Hhm ... hampir sebulan aku yang mengurus rumah, karena keadaan Riska tak memungkinkan untuk melakukan ini, Tik," jelasnya."Lalu Bi Ani?" tanyaku lagi."Bi Ani hanya datang seminggu dua kali, untuk bantu-bantu, karena Bi Ani itu asisten rumah tangga ibuku. Dan tadi pagi-pagi sekali dia pulang ke rumah Ibu," jelas Mas Ifan.Aku mendekat, mengambil piring dan kain cuci piring yang ada di tangannya."Biar aku aja, Mas," ucapku sambil melanjutkan mencuci piring.Mas Ifan hanya diam dan menatapku."Tika," kata Mas Ifan sambil menghentikan tanganku. "Mas mau bicara," katanya lagi.Detak jantungku mulai tak beraturan, tapi tetap kulanjutkan mencuci piring tanpa menghiraukan perkataannya. Aku memang sengaja mengelak tak ingin mendengarkan apa pun penjelasannya."Tika!" kata Mas Ifan lagi. Kali ini Mas Ifan menggenggam dan menarik tanganku sampai kami saling berhadapan. Kutatap matanya yang memelas, memohon agar kali ini aku mau mendengarkan."Ehem." Tiba-tiba Mbak Riska muncul sambil mendehem.Kami menoleh dan langsung gelagapan. Buru-buru Mas Ifan melepaskan tanganku, lalu kami diam tak bersuara seperti kucing habis kesiram air."Ha ha ha, kalian kenapa?" tanya Mbak Riska sambil tertawa."Ehm, nggak kenapa-kenapa, Mbak," jawabku kemudian berbalik. menghindari tatapannya lalu melanjutkan menyuci piring."Kamu udah mau sarapan, Ris?" tanya Mas Ifan."Belum, Mas. Aku ingin jalan-jalan pagi," kata Mbak Riska."Oh, ya udah, ayok," ajak Mas Ifan."Tika ikut, yuk," ajak Mbak Riska."Nggak lah Mbak, Mbak aja berdua. Aku mau buat sarapan," jawabku."Ikutlah, Tik," ajak Mas Ifan."Nggak, Mas. Lain kali saja," jawabku sambil memandangnya."Ya udah, Mbak sama Mas Ifan pergi dulu, ya?" kata Mbak Riska."Oh ya, boleh buatkan Mbak nasi goreng buatanmu?" kata Mbak Riska. "Mbak kangen sama masakanmu yang satu itu," jelasnya lagi."Boleh, Mbak. Nanti aku buatkan," jawabku sambil tersenyum ke arahnya."Ok, makasih, Tik," ucap Mbak Riska."Sama-sama, Mbak," jawabku singkat.Kupandangi mereka berdua sampai keluar dari dapur. Aku menghela napas panjang. Bersyukur karena hari ini bisa menghindar darinya.Cukuplah apa yang terdengar semalam kalau ini sulit bagi Mas Ifan. Tak ingin lagi mendengar Mas Ifan mengatakan bahwa dia belum siap menjalani apa pun bersamaku. Kuselesaikan pekerjaan di dapur dengan terburu-buru, karena aku ingin saat mereka pulang sarapan sudah tersaji. Semua hidangan dan peralatan makan sudah siap di atas meja dan bersamaan dengan itu Mbak Riska dan Mas Ifan pun muncul."Waah, aku jadi tambah lapar, Tik," kata Mbak Riska."Ayo sarapan, Mbak," kataku sambil menyendokkan nasi goreng ke piringnya."Ayuk, Mas. Aku sudah nggak sabar," kata Mbak RiskaDan lagi, ada rasa perih di hati saat melihat pemandangan kali ini. Mas Ifan mengendong Mbak Riska turun dari kursi rodanya. Mereka saling menatap dan tersenyum mesra.Gleg ... aku menelan ludah getir ....Rasa sakit itu lagi, rasa sakit yang selalu hadir karena satu kata yang bagiku tidak pernah kenal kata kadaluwarsa. Yaitu CINTA.Segera kualihkan pandangan ke piring makan yang ada di depan. Sejenak terlintas di pikiran, "jika aku sakit, apa Mas Ifan akan memperlakukan sama seperti pada Mbak Riska?" Entahlah."Hmm, enak, Tik. Ya, ‘kan, Mas?" ucap Mbak Riska bertanya pada Mas Ifan."Iya, enak," jawab Mas Ifan sambil menatapku. Dan hanya kubalas dengan senyuman."Ini makanan favoritku waktu kami masih ngekos bareng Mas," ucap Mbak Riska lagi."Seneng akhirnya hari ini, rinduku pada nasi gorengmu bisa terobati, Tik," oceh Mbak Riska."Kapan pun Mbak mau bilang aja Mbak. Nanti aku buatkan," ucapku singkat."Ya udah, kalian lanjutkan makannya. Aku mau mandi dulu. Gerah," kata Mbak Riska."Sini, aku antar," kata Mas Ifan."Terima kasih, Mas,"Selesai makan, aku buru-buru membereskan meja, sementara Mas Ifan mengantar Mbak Riska ke kamarnya. Dalam hati sedikit kecewa, karena pasti Mas Ifan akan mengahabiskan waktu seharian ini dengan Mbak Riska.Sedikit terkejut, saat tiba- tiba Mas Ifan memegang tanganku."Tika, tolong, aku mau bicara," kata Mas Ifan."Sebentar aja, Mas. Aku beres-beres dulu," kataku sambil menarik tangan, lalu segera berjalan ke arah dapur.Detak jantungku kembali tak beraturan, tak ingin mendengar apa pun, walau sebenarnya aku penasaran kenapa Mas Ifan berbuat seperti ini terhadapku.Buru-buru kucuci semua piring kotor, Kemudian bergegas masuk ke kamar hendak istirahat sejenak.Baru saja masuk ke kamar tiba-tiba Mas Ifan sudah ada di belakangku, ku pandangi dia dengan kening berkerut, ditutupnya pintu kamar, kemudian berjalan ke arah ku. Aku langsung berbalik badan hendak menjauh darinya."Aku pengecut, Tik!" kata Mas Ifan.Langkahku terhenti. Terdiam. Aku bisa merasakan detak jantungku yang mulai tak karuan."Aku memang pengecut, Tika. Karena penolakan dari orang tua Riska aku benar-benar patah hati," jelasnya.Serasa ada yang menyayat hatiku."Aku tak sanggup menahan sakitnya, sampai aku ditugaskan di kampung halamanmu rasa sakit itu masih ada, dan saat aku bertemu denganmu, Perlahan rasa sakit itu mulai berkurang. Kau mampu menjadi penawar luka, hingga aku mulai melupakan rasa sakitku," jelasnya.Kali ini dadaku benar-benar sesak."Semakin lama aku semakin nyaman bersamamu, dan mulai mencintaimu. Semua yang kukatakan dan yang kulakukan selama enam bulan bersamamu itu benar-benar kulakukan dari hati bukan hanya sekedar pelampiasan atau sekedar mencari pelarian saja," jelasnya lagi.Aku masih terdiam dengan mata mulai memanas."Lalu saat kembali ke kampung halaman, aku mulai dekat dengan keluarga Riska. Ibunya tak seperti dulu lagi yang selalu cuek ketika bertemu denganku. Aku mulai berharap hubunganku dengan Riska bisa seperti dulu lagi. Jujur, saat itu aku mulai lupa padamu. Sampai saat aku tahu, Riska mengidap penyakit mematikan, saat itulah aku benar-benar merasa takut kehilangannya."Allah ... aku mulai menangis sambil terus meremas baju tepat di dadaku. Sakit ...."Saat Riska kembali, kusampaikan kembali niat untuk meminangnya dan kali ini orang tuanya menerima. Begitu juga Riska yang ternyata masih mencintaiku. Rasa takut akan kehilangan Riska benar-benar membuatku melupakanmu, dan melupakan janji yang telah kuikrarkan. Aku sama sekali tak menyangka janji itulah yang telah mengikatmu hingga detik ini. Kau bahkan belum membuka hatimu untuk pria lain."Dadaku sesak, tangisku pecah."Maukah kau memaafkan aku, Tik?" tanyanya lagi.Aku tak bergeming."Tik, jawab aku!" Suaranya terdengar parau.Aku masih enggan menoleh."Maukah kau memaafkan .... " Kata-katanya mengantung. "Suamimu ini?" lanjutnya.Deg!Suami? Aku bertanya dalam hati, tangisku semakin jadi.Mas Ifan menarik tanganku sampai kami saling berhadapan. Tak kuasa menahan perih di hati, kulampiaskan kekesalan dengan memukuli dada bidangnya."Kamu jahat, Mas! Kamu jahat sama aku!" ucapku di sela-sela tangis sambil terus memukulinya."Maafkan aku, Tik. Maafkan aku." Mas Ifan menggenggam tanganku."Beri aku satu kesempatan, untuk memperbaiki segalanya, Tik," pintanya dengan mata memelas. Mas Ifan mulai menangis.Ya Rabb ... tak sanggup melihatnya seperti ini. Kutatap mata pria yang kucintai itu. Ada raut penyesalan di sana. Aku terdiam, sangat terluka tapi tak kuasa untuk membencinya. Aku harus bagaimana?***BersambungEntah kekuatan dari mana, aku mulai berhenti menangis lalu kuhapus air mataku."Aku memaafkanmu, Mas," jawabku sambil menatapnya.Mas Ifan terdiam, dihapusnya air matanya."Benarkah, Tik?" tanya Mas Ifan sambil menatap mataku."Hem," "Terima kasih, Tik. Aku janji akan kuperbaiki segalanya.”"Jangan janjikan apa pun lagi, Mas." Kutarik tanganku dari genggamannya dan membelakanginya."Karena jika sekali lagi kau mengingkarinya, aku tak tahu, apa aku masih bisa memaafkanmu lagi atau tidak.”"Kau benar, Tika. Tapi kali ini akan aku usahakan untuk bisa menepati janjiku," jawabnya singkat."Untukmu, untuk Riska, untuk kita bertiga." Aku menghela napas panjang."Hhm, baiklah, Tik. Terima kasih sudah mau mendengarkan, terima kasih juga sudah mau memaafkanku. Istirahatlah," katanya lagi."Hem," jawabku singkat.Mas Ifan berlalu. Kupandangi punggungnya sampai hilang di balik pintu. Kemudian berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan tubuh di atas kasur. Entah mengapa beban yang kurasakan se
Kubiarkan Mas Ifan menangis sepuasnya, sambil terus kuusap kepalanya. Tak lama dia mulai terdiam kemudian melepaskan pelukan."Maafkan aku, Tik," ucapnya sambil menghapus air mata."Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok," jawabku."Terima kasih," ucap Mas Ifan dengan tersenyum."Sama-sama, Mas," "Istirahatlah, Tik. Kau pasti capek seharian ngurus rumah. Aku masuk duluan, ya.”"Mas nggak makan dulu?" "Nggak, Tik. Makasih." "Ya udah, Mas istirahat juga." "He'em," jawabnya singkat.Mas Ifan beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan perlahan dan menghilang di balik pintu kamarnya dan Mbak Riska.Aku terdiam sejenak, kemudian lanjut mencuci sedikit piring kotor di dapur. Setelah semua beres, aku langsung masuk ke kamar, berwudhu dan kemudian melaksanakan sholat Isya .Setelah itu, seperti biasa aku merebahkan kepala di atas bantal, dan mulai berpikir, malam ini memang giliran Mas Ifan tidur bersama Mbak Riska, aah ... apa aku cemburu? Ya, itu wajar, karena mencintai tanpa rasa cemburu
Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku terus memikirkan bagaimana nasibku, saat berada di rumah Ibu Mas Ifan nanti. Asik melamun aku sampai lupa, jika malam ini giliran Mas Ifan, tidur di kamarku"Ehem." Ternyata Mas Ifan, sudah berada tepat di samping ku. Aku kaget dan buru-buru bangun."Mas Ifan! Kok, aku nggak liat Mas, masuk?" tanyaku."Bagaimana mau lihat Tik, kamu sibuk melamun," "Ada apa, Tik? Aku perhatikan, kamu banyak melamun." tanya Mas Ifan."Nggak ada apa apa, Mas." "Kamu nggak mau cerita, sama aku?" Mas Ifan terus memandangku. Menunggu agar aku mau menceritakan, kegundahan hati."Ya, sudah kalau memang nggak mau cerita," kata Mas Ifan. Sambil merapikan bantalnya."Mas, besok aku di rumah aja ya, aku nggak ikut ke rumah ibu," ucapku.Mas ifan mengurungkan niatnya untuk berbaring, lalu duduk kembali dan menatapku."Jadi ini, yang membuatmu resah, Tik?""He'em," aku mengangguk."Nggak bisa Tik. Kamu harus ikut, kamu kan juga istriku." "Jangan k
Selesai sholat subuh, aku putuskan untuk tidur lagi. Mataku masih sangat mengantuk, karrna sejak datang kemarin hingga larut malam, aku membantu ibu-ibu di dapur.Sekitar pukul 07.00, aku terbangun kaget dan buru-buru mandi. Setelahnya aku kembali bergabung dengan para ibu-ibu di dapur. Kukerjakan semuanya yang aku bisa. Ikut berbaur dengan ibu-ibu di dapur sedikit membuatku melupakan respon dingin ibu terhadapku. Tak terasa hari sudah siang dan semua ibu-ibu bergegas untuk makan siang dan beristirahat sejenak. Nduk, ayo makan, dulu," kata seorang Ibu di dapur. sepertinya dia heran, melihatku tidak ikut makan."Iya, Bude. Bude, duluan saja." "Makan dulu, nanti lanjut lagi kerjanya." "Iya, bude." Aku mengalah.Kemudian mendekat ke meja makan hendak menyendok nasi. Tiba-tiba Ibu memanggilku."Tik ... Tika, kamu gimana sih, itu si Riska mau minum obat, Ifan juga belum makan siang, kamu urusin dululah ... habis itu baru kamu lanjut makan," Ibu berteriak di pintu dapur."Iya, Bu." jaw
Mas Ifan menenteng tas pakaianku, saat berjalan melewati ruang makan, Tiba-tiba terdengar suara cempreng Ibu memanggilnya."Fan!" panggil Ibu. Keningnya berkerut, melihat Mas Ifan menenteng tas pakaian."Loh, kamu mau kemana?" tanya Ibu."Ifan mau antar Tika pulang ke Bandung, Bu," jawab Mas Ifan."Loh, emang nya kenapa lagi kamu Tik?" tanya Ibu sambil melotot ke arahku."Ibu kan nggak mau kalau orang-orang tau kalau Tika ini istri kedua ku. Jadi, biar Ifan antar dia pulang." "Jadi kamu tersinggung Tik, dengan ucapan ibu?" Ibu bertanya sambil melotot kepadaku.Aku hanya menunduk. Ingin marah tapi ku tahan, karena biar bagaimana pun Ibu adalah mertuaku. "Lha terus, Riska gimana, Fan?" tanya Ibu."Aku tetap disini, Bu." jawab Mbak Riska "Ya, sudah, aku pamit Bu,Ris," pamit Mas Ifan sambil menyalami Ibu."Ya, sudah, habis itu langsung balik kemari ya, besok akad nikahnya jam sembilan," kata Ibu ketus.Mas Ifan melirik ke arahku. Aku mengangguk."Nggak, Bu. Malam ini Ifan nginap. Beso
Mas Ifan membuka matanya, kemudian tersenyum. Kami saling menatap. Mas Ifan mendekatkan wajahnya, refleks aku meremas gaun tidur dan menutup kedua mataku. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku dan berbisik."Sholat dulu, yuk," bisiknya lalu tersenyum geli melihatku. Aku bengong dengan kening berkerut."Aku sudah sholat isya kok, Mas," jawabku bego."Hahaha ...," Mas Ifan tertawa renyah.Kemudian kembali mendekat dan berbisik."Sholat dua rakaat, sayang," bisiknya lembut, kemudian tersenyum sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya Allah ...," ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Malunya ....Kami melaksanakan sholat dua rakaat. Ini sholat pertamaku bersamanya. Setelah sholat. aku menyalami Mas Ifan mencium tangannya penuh takzim. Dan kembali merasa gugup setelahnya. Kali ini benar-benar gugup sampai bingung harus berbuat apa. Melipat mukena yang biasanya hanya tergantung di dinding. Kemudian berjalan menuju lemari dan menyimpannya. Saat berbalik, kulihat Mas Ifan s
Pemuda berlesung pipi itu mengerutkan keningnya sambil memperhatikanku dari puncak kepala hingga ke ujung kaki."Terus, kamu siapanya dong? Nggak mungkin kamu istrinya. Istrinya kan, Mbak Riska," tanyanya lagi. Astaga ... kurang asem ini orang, dia pikir aku adiknya Mas Ifan?"Ayo ... buruan bayar. Masih banyak nih, pesanan yang mau diantar," omelnya mengagetkanku."Berapa?" tanyaku."Dua puluh lima ribu," jawabnya ketus.Kurogoh saku celanaku, hanya ada uang dua puluh ribu disana. Seingatku, di dompet pun kosong, karena belum sempat ke ATM buat narik lagi."Em, ini." kusodorkan selembar dua puluh ribuan."Uangnya kurang." "Tapi, aku cuma pegang uang segitu, besok sisanya, ya?" pintaku."Ya, sudahlah. Kamu berutang lima ribu, ya?" Lain kali aja aku kemari lagi. Salam sama Mas Ifan." Aku langsung berlari ke kamar, dan mengambil ponselku. Kucari nomor Mas Ifan dan menelpon nya."Assalamualaikum," suara Mas Ifan terdengar di seberang sana."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku."
Bahan makanan di kulkas sudah kosong. Terus mau makan apa nanti malam. Aku segera berganti pakaian, celana jeans hitam, atasan kaos lengan panjang berwarna cream dan jilbab langsung, hitam polos sebatas dada. Setelah belanja, aku merasa malas untuk balik ke rumah. Jam baru menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit. Aku putuskan mampir di kedai yang ada di seberang jalan.Sampai di kedai kuambil tempat duduk persis menghadap ke jalan, agar bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat. Kiranya bisa sedikit mengusir kebosanan. Tak sampai lima menit pesanan pun datang, Aku mulai sibuk dengan ponsel dan menyeruput minumanku. Sebelum akhirnya di kagetkan oleh sebuah suara, yang sudah tak asing lagi bagiku."Assalamualaikum, cantik!" ucap suara tersebut."Wa'alaikumsalam, warohmatullah," hampir saja aku keselek."Sendirian aja," ucapnya, langsung duduk di kursi yang ada di depanku."Kamu buntutin aku, ya?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Enak aja. Kamu suudzon terus sih, sama aku.