Share

Bab 4 : Permintaan Maaf

Setelah berpakaian aku putuskan untuk keluar dari kamar. Terdengar suara berisik dari arah dapur, mungkin Mbak Riska sudah lebih dulu ada di sana. Aku langsung saja ke dapur sedikit terkejut. Bukannya Mbak Riska yang ada di sana, melainkan Mas Ifan.

"Mas Ifan," panggilku. "Mas Ifan kok nyuci piring?"

"Hhm ... hampir sebulan aku yang mengurus rumah, karena keadaan Riska tak memungkinkan untuk melakukan ini, Tik," jelasnya.

"Lalu Bi Ani?" tanyaku lagi.

"Bi Ani hanya datang seminggu dua kali, untuk bantu-bantu, karena Bi Ani itu asisten rumah tangga ibuku. Dan tadi pagi-pagi sekali dia pulang ke rumah Ibu," jelas Mas Ifan.

Aku mendekat, mengambil piring dan kain cuci piring yang ada di tangannya.

"Biar aku aja, Mas," ucapku sambil melanjutkan mencuci piring.

Mas Ifan hanya diam dan menatapku.

"Tika," kata Mas Ifan sambil menghentikan tanganku. "Mas mau bicara," katanya lagi.

Detak jantungku mulai tak beraturan, tapi tetap kulanjutkan mencuci piring tanpa menghiraukan perkataannya. Aku memang sengaja mengelak tak ingin mendengarkan apa pun penjelasannya.

"Tika!" kata Mas Ifan lagi. Kali ini Mas Ifan menggenggam dan menarik tanganku sampai kami saling berhadapan. Kutatap matanya yang memelas, memohon agar kali ini aku mau mendengarkan.

"Ehem." Tiba-tiba Mbak Riska muncul sambil mendehem.

Kami menoleh dan langsung gelagapan. Buru-buru Mas Ifan melepaskan tanganku, lalu kami diam tak bersuara seperti kucing habis kesiram air.

"Ha ha ha, kalian kenapa?" tanya Mbak Riska sambil tertawa.

"Ehm, nggak kenapa-kenapa, Mbak," jawabku kemudian berbalik. menghindari tatapannya lalu melanjutkan menyuci piring.

"Kamu udah mau sarapan, Ris?" tanya Mas Ifan.

"Belum, Mas. Aku ingin jalan-jalan pagi," kata Mbak Riska.

"Oh, ya udah, ayok," ajak Mas Ifan.

"Tika ikut, yuk," ajak Mbak Riska.

"Nggak lah Mbak, Mbak aja berdua. Aku mau buat sarapan," jawabku.

"Ikutlah, Tik," ajak Mas Ifan.

"Nggak, Mas. Lain kali saja," jawabku sambil memandangnya.

"Ya udah, Mbak sama Mas Ifan pergi dulu, ya?" kata Mbak Riska.

"Oh ya, boleh buatkan Mbak nasi goreng buatanmu?" kata Mbak Riska. "Mbak kangen sama masakanmu yang satu itu," jelasnya lagi.

"Boleh, Mbak. Nanti aku buatkan," jawabku sambil tersenyum ke arahnya.

"Ok, makasih, Tik," ucap Mbak Riska.

"Sama-sama, Mbak," jawabku singkat.

Kupandangi mereka berdua sampai keluar dari dapur. Aku menghela napas panjang. Bersyukur karena hari ini bisa menghindar darinya.

Cukuplah apa yang terdengar semalam kalau ini sulit bagi Mas Ifan. Tak ingin lagi mendengar Mas Ifan mengatakan bahwa dia belum siap menjalani apa pun bersamaku. Kuselesaikan pekerjaan di dapur dengan terburu-buru, karena aku ingin saat mereka pulang sarapan sudah tersaji.

Semua hidangan dan peralatan makan sudah siap di atas meja dan bersamaan dengan itu Mbak Riska dan Mas Ifan pun muncul.

"Waah, aku jadi tambah lapar, Tik," kata Mbak Riska.

"Ayo sarapan, Mbak," kataku sambil menyendokkan nasi goreng ke piringnya.

"Ayuk, Mas. Aku sudah nggak sabar," kata Mbak Riska

Dan lagi, ada rasa perih di hati saat melihat pemandangan kali ini. Mas Ifan mengendong Mbak Riska turun dari kursi rodanya. Mereka saling menatap dan tersenyum mesra.

Gleg ... aku menelan ludah getir ....

Rasa sakit itu lagi, rasa sakit yang selalu hadir karena satu kata yang bagiku tidak pernah kenal kata kadaluwarsa. Yaitu CINTA.

Segera kualihkan pandangan ke piring makan yang ada di depan. Sejenak terlintas di pikiran, "jika aku sakit, apa Mas Ifan akan memperlakukan sama seperti pada Mbak Riska?" Entahlah.

"Hmm, enak, Tik. Ya, ‘kan, Mas?" ucap Mbak Riska bertanya pada Mas Ifan.

"Iya, enak," jawab Mas Ifan sambil menatapku. Dan hanya kubalas dengan senyuman.

"Ini makanan favoritku waktu kami masih ngekos bareng Mas," ucap Mbak Riska lagi.

"Seneng akhirnya hari ini, rinduku pada nasi gorengmu bisa terobati, Tik," oceh Mbak Riska.

"Kapan pun Mbak mau bilang aja Mbak. Nanti aku buatkan," ucapku singkat.

"Ya udah, kalian lanjutkan makannya. Aku mau mandi dulu. Gerah," kata Mbak Riska.

"Sini, aku antar," kata Mas Ifan.

"Terima kasih, Mas,"

Selesai makan, aku buru-buru membereskan meja, sementara Mas Ifan mengantar Mbak Riska ke kamarnya. Dalam hati sedikit kecewa, karena pasti Mas Ifan akan mengahabiskan waktu seharian ini dengan Mbak Riska.

Sedikit terkejut, saat tiba- tiba Mas Ifan memegang tanganku.

"Tika, tolong, aku mau bicara," kata Mas Ifan.

"Sebentar aja, Mas. Aku beres-beres dulu," kataku sambil menarik tangan, lalu segera berjalan ke arah dapur.

Detak jantungku kembali tak beraturan, tak ingin mendengar apa pun, walau sebenarnya aku penasaran kenapa Mas Ifan berbuat seperti ini terhadapku.

Buru-buru kucuci semua piring kotor, Kemudian bergegas masuk ke kamar hendak istirahat sejenak.

Baru saja masuk ke kamar tiba-tiba Mas Ifan sudah ada di belakangku, ku pandangi dia dengan kening berkerut, ditutupnya pintu kamar, kemudian berjalan ke arah ku. Aku langsung berbalik badan hendak menjauh darinya.

"Aku pengecut, Tik!" kata Mas Ifan.

Langkahku terhenti. Terdiam. Aku bisa merasakan detak jantungku yang mulai tak karuan.

"Aku memang pengecut, Tika. Karena penolakan dari orang tua Riska aku benar-benar patah hati," jelasnya.

Serasa ada yang menyayat hatiku.

"Aku tak sanggup menahan sakitnya, sampai aku ditugaskan di kampung halamanmu rasa sakit itu masih ada, dan saat aku bertemu denganmu, Perlahan rasa sakit itu mulai berkurang. Kau mampu menjadi penawar luka, hingga aku mulai melupakan rasa sakitku," jelasnya.

Kali ini dadaku benar-benar sesak.

"Semakin lama aku semakin nyaman bersamamu, dan mulai mencintaimu. Semua yang kukatakan dan yang kulakukan selama enam bulan bersamamu itu benar-benar kulakukan dari hati bukan hanya sekedar pelampiasan atau sekedar mencari pelarian saja," jelasnya lagi.

Aku masih terdiam dengan mata mulai memanas.

"Lalu saat kembali ke kampung halaman, aku mulai dekat dengan keluarga Riska. Ibunya tak seperti dulu lagi yang selalu cuek ketika bertemu denganku. Aku mulai berharap hubunganku dengan Riska bisa seperti dulu lagi. Jujur, saat itu aku mulai lupa padamu. Sampai saat aku tahu, Riska mengidap penyakit mematikan, saat itulah aku benar-benar merasa takut kehilangannya."

Allah ... aku mulai menangis sambil terus meremas baju tepat di dadaku. Sakit ....

"Saat Riska kembali, kusampaikan kembali niat untuk meminangnya dan kali ini orang tuanya menerima. Begitu juga Riska yang ternyata masih mencintaiku. Rasa takut akan kehilangan Riska benar-benar membuatku melupakanmu, dan melupakan janji yang telah kuikrarkan. Aku sama sekali tak menyangka janji itulah yang telah mengikatmu hingga detik ini. Kau bahkan belum membuka hatimu untuk pria lain."

Dadaku sesak, tangisku pecah.

"Maukah kau memaafkan aku, Tik?" tanyanya lagi.

Aku tak bergeming.

"Tik, jawab aku!" Suaranya terdengar parau.

Aku masih enggan menoleh.

"Maukah kau memaafkan .... " Kata-katanya mengantung. "Suamimu ini?" lanjutnya.

Deg!

Suami? Aku bertanya dalam hati, tangisku semakin jadi.

Mas Ifan menarik tanganku sampai kami saling berhadapan. Tak kuasa menahan perih di hati, kulampiaskan kekesalan dengan memukuli dada bidangnya.

"Kamu jahat, Mas! Kamu jahat sama aku!" ucapku di sela-sela tangis sambil terus memukulinya.

"Maafkan aku, Tik. Maafkan aku." Mas Ifan menggenggam tanganku.

"Beri aku satu kesempatan, untuk memperbaiki segalanya, Tik," pintanya dengan mata memelas. Mas Ifan mulai menangis.

Ya Rabb ... tak sanggup melihatnya seperti ini. Kutatap mata pria yang kucintai itu. Ada raut penyesalan di sana. Aku terdiam, sangat terluka tapi tak kuasa untuk membencinya. Aku harus bagaimana?

***Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status