Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?
Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain. Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya. "Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini. "Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku. Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh. "Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu melambaikan tangan, rasanya sudah tidak sabar untuk merebahkan tubuh lelahku di kasur. Menuju parkiran untuk menemui motor matik kesayanganku, aku berlari agar segera sampai di sana. Matik berwarna ungu yang baru lunas dua bulan yang lalu itu sudah melambai-lambai karena kangen padaku, sedikit lebay, tapi aku suka. "Udah mau pulang, mbak?" Pak Yono, petugas parkir itu menghampiriku untuk membantu mengeluarkan sepeda motor. "Iya, pak. Sudah sore." Aku lalu menaiki motor kesayangan, " makasih ya pak, saya jalan dulu." Hari ini pekerjaan sudah selesai, besok hari minggu. Harusnya aku bisa bertemu Mama, tapi apalah daya kalau pak bos sudah berucap pasti aku tidak bisa menghindar. Lima belas menit waktu yang aku butuhkan untuk sampai di kos, tempat kos ini terdiri dari dua lantai dan terdapat sepuluh kamar dan semua sudah terisi. Sebagian besar adalah pekerja dan ada beberapa yang masih kuliah. "Mbak Linda, baru pulang mbak?" tanya Reni, tetangga kos. Dia bekerja di sebuah bank swasta. "Iya Ren, kamu lagi ngapain?" Kulihat Reni sedang menempel biji-bijian pada kertas bergambar kupu-kupu, ngapain pegawai bank bikin prakarya? "Ini lagi bantuin tugas si Fadil, mbak. Hari senin dikumpulin. Besok aku mau pulang, makanya ini aku kebut," jawab Reni. Fadil adalah cucu dari pemilik kos, orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan. Usianya baru sepuluh tahun, setiap ada pekerjaan dari sekolah yang ia tidak bisa memang sering meminta bantuan penghuni kos. "Mbak masuk dulu ya, selamat bertugas," aku melambaikan tangan tanda pamit pada Reni. "Mbak, nggak mau bantuin dulu?" rengek Reni memelas. Aku hanya tertawa lalu masuk ke dalam kamar. Biar tahu rasa si Reni dikerjain sama Fadil, kalau ada yang membantu maka anak itu akan bermain game. Badan sudah segar sehabis mandi, sekarang waktunya jalan-jalan dan cari makan. Karena sudah tidak punya cicilan, sekarang aku sedikit bisa jajan di akhir bulan. "Mau ke mana mbak?" tanya Reni saat aku baru keluar dari kamar. "Beli makan, laper. Kamu belum selesai?" Ku dekati Reni lalu aku duduk di bangku yang ada di samping meja. "Dikit lagi, aku nitip ya, mbak Linda mau beli makan apa?" "Nasi goreng aja, males keluar jauh-jauh," jawabku dan Reni setuju. Penjual nasi goreng berada di ujung gang, porsi yang lumayan banyak menjadi favorit penghuni kos. Apalagi di tanggal tua seperti ini, akan banyak yang mengantri karena harganya yang cukup terjangkau. Aku berjalan menyusuri jalanan yang cukup ramai, beberapa kali tersenyum dan menganggukkan kepala saat berpapasan dengan para tetangga. Gerobak penjual nasi goreng sudah terlihat tapi penjualnya sudah tertutupi oleh banyaknya pembeli yang sedang mengantre Setelah mengantre cukup panjang, akhirnya aku bisa pulang dengan membawa dua bungkus nasi goreng. Setelah memberikan satu pada Reni, aku segera membawa satu bungkus lagi untuk ku nikmati sembari menonton televisi. Usai melaksanakan ibadah salat isya, aku segera menuju pembaringan. ***** Waktu masih menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi, tapi gawaiku sudah berdering beberapa kali. Kegiatan mengajiku segera kuakhiri, aku bergegas mencari gawai yang tadi malam lupa aku taruh di mana setelah lelah menscroll i*******m. "Halo, pak, ada apa ya pak?" tanyaku pada penelepon di seberang. "Saya mau nitip Arya," jawabnya. "Ya ampun, Pak, ini masih terlalu pagi. Nggak bisa agak siang aja?" Pak bos yang satu ini benar-benar nyebelin. "Saya sudah di depan, buka pagarnya." Setelah mengatakan itu, panggilan diputus begitu saja. Aku segera membuka sedikit tirai jendela, kulihat di luar dan ternyata benar pak Yogi dan Arya berada di sana. "Nggak bisa siangan dikit, Pak? Saya masih mau beres-beres sama cari sarapan," ucapku ketus. "Saya ada kerjaan, Arya juga banyak tugas yang belum dikerjain. Tolong kamu bantu dia," jawabnya. "Tapi pak...." "Saya bayar, lima ratus ribu. Nih, uangnya sudah saya transfer." Pak Yogi menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan padaku. Aku masih terdiam. Uang lima ratus ribu sudah di tangan, mana mungkin aku menolak. Sebagai tulang punggung dan masih butuh uang untuk membiayai adik bungsuku yang masih kuliah, jelas aku menerima penawaran ini. Kulihat anak lelaki yang kini berdiri di sebelah ayahnya. Kasihan, dia harus kehilangan ibu dan calon adiknya sekaligus. Segera kuraih anak lelaki berusia sepuluh tahun itu ke dalam dengan senyum ceria, nanti akan ku telepon Ibuku kalau aku belum bisa pulang karena ada pekerjaan mendadak."Harusnya kamu lebih bisa mengontrol emosi, ini kehamilan pertama Linda. Bagaimana kalau Linda menjadi stres karena kamu marah-marah."Sayup-sayup aku mendengar suara mama mertua. Meski lirih, aku masih bisa mendengar suara mama.Aku membuka mata dengan perlahan, ternyata aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit."Sayang, kamu sudah sadar?" Mama menghampiriku lalu mengusap tanganku yang tidak dipasangi selang infus."Memangnya Linda kenapa, Ma?""Kamu tadi hampir jatuh di kamar tamu," jelas mama."Anakku gimana, Ma?" Aku baru teringat kalau tadi aku sempat mengeluarkan darah.Raut mama berubah, aku takut terjadi apa-apa pada bayiku. Kalau sampai itu terjadi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Ma, bayiku nggak apa-apa kan, Ma?""Alhamdulillah, bayinya nggak apa-apa. Cuma, sekarang kamu harus dirawat dulu beberapa hari. Kandungan kamu lemah, kamu nggak boleh banyak beraktifitas," ujar mama.Aku menoleh ke sofa yang ada di ruanganku, di sana mas Yogi terlihat menundukkan wajahny
"Kamu mau apa? Nanti aku bawain pas pulang kerja," tanya mas Yogi saat akan berangkat kerja."Aku pengen sambal kentang yang ada petenya, tapi yang dimasak sama mbak Rania. Mas mau ambilin ke kateringnya?" "Nanti aku telepon mas Damar dulu, takutnya istrinya lagi sibuk," ujar mas Yogi.Aku mengangguk."Aku berangkat dulu, nanti kabarin kalau ada apa-apa," pamit mas Yogi."Iya, hati-hati. Nggak usah ngebut," ucapku.Sekarang mas Yogi lebih sering berangkat agak siang, sementara Arya berangkat bersama sopir.Aku sendirian lagi di rumah, hanya ditemani dengan ART yang sibuk dengan pekerjaan rumah.Saat tengah asik menyaksikan acara gosip, ponsel di sampingku berbunyi. Nama mama terpampang di layar, aku segera menerima panggilan video itu. Sudah lumayan lama tidak bertemu dengan mama, hanya bisa berbagi kabar melalui ponsel saja."Assalamualaikum, Ma," ucapku."Waalaikumsalam calon Ibu, lagi apa ini?"Selalu begitu salam mama setelah tahu aku mengandung cucunya."Lagi nonton tivi, calon
Urin perlahan mulai naik dan terlihatlah garis itu. Satu garis, dan dengan perlahan menjadi dua garis samar. Aku tidak tahu ini artinya apa, karena garis kedua tidak terlalu terlihat.Aku mencucinya lalu membawanya keluar. Mas Yogi sudah menunggu di depan kamar mandi."Gimana?" tanyanya.Aku menggeleng. Wajah mas Yogi yang awalnya tampak cerah, kini mulai redup."Nggak apa-apa, mungkin memang belum rezeki," ujarnya.Mas Yogi menggandengku lalu mendudukkan aku di ranjang kami."Aku nggak tau ini maksudnya apa?"Aku menyerahkan benda itu pada mas Yogi, mas Yogi mengamatinya dengan seksama."Garisnya dua tapi samar, maksudnya gimana? Kamu hamil?""Nggak tau," jawabku.Bagaimana aku bisa tahu, bahkan melihat benda itu saja belum pernah, apalagi menyentuhnya."Kita ke rumah sakit aja biar jelas," ujarnya.Aku setuju, daripada kami hanya menebak.Aku dan mas Yogi berangkat menuju rumah sakit, Arya berada di rumah bersama ART. Sebenarnya ia ingin ikut, tetapi mas Yogi melarang karena rumah s
"Aku tuh nggak pernah jatuh cinta sedalam ini, sekalinya cinta malah dipatahin gitu aja. Tega kalian sama aku!""Nggak usah bikin rusuh deh, Van. Jangan pura-pura jadi korban!" ujar mas Yogi."Dari awal aku juga nggak pernah nanggepin kamu, kamu yang terus-terusan gangguin aku. Kamu pergi aja, jangan bikin malu. Banyak keluarga yang berada di sini," timpaku."Van, kamu ngapain di sini? Udah, turun sana!" perintah pak Dafa. Aku baru sadar kalau kami sudah menjadi pusat perhatian.Dengan terpaksa Yovan turun dari pelaminan. Bu Najwa juga sudah berdiri di dekatku."Maaf untuk ketidaknyamanannya, ini hanya salah paham," ujar pak Dafa pada tamu undangan yang hadir. Akhirnya semua kembali menikmati acara."Gila ya itu, Yovan. Nggak nyangka kalau dia masih berani ngomong di sini. Aku kira udah berakhir dari yang Mas ceritain dulu," ujar bu Najwa."Emang biang rusuh dari dulu dia itu," tambah pak Dafa."Maaf ya, Lin. Dulu dia itu minta nomermu katanya buat konfirmasi karena nomer resort ngg
"Heh, jam segini udah keramas aja. Abis ngapain kalian?" Aku baru saja keluar dari kamar saat melihat bu Najwa yang juga keluar dari kamarnya. Kapan dia datang?"Aku kok nggak tau kalau mbak Najwa di sini?""Jelas lah, kamu di kamar mulu. Ganas banget ya mantan duda satu itu," goda bu Najwa.Malu, sebenarnya aku sangat malu terpergok begini. Padahal tadi aku sudah menolak, tapi mas Yogi sangat pandai menggoda. Aku yang awalnya tidak mau, akhirnya menikmati juga."Panas, Mbak, abis perjalanan jauh. Jadi aku mandi sekalian keramas," bohongku."Alesan aja, aku udah pengalaman kali, Lin. Udah, turun aja yuk, di tungguin Mama di bawah."Aku mengikuti bu Najwa menuruni tangga, di ruang tengah sudah banyak orang berkumpul."Cerah banget penganten baru," ujar pak Dafa."Jangan digodain, itu sekarang kakakmu!" Peringatan mas Yogi untuk pak Dafa."Sewot banget, Pak. Baru juga dikasih enak, masih emosian aja," ucap bu Najwa."Apa, Ma, yang enak? Tasya mau juga," sambar Tasya."Udah, udah, janga
Aku keluar dari kamar setelah menunaikan salat subuh, mas Yogi ---aku harus menbiasakan memanggil mas mulai saat ini--- masih di masjid bersama Arman. Aku berjalan menuju dapur untuk memulai memasak.Hari ini aku ingin masak nasi goreng sebagai sarapan dan membuat rawon untuk nanti siang. Tadi malam mama sudah membantuku menyiapkan bumbunya, jadi aku bisa langsung memasaknya.Selagi menunggu nasi goreng panas, aku menyeduh air untuk membuat teh. Lima gelas teh panas sudah aku siapkan di meja makan. Nasi goreng juga sudah siap di sana.Mengambil piring dan sendok lalu menatanya di samping gelas teh masing-masing."Harumnya," ujar mama yang baru keluar dari kamar saat aku sudah selesai menyiapkan sarapan."Nasi goreng, Ma," ujarku. Mama menarik kursi, beliau duduk di meja paling ujung."Bangun jam berapa? Kok Mama nggak denger pas kamu masak?""Pas Arman sama mas Yogi ke masjid, aku mulai masak," ujarku."Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam," jawabku dan mama bersamaan.Mas Yogi berjala
"Masih jauh?" tanya pak Yogi. Kami akan menuju simpang lima Gumul, menikmati suasana malam di sana. Rencananya sore kami akan ke sana, tetapi rencana berganti karena suatu hal."Udah deket, lurus aja," jawabku.Kami sudah berada di depan kantor kabupaten, sebentar lagi untuk mencapai tempat parkir sebelum masuk ke area Gumul."Di situ aja," tunjukku pada tempat parkir yang masih luas. Ini bukan malam minggu, jadi parkiran tidak begitu penuh.Kami turun dari mobil, berjalan mendekati tempat masuk menuju area monumen."Jauh jalannya?""Enggak, tinggal lurus terus naik tangga, sampai," jelasku.Kami sudah berada di area monumen, cukup banyak pengunjung meski tidak seramai saat akhir pekan."Mau foto?" tanya pak Yogi. Aku mengangguk setuju.Kami mengabadikan foto berdua di gawai pak Yogi, pak Yogi memasang salah satunya sebagai foto profil di aplikasi hijau."Kok foto profilnya diganti? Nggak mau sama kolega?""Kenapa harus malu? Aku pasang foto sama istriku sendiri," jawabnya.Meski han
Pagi ini aku terbangun pukul lima, aku tersenyum kala melihat suamiku masih tertidur di sampingku. Wajah yang kulihat setiap hari kala aku berkutat dengan pekerjaan, sekarang aku melihatnya saat baru membuka mata.Aku berusaha turun dari ranjang, rasa nyeri masih terasa di pangkal paha. Padahal tadi malam tidak sesakit ini, kenapa sekarang rasanya aku seperti tidak mampu berjalan.Beruntung tadi malam aku sudah memakai baju saat aku merasa kedinginan. Perlahan aku berdiri, menyeimbangkan kaki yang masih bergetar. "Aduh!" Suara yang cukup keras keluar dari mulutku, aku segera menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku menatap pak Yogi. Terlambat! Pak Yogi sudah membuka matanya dan menatapku."Kamu kenapa?" tanyanya yang langsung bangun dan menghampiriku."Astaghfirullah!" Aku menutup mataku dengan kedua tangan. Bagaimana aku tidak terkejut, saat ini pak Yogi berlari ke arahku tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Mataku yang masih polos ini belum mampu menerima pemandangan yang iya
Pak Yogi tidak jadi membuka pintu, ia menatapku lekat. "Kamu istirahat aja, pasti masih capek kan? Aku aja yang ke sana, nanti aku pulang kalau keadaan Arya sudah membaik," ujarnya."Arya sekarang juga anakku, gimana seorang ibu bisa tenang saat anaknya kesakitan?""Ya udah ganti baju, aku tunggu di depan," ucap pak Yogi.Aku segera berganti baju yang lebih pantas karena tadi aku hanya memakai baju tidur.Aku segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan pak Yogi, ternyata ia sedang duduk di ruang tamu bersama mama dan Arlan."Ma, kami pergi dulu ya," pamitku."Iya, hati-hati. Mama cuma bisa berdoa semoga Arya cepet sembuh," ujar mama."Makasih doanya, Ma. Maaf malam-malam malah ganggu istirahat Mama," ucap pak Yogi."Nggak apa-apa, namanya juga musibah. Apa Arlan ikut aja sekalian?""Nggak usah, Ma. Kami pergi berdua aja. Di sana juga sudah ada bu Najwa," ucapku.Aku dan pak Yogi pamit dan dengan cepat naik ke mobil pak Yogi. Pak Yogi melajukan mobilnya menuju rumah sakit Bhayangka