Share

TERJERAT CINTA BOS DUDA
TERJERAT CINTA BOS DUDA
Author: Ai Ueo

Tantrum

Author: Ai Ueo
last update Huling Na-update: 2025-02-07 14:10:05

"Lin, pokoknya saya mau nikah!"

Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja.

"Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.

Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu.

"kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.

Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini.

"Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.

Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya anak, bukankah sudah seharusnya mengutamakan anaknya?

"Kalau yang dipilih Arya, wanita yang masih muda seusia kamu, kira-kira dia mau nerima nggak?"

Ya, mana aku tahu? Kenal sama wanitanya aja enggak! Semakin aneh saja pertanyaan Pak Yogi ini.

"Ditanyain aja sama orangnya, Pak," jawabku asal. Aku masih sibuk dengan laporan bulanan, kenapa Bos yang satu ini malah sibuk curhat?

"Aku mau tanya sama kamu. Ini kalau menurut kamu, seandainya ada pria yang mapan, tampan, baik hati, tidak sombong dan pengertian, tapi dia duda anak satu, kamu mau nerima nggak?"

"Kok saya, Pak?" Heran, yang disuka siapa kok malah tanya sama aku?

"Kan, seumpama dia itu seumuran sama kamu. Siapa tau kamu bisa ngasih pendapat."

Aku sudah mulai geregetan dengan Pak Bos ini, minta pekerjaan cepet selesai tapi beliau malah merepotkan dengan pertanyaan nggak jelas kayak gini.

"Kalau menurut saya jangan kasih perumpamaan yang baik aja, yang jeleknya juga harus disebutin dong, Pak," ucapku, tangan dan mataku kembali fokus pada pekerjaan yang sudah di buru waktu. "Termasuk sombongnya yang selangit itu," lanjutku membatin.

"Emang apa kekurangan saya?" tanyanya dengan raut datar andalan.

'Sombong amat! Mana ada manusia tanpa cacat, mentang-mentang banyak duit merasa jadi orang paling sempurna,' tapi lagi-lagi itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Mana berani aku bilang begitu, bisa dipecat nanti.

"Ini jawaban saya ya, Pak. Saya pernah pacaran sama yang kaya tapi malah diselingkuhi. Pacaran sama yang miskin malah diporotin. Jadi mending saya pilih yang setia dan bertanggung jawab," jawabku. Karena memang pengalaman dua kali pacaran malah bikin sakit hati, jadi sekarang lebih selektif untuk memilih pasangan.

"Saya setia dan bertanggung jawab," jawabnya dengan percaya diri.

Idih, memangnya siapa yang mau sama Pak Yogi? Kalau aku sih, enggak, ya. Jadi bos aja galaknya minta ampun. Gimana kalau jadi suami?

"Ya jelasin aja sama orangnya." Kalau diterima ya syukur, tapi kalau ditolak ya cari lagi," jawabku. Kapan pertanyaan tidak jelas ini akan berakhir?

"Kalau misal dia itu usianya terpaut jauh, misal kita nih, kan beda lebih dari sepuluh tahun. Kamu tetap mau?"

Kenapa aku lagi? Dasar Bos aneh. Mukanya aja garang. Nembak cewek nggak berani!

"Kalau orangnya masih awet muda kayak Bapak, ya kemungkinan besar mau sih. Masih pantes kalau diajak kondangan."

"Kalau ...."

"Pak, nanti lagi ya. Sekarang saya masih banyak kerjaan, mending Bapak tanya langsung sama orangnya aja deh, biar cepet jelas," potongku mulai jengkel.

Biarlah dipecat, asal dapat pesangon yang banyak. Lagian nih, orang biasanya galak banget, kok sekarang malah curhat gini. Masak orang kayak Pak Yogi punya rasa tidak percaya diri? Kan, nggak mungkin.

Tanpa sepatah kata pun, Pak Yogi keluar dari ruangan. Aku mengelus dada, untung tidak langsung dipecat.

Akhirnya aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lancar tanpa hambatan, hingga tidak sadar kalau waktu makan siang sudah tiba.

"Nih, makan." Secara tiba-tiba Pak Yogi masuk dan menyerahkan paper bag berisi satu boks makanan, entah apa isinya karena aku belum melihatnya.

"Tumben, Bapak kok baik?"

"Kamu nih, dikasih makan bukannya makasih malah ngeledek. Kalau mau tinggal makan, nggak mau ya buang aja!" ujarnya ketus.

Siapa yang tidak heran, biasanya jahat bener. Tiap mau makan di luar pasti di telepon buat bungkusin, ini kok malah aku yang dibawain, kan aneh?

"Saya makan ya, Pak?" ucapku.

"Hmmm," jawabnya tanpa melihatku.

Aku mulai membuka dengan perlahan, kukeluarkan kotak makan dengan dominasi warna hijau itu. Saat ku buka, tercium aroma gurih yang sangat enak. Gudeg nangka lengkap dengan telur bacem sangat menggugah selera.

"Bapak nggak makan?" tanyaku di sela menyantap makanan lezat ini.

"Disuapin boleh?"

"Nggak lah, makan sendiri, udah gede juga."

"Makan sendiri aja kalau gitu!" Senyumnya yang tadi muncul tiba-tiba memudar, enak aja mau minta suap, emang aku baby sitter apa?

"Bapak lagi patah hati?" tanyaku setelah selesai membereskan bekas makan siang.

"Emang kenapa?"

"Kusut banget. Perasaan tadi pagi masih cerah. Bapak ditolak?" tebakku.

Sungguh, penampilan Pak Yogi hari ini sangat berbeda dengan tadi pagi.

"Ngungkapin aja belum," jawabnya.

"Emang dia kerja di sini juga ya, Pak?" Kerena aku jarang melihat beliau keluar dari resort jika tidak ada kegiatan penting, saat pergi juga seringnya aku ikut.

"Iya."

"Saya kenal, pak?" tanyaku antusias, jadi perempuan yang disukai pak Yogi ada di sini, tapi siapa?

Pak Yogi hanya mengangguk. Sebenarnya masih ingin tahu, tapi takut saat melihat wajahnya yang tidak bersahabat.

"Kamu maunya pacaran dulu apa langsung nikah?"

Pertanyaan aneh dilontarkan Pak Yogi lagi.

" Mau yang langsung ke rumah buat izin sama Mama saya," jawabku. Memang aku sudah tidak berminat untuk pacar-pacaran lagi.

"Kamu jadi pulang hari minggu besok?"

"Jadi, Pak. Saya udah lama nggak pulang. Udah kangen sama Mama dan adek-adek," jawabku dengan senyum mengembang.

"Hari minggu saya ada acara, kamu tolong jagain Arya, saya bayar dua kali lipat."

"Tapi, Pak?" protesku.

"Minggu depan pulang sama saya."

***

Agar ceritanya nyambung, kalian bisa baca cerita 5 Tahun Setelah Bercerai terlebih dahulu ya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TERJERAT CINTA BOS DUDA   Akhir

    "Mas, aku ngompol."Aku berdiri dan air itu mengalir di sela kakiku tanpa bisa dicegah.Mas Yogi segera berdiri dan mendekat padaku."Ngompol? Kenapa nggak ke kamar mandi?" tanya mas Yogi."Nggak tahan, keluar gitu aja. Aku nggak ngerasa pengen buang air kecil, tapi tiba-tiba keluar aja," ucapku."Sakit nggak?" tanya mas Yogi."Enggak, cuma langsung keluar aja.""Nadia dulu waktu mau lahirin Arya, dia kesakitan di pinggang sama perut mules. Aku bawa ke rumah sakit terus Arya lahir. Ini tanggal berapa?""Masih kurang satu minggu dari perkiraan," jawabku."Ma, Mama, sini Ma!" teriak mas Yogi memanggil mama Sandra."Kenapa teriak-teriak? Mama lagi bikin wedang jahe," ujar mama lalu mendekat pada kami."Linda buang air kecil nggak kerasa, apa mau lahiran ya, Ma?""Mama nggak tau soal itu, Mama kan nggak pernah melahirkan," ujar mama."Kalau menurut tanggal, masih satu Minggu lagi," ucap mas Yogi."Coba telepon Najwa deh," saran mama.Mas Yogi mencari ponselnya dan menelepon mbak Najwa.Pa

  • TERJERAT CINTA BOS DUDA   Perjuangan

    "Makasih lo, atas bantuannya kemarin. Bude merasa sangat terbantu dan terharu dengan kebaikan kalian. Makasih banyak ya.""Maaf ya Bude, kemarin Linda sama mas Yogi nggak bisa dateng. Baru bisa pulang hari ini. Selain banyak kerjaan, Linda juga baru dibolehin perjalanan jauh sama Dokter," ujarku.Wajah bude Rahmi tetap ramah dengan senyum menghiasinya, tidak ada amarah seperti sebelum-sebelumnya."Nggak apa-apa. Yang penting kandungan kamu sehat. Mama kamu juga sudah bantu-bantu, saudara lain juga banyak yang hadir.""Bude bijak sekali. Terimakasih, Bude."Bude Rahmi mengusap perutku. "Kamu itu anak baik, pasti dikelilingi orang baik juga. Kamu lahiran di sini?""Enggak, Bude. Di sini cuma liburan satu minggu. Lahirannya tetap di sana, mungkin nanti Mama di bawa," jelasku."Semoga saja Bude bisa ikut ke sana, pengen juga dampingin kamu pas lahiran nanti. Kalau di sini kan Bude bisa bantu jagain, bantu urus juga. Kalau di sana nggak bisa lama, kan di sini juga ada cucu Bude yang masih

  • TERJERAT CINTA BOS DUDA   Uang merubah segalanya

    "Cilok? Jam segini?"Mas Yogi yang masih linglung karena baru bangun tidur, cukup terkejut dengan ucapanku."Mana ada yang jual cilok jam dua belas malam? Kamu mau ngerjain aku?""Bukan aku, Mas. Ini maunya dedek," ucapku seraya mengusap perutku yang mulai membesar."Aku tau, tapi ini tengah malam, Sayang. Aku harus nyari ke mana?""Terserah, yang jelas sekarang aku mau cilok!" tegasku.Aku juga tidak mau merepotkan mas Yogi, tapi ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak bisa di tahan. Mana ada orang ngidam bisa dicegah?"Oke, aku berangkat sekarang. Kamu tidur aja kalau masih ngantuk," putusnya.Mas Yogi mengambil jaket dan dompet lalu keluar dari kamar.Sebenarnya kasihan melihat mas Yogi pasrah begini, tapi ini kan demi anaknya juga.Aku menunggu mulai dari sepuluh menit, setengah jam, hingga satu jam mas Yogi tidak datang juga. Awalnya aku masih bertahan, lama-lama aku tidak kuat menahan kantuk. Aku mulai merebahkan diri dan perlahan menutup mata dan terlelap.Aku terbangun dari tid

  • TERJERAT CINTA BOS DUDA   Ileran

    Aku benar-benar seperti burung dalam sangkar emas. Sekarang apa pun kebutuhanku sudah ada yang mengambilkan.Silvi, asisten rumah tangga yang biasanya bekerja mengurus cucian baju dan kebersihan rumah, sekarang bertugas menemaniku. Apa pun yang aku perlukan akan dibantu oleh Silvi.Aku memang memilih ditemani oleh Silvi yang notabene sudah bekerja di sini cukup lama dan aku sudah mengenalnya, daripada harus beradaptasi dengan orang baru.Silvi ini usianya lebih tua dariku, tapi dia tidak kamu dipanggil mbak olehku, kurang sopan katanya. Padahal menurutku justru tidak sopan saat memanggil yang lebih tua dengan sebutan nama saja.Mama dan mas Yogi menjagaku seperti layaknya kaca yang mudah retak, aku tidak diizinkan melakukan apapun selain kegiatan yang ringan saja."Sayang, dua minggu lagi acara empat bulanan. Nanti Anin ke sini untuk ukur kamu, kita bikin baju seragam buat acara pengajian," ujar mama saat kami menikmati sarapan bersama."Arya nggak mau pakek baju merah muda atau ungu

  • TERJERAT CINTA BOS DUDA   Trauma

    "Harusnya kamu lebih bisa mengontrol emosi, ini kehamilan pertama Linda. Bagaimana kalau Linda menjadi stres karena kamu marah-marah."Sayup-sayup aku mendengar suara mama mertua. Meski lirih, aku masih bisa mendengar suara mama.Aku membuka mata dengan perlahan, ternyata aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit."Sayang, kamu sudah sadar?" Mama menghampiriku lalu mengusap tanganku yang tidak dipasangi selang infus."Memangnya Linda kenapa, Ma?""Kamu tadi hampir jatuh di kamar tamu," jelas mama."Anakku gimana, Ma?" Aku baru teringat kalau tadi aku sempat mengeluarkan darah.Raut mama berubah, aku takut terjadi apa-apa pada bayiku. Kalau sampai itu terjadi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Ma, bayiku nggak apa-apa kan, Ma?""Alhamdulillah, bayinya nggak apa-apa. Cuma, sekarang kamu harus dirawat dulu beberapa hari. Kandungan kamu lemah, kamu nggak boleh banyak beraktifitas," ujar mama.Aku menoleh ke sofa yang ada di ruanganku, di sana mas Yogi terlihat menundukkan wajahny

  • TERJERAT CINTA BOS DUDA   Tragedi

    "Kamu mau apa? Nanti aku bawain pas pulang kerja," tanya mas Yogi saat akan berangkat kerja."Aku pengen sambal kentang yang ada petenya, tapi yang dimasak sama mbak Rania. Mas mau ambilin ke kateringnya?" "Nanti aku telepon mas Damar dulu, takutnya istrinya lagi sibuk," ujar mas Yogi.Aku mengangguk."Aku berangkat dulu, nanti kabarin kalau ada apa-apa," pamit mas Yogi."Iya, hati-hati. Nggak usah ngebut," ucapku.Sekarang mas Yogi lebih sering berangkat agak siang, sementara Arya berangkat bersama sopir.Aku sendirian lagi di rumah, hanya ditemani dengan ART yang sibuk dengan pekerjaan rumah.Saat tengah asik menyaksikan acara gosip, ponsel di sampingku berbunyi. Nama mama terpampang di layar, aku segera menerima panggilan video itu. Sudah lumayan lama tidak bertemu dengan mama, hanya bisa berbagi kabar melalui ponsel saja."Assalamualaikum, Ma," ucapku."Waalaikumsalam calon Ibu, lagi apa ini?"Selalu begitu salam mama setelah tahu aku mengandung cucunya."Lagi nonton tivi, calon

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status