"Lin, pokoknya saya mau nikah!"
Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja. "Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih. Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu. "kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi. Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini. "Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku. Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya anak, bukankah sudah seharusnya mengutamakan anaknya? "Kalau yang dipilih Arya, wanita yang masih muda seusia kamu, kira-kira dia mau nerima nggak?" Ya, mana aku tahu? Kenal sama wanitanya aja enggak! Semakin aneh saja pertanyaan Pak Yogi ini. "Ditanyain aja sama orangnya, Pak," jawabku asal. Aku masih sibuk dengan laporan bulanan, kenapa Bos yang satu ini malah sibuk curhat? "Aku mau tanya sama kamu. Ini kalau menurut kamu, seandainya ada pria yang mapan, tampan, baik hati, tidak sombong dan pengertian, tapi dia duda anak satu, kamu mau nerima nggak?" "Kok saya, Pak?" Heran, yang disuka siapa kok malah tanya sama aku? "Kan, seumpama dia itu seumuran sama kamu. Siapa tau kamu bisa ngasih pendapat." Aku sudah mulai geregetan dengan Pak Bos ini, minta pekerjaan cepet selesai tapi beliau malah merepotkan dengan pertanyaan nggak jelas kayak gini. "Kalau menurut saya jangan kasih perumpamaan yang baik aja, yang jeleknya juga harus disebutin dong, Pak," ucapku, tangan dan mataku kembali fokus pada pekerjaan yang sudah di buru waktu. "Termasuk sombongnya yang selangit itu," lanjutku membatin. "Emang apa kekurangan saya?" tanyanya dengan raut datar andalan. 'Sombong amat! Mana ada manusia tanpa cacat, mentang-mentang banyak duit merasa jadi orang paling sempurna,' tapi lagi-lagi itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Mana berani aku bilang begitu, bisa dipecat nanti. "Ini jawaban saya ya, Pak. Saya pernah pacaran sama yang kaya tapi malah diselingkuhi. Pacaran sama yang miskin malah diporotin. Jadi mending saya pilih yang setia dan bertanggung jawab," jawabku. Karena memang pengalaman dua kali pacaran malah bikin sakit hati, jadi sekarang lebih selektif untuk memilih pasangan. "Saya setia dan bertanggung jawab," jawabnya dengan percaya diri. Idih, memangnya siapa yang mau sama Pak Yogi? Kalau aku sih, enggak, ya. Jadi bos aja galaknya minta ampun. Gimana kalau jadi suami? "Ya jelasin aja sama orangnya." Kalau diterima ya syukur, tapi kalau ditolak ya cari lagi," jawabku. Kapan pertanyaan tidak jelas ini akan berakhir? "Kalau misal dia itu usianya terpaut jauh, misal kita nih, kan beda lebih dari sepuluh tahun. Kamu tetap mau?" Kenapa aku lagi? Dasar Bos aneh. Mukanya aja garang. Nembak cewek nggak berani! "Kalau orangnya masih awet muda kayak Bapak, ya kemungkinan besar mau sih. Masih pantes kalau diajak kondangan." "Kalau ...." "Pak, nanti lagi ya. Sekarang saya masih banyak kerjaan, mending Bapak tanya langsung sama orangnya aja deh, biar cepet jelas," potongku mulai jengkel. Biarlah dipecat, asal dapat pesangon yang banyak. Lagian nih, orang biasanya galak banget, kok sekarang malah curhat gini. Masak orang kayak Pak Yogi punya rasa tidak percaya diri? Kan, nggak mungkin. Tanpa sepatah kata pun, Pak Yogi keluar dari ruangan. Aku mengelus dada, untung tidak langsung dipecat. Akhirnya aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lancar tanpa hambatan, hingga tidak sadar kalau waktu makan siang sudah tiba. "Nih, makan." Secara tiba-tiba Pak Yogi masuk dan menyerahkan paper bag berisi satu boks makanan, entah apa isinya karena aku belum melihatnya. "Tumben, Bapak kok baik?" "Kamu nih, dikasih makan bukannya makasih malah ngeledek. Kalau mau tinggal makan, nggak mau ya buang aja!" ujarnya ketus. Siapa yang tidak heran, biasanya jahat bener. Tiap mau makan di luar pasti di telepon buat bungkusin, ini kok malah aku yang dibawain, kan aneh? "Saya makan ya, Pak?" ucapku. "Hmmm," jawabnya tanpa melihatku. Aku mulai membuka dengan perlahan, kukeluarkan kotak makan dengan dominasi warna hijau itu. Saat ku buka, tercium aroma gurih yang sangat enak. Gudeg nangka lengkap dengan telur bacem sangat menggugah selera. "Bapak nggak makan?" tanyaku di sela menyantap makanan lezat ini. "Disuapin boleh?" "Nggak lah, makan sendiri, udah gede juga." "Makan sendiri aja kalau gitu!" Senyumnya yang tadi muncul tiba-tiba memudar, enak aja mau minta suap, emang aku baby sitter apa? "Bapak lagi patah hati?" tanyaku setelah selesai membereskan bekas makan siang. "Emang kenapa?" "Kusut banget. Perasaan tadi pagi masih cerah. Bapak ditolak?" tebakku. Sungguh, penampilan Pak Yogi hari ini sangat berbeda dengan tadi pagi. "Ngungkapin aja belum," jawabnya. "Emang dia kerja di sini juga ya, Pak?" Kerena aku jarang melihat beliau keluar dari resort jika tidak ada kegiatan penting, saat pergi juga seringnya aku ikut. "Iya." "Saya kenal, pak?" tanyaku antusias, jadi perempuan yang disukai pak Yogi ada di sini, tapi siapa? Pak Yogi hanya mengangguk. Sebenarnya masih ingin tahu, tapi takut saat melihat wajahnya yang tidak bersahabat. "Kamu maunya pacaran dulu apa langsung nikah?" Pertanyaan aneh dilontarkan Pak Yogi lagi. " Mau yang langsung ke rumah buat izin sama Mama saya," jawabku. Memang aku sudah tidak berminat untuk pacar-pacaran lagi. "Kamu jadi pulang hari minggu besok?" "Jadi, Pak. Saya udah lama nggak pulang. Udah kangen sama Mama dan adek-adek," jawabku dengan senyum mengembang. "Hari minggu saya ada acara, kamu tolong jagain Arya, saya bayar dua kali lipat." "Tapi, Pak?" protesku. "Minggu depan pulang sama saya." *** Agar ceritanya nyambung, kalian bisa baca cerita 5 Tahun Setelah Bercerai terlebih dahulu ya."Kamu mau apa? Nanti aku bawain pas pulang kerja," tanya mas Yogi saat akan berangkat kerja."Aku pengen sambal kentang yang ada petenya, tapi yang dimasak sama mbak Rania. Mas mau ambilin ke kateringnya?" "Nanti aku telepon mas Damar dulu, takutnya istrinya lagi sibuk," ujar mas Yogi.Aku mengangguk."Aku berangkat dulu, nanti kabarin kalau ada apa-apa," pamit mas Yogi."Iya, hati-hati. Nggak usah ngebut," ucapku.Sekarang mas Yogi lebih sering berangkat agak siang, sementara Arya berangkat bersama sopir.Aku sendirian lagi di rumah, hanya ditemani dengan ART yang sibuk dengan pekerjaan rumah.Saat tengah asik menyaksikan acara gosip, ponsel di sampingku berbunyi. Nama mama terpampang di layar, aku segera menerima panggilan video itu. Sudah lumayan lama tidak bertemu dengan mama, hanya bisa berbagi kabar melalui ponsel saja."Assalamualaikum, Ma," ucapku."Waalaikumsalam calon Ibu, lagi apa ini?"Selalu begitu salam mama setelah tahu aku mengandung cucunya."Lagi nonton tivi, calon
Urin perlahan mulai naik dan terlihatlah garis itu. Satu garis, dan dengan perlahan menjadi dua garis samar. Aku tidak tahu ini artinya apa, karena garis kedua tidak terlalu terlihat.Aku mencucinya lalu membawanya keluar. Mas Yogi sudah menunggu di depan kamar mandi."Gimana?" tanyanya.Aku menggeleng. Wajah mas Yogi yang awalnya tampak cerah, kini mulai redup."Nggak apa-apa, mungkin memang belum rezeki," ujarnya.Mas Yogi menggandengku lalu mendudukkan aku di ranjang kami."Aku nggak tau ini maksudnya apa?"Aku menyerahkan benda itu pada mas Yogi, mas Yogi mengamatinya dengan seksama."Garisnya dua tapi samar, maksudnya gimana? Kamu hamil?""Nggak tau," jawabku.Bagaimana aku bisa tahu, bahkan melihat benda itu saja belum pernah, apalagi menyentuhnya."Kita ke rumah sakit aja biar jelas," ujarnya.Aku setuju, daripada kami hanya menebak.Aku dan mas Yogi berangkat menuju rumah sakit, Arya berada di rumah bersama ART. Sebenarnya ia ingin ikut, tetapi mas Yogi melarang karena rumah s
"Aku tuh nggak pernah jatuh cinta sedalam ini, sekalinya cinta malah dipatahin gitu aja. Tega kalian sama aku!""Nggak usah bikin rusuh deh, Van. Jangan pura-pura jadi korban!" ujar mas Yogi."Dari awal aku juga nggak pernah nanggepin kamu, kamu yang terus-terusan gangguin aku. Kamu pergi aja, jangan bikin malu. Banyak keluarga yang berada di sini," timpaku."Van, kamu ngapain di sini? Udah, turun sana!" perintah pak Dafa. Aku baru sadar kalau kami sudah menjadi pusat perhatian.Dengan terpaksa Yovan turun dari pelaminan. Bu Najwa juga sudah berdiri di dekatku."Maaf untuk ketidaknyamanannya, ini hanya salah paham," ujar pak Dafa pada tamu undangan yang hadir. Akhirnya semua kembali menikmati acara."Gila ya itu, Yovan. Nggak nyangka kalau dia masih berani ngomong di sini. Aku kira udah berakhir dari yang Mas ceritain dulu," ujar bu Najwa."Emang biang rusuh dari dulu dia itu," tambah pak Dafa."Maaf ya, Lin. Dulu dia itu minta nomermu katanya buat konfirmasi karena nomer resort ngg
"Heh, jam segini udah keramas aja. Abis ngapain kalian?" Aku baru saja keluar dari kamar saat melihat bu Najwa yang juga keluar dari kamarnya. Kapan dia datang?"Aku kok nggak tau kalau mbak Najwa di sini?""Jelas lah, kamu di kamar mulu. Ganas banget ya mantan duda satu itu," goda bu Najwa.Malu, sebenarnya aku sangat malu terpergok begini. Padahal tadi aku sudah menolak, tapi mas Yogi sangat pandai menggoda. Aku yang awalnya tidak mau, akhirnya menikmati juga."Panas, Mbak, abis perjalanan jauh. Jadi aku mandi sekalian keramas," bohongku."Alesan aja, aku udah pengalaman kali, Lin. Udah, turun aja yuk, di tungguin Mama di bawah."Aku mengikuti bu Najwa menuruni tangga, di ruang tengah sudah banyak orang berkumpul."Cerah banget penganten baru," ujar pak Dafa."Jangan digodain, itu sekarang kakakmu!" Peringatan mas Yogi untuk pak Dafa."Sewot banget, Pak. Baru juga dikasih enak, masih emosian aja," ucap bu Najwa."Apa, Ma, yang enak? Tasya mau juga," sambar Tasya."Udah, udah, janga
Aku keluar dari kamar setelah menunaikan salat subuh, mas Yogi ---aku harus menbiasakan memanggil mas mulai saat ini--- masih di masjid bersama Arman. Aku berjalan menuju dapur untuk memulai memasak.Hari ini aku ingin masak nasi goreng sebagai sarapan dan membuat rawon untuk nanti siang. Tadi malam mama sudah membantuku menyiapkan bumbunya, jadi aku bisa langsung memasaknya.Selagi menunggu nasi goreng panas, aku menyeduh air untuk membuat teh. Lima gelas teh panas sudah aku siapkan di meja makan. Nasi goreng juga sudah siap di sana.Mengambil piring dan sendok lalu menatanya di samping gelas teh masing-masing."Harumnya," ujar mama yang baru keluar dari kamar saat aku sudah selesai menyiapkan sarapan."Nasi goreng, Ma," ujarku. Mama menarik kursi, beliau duduk di meja paling ujung."Bangun jam berapa? Kok Mama nggak denger pas kamu masak?""Pas Arman sama mas Yogi ke masjid, aku mulai masak," ujarku."Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam," jawabku dan mama bersamaan.Mas Yogi berjala
"Masih jauh?" tanya pak Yogi. Kami akan menuju simpang lima Gumul, menikmati suasana malam di sana. Rencananya sore kami akan ke sana, tetapi rencana berganti karena suatu hal."Udah deket, lurus aja," jawabku.Kami sudah berada di depan kantor kabupaten, sebentar lagi untuk mencapai tempat parkir sebelum masuk ke area Gumul."Di situ aja," tunjukku pada tempat parkir yang masih luas. Ini bukan malam minggu, jadi parkiran tidak begitu penuh.Kami turun dari mobil, berjalan mendekati tempat masuk menuju area monumen."Jauh jalannya?""Enggak, tinggal lurus terus naik tangga, sampai," jelasku.Kami sudah berada di area monumen, cukup banyak pengunjung meski tidak seramai saat akhir pekan."Mau foto?" tanya pak Yogi. Aku mengangguk setuju.Kami mengabadikan foto berdua di gawai pak Yogi, pak Yogi memasang salah satunya sebagai foto profil di aplikasi hijau."Kok foto profilnya diganti? Nggak mau sama kolega?""Kenapa harus malu? Aku pasang foto sama istriku sendiri," jawabnya.Meski han
Pagi ini aku terbangun pukul lima, aku tersenyum kala melihat suamiku masih tertidur di sampingku. Wajah yang kulihat setiap hari kala aku berkutat dengan pekerjaan, sekarang aku melihatnya saat baru membuka mata.Aku berusaha turun dari ranjang, rasa nyeri masih terasa di pangkal paha. Padahal tadi malam tidak sesakit ini, kenapa sekarang rasanya aku seperti tidak mampu berjalan.Beruntung tadi malam aku sudah memakai baju saat aku merasa kedinginan. Perlahan aku berdiri, menyeimbangkan kaki yang masih bergetar. "Aduh!" Suara yang cukup keras keluar dari mulutku, aku segera menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku menatap pak Yogi. Terlambat! Pak Yogi sudah membuka matanya dan menatapku."Kamu kenapa?" tanyanya yang langsung bangun dan menghampiriku."Astaghfirullah!" Aku menutup mataku dengan kedua tangan. Bagaimana aku tidak terkejut, saat ini pak Yogi berlari ke arahku tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Mataku yang masih polos ini belum mampu menerima pemandangan yang iya
Pak Yogi tidak jadi membuka pintu, ia menatapku lekat. "Kamu istirahat aja, pasti masih capek kan? Aku aja yang ke sana, nanti aku pulang kalau keadaan Arya sudah membaik," ujarnya."Arya sekarang juga anakku, gimana seorang ibu bisa tenang saat anaknya kesakitan?""Ya udah ganti baju, aku tunggu di depan," ucap pak Yogi.Aku segera berganti baju yang lebih pantas karena tadi aku hanya memakai baju tidur.Aku segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan pak Yogi, ternyata ia sedang duduk di ruang tamu bersama mama dan Arlan."Ma, kami pergi dulu ya," pamitku."Iya, hati-hati. Mama cuma bisa berdoa semoga Arya cepet sembuh," ujar mama."Makasih doanya, Ma. Maaf malam-malam malah ganggu istirahat Mama," ucap pak Yogi."Nggak apa-apa, namanya juga musibah. Apa Arlan ikut aja sekalian?""Nggak usah, Ma. Kami pergi berdua aja. Di sana juga sudah ada bu Najwa," ucapku.Aku dan pak Yogi pamit dan dengan cepat naik ke mobil pak Yogi. Pak Yogi melajukan mobilnya menuju rumah sakit Bhayangka
"Udah selesai ganti bajunya?" Itu suara mama yang berada di depan pintu."Sudah, Ma," ucapku lalu membuka pintu kamar."Kamu suruh nak Yogi ganti baju di kamar Arlan?"Aku mengangguk saja, padahal tadi aku hanya meminta pak Yogi keluar, bukan ganti baju ke kamar Arlan."Kalian itu udah nikah, kok bisa-bisanya kamu usir suamimu sendiri. Kamu itu gimana? Mama kan jadi nggak enak sama bu Sandra. Udah sana, semua pada makan. Nanti setelah salat dhuhur tamu-tamu udah banyak," omel mama.Dengan lemah aku mengikuti mama menuju meja makan. Aku merasa menjadi istri yang kejam saat ini. Padahal di kamarku sudah ada kamar mandi, kenapa tadi aku tidak bergantian ganti baju di sana saja."Kamu kenapa?" tanya pak Yogi.Aku menggelengkan kepala, tadi tidak sengaja menepuk jidatku."Maaf ya, maklum udah umur segini baru nikah. Mungkin pikirannya juga ikut konslet," ujar mama.Astaghfirullah, kenapa mamaku jadi kejam begini?"Duduk sini." Bu Sandra menepuk kursi di sebelahnya.Aku duduk di dekat bu Sa