Share

bab 7

TERJERAT CINTA CEO CANTIK

BAB 7

"Lepaskan tanganku! Aku bisa jalan sendiri!" Anggita menghentak tangannya hingga genggaman keduanya terlepas.

Gadis itu tampak memegangi pergelangan tangannya yang memerah akibat ulah Rama yang takut jika dia terlepas. Keduanya kini sudah di parkiran mobil. Padahal beberapa saat lalu mereka masih di dalam club tersebut. 

Rama baru kali ini bersikap begitu keras. Tidak seperti biasanya. Dia akan lemah lembut seperti yang diajarkan gurunya ketika menimba ilmu di pesantren. Menghadapi Raka yang kurang ajar itu harus dengan cara yang tegas. Apalagi menyangkut Anggita calon istrinya.

"Maaf kalau aku menyakitimu," pinta Rama dengan wajah begitu tulus.

"Lain kali kalau mau keluar pakailah baju yang lebih sopan. Tidak perlu memamerkan tubuhmu yang bagus itu. Apalagi meliuk-liuk di hadapan orang banyak seperti cacing kepanasan."

"Suka-suka aku! Lagian kamu kalau mau ceramah jangan di sini. Masa iya aku harus pakai gamis untuk pergi ke club. Bisa-bisa diketawain Cicak!" debat Anggita tak mau kalah.

"Setidaknya pakaianmu jangan mengundang nafsu orang lain untuk berbuat hal yang tidak senonoh kepadamu," jelas Rama mencoba bersabar menghadapi Anggita yang keras kepala.

"Buktinya kamu juga ikut menikmatinya. Gak usah nyalahin mereka. Kamu tak ada bedanya!" seru Anggita yang membuat wajah Rama memerah menahan malu dan marah. 

Anggita masih sibuk menggosok tangannya bekas cekalan tangan Rama. Pergelangan tangan itu terlihat memerah, sangat kontras dengan warna kulitnya yang memutih bak mutiara khatulistiwa.

"Kamu kenapa, sih? Pakai acara bilang kalau kamu itu calon suamiku? Sengaja mau bilang kalau kamu itu ganteng? Cih!"

Anggita benar-benar meluapkan kemarahannya. Gadis itu beranggapan kalau Rama sengaja berkata demikian untuk mempermalukannya sekaligus memberitahu seluruh orang jika dia telah dijodohkan. 

"Aku tidak bermaksud demikian."

"Terus apa? Kamu pingin cari muka di hadapanku, gitu? Dasar Ustaz geje!" Anggita masih memaki-maki. 

Saking dongkolnya, Anggita sampai menendang ban mobilnya. Sayangnya hal itu membuat kaki jenjangnya malah kesakitan. Gadis itu sampai mau ambruk, untungnya Rama dengan sigap menangkap punggung Anggita yang terbuka karena pakaian yang dikenakannya.

Rama bisa merasakan halusnya kulit tubuh gadis itu. Namun, cepat-cepat dia mengusir pikiran itu dari otaknya. Takut Anggita berpikir yang macam-macam. 

Anggita masih berada dalam pelukan Rama. Keduanya kini tidak memiliki pembatas. Netra keduanya saling bertatapan. Harum tubuh Rama dapat dirasakan oleh Anggita. 

Sedetik kemudian kesadaran Anggita telah berangsur kembali. Gadis itu pun berusaha melepaskan diri dari pelukan Rama. Namun, sayangnya ketika akan bangkit tubuhnya kembali terhuyung. Dia merasakan ngilu di tungkai kakinya. Untung saja Rama tidak melepaskan pelukannya. Kalau tidak, bisa dipastikan tubuhnya akan mencium aspal. 

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Rama dengan khawatir.

Anggita mengerutkan sedikit keningya. Dia merasa heran dengan sikap Rama yang sama sekali tidak marah terhadap dirinya. Padahal dia sudah membentak-bentaknya tadi.

"Kakiku terasa sakit ketika digerakkan." Anggita berkata sejujurnya tentang keadaan kakinya.

"Kalau begitu diamlah sebentar." Seusai berkata demikian, kedua kakinya tiba-tiba sudah melayang ke udara. 

Tubuhnya tengah digendong Rama ala bridal style. Anggita ingin berontak tetapi mengingat kakinya yang sakit, dia pun hanya pasrah saja. Kedua pipinya bersemu merah menahan malu. Rama lalu mendudukkannya di sebelah bangku kemudinya.

Tanpa banyak kata, kakak angkatnya itu meraih sebelah kakinya. Lalu mengurutnya perlahan dengan aroma terapi yang biasa diletakkan di dashboard mobil. Karena dia tahu kebiasaan Anggita yang sering masuk angin tanpa sebab. 

Setelah beberapa saat kemudian ….

"Apakah kakimu sudah nyaman?" Rama kembali bertanya.

"Ya … sepertinya begitu," jawab Anggita dengan singkat.

"Jangan berpikir aku tengah mengambil kesempatan dalam kesempitan," ujar Rama menohok Anggita.

Wajah Anggita bersemu malu. Gadis itu ingin secepatnya kembali ke rumah. Setidaknya rasa canggung atas kebaikan yang diterimanya dari Rama tidak membuatnya merasa harus memperlakukan pria itu lebih baik.

"Lain kali dengarkan nasihat Papimu kalau tidak ingin celaka." Rama berkata sambil melajukan mobil mereka membelah malam yang semakin pekat.

Anggita mendengus kesal begitu kembali mendengar nasihat dari kakak angkatnya itu. 

"Aku tidak suka diatur! Ingat itu!" Anggita kembali bersikap semaunya.

"Aku tidak mengaturmu. Aku hanya menasihatimu."

Rama masih berkata dengan suara yang cukup tenang tetapi tidak bagi Anggita. Kata-kata yang diucapkan Rama itu laksana terali besi yang membelenggu langkahnya.

"Aku juga tidak suka dinasihati. Kalau mau ceramah, kamu salah tempat!" 

Rama terdengar menghela napas. Anggi tahu pria itu sangat tidak suka dibantah tetapi dia juga harus tahu. Kalau dirinya tidak suka dengan dirinya.

Kembali mengingat perjanjiannya dengan papinya membuat gadis itu kembali kesal.

"Mengapa kamu bersedia dijodohkan denganku? Apakah kamu juga tergiur dengan warisan Papiku? Atau kamu sudah bosan hidup miskin?" Pertanyaan Anggita benar-benar membuat Rama mengerem mobil yang dikemudikannya dengan mendadak. 

Dahi licin Anggita pun kepentok dashboard. Membuat gadis cantik itu mengadu kesakitan.

"Apa kamu sengaja membuatku terluka?" tanyanya dengan berteriak. 

Anggita melihat mata elang milik Rama berkilat bagai pisau yang siap menghunus lawannya. Tiba-tiba dia merasa begitu ketakutan berada di dekat Rama yang biasanya lemah lembut dan selalu menuruti apa saja perintahnya.

"Benar kamu mau tahu alasanku, mengapa aku mau menikah denganmu?" tanya Rama dengan suaranya yang begitu tegas.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status