Ethan mengerutkan keningnya kala Alice tidak menjawab panggilan darinya. Padahal Ethan sudah berada di depan rumahnya. Tadi siang ketika di pabrik, Ethan langsung pergi begitu saja. Awalnya dia ingin kembali ke ruangannya, namun ternyata dia dapat pesan bahwa kakeknya jatuh sakit lagi. Itulah sebabnya dia pergi tanpa mengabari Daniel. Sejujurnya Ethan ingin bertemu Alice untuk membicarakan yang terakhir kali itu. Dia ingin meminta maaf atas sikap kurang ajarnya pada Alice. Walaupun mereka berdua sama-sama terbawa perasaan, namun tetap saja itu tidak dibenarkan. Tapi sepertinya Ethan harus mengurungkan niatnya itu, karena Alice tak menjawab panggilannya juga tak membalas pesan darinya, mungkinkah Alice sudah tidur. Ethan berbalik, dan melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir tenang tidak jauh dari posisinya berdiri. Menelan kekecawaan karena tak bisa menemui wanita itu. Lagipula, mereka besok akan bertemu juga kan, Ethan sudah mengatakan bahwa dia ingin melihat Al
"Sialan!!""Sialan!""Ah, sialan," Berulang kali umpatan terlontar dari bibir tipis Alice. Mengumpati kekonyolan dirinya yang sungguh-sungguh konyol dan bodoh. Alice jadi sangat menyesali kebodohan dirinya tadi malam. Karena ternyata panggilan masuk tadi malam itu adalah dari Ethan. Ethan juga mengirimkan pesan padanya, agar Alice bisa menemuinya. "Bodohnya kau," teriak Alice di dalam kamarnya sembari mengacak-acak rambutnya sedikit kuat untuk melampiaskan rasa frustasinya. Sepertinya saat itu Ethan sudah berada di depan rumahnya. Namun karena tidak ada jawaban apapun dari Alice, Ethan pun memutuskan untuk pulang. "Padahal aku ingin bertemu dengannya," lirih Alice dengan nada lesu. Alice melemparkan begitu saja ponselnya di atas ranjang, menatap cermin di hadapannya dan merapikan rambut panjangnya. 'Perasaanku kenapa jadi aneh begini sih. Apa aku benar sekecewa itu hanya karena aku tak bisa bertemu dengan Ethan?' batin Alice. Dia sendiri bertanya-tanya, kenapa dia merasa begi
"Apa yang bapak lakukan?" pekik Alice membulatkan matanya sempurna saat melihat Ethan juga ikut masuk di elevator yang sama dengannya. Ethan membenarkan jas hitam yang dipakainya, dan menyisir rambutnya dengan jari tangannya. Beberapa detik itu sempat membuat Alice berdecak kagum akan ketampanan atasannya ini. Bulir keringat juga memenuhi kening Ethan. Mungkinkah Ethan tadi berlari? Mungkin jika Alice adalah wanita yang memandang seseorang dari rupanya, maka dipastikan Alice sudah jatuh cinta pada Ethan. "Untuk menemuimu," balas Ethan serak, napasnya sedikit tersengal, berarti memang benar dia berlari-lari kesini. Ah apakah karena mengejar Alice? Alice tertawa kecil. "Apa ada yang ingin bapak sampaikan? Nanti kita juga akan bertemu kan," Ethan tak tahan ingin menemui Alice sekarang juga, untuk itu dia dengan sekuat tenaganya berlari mengejar Alice. Ethan menggaruk belakang telinganya padahal tak gatal. Salah tingkah karena memang nanti mereka akan bertemu juga. "Saya tadi
Alice sedari tadi memeriksa ponselnya dengan perasaan gelisah. Entahlah, dia hanya berharap, Ella menghubunginya untuk memberikan kabar atau sekedar mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi melihat jika ada Daniel yang menjaganya, membuat Alice jadi sedikit tenang. TUK!!!! Ashley mengetukkan ujung map plastik yang dibawanya di meja Alice, membuat Alice tersentak kaget. "Kau ini. Kau ingin membuatku mati terkena serangan jantung apa bagaimana? Aissshhh," Alice meringis kesal dan menatap marah pada Ashley. Hampir saja jantungnya kenapa-kenapa. Suka sekali Ashley mengejutkan Alice seperti tadi. "Kau itu sedang memikirkan apa? Kau terlihat melamun," balas Ashley, lalu mendudukkan bokongnya di atas kursi kerjanya. "Hanya kepikiran hal kecil saja," balas Alice cuek"Cih," desis Ashley kesal tak mendapatkan jawaban yang memuaskannya. Alice menghela napas dengan keras, dalam pikirannya tidak seharusnya dia terlalu memikirkan Ella. Pasti nanti juga akan ada kabar darinya. "Bagai
Alice menerima kertas itu dan melihat daftar dokumen apa saja yang diminta Brilley. Alice mengeluh dalam hati. Pekerjaan mencari dokumen ini sangat tidak disukainya. Selain karena melelahkan juga karena Alice tidak ingin pergi ke ruang arsip yang terkesan menakutkan. "Tunggu apa lagi? Saya butuh sekarang," Nada tinggi Brilley semakin membuat Alice mengeluh. Alice pun berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerjanya. Menunduk menatap jalanan, tanpa ada semangat. Karena banyak rumor yang beredar tentang ruang arsip itu. Ada yang mengatakan berhantu, ada yang sering dengar suara-suara ketika di dalam sana. Ada juga yang katanya melihat sesuatu lewat, seperti bayangan. Dan berbagai rumor lainnya yang semakin membuat ruang arsip jadi terlihat begitu gelap dan suram. Mungkin karena ruangannya sepi dan juga tidak ada yang menjaganya. Walaupun Alice sudah dikatakan sering keluar masuk ruang arsip, namun rumor tersebut cukup membuatnya ketar-ketir, takut jika dia akan mengalami h
BRAKKK!!!!Alice seketika mundur saat pintu tiba-tiba terbuka. Lalu keluarlah sosok yang mendiami ruangan tersebut. "Pa-pak Direktur? Apa yang bapak lakukan di sini?"Tak disangka, orang yang ada di dalam ruangan tersembunyi di ruang arsip ini adalah Ethan. Berarti bunyi gesekan meja tadi itu pasti Ethan kan yang membuatnya. "Alice, kau sendiri sedang apa?" Raut wajah Ethan juga begitu terkejut. Tak menyangka akan bertemu Alice ditempat ini. "Sa-saya mau mencari dokumen," balas Alice masih kaget. Alice pikir memang ada mahkluk tak kasat mata di ruangan ini. "A-apa itu ruangan bapak?" Jantung Alice yang tadi berdetak cepat karena terkejut, kini sudah kembali normal. Ethan tersenyum, "Ini ruangan rahasia. Saya sering datang, biasanya kalau ingin membaca arsip saja, seperti hari ini," Alice membulatkan bibirnya membentuk huruf O, tanpa bersuara. "Ayo, biar saya bantu untuk mencari dokumen yang kau butuhkan," tawarnya sembari tersenyum pada Alice. Wah wah wah. Jadi selama ini s
Ethan merogoh sakunya. Mengeluarkan ponselnya, dan menatapi layarnya seolah ragu ingin menjawabnya, namun detik berikutnya dia menempelkan ponsel itu ke telinga. "Ya?" Ethan terang-terangan menjawab panggilan itu di depan Alice. Alice pun merasa lebih baik menghindar saja, tidak sopan mendengarkan pembicaraan orang lain. Alice menatapi hamparan dokumen-dokumen di depannya, dan mencari dokumen yang Brilley inginkan. Namun sebenarnya telinganya masih dengan tajam mendengarkan percakapan Ethan yang tidak jauh darinya. Hanya kira-kira berjarak tiga langkah saja. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan?" Alice bertanya-tanya, siapa yang menghubunginya. "Aku baik-baik saja. Jaga kesehatanmu. Aku akan menghubungimu lagi nanti," Alice melirik Ethan yang sudah meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Sudah? Secepat itu? Ethan terdengar biasa saja, dan cenderung datar. Tapi tetap terdengar bahwa dia peduli pada orang yang menghubunginya itu. Siapakah gerangan? Alice
"Berikut dokumen yang Anda minta, Ketua Divisi Brilley," Alice menyerahkan beberapa dokumen yang sudah dicarinya bersama Ethan tadi. "Terima kasih," balas Brilley sambil matanya menatap curiga pada Alice. Alisnya bertaut tajam, bibirnya memanyun. Alice merasa gerah ditatapi seperti itu. "Kenapa Ketua Divisi melihat saya begitu?" Brilley menopang dagunya dengan menggunakan tangan kanannya. "Kau baik-baik saja setelah keluar dari ruang arsip? Apa kau tadi tidak membaca grup?" Alice terkekeh. "Saya membacanya. Tapi saya baik-baik saja. Tidak melihat ataupun mendengar sesuatu seperti yang dibicarakan di grup itu," Brilley masih tidak puas dengan jawaban Alice."Kau tidak merasa takut?" Alice menggeleng, "Tidak. Untuk apa merasa takut?" Bohong. Padahal Alice pun menciut nyalinya saat masuk ke ruang arsip tadi, sebelum akhirnya dia tau bahwa ada Ethan di dalam sana. "Baiklah. Terserah kau saja. Sudah, kembalilah ke mejamu," Alice mengangguk dan berbalik badan, namun bibirnya tak