Share

2

Alice Winsley sedang menatapi dengan penuh kagum pada seorang pria yang saat ini tengah memasang raut wajah serius tapi tetap memikat.

Pria itu, Ethan Hill, dia adalah seorang Direktur Utama di perusahaan tempat Alice bekerja saat ini.

'Ya Tuhan. Mengapa dia begitu tampan? Hatiku rasanya sudah lelah terus meledak setiap kali melihatnya' batin Alice yang semakin menajamkan penglihatannya pada pria itu, Ethan.

Walaupun saat ini mereka sedang berada di tengah-tengah rapat evaluasi membahas peluncuran produk baru mereka bulan kemarin, namun Alice dengan beraninya malah menatapi sang Direktur Utama.

Alice sepertinya tidak lagi berpikir panjang, bagaimana seandainya ada salah seorang rekan kerjanya memergoki dirinya yang tengah menatapi Ethan Hill dengan mata bulat dan besar, penuh dengan ketertarikan.

Seolah semua yang ada di sekelilingnya memudar dan hanya menampilkan pria itu. Dengan bibir tipis dan hidung mancungnya, alis tebal dan juga bulu mata yang lentik. Semua yang ada pada Ethan Hill adalah kesempurnaan.

Pandangan tajam matanya yang sedang memperhatikan presentasi dengan sangat serius, menambah sisi karismatik dari seorang Ethan Hill.

Alice sampai terbengong-bengong dibuatnya.

"Bagaimana menurutmu, Alice?"

Suara nyaring milik Ketua Divisi Perencanaan dan Pengembangan menyadarkan Alice dari lamunan panjang.

"Ah, ehmmm,," Alice mendadak jadi gugup sendiri. Bukan karena mendadak ditanyai pendapatnya, atau karena seluruh mata yang ikut rapat saat ini tengah memandanginya, tapi Alice gugup karena takut aksinya yang tadi melihat Ethan ketahuan.

"Melihat dari antusiasme masyarakat tentang produk baru kita ini cukup memuaskan. Saya pikir kita semua telah bekerja keras dan memberikan seluruh kemampuan terbaik kita,"

Alice memberikan pendapatnya lalu diakhiri dengan cengiran canggung dari bibirnya.

Astaga, dia sedari tadi tidak memperhatikan apa yang disampaikan karena fokus memandangi Ethan.

Beberapa rekan kerjanya yang juga turut mengikuti rapat ini mendadak tertawa tertahan sembari menatap Alice.

Alice tertegun, salahkah yang dia katakan tadi? Seharusnya benar, tapi kenapa mereka pada tertawa? Apa ada yang lucu?

Alice yang tidak mengerti situasi membingungkan ini hanya memandangi mereka yang tertawa dengan pandangan bertanya.

"Apa yang kau bicarakan, Alice? Kita sedang membahas rekomendasi tempat untuk makan siang nanti," cetus Ketua Divisi Brilley, yang juga sedang menutup mulutnya karena menahan tawa.

Alice menggaruk belakang telinganya yang tak gatal, merasa malu karena dia telah salah memberikan tanggapan.

Alice melirik kearah Ethan, ternyata sedang memandangi dirinya dengan pandangan datar, bibirnya yang tipis menutup rapat.

"Saya ikut saja pak di mana tempatnya," ujar Alice memberikan jawaban aman agar tidak salah lagi.

Brilley menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu kita makan siang ditempat biasanya saja,"

Alice mengangguk samar-samar. Alice tidak akan mempermalukan dirinya sendiri jika dia tadi mengikuti pembicaraan rapat ini dengan fokus.

Ya, sebenarnya pikiran Alice selalu memutar kembali kejadian tiga bulan yang lalu, saat Ethan menemaninya lembur dan Alice yang mengajaknya untuk minum kopi.

Karena setelah kejadian itu, Alice hanya beberapa kali berpapasan dengannya di kantor. Juga karena Ethan disibukkan dengan peluncuran produk baru pada bulan kemarin. Tapi walaupun beberapa kali itu, selalu membuat Alice jadi gugup dan jantung yang berdetak kencang.

Ethan dan Alice benar-benar berada ditingkatan jabatan yang berbeda. Alice hanya karyawan biasa sehingga tidak memungkinkan bagi dirinya untuk bisa bertemu Ethan dengan frekuensi yang sering.

Kalaupun bisa bertemu, maka Dewi Fortuna sedang mendatangi dirinya.

"Kalau begitu rapat selesai. Semuanya boleh pergi kecuali Alice Winsley. Dan juga kalian saja yang pergi makan siang. Karena saya masih ada urusan," ucap Ethan datar.

Alice tersentak. Setelah hanya berpapasan beberapa kali, ini adalah pertemuannya lagi dengan Ethan.

Semua yang menghadiri rapat seketika memandangi Alice. Seolah mereka bertanya 'ada hubungan apa kau dengan seorang Ethan Hill sampai dia menyebut namamu'. Tentu mereka akan heran, bagaimana bisa Ethan Hill tahu nama Alice. Sedangkan berbincang terkait pekerjaan pun sepertinya tidak pernah.

Alice memang sengaja tidak menceritakan pengalaman tiga bulan yang lalu itu pada rekannya yang lain kecuali Ashley.

Sejujurnya Alice tidak diikutsertakan dalam rapat ini, hanya keberadaannya di sini untuk menggantikan Ashley yang hari ini berhalangan hadir. Karena Ashley adalah Wakil Divisi.

Alice yang mendapati dirinya tengah dipandangi dengan tajam dari beberapa rekannya tak tau harus memberikan balasan apa. Alice sepertinya harus mengarang-ngarang cerita untuk mengelabui rekannya ini.

Mereka pun satu persatu keluar dari ruangan. Hingga menyisakan Alice dan Ethan berdua saja.

"Ada apa ya pak?" tanya Alice memandang sekilas pada Ethan lalu kembali menatap lembaran kertas dihadapannya.

Ethan bangkit dari duduknya, lalu tiba-tiba menggenggam lengan Alice dan menariknya dari tempat duduknya.

Ethan kemudian membawa Alice ke sudut ruangan yang merupakan titik buta kamera pengawas.

"Apa yang ingin bapak lakukan?" pekik Alice panik mengetahui dirinya sedang dihimpit oleh Ethan.

Ethan tidak melepaskan pegangan tangannya di lengan Alice, malah semakin kencang, dan menatap Alice dengan sangat serius.

"Apa kau ada waktu malam ini?" tanyanya kaku.

Alice tersentak lalu balas menatap Ethan yang sedang memasang raut wajah berharap walaupun samar-samar.

"Ada urusan apa ya pak?" kata Alice balas bertanya.

Ethan terlihat mengendurkan pegangannya, "Hanya ingin memintamu untuk menemani saya minum kopi?"

Alice mengerutkan keningnya. Apa dia tidak salah dengar? Ethan Hill meminta Alice untuk menemaninya minum kopi? Apa Ethan tidak memiliki rekan untuk itu?

"Se-sepertinya saya tidak bisa pak," jawab Alice terdengar ragu.

Ya, dia sendiri ragu akan jawabannya karena sebenarnya dia ingin menemani Ethan. Tapi itu tidak mungkin mengingat mereka berada di posisi yang berbeda. Juga untuk menghindari rekan kerja yang bisa saja memergoki Ethan dan Alice.

Ethan mengangkat dagu Alice, dengan satu jarinya.

"Kau sungguh tidak bisa atau kau memang tidak ingin?"

Ethan memandang jauh kedalam mata Alice.

Alice menelan ludah. Bola matanya menghindari tatapan Ethan, yang memang berharap Alice bisa menemani dirinya.

"Apa bapak tidak punya teman? Saya sungguh tidak bisa," jawab Alice mencari alasan.

Ethan terlihat belum ingin menyerah. Dia ingin Alice menemaninya malam ini. Ethan sendiri tak tau mengapa. Hanya saja dia ingin wanita di depannya ini menemani Ethan. Tanpa alasan.

"Dia sedang ada urusan. Apa kau memang merasa seberat itu hanya untuk menemani saya? Bukankah kau awalnya yang mengajak saya untuk minum kopi?,"

Alice terdiam. Tak menyangka akan dikembalikannya ucapannya tiga bulan lalu itu. Tapi kan itu Alice lakukan untuk membalas kebaikan Ethan yang sudah menemani Alice lembur.

Ethan yang semakin mendekatkan tubuhnya pada Alice membuat Alice jadi semakin gugup, dia jadi tidak fokus ketika mencium aroma maskulin dari pria itu.

Alice meletakkan kedua tangannya di dada Ethan, untuk mencegah pria itu semakin menempelkan tubuhnya.

"Apa bapak tidak sadar jika bapak sudah kelewatan. Bapak terlalu dekat, dan ini tidak dibenarkan," balas Alice berani.

Pertama-tama Alice akan mendorong tubuh Ethan menjauh agar dirinya merasa luwes dan tidak gugup. Karena aroma tubuhnya yang mencuat bisa menyebabkan Alice jadi hilang akal.

Mendengar itu, Ethan menarik tubuhnya menjauhi Alice.

"Maaf. Saya tanpa sadar melakukannya," ucap Ethan yang ternyata juga baru menyadari kesalahannya.

Alice kali ini bisa bernapas dengan lega.

"Saya tidak ingin cuma-cuma menemani bapak. Apa bapak ingin mengatakan sesuatu pada saya? Atau mungkin bapak membutuhkan bantuan saya? Oleh karena itu meminta saya untuk menemani bapak,"

Ethan kali ini terdiam. Sebenarnya tidak ada yang ingin dia bicarakan pada Alice karena memang tidak ada kepentingan, juga tak ada bantuan yang dia butuhkan dari Alice. Hanya ingin wanita itu menemani dirinya.

"Saya tidak bisa melakukan sesuatu tanpa adanya tujuan yang jelas dan hanya membuang waktu," ucap Alice tegas.

Ethan tersenyum simpul. Ahh sepertinya dia tidak bisa membujuk wanita ini.

Sejujurnya Ethan cukup tertekan akhir-akhir ini. Beban berat tentang pekerjaannya ini membuatnya jadi stress dan mulai kehilangan akal sehatnya. Untuk itu dia ingin seseorang menemaninya.

Dan yang terpikirkan di dalam kepalanya adalah Alice, tapi sayang, Alice tidak berniat untuk menemaninya.

Apakah Ethan harus jelaskan lebih dulu bagaimana situasinya saat ini dan mencoba membuat wanita itu untuk mengerti sehingga dia bisa merubah keputusannya.

"Saya hanya ingin seseorang menemani saya. Saya pikir tidak masalah jika itu adalah Alice Winsley,"

Alice tersentak. Apa yang baru saja dikatakan Ethan entah bagaimana membuatnya jadi merasa malu.

"Tapi ternyata kau tidak bisa. Tak apa, saya tidak akan memaksamu," lanjut Ethan dengan raut wajah sedih.

Ahhh ini membuat Alice jadi frustasi. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Ethan Hill ini, dia tidak mengerti. Sekelibat perasaan bersalah mulai merasuki diri Alice.

Mungkin Ethan sedang mengalami masa berat akhir-akhir ini sehingga membutuhkan teman.

Apa Alice terima saja ya.

"Kau harus pergi sekarang. Jika tidak rekanmu pasti akan bertanya-tanya apa yang sedang kita bicarakan hingga menyita waktumu selama ini. Juga waktu makan siang akan segera berlalu,"

Alice menundukkan wajahnya. Perasaannya mendadak gundah. Alice menggigit bibirnya.

"Kalau begitu, biarkan saya menemani bapak menikmati secangkir kopi malam ini," ucap Alice dengan yakin.

Ethan terlihat senang, wajahnya yang tadi sempat murung jadi segar lagi. Ethan tidak mempertanyakan alasan Alice tiba-tiba mengganti keputusannya.

"Terima kasih. Sampai jumpa nanti. Juga jangan terlalu mencolok memperhatikan saya ketika rapat," kata Ethan seperti menggoda Alice.

Ethan mengusap lembut kepala Alice lalu berbalik badan dan meninggalkan Alice yang termangu.

Ethan menyadari jika Alice menatap kearahnya selama rapat berlangsung tadi.

Ah sialan. Ini membuat Alice jadi salah tingkah sendiri. Perasaannya senang karena Ethan menyadari dirinya yang menatap kearah pria itu, tapi dia juga takut jika sebenarnya Ethan merasa risih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status