Share

3

"Kau terus menghela napas. Ada apa?"

Alice kaget karena mendengar suara nyaring Brilley tepat di telinganya.

"Astaga. Apa Ketua Divisi tidak bisa tidak berbicara di telinga saya? Saya sungguh terkejut. Bagaimana kalau saya jantungan? Apa Anda ingin tanggung jawab?" balas Alice ngotot.

Brilley terlihat tertawa cekikikan. "Setelah kau bertemu dengan si Iblis Ethan Hill, kau terus menghela napas. Saya begitu penasaran, apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi"

Alice lebih memilih untuk mengabaikan ucapan Brilley yang sedang mengorek informasi darinya.

Brilley mendadak menatap Alice dari dekat, alis matanya bertaut, melihat Alice dengan pandangan menyelidik.

"Pasti ada sesuatu terjadi di antara kalian, bukan? Saya yakin itu," ucapnya dengan nada intimidasi seperti polisi yang tengah menginterogasi tersangka.

Alice menggeleng cepat. Bahaya jika sampai ketahuan mengenai hubungan antara Alice dan Ethan Hill. Padahal tidak ada hubungan apa-apa.

"Ketua Divisi tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting seperti itu. Lagian itu bukan urusan Ketua Divisi Brilley," balas Alice datar sambil dengan fokus melihat layar komputernya.

Tapi Brilley masih terlihat ingin tahu dari pancaran matanya walaupun Alice tidak melihatnya, dia bisa merasakan itu.

"Saya mengawasimu, Alice," celetuknya lalu segera pergi dari meja Alice.

Alice menghela napas lagi. Brilley itu orang yang tidak mudah di bohongi, jadi kita harus pandai-pandai mencari alasan. Terlebih Brilley juga orang yang pandai bicara.

Alice tanpa sadar menyentuh puncak kepalanya yang tadi disentuh Ethan. Walaupun hanya beberapa detik saja, tapi hangat tangannya mengalir keseluruh tubuh Alice.

Ethan menunjukkan sikap yang berbeda pada Alice. Entah kenapa Ethan tadi begitu lembut, walaupun rekan kerjanya menyebutnya si Iblis, Ethan Hill.

Memikirkan Ethan membuat perasaannya jadi ikutan hangat. Apa yang sebenarnya tengah dia rasakan saat ini? Tidak mungkin ini cinta kan? Berawal dari Ethan yang menemani Alice lembur sampai tertidur, dan kejadian sewaktu di ruangan rapat tadi.

Alice tidak mengerti, yang awalnya Ethan tidak mengenal Alice, kini malah Ethan yang meminta Alice untuk menemani pria itu. Oh sungguh, ini benar seperti keajaiban.

Suara merdu milik Justin Timberlake dengan lagu yang berjudul Mirror itu terdengar begitu indah, Alice yang menyadari bahwa itu adalah dering ponsel miliknya dengan cepat meraihnya.

"Ya, dengan Alice disini," ucap Alice tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Alice menjepit ponselnya di antara telinga dan pundaknya, sembari kedua tangannya sibuk mengetikkan sesuatu.

"Singgahlah untuk makan malam nanti. Aku memasak makanan kesukaanmu, lagipula Bryana merindukanmu,"

Oh rupanya Ashley yang menghubungi Alice.

"Sepertinya aku tidak bisa malam ini. Aku punya janji lain. Maaf," Alice menyesal tak bisa ikut acara makan malam itu. Duh padahal Ashley memasak makanan kesukaannya.

Alice berdecak kesal. Tak mungkin dia batalkan janji dengan Ethan Hill kan.

"Kau masih di sana?"

Suara Ashley membuyarkan lamunan Alice. "Ah, ya," jawab Alice cengengesan.

"Pasti ada terjadi sesuatu. Apa ada hubungannya dengan Ethan Hill?"

Wah hebat. Ashley bisa menebak dengan benar bahwa terjadi sesuatu antara Alice dan Ethan.

"Nanti saja kuceritakan. Sudah dulu, aku masih banyak pekerjaan. Kau istirahatlah,"

Setelah itu, Alice menutup panggilan dan meletakkan ponselnya di atas meja dekat papan ketiknya. Lalu menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap langit-langit ruang kerjanya ini.

"Kau kenapa sih, Alice? Semenjak keluar dari ruang rapat tadi, kau terus saja melamun. Kau sedang memikirkan apa?"

Suara lucu dan imut milik Ella, terdengar khawatir melihat kondisi Alice yang baginya tidak biasa itu.

Mendengar suara imut itu, entah kenapa semakin membuat suasana hatinya tidak karuan.

"Maaf, aku ingin minum kopi. Apa kau ingin juga?" tawar Alice pada Ella.

Ella menatap Alice dengan aneh, kacamata yang bertengger di batang hidunya menambah kesan imut pada diri Ella.

"Sepertinya tidak," jawab Alice membalas pertanyaannya sendiri.

Alice kemudian berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangan kerja yang terasa asri ini. Alice menuju mesin penjual otomatis yang pasti ada di setiap lantai gedung.

Sampai di depan mesin itu, Alice mengeluarkan beberapa koin, lalu langsung memasukkan saja sisa koin yang dia punya.

Ketika dia menekan tombol minuman kaleng yang ingin dia ambil rupanya tidak bisa, ternyata koin yang Alice masukkan itu kurang.

"Apalagi ini. Kenapa harus kurang sih," geram Alice sembari menendang kecil kaki mesin penjual otomatis itu. Kesal rasanya. Entah kenapa suasana hatinya jadi berubah begini.

"Sialanlah" umpat Alice sekali lagi menendang kaki mesin itu kali ini sedikit lebih kuat.

Alice menarik napasnya berusaha untuk meredam emosinya.

"Haha. Ada-ada saja,"

Suara lirihan seseorang membuat Alice mematung. Astaga, siapa itu. Perasaan tadi tidak ada orang, kok tiba-tiba ada yang tertawa. Alice melihat ke sekeliling, dan ketika dia memutar tubuhnya, Alice terperanjat kaget melihat sosok jangkung berdiri menatapnya dengan senyuman yang tercetak di wajahnya.

"Pa-pak. Ba-bapak sedang apa di sini?" tanya Alice super terkejut. Dia tak menyangka jika Ethan Hill yang tadi tertawa itu.

Ethan berjalan melewati Alice, lalu memasukkan beberapa koin yang dia punya.

"Kau ingin yang mana?" katanya menawarkan.

Alice menunjuk kopi kaleng yang biasanya dia minum itu dengan tak enak hati dan resah. Tidak seharusnya mereka bertemu saat ini.

Alice kembali memperhatikan lingkungan sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang memperhatikan mereka.

"Ini," Ethan memberikan satu kopi kaleng untuk Alice, lalu Ethan memilih minuman yang lain untuknya.

"Terima kasih, pak," ujar Alice masih canggung.

Ethan tersenyum lagi. "Kemana perginya rasa kesalmu tadi. Kau sampai menendang mesin yang tidak bersalah ini," ujarnya sambil cekikikan.

Aduh aduh aduh. Mati Alice. Ethan melihat tingkahnya tadi. Sepertinya Alice harus sujud meminta maaf pada Ethan untuk tidak melaporkannya ke bagian Divisi Pemeliharaan Mesin.

"Pak, saya mohon maaf sekali. Tolong jangan laporkan tindakan saya tadi. Saya sungguh tidak bermaksud begitu pak," kata Alice dengan melas, sembari tangannya memohon-mohon pada Ethan.

Ethan tertawa lagi, namun masih menahannya agar tidak terlepas.

"Tidak ada yang ingin melaporkanmu. Toh tindakanmu tadi juga sudah terekam kamera pengawas," ucapnya sambil menunjuk kamera pengawas yang tepat berada di atas mesin penjual otomatis itu.

Oh iya, benar juga. Aduh bodohnya Alice ini. Kenapa dia tidak berpikir dulu sebelum menendang mesin itu.

Melihat raut wajah Alice yang mulai panik, Ethan tak bisa menahan lagi tawanya. Kali ini benar-benar terlepas.

"Tidak perlu takut. Karena mesin penjual otomatis ini tepat berada di bawah kamera pengawas, maka harusnya menjadi titik buta. Sudah tak perlu khawatir," kata Ethan berusaha untuk menenangkan Alice.

Alice bernapas dengan lega, "Syukurlah,"

Ethan masih tersenyum melihat tingkah konyol Alice yang menendang mesin penjual otomatis ini.

"Tapi bapak sedang apa di sini?" celetuk Alice yang merasa keheranan.

Ethan tiba-tiba terlihat gugup, lalu menggaruk belakang telinganya terlihat salah tingkah.

"Saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya akan menjemputmu nanti. Jadi kau hanya perlu menunggu di rumah,"

Alice menganggukkan kepalanya. Ethan memang sudah tahu rumah Alice ada di mana.

"Baiklah. Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan?"

Alice berusaha untuk mempercepat pembicaraan mereka, agar Alice bisa kembali ke ruangannya, dan mengakhiri suasana canggung yang melanda mereka.

Ethan menggeleng, "Tidak,"

"Kalau begitu saya permisi kembali ke ruangan saya. Terima kasih untuk kopinya,"

Tanpa menunggu jawaban Ethan, Alice segera berbalik dan berjalan dengan terburu-buru dan tidak sekalipun melihat kebelakang.

Sesampainya di meja kerjanya, Alice langsung menghempaskan tubuhnya di kursi yang nyaman ini.

Gila. Benar-benar gila. Apa yang ada dipikiran Ethan Hill?

"Kau sudah mendapatkan kopimu?"

Alice mengangguk sekilas menatap Ella lalu kembali menatap layar komputernya. Ella pun berlalu dari hadapan Alice.

***

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore lebih lima belas menit. Alice dengan cepat memasukkan barang-barangnya kedalam tas, mematikan komputernya dan melesat pergi keluar dari ruangan meninggalkan rekannya yang terbengong-bengong melihat Alice pergi begitu cepat bahkan tidak menunggu dulu.

Ethan akan menjemputnya di rumah. Untuk itu, Alice harus cepat siap-siap agar tidak mengecewakan Ethan. Oleh sebab itu, dia langsung ngacir tanpa menunggu rekannya yang lain.

Karyawan dari berbagai divisi pun terlihat berjalan keluar dari gedung tempat mereka kerja ini. Sebagian dari mereka ada yang membawa kendaraan pribadi, sebagian lainnya ada yang naik kendaraan umum, begitu juga ada yang cukup berjalan kaki saja. Seperti Alice.

Alice bersenandung kecil sembari melangkahkan kakinya, tak bisa dipungkiri kalau suasana hatinya telah kembali.

Mungkin karena melihat Ethan yang tertawa tadi, juga karena Ethan sangat baik padanya.

Tak terasa perjalanannya sudah sampai di rumahnya. Alice masuk dan segera membersihkan tubuhnya.

Kurang lebih setengah jam dirinya di kamar mandi, Alice kemudian memilih pakaian yang sederhana saja asal nyaman, lalu memakai riasan tipis-tipis.

Hanya untuk menemani Ethan saja. Tidak perlu memakai riasan yang heboh.

Alice kemudian menata rambut panjangnya yang lebat dan berwarna hitam. Rambutnya kali ini hanya di kepang biasa saja. Lalu menata poninya agar menyembunyikan bekas luka di keningnya.

Setelah selesai, Alice kembali mematut dirinya di depan cermin. Penampilannya memang sederhana tapi sangat memuaskan.

Untuk menyempurnakan penampilannya, Alice menggunakan aksesoris anting tusuk berwarna hitam dengan bentuk salju.

Ini adalah aksesoris kesukaannya.

Alice mengangguk setelah memastikan penampilannya, agar tidak malu-maluin di depan Ethan nanti.

Alice mengambil jam tangan, dan tas selempangnya, lalu keluar dari kamarnya. Dia hanya perlu menunggu Ethan.

Lebih baik menunggu di teras saja. Tapi jam segini pasti banyak nyamuk. Akhirnya dia urungkan niatnya dan menunggu Ethan di dalam rumah.

Alice merasa begitu gugup. Ini bukan kencan. Hanya menemani saja. Ya bukan kencan.

Ingat itu Alice. Bukan kencan.

Alice menunggu dengan risau kedatangan Ethan.

Tak lama terdengar suara mobil yang berhenti, Alice mengintip keluar jendela dan mendapati Ethan turun dari mobilnya.

Kemudian berjalan masuk ke pekarangan rumah Alice lalu berhenti tepat di depan pintu.

TOK... TOK.... TOK...

Suara ketukan pintu terdengar nyaring, Alice merapikan lagi pakaiannya untuk memastikan bahwa dia sudah rapi.

Alice menelan ludah, lalu memutar kunci pada pintu rumahnya dan membuka pintu itu dengan perlahan.

Ethan yang membelakangi Alice itu kemudian membalikkan tubuhnya.

Alice melihat Ethan dengan cengiran di wajahnya.

"Kau sudah siap?" tanyanya

Alice mengangguk.

"Ayo kita pergi," ajaknya.

Alice melangkahkan kakinya keluar rumah, menutup pintu, dan memutar kunci rumahnya.

Setelah itu mereka berjalan berdampingan menuju mobil Ethan.

Ethan membukakan pintu mobilnya untuk Alice. Oh Ya Tuhan. Mengapa Ethan begitu terlihat seperti pria sejati.

Ini membuat penilaian Ethan semakin bertambah di mata Alice.

Ethan memutari sisi mobil tempat pengemudi.

"Saya sudah memesan tempat. Jadi kita langsung saja kesana,"

Alice tercengang. Padahal hanya ingin minum kopi saja, tapi kenapa harus sampai memesan tempat. Apa sekalian makan malam juga?

Ha seriusan begitu? Alice mulai berpikir terlalu jauh. Padahal mungkin saja Ethan sengaja memilih tempat yang begitu pribadi untuk menghindari bertemu dengan rekan kerja yang lain.

Karena terlalu sibuk dengan pikirannya yang belum terbukti benar itu, Alice tidak menyadari jika mereka sudah sampai.

"Kita sekalian makan malam saja,"

Tuhkan benar dugaan Alice. Sekalian makan malam. Astaga, ini kan bukan kencan.

Alice dan Ethan kemudian turun dari mobil. Ternyata Ethan membawanya makan malam di sebuah restoran mewah.

Alice semakin tercengang. Rasanya aneh pergi ke restoran mewah menggunakan pakaian sederhana seperti ini.

Duh, kalau tahu begini, Alice akan berpakaian dengan lebih baik.

Alice menelan ludah dengan susah payah di sepanjang perjalanan menuju ruangan pribadi yang sudah di pesan Ethan.

Seketika langkah Ethan berhenti, hingga membuat kepala Alice menabrak punggung Ethan.

'Kenapa berhenti tiba-tiba sih,' keluh Alice dalam hati.

"Ada apa pak?" tanya Alice yang keheranan setelah melihat Ethan berhenti.

"Kita harus pergi," jawabnya datar.

Ha pergi? Kenapa harus pergi.

Alice yang tidak mengerti pun mengikuti arah pandang mata Ethan, yang ternyata sedang melihat beberapa karyawan Hill's Group ada di tempat yang sama dengan mereka saat ini.

Alice mendadak jadi panik.

"Pak, kita pergi saja pak. Bahaya kalau mereka melihat kita di sini," Alice tanpa sadar menarik tangan Ethan untuk membawanya pergi.

Bisa jadi urusan jika karyawan itu mendapati Ethan dan Alice tengah bersama.

Ethan pun akhirnya membatalkan reservasinya dan meninggalkan restoran mewah itu.

"Ma-maaf ya pak. Saya tidak bermaksud untuk merusak hari bapak. Tapi saya cuma takut akan ketahuan karyawan yang lainnya pak," ucap Alice memberikan penjelasan agar Ethan tidak salah paham. Karena jika berita tentang Ethan dan Alice tersebar, akan sulit untuk meredamnya.

"Tidak apa. Saya juga mengerti,"

Alice yang merasa tidak enak pun memutuskan untuk mencari alternatif lain.

"Bagaimana kalau ketempat yang biasa saya datangi saja?"

Ethan menaikkan sebelah alisnya.

"Baiklah kalau begitu,"

Alice tersenyum karena Ethan tidak membantahnya. Alice pun memberitahu alamat restoran yang biasa didatanginya itu.

Ketika sampai, hal yang tadi Alice pikir bahwa tidak ada rekan kerjanya yang juga makan di situ ternyata salah.

Satu divisi Alice sedang menikmati makan malam di restoran yang saat ini didatangi Alice dan Ethan.

Alice segera menarik Ethan bersembunyi di balik dinding restoran.

"Pak, bagaimana kalau di rumah saya saja. Saya tak tau kenapa rekan-rekan yang lain seperti ada di mana-mana," tawar Alice begitu saja.

"Kau yakin?"

Alice mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Alice tak ingin membuat Ethan jadi sedih karena gagal menemaninya malam ini. Jika dipaksakan mencari restoran yang tidak ada karyawan Hill's Group maka akan memakan waktu.

Jadi alternatif lain ya lebih baik di rumah Alice saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status