Share

3

Author: Autumn
last update Last Updated: 2022-03-02 16:02:32

"Kau terus menghela napas. Ada apa?"

Alice kaget karena mendengar suara nyaring Brilley tepat di telinganya.

"Astaga. Apa Ketua Divisi tidak bisa tidak berbicara di telinga saya? Saya sungguh terkejut. Bagaimana kalau saya jantungan? Apa Anda ingin tanggung jawab?" balas Alice ngotot.

Brilley terlihat tertawa cekikikan. "Setelah kau bertemu dengan si Iblis Ethan Hill, kau terus menghela napas. Saya begitu penasaran, apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi"

Alice lebih memilih untuk mengabaikan ucapan Brilley yang sedang mengorek informasi darinya.

Brilley mendadak menatap Alice dari dekat, alis matanya bertaut, melihat Alice dengan pandangan menyelidik.

"Pasti ada sesuatu terjadi di antara kalian, bukan? Saya yakin itu," ucapnya dengan nada intimidasi seperti polisi yang tengah menginterogasi tersangka.

Alice menggeleng cepat. Bahaya jika sampai ketahuan mengenai hubungan antara Alice dan Ethan Hill. Padahal tidak ada hubungan apa-apa.

"Ketua Divisi tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting seperti itu. Lagian itu bukan urusan Ketua Divisi Brilley," balas Alice datar sambil dengan fokus melihat layar komputernya.

Tapi Brilley masih terlihat ingin tahu dari pancaran matanya walaupun Alice tidak melihatnya, dia bisa merasakan itu.

"Saya mengawasimu, Alice," celetuknya lalu segera pergi dari meja Alice.

Alice menghela napas lagi. Brilley itu orang yang tidak mudah di bohongi, jadi kita harus pandai-pandai mencari alasan. Terlebih Brilley juga orang yang pandai bicara.

Alice tanpa sadar menyentuh puncak kepalanya yang tadi disentuh Ethan. Walaupun hanya beberapa detik saja, tapi hangat tangannya mengalir keseluruh tubuh Alice.

Ethan menunjukkan sikap yang berbeda pada Alice. Entah kenapa Ethan tadi begitu lembut, walaupun rekan kerjanya menyebutnya si Iblis, Ethan Hill.

Memikirkan Ethan membuat perasaannya jadi ikutan hangat. Apa yang sebenarnya tengah dia rasakan saat ini? Tidak mungkin ini cinta kan? Berawal dari Ethan yang menemani Alice lembur sampai tertidur, dan kejadian sewaktu di ruangan rapat tadi.

Alice tidak mengerti, yang awalnya Ethan tidak mengenal Alice, kini malah Ethan yang meminta Alice untuk menemani pria itu. Oh sungguh, ini benar seperti keajaiban.

Suara merdu milik Justin Timberlake dengan lagu yang berjudul Mirror itu terdengar begitu indah, Alice yang menyadari bahwa itu adalah dering ponsel miliknya dengan cepat meraihnya.

"Ya, dengan Alice disini," ucap Alice tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Alice menjepit ponselnya di antara telinga dan pundaknya, sembari kedua tangannya sibuk mengetikkan sesuatu.

"Singgahlah untuk makan malam nanti. Aku memasak makanan kesukaanmu, lagipula Bryana merindukanmu,"

Oh rupanya Ashley yang menghubungi Alice.

"Sepertinya aku tidak bisa malam ini. Aku punya janji lain. Maaf," Alice menyesal tak bisa ikut acara makan malam itu. Duh padahal Ashley memasak makanan kesukaannya.

Alice berdecak kesal. Tak mungkin dia batalkan janji dengan Ethan Hill kan.

"Kau masih di sana?"

Suara Ashley membuyarkan lamunan Alice. "Ah, ya," jawab Alice cengengesan.

"Pasti ada terjadi sesuatu. Apa ada hubungannya dengan Ethan Hill?"

Wah hebat. Ashley bisa menebak dengan benar bahwa terjadi sesuatu antara Alice dan Ethan.

"Nanti saja kuceritakan. Sudah dulu, aku masih banyak pekerjaan. Kau istirahatlah,"

Setelah itu, Alice menutup panggilan dan meletakkan ponselnya di atas meja dekat papan ketiknya. Lalu menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap langit-langit ruang kerjanya ini.

"Kau kenapa sih, Alice? Semenjak keluar dari ruang rapat tadi, kau terus saja melamun. Kau sedang memikirkan apa?"

Suara lucu dan imut milik Ella, terdengar khawatir melihat kondisi Alice yang baginya tidak biasa itu.

Mendengar suara imut itu, entah kenapa semakin membuat suasana hatinya tidak karuan.

"Maaf, aku ingin minum kopi. Apa kau ingin juga?" tawar Alice pada Ella.

Ella menatap Alice dengan aneh, kacamata yang bertengger di batang hidunya menambah kesan imut pada diri Ella.

"Sepertinya tidak," jawab Alice membalas pertanyaannya sendiri.

Alice kemudian berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangan kerja yang terasa asri ini. Alice menuju mesin penjual otomatis yang pasti ada di setiap lantai gedung.

Sampai di depan mesin itu, Alice mengeluarkan beberapa koin, lalu langsung memasukkan saja sisa koin yang dia punya.

Ketika dia menekan tombol minuman kaleng yang ingin dia ambil rupanya tidak bisa, ternyata koin yang Alice masukkan itu kurang.

"Apalagi ini. Kenapa harus kurang sih," geram Alice sembari menendang kecil kaki mesin penjual otomatis itu. Kesal rasanya. Entah kenapa suasana hatinya jadi berubah begini.

"Sialanlah" umpat Alice sekali lagi menendang kaki mesin itu kali ini sedikit lebih kuat.

Alice menarik napasnya berusaha untuk meredam emosinya.

"Haha. Ada-ada saja,"

Suara lirihan seseorang membuat Alice mematung. Astaga, siapa itu. Perasaan tadi tidak ada orang, kok tiba-tiba ada yang tertawa. Alice melihat ke sekeliling, dan ketika dia memutar tubuhnya, Alice terperanjat kaget melihat sosok jangkung berdiri menatapnya dengan senyuman yang tercetak di wajahnya.

"Pa-pak. Ba-bapak sedang apa di sini?" tanya Alice super terkejut. Dia tak menyangka jika Ethan Hill yang tadi tertawa itu.

Ethan berjalan melewati Alice, lalu memasukkan beberapa koin yang dia punya.

"Kau ingin yang mana?" katanya menawarkan.

Alice menunjuk kopi kaleng yang biasanya dia minum itu dengan tak enak hati dan resah. Tidak seharusnya mereka bertemu saat ini.

Alice kembali memperhatikan lingkungan sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang memperhatikan mereka.

"Ini," Ethan memberikan satu kopi kaleng untuk Alice, lalu Ethan memilih minuman yang lain untuknya.

"Terima kasih, pak," ujar Alice masih canggung.

Ethan tersenyum lagi. "Kemana perginya rasa kesalmu tadi. Kau sampai menendang mesin yang tidak bersalah ini," ujarnya sambil cekikikan.

Aduh aduh aduh. Mati Alice. Ethan melihat tingkahnya tadi. Sepertinya Alice harus sujud meminta maaf pada Ethan untuk tidak melaporkannya ke bagian Divisi Pemeliharaan Mesin.

"Pak, saya mohon maaf sekali. Tolong jangan laporkan tindakan saya tadi. Saya sungguh tidak bermaksud begitu pak," kata Alice dengan melas, sembari tangannya memohon-mohon pada Ethan.

Ethan tertawa lagi, namun masih menahannya agar tidak terlepas.

"Tidak ada yang ingin melaporkanmu. Toh tindakanmu tadi juga sudah terekam kamera pengawas," ucapnya sambil menunjuk kamera pengawas yang tepat berada di atas mesin penjual otomatis itu.

Oh iya, benar juga. Aduh bodohnya Alice ini. Kenapa dia tidak berpikir dulu sebelum menendang mesin itu.

Melihat raut wajah Alice yang mulai panik, Ethan tak bisa menahan lagi tawanya. Kali ini benar-benar terlepas.

"Tidak perlu takut. Karena mesin penjual otomatis ini tepat berada di bawah kamera pengawas, maka harusnya menjadi titik buta. Sudah tak perlu khawatir," kata Ethan berusaha untuk menenangkan Alice.

Alice bernapas dengan lega, "Syukurlah,"

Ethan masih tersenyum melihat tingkah konyol Alice yang menendang mesin penjual otomatis ini.

"Tapi bapak sedang apa di sini?" celetuk Alice yang merasa keheranan.

Ethan tiba-tiba terlihat gugup, lalu menggaruk belakang telinganya terlihat salah tingkah.

"Saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya akan menjemputmu nanti. Jadi kau hanya perlu menunggu di rumah,"

Alice menganggukkan kepalanya. Ethan memang sudah tahu rumah Alice ada di mana.

"Baiklah. Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan?"

Alice berusaha untuk mempercepat pembicaraan mereka, agar Alice bisa kembali ke ruangannya, dan mengakhiri suasana canggung yang melanda mereka.

Ethan menggeleng, "Tidak,"

"Kalau begitu saya permisi kembali ke ruangan saya. Terima kasih untuk kopinya,"

Tanpa menunggu jawaban Ethan, Alice segera berbalik dan berjalan dengan terburu-buru dan tidak sekalipun melihat kebelakang.

Sesampainya di meja kerjanya, Alice langsung menghempaskan tubuhnya di kursi yang nyaman ini.

Gila. Benar-benar gila. Apa yang ada dipikiran Ethan Hill?

"Kau sudah mendapatkan kopimu?"

Alice mengangguk sekilas menatap Ella lalu kembali menatap layar komputernya. Ella pun berlalu dari hadapan Alice.

***

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore lebih lima belas menit. Alice dengan cepat memasukkan barang-barangnya kedalam tas, mematikan komputernya dan melesat pergi keluar dari ruangan meninggalkan rekannya yang terbengong-bengong melihat Alice pergi begitu cepat bahkan tidak menunggu dulu.

Ethan akan menjemputnya di rumah. Untuk itu, Alice harus cepat siap-siap agar tidak mengecewakan Ethan. Oleh sebab itu, dia langsung ngacir tanpa menunggu rekannya yang lain.

Karyawan dari berbagai divisi pun terlihat berjalan keluar dari gedung tempat mereka kerja ini. Sebagian dari mereka ada yang membawa kendaraan pribadi, sebagian lainnya ada yang naik kendaraan umum, begitu juga ada yang cukup berjalan kaki saja. Seperti Alice.

Alice bersenandung kecil sembari melangkahkan kakinya, tak bisa dipungkiri kalau suasana hatinya telah kembali.

Mungkin karena melihat Ethan yang tertawa tadi, juga karena Ethan sangat baik padanya.

Tak terasa perjalanannya sudah sampai di rumahnya. Alice masuk dan segera membersihkan tubuhnya.

Kurang lebih setengah jam dirinya di kamar mandi, Alice kemudian memilih pakaian yang sederhana saja asal nyaman, lalu memakai riasan tipis-tipis.

Hanya untuk menemani Ethan saja. Tidak perlu memakai riasan yang heboh.

Alice kemudian menata rambut panjangnya yang lebat dan berwarna hitam. Rambutnya kali ini hanya di kepang biasa saja. Lalu menata poninya agar menyembunyikan bekas luka di keningnya.

Setelah selesai, Alice kembali mematut dirinya di depan cermin. Penampilannya memang sederhana tapi sangat memuaskan.

Untuk menyempurnakan penampilannya, Alice menggunakan aksesoris anting tusuk berwarna hitam dengan bentuk salju.

Ini adalah aksesoris kesukaannya.

Alice mengangguk setelah memastikan penampilannya, agar tidak malu-maluin di depan Ethan nanti.

Alice mengambil jam tangan, dan tas selempangnya, lalu keluar dari kamarnya. Dia hanya perlu menunggu Ethan.

Lebih baik menunggu di teras saja. Tapi jam segini pasti banyak nyamuk. Akhirnya dia urungkan niatnya dan menunggu Ethan di dalam rumah.

Alice merasa begitu gugup. Ini bukan kencan. Hanya menemani saja. Ya bukan kencan.

Ingat itu Alice. Bukan kencan.

Alice menunggu dengan risau kedatangan Ethan.

Tak lama terdengar suara mobil yang berhenti, Alice mengintip keluar jendela dan mendapati Ethan turun dari mobilnya.

Kemudian berjalan masuk ke pekarangan rumah Alice lalu berhenti tepat di depan pintu.

TOK... TOK.... TOK...

Suara ketukan pintu terdengar nyaring, Alice merapikan lagi pakaiannya untuk memastikan bahwa dia sudah rapi.

Alice menelan ludah, lalu memutar kunci pada pintu rumahnya dan membuka pintu itu dengan perlahan.

Ethan yang membelakangi Alice itu kemudian membalikkan tubuhnya.

Alice melihat Ethan dengan cengiran di wajahnya.

"Kau sudah siap?" tanyanya

Alice mengangguk.

"Ayo kita pergi," ajaknya.

Alice melangkahkan kakinya keluar rumah, menutup pintu, dan memutar kunci rumahnya.

Setelah itu mereka berjalan berdampingan menuju mobil Ethan.

Ethan membukakan pintu mobilnya untuk Alice. Oh Ya Tuhan. Mengapa Ethan begitu terlihat seperti pria sejati.

Ini membuat penilaian Ethan semakin bertambah di mata Alice.

Ethan memutari sisi mobil tempat pengemudi.

"Saya sudah memesan tempat. Jadi kita langsung saja kesana,"

Alice tercengang. Padahal hanya ingin minum kopi saja, tapi kenapa harus sampai memesan tempat. Apa sekalian makan malam juga?

Ha seriusan begitu? Alice mulai berpikir terlalu jauh. Padahal mungkin saja Ethan sengaja memilih tempat yang begitu pribadi untuk menghindari bertemu dengan rekan kerja yang lain.

Karena terlalu sibuk dengan pikirannya yang belum terbukti benar itu, Alice tidak menyadari jika mereka sudah sampai.

"Kita sekalian makan malam saja,"

Tuhkan benar dugaan Alice. Sekalian makan malam. Astaga, ini kan bukan kencan.

Alice dan Ethan kemudian turun dari mobil. Ternyata Ethan membawanya makan malam di sebuah restoran mewah.

Alice semakin tercengang. Rasanya aneh pergi ke restoran mewah menggunakan pakaian sederhana seperti ini.

Duh, kalau tahu begini, Alice akan berpakaian dengan lebih baik.

Alice menelan ludah dengan susah payah di sepanjang perjalanan menuju ruangan pribadi yang sudah di pesan Ethan.

Seketika langkah Ethan berhenti, hingga membuat kepala Alice menabrak punggung Ethan.

'Kenapa berhenti tiba-tiba sih,' keluh Alice dalam hati.

"Ada apa pak?" tanya Alice yang keheranan setelah melihat Ethan berhenti.

"Kita harus pergi," jawabnya datar.

Ha pergi? Kenapa harus pergi.

Alice yang tidak mengerti pun mengikuti arah pandang mata Ethan, yang ternyata sedang melihat beberapa karyawan Hill's Group ada di tempat yang sama dengan mereka saat ini.

Alice mendadak jadi panik.

"Pak, kita pergi saja pak. Bahaya kalau mereka melihat kita di sini," Alice tanpa sadar menarik tangan Ethan untuk membawanya pergi.

Bisa jadi urusan jika karyawan itu mendapati Ethan dan Alice tengah bersama.

Ethan pun akhirnya membatalkan reservasinya dan meninggalkan restoran mewah itu.

"Ma-maaf ya pak. Saya tidak bermaksud untuk merusak hari bapak. Tapi saya cuma takut akan ketahuan karyawan yang lainnya pak," ucap Alice memberikan penjelasan agar Ethan tidak salah paham. Karena jika berita tentang Ethan dan Alice tersebar, akan sulit untuk meredamnya.

"Tidak apa. Saya juga mengerti,"

Alice yang merasa tidak enak pun memutuskan untuk mencari alternatif lain.

"Bagaimana kalau ketempat yang biasa saya datangi saja?"

Ethan menaikkan sebelah alisnya.

"Baiklah kalau begitu,"

Alice tersenyum karena Ethan tidak membantahnya. Alice pun memberitahu alamat restoran yang biasa didatanginya itu.

Ketika sampai, hal yang tadi Alice pikir bahwa tidak ada rekan kerjanya yang juga makan di situ ternyata salah.

Satu divisi Alice sedang menikmati makan malam di restoran yang saat ini didatangi Alice dan Ethan.

Alice segera menarik Ethan bersembunyi di balik dinding restoran.

"Pak, bagaimana kalau di rumah saya saja. Saya tak tau kenapa rekan-rekan yang lain seperti ada di mana-mana," tawar Alice begitu saja.

"Kau yakin?"

Alice mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Alice tak ingin membuat Ethan jadi sedih karena gagal menemaninya malam ini. Jika dipaksakan mencari restoran yang tidak ada karyawan Hill's Group maka akan memakan waktu.

Jadi alternatif lain ya lebih baik di rumah Alice saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERJERAT CINTA YANG SALAH   52

    Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k

  • TERJERAT CINTA YANG SALAH   51

    Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada

  • TERJERAT CINTA YANG SALAH   50

    "Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping

  • TERJERAT CINTA YANG SALAH   49

    "Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar

  • TERJERAT CINTA YANG SALAH   48

    Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand

  • TERJERAT CINTA YANG SALAH   47

    "Ayah harus minta maaf pada Daniel," ucap Ella datar. Matanya menatap wajah ayahnya yang tidak mengendurkan pandangannya yang tajam. "Atas dasar apa ayah harus meminta maaf?" Ella menghela napas. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, jadi aku mohon dengan sangat agar ayah dan ibu tidak terus-terusan menggunakan Daniel untuk membuatku pulang. Karena ini bukan rumahku, aku tak pernah merasa tinggal di rumah ini. Rumah ini seperti neraka bagiku yang setiap harinya sangat mencekikku," ungkap Ella mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahannya dari lama. Suaranya samar bergetar karena dia sangat emosi. Emosi yang akhirnya dia keluarkan juga. "Ella. Tapi ibu kesepian karena kau tidak ada," tegur ibunya lembut. Ella tersentak. Tapi tidak mengubah pendiriannya. "Sampai ayah menyadari semua kesalahannya, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi. Jangan membuatku terpaksa menggunakan cara-cara berontak yang lebih parah dari ini," Ella menguatkan hati, membulatkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status