Share

4

Ethan Hill duduk dengan gugup dan resah di sofa ruang tamu kediaman Alice. Matanya tak henti memandangi rumah Alice yang tidak begitu besar ini. 

Ini lebih seperti rumah kontrakan yang cukup ditinggali untuk satu orang saja. Dekorasi rumahnya juga sederhana namun tetap menampilkan sisi Alice yang hangat.

Ethan terus berpikir dalam hati, apakah Alice memang semudah ini mengajak pria lain untuk datang ke rumahnya. Atau karena terjadi hal mendesak seperti tadi. 

Jujur saja, selama tiga bulan belakangan ini, Ethan jadi terus memikirkan wanita itu, ya sebenarnya Ethan tidak memiliki perasaan apapun, hanya saja Ethan merasa jika dia cukup nyaman dengan Alice Winsley. 

"Silahkan dinikmati, pak direktur," 

Alice meletakkan secangkir kopi panas, ah ini hanya kopi instan biasa. Karena Alice sendiri hanya sesekali minum kopi, dan tidak pernah meracik kopi. 

"Mungkin ini tidak sesuai selera bapak, tapi saya hanya ada ini. Semoga bapak tidak masalah," 

Alice menggaruk canggung belakang telinganya. 

Alice baru menyadari jika keputusannya ini adalah keputusan fatal. Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang ada dipikiran Ethan saat Alice mengajaknya untuk ke rumahnya saja. 

"Tidak masalah," jawab Ethan enteng, lalu meniup kopi itu dan menenggaknya. 

Ethan mengecap bibirnya merasakan rasa kopi yang baru kali ini dirasakannya. Rasanya tidak seperti kopi mahal, tapi tetap enak. 

Ethan mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu melihat Alice. 

"Kau beli di mana ini?" 

Alice menyengir lebar, karena melihat Ethan yang baru pertama kali merasakan kopi instan ini. 

"Di supermarket banyak. Bapak tinggal pilih saja. Nanti akan saya beritahu kopi instan yang mana yang bapak minum ini," 

Ethan mengangguk lalu menyeruput lagi kopi itu. Aneh, padahal dilihat dari warna juga aromanya, kopi ini biasa saja. Tapi rasanya enak seperti ini. 

"Pasti bapak merasa begitu lelah selama sebulan terakhir ini kan? Apa semuanya lancar-lancar, saja?" 

Alice membuka pembicaraan. Tidak ada yang bisa mereka bicarakan selain tentang pekerjaan. 

Karena Alice rasa, memang itu topik yang membuat mereka merasa klik ketika mengobrol. 

Ethan meletakkan kembali cangkir kopi itu, lalu memandang Alice. Hanya memandang saja, belum mengeluarkan kalimat apapun. 

Dipandangi dengan pandangan sendu begitu, membuat Alice tiba-tiba jadi merasa buruk karena sudah bertanya. Tapi apakah memang terjadi sesuatu terkait peluncuran produk baru kemarin itu? Karena yang Alice tahu memang seperti tidak ada kejadian berarti, dalam artian semua lancar-lancar saja. Namun, siapa yang tau bagaimana sebenarnya yang terjadi dibelakang. 

Ethan berdehem pelan dan melemparkan pandangannya ke berbagai arah. 

"Ya, memang ada yang terjadi. Tapi itu sudah terselesaikan. Itu semua berkat kerja keras kalian," 

Ethan seperti menyembunyikan sesuatu. Alice hanyalah karyawan biasa, jadi tidak ada hak untuk mengetahui lebih lanjut sebenarnya apa yang terjadi. 

Alice tersenyum simpul. "Bapak juga sudah melakukan yang terbaik. Semua juga karena usaha keras bapak. Begitu hebat dan berdedikasi," puji Alice

Entah perasaan Alice saja atau bagaimana, tapi Ethan tampak merona. Walaupun terlihat samar. Mendadak Alice jadi senang sendiri. Pasti orang-orang di kantornya belum ada yang pernah melihat Ethan Hill seperti tadi. 

"Terima kasih. Saya hanya melanjutkan perjuangan kakek saya saja," ucapnya sedikit serak, dengan wajah menunduk. 

Memang benar, Steven Hill, adalah orang yang mendirikan Hill's Group ini. Jadi sebagai penerus bisnis tersebut, Ethan harus melakukan yang terbaik. Itu memang bukan tugas yang mudah, tapi Ethan bisa melakukannya. 

Tentu itu membuat Alice merasa jika Ethan begitu keren karena bisa mengemban tugas dan tanggung jawab yang tidak kecil. 

"Ya. Saya dengar jika beliau masuk rumah sakit. Bagaimana kondisinya saat ini?" 

Ethan terdiam lagi, wajahnya masih menunduk, seperti ada kesedihan yang berusaha untuk mencuat keluar namun Ethan berusaha keras menahannya agar tetap berada di dalam dirinya. 

Alice hanya mendengar sekilas jika kakek Ethan Hill ini masuk rumah sakit. Namun tak tau bagaimana kelanjutannya. 

Tak tau kenapa, Alice merasa ada begitu banyak hal yang disembunyikan oleh Ethan. Seolah tak boleh seorang pun tahu tentang hal itu. Tapi mereka juga belum begitu lama mengenal. Ethan juga tak bisa asal bicara saja. 

"Kondisinya sudah membaik. Tidak perlu khawatir," ucapnya bergetar. 

Melihat Ethan yang tampak lemah, membuat Alice jadi berinisiatif sendiri, tiba-tiba tubuhnya bergerak tanpa arahan lalu mengambil tempat di samping Ethan. 

Menyentuh tangannya untuk memberikan sisa kekuatan yang Alice miliki hari ini. 

Ini semua di luar kehendak Alice. Tubuhnya benar-benar bergerak sendiri, bahkan isi dalam kepalanya sibuk menyangkal tindakannya barusan. Karena yang mengambil alih tubuhnya tadi adalah perasaan di dalam hatinya. 

Karena Ethan terlihat seperti butuh sandaran. 

Tangan Ethan yang besar dengan urat-urat tangan yang menonjol terlihat kekar dan kuat. Namun rasa hangat dari tangan Alice sepertinya tak cukup untuk menyalurkan kehangatan ke dalam diri Ethan. 

Ethan mengangkat wajahnya dan memandang Alice, seolah bertanya apa-yang-sedang-kau-lakukan. 

Bibir Alice kelu melihat wajah Ethan dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Sesuatu tak bisa keluar dari mulutnya, hanya untuk memberi penjelasan terkait dengan tindakannya ini. 

Alice dan Ethan merasa waktu berjalan begitu lama, keheningan yang melanda mereka membuat suasana jadi semakin canggung. Hanya saling  menatap dengan berbagai pikiran di kepala. 

Ethan mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia harus sadar bahwa ini tidak benar. Namun tak dapat dipungkiri jika hangatnya tangan Alice ikut membuat hatinya merasa hangat. 

Ethan jadi merasa memiliki tempat untuk bersandar. Bisakah dia melakukannya dengan Alice?

"Kenapa kau menatap saya begitu?" gumam Ethan yang akhirnya berbicara lebih dulu. 

Eh. Alice yang terkejut segera menarik lagi tangannya dan menarik mundur bokongnya sedikit menjauh, memberikan ruang bagi Ethan juga Alice untuk menarik napas dari sesaknya atmosfir tadi. 

"Memangnya bagaimana tatapan saya itu?" 

Ethan mengerutkan alisnya, tangannya yang satu lagi menyisir rambutnya yang klimis. Jantung Alice serasa berhenti berdetak melihat Ethan seperti tadi. Terlihat begitu tampan dan keren. Sangat maskulin. Rambutnya yang bergaya ala-ala side bangs seperti karakter di drama-drama yang Alice lihat, membuat pesonanya semakin tumpah-tumpah. Jika bisa dia ingin berteriak karena tidak sanggup melihat aura Ethan Hill. Tapi gengsinya lebih besar. 

Alice menggelengkan kepalanya pelan untuk menyadarkan dirinya. Ini bukan saatnya menghayal. Karena berbagai skenario tentang keinginan dirinya menjalin hubungan dengan atasannya mulai liar di kepalanya. 

"Kau seperti mencoba untuk mengerti keadaan saya saat ini. Apa saya begitu jelas memperlihatkannya?" 

Alice terdiam, sebenarnya Alice tidak begitu membaca suasana tadi, tapi karena perasaannya itu membuat tubuhnya jadi bergerak sendiri begitu juga dengan tatapannya. Yang ada di dalam kepala Alice, tentang bagaimana perjuangan Ethan melewati banyak hal dalam kehidupannya yang semuanya terjawab dari raut wajah Ethan dan spontan memunculkan perasaan ingin menjadi sandaran bagi pria itu. 

Alice meremas kedua tangannya yang jadi berkeringat. Mendadak ruangan kecil ini terasa panas dan semakin sesak. 

"Pak, raut wajah yang bapak tampilkan tadi tidak bisa membohongi orang lain. Sekeras apapun hati bapak untuk menutupi yang sebenarnya, tapi raut wajah dan pandangan mata bapak itu tak bisa disembunyikan. Apa mungkin saya salah menanggapi hal itu?" 

Ethan terlihat mengejang. Lalu tiba-tiba terkekeh pelan. Tak menyangka jika Alice menyadari hal ini. 

"Kau tahu, semua orang di kantor melihat saya begitu dingin dan tak ada belas kasihan. Tapi tak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa saya juga bisa merasa buruk seperti ini," 

Ah. Jadi apakah Alice satu-satunya orang yang bisa melihat salah satu sisi yang disembunyikan oleh Ethan. Wah, jika memang benar begitu, Alice merasa sangat tersanjung. 

"Kalau begitu, kedepannya bapak boleh menunjukkan sisi yang seperti itu lagi pada saya. Tapi hanya dengan saya saja. Sebagai salah satu bawahan bapak, saya akan membantu sebisa saya," sahut Alice mendadak riang. 

Mungkin beban yang Ethan tanggung terlalu berat, sehingga menyulitkan dia untuk bersandar pada orang lain. 

"Kau sangat berinisiatif. Saya rasa saya tidak perlu menyulitkan bawahan. Tidak baik jika hal ini tersebar di kantor. Lain kali saya tidak akan begitu lagi, tapi untuk malam ini adalah pengecualian. Mungkin karena saya terlalu dalam menyimpan kesedihan saya jadi saya tidak bisa menahannya lagi dan akhirnya lepas seperti tadi," balasnya tertawa kecil. 

Tapi Alice adalah wanita yang berpendirian. Jika dia sudah memutuskan suatu hal, maka tidak akan ditariknya lagi. 

"Tidak apa, tidak masalah. Tapi silahkan temui saya jika bapak merasa ingin menumpahkan apa yang sedang bapak simpan itu," 

Ah kata-katanya keluar begitu lancar seperti jalan tol. Bisa-bisa Ethan jadi salah paham. Sungguh tidak ada perasaan apapun, ini hanya murni karena Alice ingin membantu Ethan. Jika ada yang bisa dia lakukan. 

"Terima kasih. Tolong jangan menarik lagi ucapanmu barusan," gurau Ethan, 

"Tidak akan," jawab Alice langsung sambil terkekeh pelan. 

Ethan diam-diam menatap Alice yang masih sibuk terkekeh itu, entah bagaimana harusnya dia menanggapi penawaran barusan. Tapi apakah itu tanda bahwa Ethan tak perlu lagi menyimpan semuanya sendiri. 

Mengapa Alice begitu peduli, padahal tidak ada hubungan spesial di antara mereka. Jika Ethan sampai larut dalam situasi ini, sepertinya dia akan berada dalam masalah besar. 

"Apa kau pernah membawa pria lain ke rumahmu?" ucap Ethan yang seperti termenung saat mengatakannya. Itu artinya bahwa Ethan mengeluarkan mentah-mentah isi pikirannya yang cukup mengganggu tanpa disaring. 

Alice mendadak jadi tegang. Apakah jawabannya harus jujur apa bohong. Kalau jujur maka ini adalah kali pertama Alice membawa seorang pria ke rumahnya. Tapi jika begitu kelihatan bahwa Alice tidak menjalin hubungan dengan pria manapun. Dan kalau menjawab bohong maka yang Alice dapatkan hanyalah dosa. 

"Tidak. Bapak adalah yang pertama," jawab Alice akhirnya dengan jujur. 

Ethan tersentak, seperti tidak percaya, "Apa kau tidak sedang menjalin hubungan?" 

Pertanyaan dengan sedikit nada memaksa itu membuat Alice menghela napas panjang. "Sekarang tidak. Hubungan terakhir saya adalah dua belas tahun yang lalu," 

Ethan semakin tercengang. Itu sudah berlalu lama sekali. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status