Share

5

"Itu sudah berlalu begitu lama. Apa kau tidak ingin menjalin hubungan lagi?"

Ethan sudah seperti pewawancara yang tengah menanyai narasumbernya. Matanya seakan ikut bertanya perihal sesuatu yang sebenarnya Alice tak ingin bahas. Tapi juga terselip rasa ingin tahu dari Ethan.

"Mungkin belum bertemu dengan seseorang yang tepat saja," komentar Alice datar.

Ya, setidaknya itu jawaban terbaik. Karena memang dirinya belum menemukan seseorang yang bisa menarik perhatiannya.

Terkecuali itu Ethan Hill.

Apa yang dirasakannya untuk Ethan Hill ini hanyalah perasaan kagum semata.

Bukan perasaan romantis antara pria dan wanita.

Itulah yang bisa Alice pikirkan mengenai apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini.

"Kau benar. Menemukan seseorang yang tepat itu bukan perkara mudah. Saya berharap, kau akan menemukannya suatu saat,"

Alice tersenyum getir mendengar ungkapan harapan Ethan itu. Bukannya dia tidak senang ada yang mendo'akannya begitu. Hanya saja Alice merasa bahwa cinta sangat sulit untuknya saat ini.

"Saya akan menghubungi bapak jika saya menemukannya," balas Alice bergurau.

Ethan menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman kecil.

"Kau terlihat pesimis. Apa kau tidak percaya lagi dengan cinta?" celetuk Ethan begitu saja.

Alice yang mendengar itu mendadak bungkam dan tubuhnya membeku. Bagaimana dia harus merespon tentang topik yang cukup sensitif itu.

"Bukan tidak percaya. Hanya saja-"

Alice menggantungkan kalimatnya. Menatap Ethan berharap dia tak perlu bertanya lagi dan pura-pura mengerti.

Tapi Ethan terlihat begitu penasaran dan menunggu jawaban Alice yang menggantung.

Ethan masih memandangi Alice seketika dia sadar bahwa dia sudah keterlaluan menanyakan hal yang bersifat sangat pribadi itu. Hal itu rasanya juga kurang pantas untuk ditanyakan pada orang yang baru dikenal. Sekalipun itu mereka merupakan atasan dan bawahan.

"Maaf. Tak perlu menjawabnya lagi," ucap Ethan akhirnya, tak memaksakan Alice untuk melanjutkan ucapannya.

Ethan tak tau apakah Alice pernah mengalami suatu trauma tentang seseorang hingga membuatnya merasa sulit untuk menjalani hubungan lagi. Tapi Ethan berharap jika Alice bisa menemukan seseorang yang tepat itu.

"Bagaimana dengan bapak sendiri?"

DEG!!!!!

Ethan mematung mendengar ucapan Alice. Hanya beberapa orang saja yang tau mengenai hubungan Ethan. Karena Ethan sebenarnya sudah menikah.

Tapi Ethan menahan diri untuk memberitahu Alice, karena takut wanita itu jadi menghindari dirinya.

Ethan terlihat seperti pria tak bermoral, yang nyaman dengan wanita lain tapi tidak dengan istri sendiri.

Sejujurnya ada sesuatu terjadi yang membuat Ethan harus menikahi istrinya itu.

"Pak. Bapak melamun," tegur Alice sembari tangannya berayun-ayun di depan wajah Ethan.

Ethan mengerjap.

"Ah, maaf," katanya lalu mengusap kasar wajahnya.

Raut wajah Ethan yang berubah tegang saat Alice menanyakan bagaimana dengan hubungan Ethan, membuatnya jadi merasa bersalah. Mungkin Ethan juga mengalami hal yang membuatnya trauma seperti Alice dulu.

"Tak apa. Tak perlu dijawab jika bapak merasa keberatan. Saya bertanya karena memang tak pernah terdengar kabar kencan apapun dari bapak,"

Topik tentang Ethan Hill ini selalu jadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Banyak dari rekannya yang membicarakan mengenai kesendirian Direktur Utama Hill's Group ini.

Juga tersebar berbagai macam rumor yang mengatakan bahwa pria ini menyukai sesama jenis. Ada juga yang mengatakan bahwa Ethan Hill tidak tertarik pada wanita juga berbagai rumor lain. Tapi semua rumor itu tak pernah ada bantahannya atau kebenarannya, seolah semua dia biarkan saja.

Ethan Hill seolah tak peduli jika karyawannya membicarakan tentang dirinya.

"Apa kau begitu penasaran?" tanyanya menyeringai memperlihatkan barisan gigi rapi dan putih bersih.

Alice menggelengkan dengan cepat kepalanya. Walaupun dalam hatinya berteriak jika dia penasaran, tapi Alice tidak ingin menunjukkannya.

"Saya-"

Suara Alice berhenti di udara, ketika dia mendapatkan panggilan telepon di ponselnya.

"Maaf pak. Saya ingin jawab telepon ini dulu," izinnya pada Ethan.

Ethan mengangguk pelan, matanya masih memperhatikan wanita itu. Sedikit heran, untuk apa Alice meminta izin padanya.

Ah apakah karena Alice masih menganggap Ethan atasannya walaupun ini di luar jam kerja.

Alice sedikit membelakangi Ethan namun tidak menjauh darinya.

"APA??," pekik Alice seperti sangat terkejut.

Ethan pun juga ikut terkejut mendengar suara tinggi Alice.

"Baik, saya segera kesana," ucapnya terdengar khawatir dan panik.

Entah apa yang dikatakan seseorang diseberang sana pada Alice tapi ketika Alice membalikkan tubuhnya, wajahnya jadi pucat dengan mata yang ingin mengeluarkan air mata.

"Ada apa?"

Ethan pun seketika panik. Bingung dengan apa yang terjadi pada Alice.

"Sa-saya harus pergi. Ibu saya masuk rumah sakit, pak," ucapnya sedih lalu jatuhlah air mata yang sudah mati-matian ditahannya.

Alice mengusap kasar air mata itu, lalu bangkit berdiri, berjalan masuk ke kamarnya tanpa memberikan arahan pada Ethan, apakah dia harus pergi atau tetap di sini.

Tak lama, Alice keluar lagi dengan menenteng tas tangannya, namun air mata tak kunjung berhenti mengucur.

"Akan saya antar. Kita pergi bersama,"

Alice terlihat ragu menerima niat baik Ethan. Ya, Ethan hanya bersikap sebagai seseorang yang memiliki jiwa sosial.

Juga melihat bahwa Alice adalah bawahannya. Jadi Ethan tak bisa membiarkan jika ada sesuatu yang terjadi padanya.

"Baiklah. Terima kasih, pak," sahutnya sengau. Suaranya yang serak karena menangis membuat Ethan jadi tidak tega.

Ethan pun bangkit dari duduknya, "Ayo" katanya pada Alice.

Ethan keluar rumah lebih dulu, lalu disusul Alice setelah mengunci pintu rumahnya agar orang lain tidak bisa masuk.

Kemudian mereka masuk ke mobil dan Ethan langsung tancap gas meninggalkan kediaman Alice.

Setelah Alice memberitahu di mana rumah sakit yang ingin dituju, Ethan tidak segan-segan lagi menginjak pedal gas semakin dalam, agar mereka segera sampai.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Alice lebih banyak diam, tangannya saling meremas satu sama lain, sesekali menyeka air matanya yang masih saja mengalir.

Sialnya, yang ingin Ethan lakukan adalah memeluk Alice saat ini. Ingin merengkuh tubuh mungilnya dan membawanya dalam dekapan hangat Ethan.

Tapi urung dilakukannya karena banyak pertimbangan yang harus dia pikirkan.

Mobil akhirnya berhenti di halaman pelataran rumah sakit, dengan cepat Alice melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.

Ethan pun juga terburu-buru mengikuti wanita itu yang memang tampak tidak tenang.

Siapa yang bisa tenang, jika diberi kabar tentang orang terdekatnya masuk rumah sakit. Bahkan Ethan pun juga begitu ketika mendengar bahwa kakeknya jatuh sakit.

"Maaf. Saya ingin bertanya ruangan pasien atas nama Catharina Winsley, ada di mana?"

Perawat yang sedang berjaga di meja administrasi itu pun terlihat memeriksa sesuatu di komputernya, lalu memberitahukan pada Alice di mana ruangan ibunya.

Setelah diberikan petunjuk oleh perawat itu, Alice dan Ethan pun menuju ruangan yang di maksud.

Dan ketika sampai di depan pintu kamar rawat ibunya, Alice menghentikan langkahnya.

Dia menangis lagi, dari kaca kecil yang terdapat di pintu kamar itu, terlihat ibu Alice yang terbaring lemah, dengan infus ditangannya. Wajahnya tirus dan tubuhnya juga kurus, matanya terpejam, sepertinya dia sedang beristirahat.

Ethan melirik Alice yang terlihat tidak kuasa melihat kondisi ibunya.

Mungkinkah ibunya menderita suatu penyakit tertentu?

Ceklek.

Pintu kamar itu terbuka lalu menutup kembali. Seorang dokter dan perawat keluar dari kamar tersebut.

"Bagaimana kondisi ibu saya, dok?" tanya Alice bergetar, tangannya dengan cepat menghapus air matanya berusaha untuk tegar.

Sang Dokter menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Wajahnya seperti pasrah, seolah mengatakan ini-tidak-akan-berhasil.

Ethan tahu gelagat seperti itu.

Dokter itu kemudian meminta Alice untuk mengikutinya agar mereka bisa berbicara secara pribadi. Sedangkan perawat yang bersamanya diminta untuk pergi lebih dulu.

Tidak begitu jauh, tapi Ethan masih bisa melihat mereka.

Dokter itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Alice begitu syok hingga menutup mulutnya. Mungkin menahan agar tangisannya tidak keluar dengan keras.

Sungguh, Ethan ingin langsung menarik wanita itu dalam pelukannya. Tubuhnya terlihat lesu karena menerima informasi yang mengejutkannya.

Setelah selesai berbicara, Dokter itu meninggalkan Alice, ketika melewati Ethan dia memberikan anggukan kecil, seperti sapaan, yang kemudian dibalas oleh Ethan dengan mengangguk juga.

Ethan mendekati Alice, menyentuh lembut lengan wanita itu.

Alice mengangkat kepalanya dan menatap Ethan, tersenyum pedih.

"Kau baik-baik saja?"

Upsss. Sialan. Ethan salah bicara. Itu adalah pertanyaan bodoh. Harusnya dia bisa melihat Alice yang tidak baik-baik saja tanpa perlu bertanya lagi.

"Saya tidak apa-apa, pak," jawabnya bohong.

"Kau tidak pandai berbohong, Alice"

Alice tertawa kecil mendengar penuturan itu. Lalu mengusap wajahnya.

"Kondisi ibu saya sudah stabil. Jadi tak perlu khawatir lagi, hanya saja diminta untuk banyak-banyak istirahat dan jangan melakukan pekerjaan berat,"

Ethan mengangguk mengerti, "Syukurlah kalau begitu. Kau juga istirahatlah, kau ingin tetap di sini atau bagaimana?"

"Tadi Dokter bilang, kalau saya untuk saat ini lebih baik pulang. Besok pagi baru bisa datang lagi, karena ibu saya butuh istirahat,"

"Kalau begitu, biar saya antar pulang,"

"Tidak, tidak, tidak, pak" tolak Alice cepat.

Matanya sembap, dan ujung hidungnya yang memerah tapi sudah tidak menangis lagi.

"Saya tidak ingin merepotkan bapak lagi. Jadi saya pulang sendiri saja,"

Suaranya tidak setinggi saat dia menolak tadi, tapi tetap ada gelagat tidak enak terlihat darinya.

"Justru kau akan merepotkan saya kalau kau pulang sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu bagaimana. Tadi saya berinisiatif untuk ikut, jadi pulangnya kau harus sama saya juga," terang Ethan.

Masuk akal.

Alice akan lebih merepotkan Ethan jika terjadi sesuatu dengannya nanti di jalan. Amit-amit, Alice hanya bisa berdo'a selalu diberikan perlindungan.

"Ayo, kita pulang sekarang," ajak Ethan.

Alice mengangguk, walaupun rasa tidak enak menghinggapi dirinya.

Mereka berjalan perlahan, suara langkah kaki mengiringi keheningan yang melanda di antara keduanya.

Alice yang sedari tadi melihat dengan pandangan kosong ke sekitarnya seketika menahan lengan Ethan untuk berhenti berjalan.

"Ada apa?" Ethan menoleh kaget karena Alice tiba-tiba menahan lengannya. Lalu menunjuk seseorang yang berada tidak jauh dari mereka.

Dan kebetulan sekali, orang yang sedang ditunjuknya itu melihat kearah mereka. Beruntung Ethan segera berbalik dan menarik Alice meninggalkan tempat mereka berdiri.

"Alice," panggil seseorang yang tadi ditunjuk Alice.

Jantung Alice jadi berpacu cepat mendapati Brilley John ada di rumah sakit yang sama. Brilley seperti mengikuti mereka karena masih terdengar memanggil nama Alice.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status