Alice menyeruput teh hijau kesukaannya dengan nikmat. Tapi nikmatnya teh ini tidak senikmat biasanya karena suasana hatinya yang tidak tenang memikirkan kesehatan ibunya. Dokter mengatakan bahwa penyakit ibunya sudah semakin parah, dan harusnya dirawat di rumah sakit saja. Tapi Alice tak memiliki biaya untuk membayar pengobatan ibunya itu. Belum lagi Alice juga harus membayar hutang yang dia pinjam pada rentenir demi ibunya agar bisa sembuh kembali. Tapi memikirkan tentang penyakit kanker paru-paru stadium akhir, tentu mendengarnya saja sudah tahu bahwa penyakit itu tidak dapat di sembuhkan. Juga beresiko tinggi akan kematian. Alice menghembuskan napas panjang untuk mengurangi sesak di dadanya. Alice masih belum siap jika ibunya itu pergi meninggalkannya. Banyak hal yang belum Alice lakukan untuk ibunya termasuk itu menikah. Harus bagaimana Alice sekarang? Tak bisa dia memaksakan kehendak ibunya, menikah dengan orang yang t
"Ashley, ayo kita makan di kafetaria kantor saja. Aku malas ingin keluar," ajak Alice setelah menyelesaikan setengah pekerjaannya. Setengahnya lagi akan dia kerjakan setelah makan siang. Perutnya pun sudah tak tahan lagi menahan keroncongan yang menggeram di tubuhnya. "Tunggu, aku selesaikan ini dulu," jawab Ashley acuh masih memandangi layar komputernya dengan serius. Alice mendesis kemudian mengambil ponselnya dari dalam tas. Memeriksa apakah ada pesan masuk atau mungkin panggilan tak terjawab. Selama bekerja Alice memang tidak memeriksa ponselnya, karena tak ingin fokusnya jadi terpecah. Alice membuka sebuah aplikasi pesan yang dia gunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Membuka salah satu forum kerja tapi lebih seperti grup mengobrol biasa dan ini seluruh karyawan ada di satu grup yang sama. Berbagai divisi kumpul menjadi satu. Tujuannya agar mereka bisa akrab dengan rekan lainnya. Grup ini tentu juga diawasi oleh pihak yang memang berwenan
"Mengapa hujannya tiba-tiba begini, sih," keluh Alice sembari menepikan dirinya masuk lagi ke dalam lobi perusahaan. Percikan air hujan mengenai sepatu hak warna hitam miliknya. Juga menyiprat sampai mengenai ujung celana kerjanya. Alice menghela napas panjang, menyesali keputusannya saat Ashley menawarinya untuk pulang bersama. "Untuk apa aku tadi menolak. Aku jadi menyesalinya," lirih Alice yang sedang menghentakkan kakinya kecil karena kesal. Sambil menunggu hujan berhenti, Alice memilih duduk di sebuah sofa yang memang disediakan untuk menerima tamu. Kalau Alice nekat menerjang hujan, besoknya pasti dia akan sakit. Hujan mengguyur dengan begitu derasnya. Jika kondisi ini berlarut sampai beberapa hari kedepan, bisa dipastikan akan terjadi banjir. Lebih sialnya, daerah rumah Alice juga rawan banjir. Membuat penderitaan Alice
"Sepertinya hujan kelihatan tidak akan berhenti," gumam Alice yang tengah mendengarkan suara hujan dengan begitu heboh menabrak atap rumahnya. Ini sudah berlangsung selama beberapa jam, dan mulai membuat Alice khawatir akan banjir. "Ya, sepertinya memang begitu," sahut Ethan yang sudah keluar dari kamar mandi. Ethan ingin menggunakan kamar mandi, karena dia merasa gerah. Padahal hujan di luar begitu deras dan membuat udara menjadi dingin, tapi sepertinya dingin itu tidak masalah baginya untuk mandi. Terlebih ternyata dia membawa baju ganti. "Terima kasih, kamar mandinya," Alice tersenyum simpul, Ethan pun kemudian duduk di samping Alice. Seketika aroma tubuh Ethan masuk kedalam indera penciuman Alice. Aroma yang sangat dikenali Alice. Ini adalah aroma sabun mandinya. Memikirkan itu wajah Alice jadi memerah, sangat memalukan. Tapi rasanya begitu berbeda ji
Ashley menatap wajah anak dan suaminya yang tertidur setelah anaknya meminta ayahnya untuk membacakan buku cerita. Ashley mengusap lembut puncak kepala Bryana, tapi isi kepalanya malah memikirkan Alice. Sebelum pulang kerja tadi, Ashley memaksa Alice untuk menceritakan semua yang terjadi dengannya belakangan ini. Terkhusus yang melibatkan Ethan Hill. Ashley menghela napas panjang. Rasanya semua ini terjadi begitu tiba-tiba. Rasanya jika dipikir lagi tidak mungkin Alice bisa dekat dengan Ethan, secara mereka berasal dari tingkatan sosial yang berbeda. Tapi tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak. Apapun terasa mudah dilakukan. Mungkin memang sepertilah jalan takdir Alice. Walaupun masih belum tahu bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Ethan. Sebagai teman baiknya, Ashley hanya bisa mengingatkan Alice untuk tidak terlalu terbawa perasaan akan perlakuan Ethan padanya. Ashley hanya tak ingin Alice merasakan patah hati. Lagipula sepertinya Alice masih belum ada ke
Hujan sudah benar-benar berhenti, jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah berlalu begitu lama Ethan ada di rumah Alice. Tentu wanita itu ingin beristirahat. Ethan tak akan mengganggu waktunya lagi. Beruntung suara dalam kepalanya tadi menghentikan aktivitasnya. Menyadarkan Ethan, bahwa dirinya ini sudah memiliki istri. Walaupun Ethan tidak mencintai istrinya itu, namun bukan berarti Ethan bisa bermain api di belakangnya. Datangnya Alice ke dalam kehidupan Ethan, seolah memberikan sentuhan baru. Sentuhan yang berbeda dari saat dia bersama istrinya. Apa mungkin karena Ethan tidak mencintai istrinya itu, hingga dia merasa biasa saja. Lalu bagaimana dengan Alice? Terlalu mudah jika Ethan menyebutnya cinta. Hanya karena Ethan suka dan nyaman berada didekat wanita itu. Akal sehatnya juga mendadak hilang saat bersama Alice, dan hatinya selalu menginginkan untuk menemui wanita itu. Hingga berujung Ethan datang padanya. Ethan tahu ini sangat salah. Ethan harus menjaga jarak
Setelah kejadian di rumah Alice waktu itu, artinya sudah lima hari berlalu, Ethan tidak lagi datang menemui Alice. Tidak juga menghubunginya walau Alice sudah memberikan nomor ponselnya. Inilah yang Alice sudah duga. Sepertinya Ethan menghindari dirinya. Juga Alice menghindari Ethan, dia tak tahu harus bagaimana menghadapi pria itu. "Alice, hari ini kau pergi menggantikan saya untuk melihat bagian produksi. Pergilah sekarang, lalu laporkan bagaimana perkembangannya. Di sana kau akan bertemu dengan Direktur Utama Ethan Hill. Jadi jangan sampai kau membuat masalah yang akan mempermalukan saya" perintah Brilley pada Alice yang dengan satu tarikan napas. Matanya masih sibuk menatapi laporan yang ada di tangannya. "Kenapa harus saya Ketua Divisi Brilley?" tolak Alice. Biasanya pekerjaan ini akan diberikan pada Ashley. Tapi entah kenapa malah diberikan padanya hari ini. Hal ini memang diperlukan, agar memastikan bahwa produksi juga berjalan sesuai dengan arahan Divisi yang di ketuai o
Daniel yang sedari tadi diam kini angkat bicara. "Sepertinya kita harus mempertimbangkan untuk mengeluarkan produk seperti itu, mengingat beberapa perusahaan kecantikan juga sudah mengeluarkan produk serupa," Ethan terdiam. Benar, produk lipstik mereka bisa saja kalah saing dengan produk sejenis lip lainnya. Untuk itu membutuhkan pengembangan produk. "Kalau begitu, biarkan saya melihatmu memakai produk yang kau sebut tadi," Alice menelan ludah. "Maksud bapak?" Alice tak ingin memikirkan apapun. "Maksud saya, biarkan saya melihatmu ketika kau mencoba memakainya. Agar saya bisa membuat keputusan. Kapan kau ada waktu luang? Saya ingin kau mencobanya di depan saya," Alice syok mendengarkan permintaan aneh itu. Rasanya sangat memalukan memikirkan Ethan memperhatikan dirinya mencoba lip cream atau lip tint yang tadi dia sebutkan. "Ta-tapi pak, saya sejujurnya sudah membuat analisa perbedaannya. Nanti bapak hanya perlu membacanya saja. Ma-mana mungkin saya bisa mencobanya langsung di