"Sepertinya hujan kelihatan tidak akan berhenti," gumam Alice yang tengah mendengarkan suara hujan dengan begitu heboh menabrak atap rumahnya. Ini sudah berlangsung selama beberapa jam, dan mulai membuat Alice khawatir akan banjir.
"Ya, sepertinya memang begitu," sahut Ethan yang sudah keluar dari kamar mandi.
Ethan ingin menggunakan kamar mandi, karena dia merasa gerah. Padahal hujan di luar begitu deras dan membuat udara menjadi dingin, tapi sepertinya dingin itu tidak masalah baginya untuk mandi. Terlebih ternyata dia membawa baju ganti.
"Terima kasih, kamar mandinya,"
Alice tersenyum simpul, Ethan pun kemudian duduk di samping Alice. Seketika aroma tubuh Ethan masuk kedalam indera penciuman Alice. Aroma yang sangat dikenali Alice. Ini adalah aroma sabun mandinya.
Memikirkan itu wajah Alice jadi memerah, sangat memalukan. Tapi rasanya begitu berbeda jika dia sendiri yang memakainya. Aroma ini sangat cocok untuk Ethan. Astaga, apa-apaan ini.
Tangan Alice mengepal kuat di depan dadanya, merasakan detakan jantungnya yang menghentak keras.
Seluruh tubuhnya jadi panas.
"Alice," panggil Ethan lembut.
Alice memalingkan wajah karena tak ingin Ethan melihatnya, pasti wajahnya begitu merah dan Alice tak punya keberanian untuk melihat Ethan dengan wajahnya yang memerah.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya bingung.
"Hm, ya" balas Alice gugup setengah mati. Masih belum melihat kearah Ethan.
Ethan mengernyit. Tak mengerti mengapa Alice tidak memandangnya.
"Benarkah? Lalu kenapa kau memalingkan wajahmu?"
Ethan terdengar tidak terima. Selama ini tidak ada yang pernah memalingkan wajah ketika berbicara dengan Ethan. Tapi wanita yang duduk di sampingnya ini, melakukannya dengan santai.
"Maaf, saya tidak bisa, pak," jawab Alice seadanya dan jujur.
'Bisa gila aku, kalau memperlihatkan wajahku sekarang,' batin Alice
Ethan mengernyit semakin dalam. Kesal mulai menerbit dalam dirinya.
"Tolong lihat saya, jika kau berbicara," sambar Ethan sedikit tinggi sembari menarik lengan Alice, agar mendapatkan perhatian wanita itu.
Benar saja, Alice sontak melihat kearahnya. Dengan rona merah bersemu dipipinya, dan mata yang seakan menunjukkan dia tengah malu.
Ethan tak tahu mengapa Alice bisa bersemu merah begitu. Apakah karena berada didekatnya? Ta-tapi sepertinya kemarin-kemarin tidak begitu.
Ah, atau Alice sedang menahan amarah? Biasanya wajah seseorang akan memerah selain karena malu juga menahan amarah. Tapi marah kenapa? Apakah dia ada berbuat salah? Sepertinya tidak mungkin Alice marah.
"Apa kau sakit?" nada suara khawatir itu terdengar begitu jelas di telinga Alice. Itu pasti reaksi karena melihat kemerahan di wajahnya ini.
"Ti-tidak pak, saya baik-baik saja," bantah Alice lalu menarik lengannya yang masih berada dalam genggaman nyaman Ethan.
Ketika menarik lengannya, Alice jadi sedikit kecewa. Kecewa kenapa dia melakukannya begitu cepat, mungkin dia bisa melakukannya sampai beberapa detik lebih lama.
Duh dia ini, padahal dia sendiri yang melakukannya tapi dia pula yang menyesal.
"Baiklah. Katakan saja jika kau sakit. Kau membuat saya jadi kebingungan," celetuk Ethan memalingkan wajahnya dari Alice.
Mendengar itu, telinga Alice jadi panas lagi. Malu sekali rasanya.
Alice mengangguk kecil, karena tak mampu bibirnya berbicara. Jantung Alice yang masih bedebar-debar kencang, seolah tak ingin berhenti. Ternyata dia masih bisa merasakan keadaan ini. Alice pikir hatinya telah benar-benar mati.
"Bisakah saya meminjam laptop atau mungkin komputermu? Ada beberapa surel yang harus saya periksa," pinta Ethan, dengan fokus menatap layar ponselnya.
Alice mengangguk dan segera berdiri mengambil apa yang diinginkan oleh Ethan.
"I-ini pak," Alice menyodorkan sebuah laptop berwarna hitam miliknya. Ethan pun segera menyalakan laptop itu dan sibuk berkutat di depan layarnya.
"Apa bapak butuh sesuatu yang lain?"
Ethan menggeleng samar. Namun tidak menjawab. Hamparan isi surel yang terbentang di layar laptop Alice, menarik seluruh pusat perhatiannya.
"Kalau begitu saya akan mandi dulu,"
Ethan mengangguk dan berdehem pelan.
Alice kemudian berdiri lagi dan segera menuju ke kamarnya mengambil handuk, masuk ke kamar mandi.
Sampai di kamar mandi, Alice jadi terbengong. Seolah merasakan hawa keberadaan Ethan tadi masih mengisi setiap sisi kamar mandi tersebut.
Sialan. Pikiran Alice jadi memikirkan yang tidak-tidak. Kotor sekali. Bisa-bisa Alice jadi wanita mesum.
Alice pun mengalihkan pikirannya yang mulai memikirkan kejadian liar dan fokus untuk membasuh tubuhnya di bawah guyuran air pancuran.
'Dingin sekali. Apakah Ethan tadi kedinginan juga atau tidak?'
Tubuh Alice pun jadi menggigil menahan dinginnya air. Alice pun segera mempercepat mandinya, bisa-bisa dinginnya air membuat kulitnya jadi cepat keriput.
Ethan menghela napas panjang. Balasan surel terkait kerja sama dengan perusahaan yang selama ini ditunggunya, ternyata tidak semanis yang dipikirkannya.
Mereka masih perlu mempertimbangkan kenapa mereka harus bekerja sama dengan Ethan. Padahal perusahaan Ethan juga bukan perusahaan kecil. Tapi jelas saja begitu, karena perusahaan yang ingin Ethan jalin untuk kerja sama adalah perusahaan komestik luar negeri.
Ethan bermaksud untuk melakukan kolaborasi, karena melihat prospek yang bagus akan hasilnya. Tapi sepertinya mereka belum tertarik.
Dan itu mereka sampaikan lewat balasan surel ini.
Sekali lagi, Ethan menghela napas. Lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dan memejamkan matanya.
Tubuhnya seolah tidak bisa merasakan lelah lagi karena beban pekerjaannya yang berat. Waktu yang harusnya dia gunakan untuk istirahat, namun malah dia pakai untuk bekerja.
Tapi kenapa berada di rumah Alice membuatnya merasa sangat nyaman, dan membuat tubuhnya jadi rileks hingga baru ini Ethan merasakan lelah.
Ingin rasanya dia tidur sebentar karena begitu nyamannya. Tapi Ethan takut jadi kebablasan.
Dari kamar mandi, masih terdengar suara guyuran air. Berarti Alice masih mandi.
Ethan pun merilekskan tubuhnya, dan mencoba untuk tidur.
Alice sekali lagi mengguyur tubuhnya walaupun harus menahan dinginnya air. Untuk memastikan bahwa tubuhnya benar-benar bersih dari sabun. Setelah itu barulah dia keringkan menggunakan handuk, dan keluar dari kamar mandi cepat-cepat.
Tak lama setelah berganti pakaian, Alice keluar dari kamarnya dan menuju tempat Ethan. Alice tertegun, melihat Ethan yang tertidur. Dengan posisi duduk sambil menyilangkan kaki, juga tangannya dia silangkan di depan dada. Kepalanya terkulai pulas di sandaran sofa.
Wajahnya terlihat begitu letih, dengan lingkaran hitam yang samar. Ethan pasti sangat lelah bukan. Secara dia bekerja tanpa henti. Belum lagi tekanan akan pekerjaannya yang membuatnya jadi semakin stres.
Alice mendekat kearah Ethan, dan membungkukkan tubuhnya untuk memastikan bahwa Ethan masih bernapas. Gawat juga karena begitu tenangnya Ethan tertidur ternyata terjadi sesuatu.
Tapi amit-amit hal seperti itu terjadi.
Alice mendekatkan telinganya, ke hidung Ethan, menajamkan pendengarannya. Lalu menghela napas lega saat tahu bahwa Ethan masih bernapas. Alice berdiri dengan tegak kembali, dia bermaksud untuk mengambilkan selimut agar Ethan tidak kedinginan.
Berjalan dengan perlahan agar langkah kakinya tidak menggangu Ethan. Masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah selimut baru dari dalam lemari. Dengan sedikit terburu keluar dari kamar dan mendekati Ethan kembali.
Alice membentangkan selimut itu dan menutupi tubuh Ethan, untuk membuat tubuhnya jadi hangat.
Aroma harum seseorang mengganggu indera penciumannya. Aromanya tidak memabukkan tapi cukup untuk menggetarkan tubuh Ethan. Aroma sabun yang sama dengan yang dia pakai tadi saat mandi.
Ethan perlahan-lahan membuka mata, saat sebuah tangan menyentuh bagian keningnya secara tidak sengaja. Hal itu sontak membuat Ethan terkejut dan langsung menerjang pemilik tangan itu. Menindih tubuhnya di bawah Ethan, dan menahan kedua tangannya di atas kepalanya.
Suara rintihan kesakitan terdengar dari bibir seorang wanita.
"Pak. Tolong lepaskan tangan saya. Sakit sekali," rintihnya lagi sambil meringis.
Ethan mengerjap beberapa kali, napasnya memburu, lalu mulai bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang di bawah kungkungannya ini.
'Alice' batin Ethan.
Ethan melepasakan tangannya yang menahan Alice dengan kekuatan cukup besar. Pantas saja dia kesakitan.
Alice memandang Ethan dengan ketakutan di wajah cantiknya. Rambutnya yang terlihat basah, membuat wanita itu terlihat semakin cantik, bajunya sedikit tersingkap di bagian kerahnya, memperlihatkan garis tulang selangkanya.
Ethan menahan napas. Dia seperti membatu, matanya tidak bisa lepas dari Alice.
"Pak. Apa bapak baik-baik saja?" suaranya terdengar pilu. Mungkin tubuhnya masih merespon ketakutan Alice tadi.
Ethan pun segera menyadarkan diri dan bangkit dari atas tubuh Alice. Alice pasti syok karena Ethan melakukan sesuatu yang tidak pantas. Tapi tadi tubuhnya bereaksi karena spontan merasakan adanya bahaya. Otaknya seolah memberikan perintah bahwa bisa jadi ada yang ingin menyakitinya. Oleh karena itu dia belum menyadari tadi itu Alice.
"Maaf. Kau pasti terkejut," ucap Ethan tak enak hati. Kepalanya dia tundukkan dengan satu tangan menahan keningnya.
Alice memang terkejut dan mendadak jadi ketakutan setelah Ethan tiba-tiba menindihnya. Tapi melihat tadi bukan seperti Ethan biasanya, Alice jadi berpikir bahwa Ethan sedang bermimpi dan mungkin karena keberadaannya membuat pria itu jadi terancam dan ya akhirnya otak dalam kepala Ethan memberikan perintah untuk melindungi dirinya.
"Sa-saya hanya sedikit terkejut," balas Alice berusaha untuk tenang. Namun karena kegelisahan yang mendadak muncul dalam dirinya membuat Alice jadi terburu-buru untuk bangkit, dia bermaksud untuk meninggalkan Ethan sembari memberi waktu bagi pria itu mencerna tindakannya tadi. Tapi naas, kaki Alice menginjak bagian selimut yang mengenai lantai, dan hampir membuatnya terjungkal sebelum sebuah tangan menariknya.
Alice menahan napas saat dia tahu, dia sedang berada di pangkuan Ethan, dengan wajahnya menghadap wajah pria itu. Terlebih ujung hidung Alice menyentuh hidung Ethan. Sepertinya Ethan terlalu kuat saat menarik Alice tadi.
Tangan Ethan, seperti posesif berada di pinggang Alice, melindungi wanita itu yang tadi hampir terjatuh.
Napas mereka seolah bersahutan, gejolak panas mulai menggelayuti tubuh Ethan. Dadanya menghentak kuat. Sedangkan matanya masih menatap Alice dalam-dalam. Bibir Alice yang sedikit terbuka dengan keterkejutan di wajahnya membuat Ethan jadi ingin memberikannya kecupan singkat. Di tambah dengan aroma tubuh Alice, benar-benar harum.
Semua itu menekan kuat di dalam dadanya. Seolah bergerak sendiri, tangan Ethan terangkat dan mengusap wajah Alice, lembut dan penuh perasaan. Tapi tubuh Alice terasa tegang.
Ethan terbawa suasana, dan dia mulai mendekatkan kepalanya, matanya tidak lagi tertuju pada mata Alice namun sudah beralih ke bibir wanita itu. Terlihat begitu menggoda.
Seperti tinggal beberapa inci lagi bibir mereka akan bersentuhan, sebuah suara dari dalam kepalanya menghentikan aksinya.
'Jangan lakukan. Ingat, bahwa kau sudah menikah,'
Itu adalah suara Ethan sendiri yang sedang memberikan peringatan padanya. Tak pelak, suaranya itu membuat gerakannya benar-benar berhenti. Lalu menarik mundur kepalanya.
"Maaf. Sepertinya saya butuh waktu untuk menjernihkan pikiran," ucapnya parau
Alice seperti tersadar segera bangkit, kali ini tidak terpeleset lagi.
"Ma-maafkan saya pak. Saya akan meninggalkan bapak di sini," sahut Alice dengan suara sedikit keras, dan membungkukkan tubuhnya beberapa kali lalu berbalik dan meninggalkan Ethan.
Alice masuk ke dalam kamarnya, dan dia berguling-guling di atas ranjang memikirkan kejadian barusan. Bukan senang tapi dia sangat malu.
Bagaimana bisa dia membiarkan Ethan hampir menciumnya. Astaga, betapa gilanya Alice. Itu semua karena dia terbawa suasana. Suasananya memang sangat mendukung tadi. Tapi ah persetan dengan suasana. Bisa-bisanya, beruntung Ethan tadi menghentikan aksinya.
Alice meletakkan tangannya, merasakan detak jantung yang semakin keras.
'Ahhhhhh' Alice berteriak tanpa suara. Agar Ethan tidak mendengarnya dan mengira dirinya adalah wanita bodoh berharap bisa berciuman dengan pria itu.
"Betapa bodohnya kau, Alice. Bagaimana mungkin kau hampir berciuman dengan atasanmu sendiri," lirihnya lalu memukul-mukul ranjangnya.
Pertama-tama ini adalah salah kakinya yang tak sengaja menginjak selimut. Kedua ini salah atmosfir suasana, sangat tepat untuk melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Ketiga salah tubuhnya yang merespon sentuhan Ethan.
Harusnya Alice tadi segera menarik diri, atau apapun tapi Alice malah membatu ketika mata mereka saling bertatapan.
Bisa jadi itu seolah memberikan respon positif bagi Ethan dan membuat pria itu hampir menciumnya. Ya, intinya Alice salah memberikan reaksi. Ta-tapi, Ethan juga tidak bisa begitu kan. Mana mungkin dia sembarangan saja mencium wanita walaupun suasananya tepat.
Ah sialan. Membuat kepala Alice jadi pusing memikirkannya.
Ashley menatap wajah anak dan suaminya yang tertidur setelah anaknya meminta ayahnya untuk membacakan buku cerita. Ashley mengusap lembut puncak kepala Bryana, tapi isi kepalanya malah memikirkan Alice. Sebelum pulang kerja tadi, Ashley memaksa Alice untuk menceritakan semua yang terjadi dengannya belakangan ini. Terkhusus yang melibatkan Ethan Hill. Ashley menghela napas panjang. Rasanya semua ini terjadi begitu tiba-tiba. Rasanya jika dipikir lagi tidak mungkin Alice bisa dekat dengan Ethan, secara mereka berasal dari tingkatan sosial yang berbeda. Tapi tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak. Apapun terasa mudah dilakukan. Mungkin memang sepertilah jalan takdir Alice. Walaupun masih belum tahu bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Ethan. Sebagai teman baiknya, Ashley hanya bisa mengingatkan Alice untuk tidak terlalu terbawa perasaan akan perlakuan Ethan padanya. Ashley hanya tak ingin Alice merasakan patah hati. Lagipula sepertinya Alice masih belum ada ke
Hujan sudah benar-benar berhenti, jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah berlalu begitu lama Ethan ada di rumah Alice. Tentu wanita itu ingin beristirahat. Ethan tak akan mengganggu waktunya lagi. Beruntung suara dalam kepalanya tadi menghentikan aktivitasnya. Menyadarkan Ethan, bahwa dirinya ini sudah memiliki istri. Walaupun Ethan tidak mencintai istrinya itu, namun bukan berarti Ethan bisa bermain api di belakangnya. Datangnya Alice ke dalam kehidupan Ethan, seolah memberikan sentuhan baru. Sentuhan yang berbeda dari saat dia bersama istrinya. Apa mungkin karena Ethan tidak mencintai istrinya itu, hingga dia merasa biasa saja. Lalu bagaimana dengan Alice? Terlalu mudah jika Ethan menyebutnya cinta. Hanya karena Ethan suka dan nyaman berada didekat wanita itu. Akal sehatnya juga mendadak hilang saat bersama Alice, dan hatinya selalu menginginkan untuk menemui wanita itu. Hingga berujung Ethan datang padanya. Ethan tahu ini sangat salah. Ethan harus menjaga jarak
Setelah kejadian di rumah Alice waktu itu, artinya sudah lima hari berlalu, Ethan tidak lagi datang menemui Alice. Tidak juga menghubunginya walau Alice sudah memberikan nomor ponselnya. Inilah yang Alice sudah duga. Sepertinya Ethan menghindari dirinya. Juga Alice menghindari Ethan, dia tak tahu harus bagaimana menghadapi pria itu. "Alice, hari ini kau pergi menggantikan saya untuk melihat bagian produksi. Pergilah sekarang, lalu laporkan bagaimana perkembangannya. Di sana kau akan bertemu dengan Direktur Utama Ethan Hill. Jadi jangan sampai kau membuat masalah yang akan mempermalukan saya" perintah Brilley pada Alice yang dengan satu tarikan napas. Matanya masih sibuk menatapi laporan yang ada di tangannya. "Kenapa harus saya Ketua Divisi Brilley?" tolak Alice. Biasanya pekerjaan ini akan diberikan pada Ashley. Tapi entah kenapa malah diberikan padanya hari ini. Hal ini memang diperlukan, agar memastikan bahwa produksi juga berjalan sesuai dengan arahan Divisi yang di ketuai o
Daniel yang sedari tadi diam kini angkat bicara. "Sepertinya kita harus mempertimbangkan untuk mengeluarkan produk seperti itu, mengingat beberapa perusahaan kecantikan juga sudah mengeluarkan produk serupa," Ethan terdiam. Benar, produk lipstik mereka bisa saja kalah saing dengan produk sejenis lip lainnya. Untuk itu membutuhkan pengembangan produk. "Kalau begitu, biarkan saya melihatmu memakai produk yang kau sebut tadi," Alice menelan ludah. "Maksud bapak?" Alice tak ingin memikirkan apapun. "Maksud saya, biarkan saya melihatmu ketika kau mencoba memakainya. Agar saya bisa membuat keputusan. Kapan kau ada waktu luang? Saya ingin kau mencobanya di depan saya," Alice syok mendengarkan permintaan aneh itu. Rasanya sangat memalukan memikirkan Ethan memperhatikan dirinya mencoba lip cream atau lip tint yang tadi dia sebutkan. "Ta-tapi pak, saya sejujurnya sudah membuat analisa perbedaannya. Nanti bapak hanya perlu membacanya saja. Ma-mana mungkin saya bisa mencobanya langsung di
Alice menghela napas berat dan merebahkan tubuhnya di empuknya sofa panjang di ruang tamu rumah ibunya ini. Dirinya langsung melesat pergi ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore yang menandakan waktu pulang kerja. Setelah dari pabrik tadi, Alice tidak lagi bertemu dengan Ethan, Alice tak bisa mengejar Ethan yang sudah pergi entah kemana. Hasilnya, Alice dan Daniel pun berpisah di depan pintu pabrik. Alice kembali ke ruang kerjanya, sedangkan Daniel pergi mencari kemana Ethan. Alice sejujurnya masih terbayang-bayang tentang apa yang dikatakan Ethan tadi. Mungkin memang ide bagus jika Ethan melihat seseorang mengaplikasikan lip tint atau mungkin lip cream langsung ke bibir. Tapi tidak juga memakai bibir Alice kan. Alice jadi malu, harus memasang wajah bagaimana nanti saat dia memakainya di depan Ethan. Alice berteriak tanpa suara dan mengacak-acak rambutnya, pikirannya sungguh kacau. Belum lagi mereka membicarakan yang terjadi terakhir kali di rumah Alice. "Kenapa kau berteri
Alice sesenggukan di ruang tamu yang terlihat lengang itu. Wajahnya dia tundukkan karena dia tak ingin ibunya melihat keadaannya yang lemah begini. Alice lebih baik memendam semuanya sendiri daripada harus dia bagi dengan orang lain, apalagi membuat orang tersebut jadi kepikiran. Alice sudah menanggung ini semua sejak lama. Sejak ayahnya meninggalkan mereka. Seperti yang dikatakan ibunya, tak tahu sudah seberapa banyak kesedihan yang dia alami, tapi Alice selalu berhasil menutupinya. Jadi, Alice ingin memainkan peran seperti ini lebih lama lagi. Catharina termangu melihat Alice menangis dihadapannya. Membuat perasaan Catharina campur aduk, karena Alice sudah lama sekali tidak menunjukkan tangisan di depannya seperti ini. Karena selama ini, Alice hanya diam-diam menangis di kamarnya, tidak ada suara. Tapi firasat seorang ibu mengatakan padanya. Untuk itu dia sungguh tidak ingin lagi merepotkan Alice dalam banyak hal. Bukan berarti dia ingin meninggalkan Alice sendirian karena ras
Alice termenung, berbaring di atas ranjang dengan seprai bermotif bunga mawar yang selaras dengan tirai jendelanya, memikirkan apa yang terjadi tadi di rumah ibunya. Beruntungnya, ibunya berjanji tidak akan lagi menutupi apa yang dirasakannya dari Alice. Bukan berarti Alice bisa lega sepenuhnya mengingat jika sebenarnya banyak kekhawatiran terpendam yang disimpan ibunya rapat-rapat. Sejauh ini Alice merasa sudah melakukan yang terbaik, untuk dirinya, untuk kesehatan ibunya. Bergantung pada dirinya sendiri, mengandalkan seluruh kemampuannya, untuk bertahan hidup. Bertahan hidup dari dunia yang rasanya begitu kejam. Banyak kebahagiaan yang memang terenggut dari Alice. Namun seiring waktu berjalan bergantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang membuat Alice tercengang bahwa dia bisa merasakan kebahagiaan yang hilang dulu itu. Sekalipun Alice tidak lagi mengingat bagaimana rupa wajah ayahnya yang sudah meninggalkan dia dan ibunya, sekalipun Alice menyangkali bahwa dia merind
Ethan mengerutkan keningnya kala Alice tidak menjawab panggilan darinya. Padahal Ethan sudah berada di depan rumahnya. Tadi siang ketika di pabrik, Ethan langsung pergi begitu saja. Awalnya dia ingin kembali ke ruangannya, namun ternyata dia dapat pesan bahwa kakeknya jatuh sakit lagi. Itulah sebabnya dia pergi tanpa mengabari Daniel. Sejujurnya Ethan ingin bertemu Alice untuk membicarakan yang terakhir kali itu. Dia ingin meminta maaf atas sikap kurang ajarnya pada Alice. Walaupun mereka berdua sama-sama terbawa perasaan, namun tetap saja itu tidak dibenarkan. Tapi sepertinya Ethan harus mengurungkan niatnya itu, karena Alice tak menjawab panggilannya juga tak membalas pesan darinya, mungkinkah Alice sudah tidur. Ethan berbalik, dan melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir tenang tidak jauh dari posisinya berdiri. Menelan kekecawaan karena tak bisa menemui wanita itu. Lagipula, mereka besok akan bertemu juga kan, Ethan sudah mengatakan bahwa dia ingin melihat Al