Share

8

"Mengapa hujannya tiba-tiba begini, sih," keluh Alice sembari menepikan dirinya masuk lagi ke dalam lobi perusahaan. Percikan air hujan mengenai sepatu hak warna hitam miliknya. Juga menyiprat sampai mengenai ujung celana kerjanya. 

Alice menghela napas panjang, menyesali keputusannya saat Ashley menawarinya untuk pulang bersama. 

"Untuk apa aku tadi menolak. Aku jadi menyesalinya," lirih Alice yang sedang menghentakkan kakinya kecil karena kesal. 

Sambil menunggu hujan berhenti, Alice memilih duduk di sebuah sofa yang memang disediakan untuk menerima tamu. 

Kalau Alice nekat menerjang hujan, besoknya pasti dia akan sakit. Hujan mengguyur dengan begitu derasnya. 

Jika kondisi ini berlarut sampai beberapa hari kedepan, bisa dipastikan akan terjadi banjir. 

Lebih sialnya, daerah rumah Alice juga rawan banjir. Membuat penderitaan Alice kian lengkap. 

"Kau belum pulang?" 

Suara imut milik Ella Foster menyapa Alice. Ella menatap Alice dengan bingung, "Kupikir kau sudah di rumah," lanjutnya sambil menempatkan bokongnya di samping Alice. 

Alice terkekeh kecil, "Tadinya begitu. Tapi kau lihat saja, hujan begitu derasnya. Kau ingin aku sakit atau bagaimana?" 

Ella memukul pelan bahu Alice, dengan tertawa kecil. "Hei, bukan itu maksudku," 

Alice mendesis, "Cih," balasnya,

Bagi Alice, Ella itu lebih seperti adik daripada teman. Seorang adik yang kadang menyebalkan kadang juga menggemaskan. Alice ingat pertama kali, saat Ella masuk kerja. Terlihat sangat polos dan anak baik-baik, tidak banyak tingkah. 

Tapi semakin lama mengenalnya, sifatnya yang kadang menyebalkan mulai terlihat. Juga berbagai sifat yang belum keluar, jadi keluar semua. 

Namun, walaupun begitu Alice tahu jika Ella Foster adalah orang baik. 

"Atau kau ingin ikut aku? Tadi aku membawa motor, namun karena hujan aku memutuskan untuk nanti saja pulangnya," tawarnya pada Alice

Alice pun tak menyia-nyiakan lagi kesempatan itu, "Ya, terima kasih"

Ella tersenyum manis, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, dan sibuk memainkannya. 

Sedangkan Alice masih menatapi kearah hujan yang terlihat tidak ingin berhenti. Tiba-tiba seseorang datang ke hadapan mereka. 

"Kenapa kau belum pulang?" 

Sontak Alice memandangi Ella yang sedang ditatapi oleh orang itu. Yang ternyata orang itu adalah Daniel Lambert, Sekretaris Ethan Hill. 

'Astaga, ada apa ini? Ada hubungan apa Ella dengan Daniel?' pikir Alice jadi heboh sendiri. 

Tentu saja Alice sangat terkejut, karena ini kejadian yang sangat langka. Bagiamana mungkin Ella bisa dekat dengan Daniel? Ella saja tak pernah cerita apapun. 

Wah, Alice seketika menjadi sangat penasaran. 

"Masih hujan, lagipula saya ingin pulang dengan Alice," jawab Ella sopan. Seolah masih kaku berhadapan dengan Daniel. 

"Ayo pulang sekarang, biar saya antar," ajak Daniel lagi, 

Ella tersenyum kikuk, matanya seperti menatap segan pada Daniel, "Terima kasih, tapi sepertinya tidak perlu. Karena saya bawa motor. Terima kasih atas niat baik Anda, Sekretaris Daniel Lambert," ucap Ella terlihat begitu elegan dan anggun. 

Seketika Alice memandang kagum pada Ella yang mendadak jadi wanita penuh keanggunan. Ella mendadak jadi bersinar, sampai sinarnya menyilaukan mata Alice. 

Alice syok dengan sifat Ella yang satu ini. Rasanya sangat berbeda dengan yang biasanya. Ah apakah dia menderita semacam kepribadian ganda. 

Tidak, tidak, tidak. Itu tidak benar. Sepertinya inilah sifat asli Ella. Wanita yang elegan dan juga anggun. Seperti wanita-wanita bangsawan dan berpendidikan tinggi. 

"Saya bertanggungjawab atas dirimu, jadi tolong dengarkan yang saya katakan," pinta Daniel penuh penegasan. 

Alice memandang bergantian kearah Ella, lalu beralih pada Daniel yang bahkan tidak melirik kearah Alice. 

Kenapa pula, Daniel harus bertanggungjawab atas Ella? Apa yang sebenarnya tengah terjadi ini. 

Keadaan lobi yang bisa dikatakan sepi, hanya ada beberapa orang termasuk Alice, Daniel dan Ella. Tapi orang lainnya yang ada di lobi tersebut tidak melihat kearah kami. 

Walaupun harusnya ini menjadi bahan tontonan yang menarik, bahwa seorang Daniel Lambert datang dan menemui Ella Foster. Suatu hubungan yang tidak diduga-duga. Tapi mereka tidak terlihat tertarik. 

"Anda bukan siapa-siapa. Jadi untuk apa Anda perlu merasa bertanggungjawab?" Ella balas bertanya. 

Alice sungguh tidak mengerti situasi saat ini. Ella terlihat begitu keras kepala sedangkan Daniel juga tak mau kalah. 

"Berhenti bersikap keras kepala. Biar saya antar," ajak Daniel lagi, kali ini berjalan ke samping Ella dan menarik lengan wanita itu dengan mudahnya. 

Astaga, Alice hanya melongo bingung dengan kejadian di depannya ini. Sudah seberapa dekat hubungan Ella juga Daniel melihat perlakuan Daniel yang bisa dengan mudahnya mendekati Ella. 

"Tidak," balas Ella sembari menepis tangan Daniel. Daniel tak gentar, hanya menatap Ella datar. 

"Tolong berhenti mempermainkan perasaanku. Apakah ini sungguh lucu untukmu? Apa kau sangat menikmati ini? Apa kau tidak memikirkan bagaimana yang kurasakan?" suara Ella yang lemah lembut tadi, sudah naik satu oktaf lebih tinggi. Tapi suaranya terdengar bergetar, seperti menahan sesuatu yang mencoba keluar dari dalam tubuhnya. 

Bahkan tak terlihat lagi kesopanan yang tadi dia tunjukkan. 

Alice yang tidak mengerti situasi ini, juga tak berusaha untuk menginterupsi antar keduanya. Karena bagi Alice itu tidak sopan, lagipula Ella juga belum menjelaskan apapun padanya. Ta-tapi Alice melihat gelagat kesedihan dari Ella. 

'Duh bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?' batin Alice bertanya-tanya. 

Daniel mulai melembutkan sikapnya, matanya seperti menatap Ella dengan penuh kasih. Ha? Eh apa Alice tidak salah lihat? Menatap penuh kasih. Tapi ya benar seperti itu. 

"Maaf," hanya satu kata yang keluar sebagai jawaban, tanpa adanya penjelasan atau kalimat-kalimat penghiburan. Seolah Daniel mengatakan itu atas dasar keadaan yang juga membuatnya serba salah. 

Jika melihat sekilas akan sikap Ella pada Daniel, terlihat jika Ella tertarik pada pria itu. Tapi sedangkan Daniel, Alice tak bisa menebaknya. 

Pria lebih mampu menyembunyikan perasaannya. Sedangkan jika wanita sedang merasa tertarik, dia akan tetap menunjukkannya walaupun samar, walaupun disertai harga diri yang tinggi. 

"Kenapa kau tak pernah memberikan penjelasan? Aku tidak butuh jika hanya maaf saja," Ella menolak untuk menerima kata 'maaf' dari Daniel. 

Namun Daniel yang tidak berniat untuk memberikan penjelasan apapun pada Ella, membuat wanita itu kebingungan akan perasaan Daniel. 

"Kita tidak perlu membahas itu di sini," ucap Daniel dingin sambil matanya menatap tajam kearah Alice. 

Benar juga, sedari tadi Alice memperhatikan keduanya dengan keingintahuan yang besar. Namun, Alice terlihat seperti pengganggu yang sebaiknya pergi saat ini. Ah sialan. Daniel membuat perasaannya seketika jadi buruk. 

"Ella, aku pulang sendiri saja. Hujannya juga mulai reda. Sampai bertemu besok-" Alice terdiam sebentar, "Jika kau membutuhkan sesuatu. Kau bisa menghubungiku," 

Alice segera berbalik tanpa menunggu jawaban Ella yang terlihat tidak enak. Tadi kan Ella memang berniat untuk pulang bersama Alice. 

Alice mempercepat langkahnya, walaupun Alice tidak melihat Daniel tapi entah mengapa hawa dingin dari tatapan pria itu begitu terasa di punggungnya, seperti Daniel terus mengawasinya. 

Setelah Alice berhasil keluar dari gedung kantor dengan selamat, Alice baru bisa menghela napas lega. Rasanya membuat jantungnya berdetak-detak keras. Gila, tatapan Daniel tadi seperti mengintimidasinya. 

Alice setengah berlari menuju rumahnya, walaupun tidak sederas tadi, tapi hujan rintik-rintik ini tetap bisa membasahi seluruh tubuhnya. 

TIN!!!!! TIN!!!!

Bunyi klakson yang seperti tertuju pada Alice, membuat langkahnya berhenti, tas tangan yang digunakannya untuk menutupi kepalanya dia sampirkan ke samping tubuhnya, lalu dia gantikan dengan tangannya kanannya berada di atas kepalanya, mencegah hujan tidak membasahi kepalanya. 

Dari kursi pengemudi itu, seorang pria keluar dan menghampiri Alice. 

"Hei. Kenapa kau hujan-hujanan begini," katanya heran, 

"Saya ingin pulang pak. Karena tak tahu hari ini akan hujan, saya tidak bawa payung," jelas Alice pada Ethan. 

"Ayo, biar saya antar," ajak Ethan langsung menarik lengan Alice masuk ke dalam mobil, yang bahkan Alice belum jawab atas tawarannya. 

Intensitas pertemuan Ethan dan Alice sejak beberapa hari terakhir ini jadi meningkat. Apakah ini suatu hal yang baik? Atau justru kebalikannya. 

Ethan pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang, hujan mulai kembali deras, beruntung Ethan datang tepat waktu, kalau tidak Alice pasti sudah basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

"Saya pikir bapak sudah pulang lebih dulu," ucap Alice memecah keheningan. 

Ethan tadi sempat memberikannya sebuah handuk bersih agar Alice bisa mengeringkan tubuhnya. 

"Ya. Tapi saya tiba-tiba ingin bertemu denganmu lagi," balas Ethan jujur. 

Sialan. Ini sungguh mengena langsung ke jantung Alice. Hei. Apakah itu terlihat wajar? Tidak, ini tidak terlihat wajar, untuk apa berbicara jujur seperti itu, yang bisa menyebabkan Alice salah paham. 

"Tapi bukannya biasanya bapak diantar oleh Sekretaris Daniel?" tanya Alice heran melihat Ethan membawa mobil sendiri. 

"Ya, hari ini adalah pengecualian. Karena dia lebih mementingkan seseorang daripada saya," jawab Ethan bergurau. Lalu terkekeh pelan. 

Alice yang mendengar itu jadi yakin bahwa yang di maksud adalah Ella. Namun Alice menahan diri untuk bertanya pada Ethan karena menunggu Ella memberikan penjelasan, kalau dia berminat untuk menjelaskannya. 

Di lain sisi, Ella akhirnya menuruti permintaannya untuk pulang bersama Daniel. 

"Kedepannya tak perlu berbuat baik lagi padaku, jika kau hanya menganggapku sebagai bagian dari tanggungjawabmu," 

Ella merasa sedih jika diperlakukan seperti itu, secara dia mencintai Daniel. 

"Saya tidak bisa melakukannya. Bagaimanapun saya bertanggungjawab atas dirimu, Ella,"

'Berhenti. Tolong berhenti menyebut namaku,' lirih Ella dalam hati. Dadanya sungguh sesak mendengar Daniel menyebut namanya dengan suara rendahnya. 

"Kau tau aku mencintaimu, apa kau ingin menyiksaku dengan semua omong kosongmu," bentak Ella tak tahan lagi. Kemana perginya sikap elegan yang dia tunjukkan di depan Alice tadi. Karena saat bersama Daniel, sikapnya jadi melemah dan dia sulit untuk mencerna semua tentang pria itu. 

Perasaannya campur aduk, dibuat tak menentu oleh Daniel. Dia tau bahwa Ella mencintainya, tapi dia tetap menutup mata akan hal itu. 

Daniel memberhentikan mobilnya di sebuah rumah mewah, rumah milik keluarga Foster. 

"Apa yang kau lakukan? Aku tidak ingin pulang ke rumah ini," teriak Ella setelah tahu Daniel membawanya kemana. 

"Ibumu ingin bicara denganmu," jawab Daniel. 

Daniel menghela napas, "Ella,"

Ella menatap tajam pada Daniel. "Kau ingin melihatku tersiksa lagi? Apa kau memang setega itu padaku? Bawa aku pergi sekarang, Daniel," suara Ella yang parau membuat Daniel akhirnya melajukan lagi mobilnya meninggalkan kediaman keluarga Ella. 

Daniel diam saja melihat Ella yang jadi menangis karena sikapnya. Wanita itu pasti merasa sangat sedih dan sakit hati. 

Daniel terus melajukan mobilnya hingga akhirnya mereka sampai di apartemen milik Daniel. Ella sungguh tak mengerti, kenapa sikap Daniel selalu berubah kepadanya. 

Mereka berjalan menuju unit milik Daniel dalam keheningan, Ella tidak berniat untuk bicara, sedangkan Daniel juga terlalu sibuk dengan pikirannya. 

CEKLEK!!! Pintu unit apartemen Daniel terbuka, mereka pun masuk bersama. Apartemen yang sudah tak terhitung berapa banyak Ella datangi ini, perabotan yang masih tersusun ditempat yang sama, tanpa perubahan. 

"Aku akan menyiapkan air hangat untukmu, baru bisa dipakai untuk mandi," 

Daniel yang hendak meninggalkan Ella, tiba-tiba menghentikan langkahnya setelah wanita itu menarik ujung bajunya. 

"Ada apa?" tanyanya

Ella menelan ludah, lalu menatap Daniel dengan penuh ketegasan. "Cium aku," pintanya

Daniel sontak terkejut akan permintaan konyol itu. "Jangan gila. Kau pikir apa yang kau minta," 

Ella sadar akan permintaannya. Tapi Ella yakin bisa mengetahui perasaan Daniel saat pria itu menciumnya. Karena perasaan saat bersentuhan itu tidak bisa disangkal. 

"Cium aku. Buktikanlah kalau kau memang tidak memiliki perasaan apapun untukku," 

Daniel melangkah mundur, namun Ella justru mendekat padanya. "Jangan bodoh, Ella. Itu tidak akan mengubah apapun," 

Darah dalam tubuh Daniel jadi berdesir panas. Permintaan Ella begitu berani dan entah bagaimana itu memicu adrenalin dalam diri Daniel. Jika saja dia sudah tidak waras, maka Daniel akan menuruti permintaan wanita itu. Tapi itu tidak mungkin. 

"Kalau begitu biar aku yang melakukannya," kata Ella dengan yakin lalu menarik tengkuk Daniel agar mendekat padanya, dan mendaratkan sebuah ciuman untuk Daniel. 

Daniel jadi terasa semakin panas, ini tidak benar. Tapi bibir lembut Ella menghilangkan segala akal sehat dalam kepalanya. 

Ella benar-benar payah dalam hal ini. Bibirnya dengan kasar menyapu milik Daniel, seolah memaksa untuk mendapatkan jawaban akan isi hati Daniel sebenarnya. 

Daniel mencoba menahan diri, jika sampai dia terbawa suasana, semuanya pasti akan berakhir. Lagipula, Daniel takut jika Ella mengetahui bagaimana perasannya. 

"Hentikan," ujar Daniel sembari mendorong tubuh Ella. 

Wajah Ella terlihat memerah, bibirnya sedikit terbuka dan itu terlihat lembap. Membuat Daniel mendadak jadi buta dan ingin mencium lagi wanita itu dalam-dalam. 

'Sial. Ini sangat tidak bagus,' pikir Daniel, dia harus pergi sebelum dia melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal. 

"Aku akan menyiapkannya sekarang," ucap Daniel lalu segera berlalu dari hadapan Ella sebelum wanita itu kembali meminta penjelasan ataupun mengatakan sesuatu terkait tindakannya barusan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status