“Nanti kamu bakal paham, Nduk. Sebaiknya jangan ikut campur urusan orang kalau memang dia tidak minta tolong sama kita. Sebab nggak semua orang seapes atau seberuntung kita. Jadi solusi yang kita kasih tidak serta merta digunakan. Bantu semampumu, jangan terlalu banyak cari tahu apalagi ikut campur tangan ya. Setiap orang punya urusan pribadinya masing-masing.”
Terhitung tiga tahun sudah kalimat dari bapak itu didengar Layla. Tiga tahun waktu yang tidak sesingkat yang sekarang Layla rasakan. Layla baru sadar apa maksud kalimat Bapaknya tiga tahun lalu itu sekarang. Kejadian yang dulunya disebabkan cuma karena perkara sepele.
Diana adalah teman Layla sekelas yang paling pendiam. Dia tak punya banyak teman, bahkan dari jumlah jari tangan kana Layla masih banyak jumlah jarinya. Diana le
Benar-benar, kali ini Layla benar-benar dibuat kesal oleh Alana. Mengejar perempuan itu yang lari gesit sudah lebih dulu kabur, berlari meninggalkan Layla.Terbirit-birit menghindar mengulang kejadian kekanakan mereka sebelum berangkat ke kampus tadi. Meski pada akhirnya lagi dan lagi Alana bukan tandingan Layla. Layla tetap bisa menangkap gadis berbadan ramping yang tak pernah kerja berat itu.Mengapit lehernya dengan lipatan siku. Bergelayut hingga Alana minta ampun.“Nggak! Nggak bisa gitu! Kamu juga harus belajar masak dong, Al!” Layla mengumpat setelah melepas apitan lengannya.“Ya sudah ayok masa
“Jadi berapa semuanya, Bang?” tanya Alana kepada laki-laki di depannya yang sudah sempurna memasukkan semua barang belanjaannya ke dalam kantong keresek. Persetan dengan apa yang ibu-ibu kompleks katakan Layla cukup sadar diri kalua d kota ini ia dan Alana cuma dua orang penduduk baru.“Jadi dua puluh tujuh semuanya,” jawab pria tiga puluhan tahun itu. Tersenyum, menggantikan kantong keresek merahnya pada Alana dengan tiga lembar sepuluh ribuan darinya. “Duh, yang tiga ribu abang kasih krupuk aja yang, Neng. Kagak ada kembalian soalnya. Rame banget dagangan hari ini. Uang kecil saya abis.”“Iya deh, Bang.” Kepalanya berputar-putar mengamati kerupuk-kerupuk yang dibungkus dan diikat jadi satu menggantung di sebuah paku. “Yang mana nih kerupuknya?” tanya Alana balik.Gerakan tubuhnya masih saja diamati oleh empat ibu-ibu di depannya. Tatapan yang bukan tatapan sep
Mulut Alana terbungkam rapat, gagap tak ada satu kalimat pun terbesit di kepalanya yang mampu menjawab pertanyaan Layla barusan. Kenapa?“Al ?!” Layla yang tak puas sampai menghentikan Langkah kakinya. Meremas lengan Alana agar dia berenti melangkah juga. “Kamu nggak lagi bercanda?”Alana menggeleng ragu setengah ketakutan.“Ya Tuhan, Al…. Shhhh…!!!” Layla berdesis kesal meraup wajahnya sendiri. “Kapan? Trus… trus kok bisa sih?? Al !! Kita kan berdua udah sama-sama tahu kalua rumah Bude Mey nggak beres. Zeline juga mulai nggak beres.”“I-iya maaf, La.” Alana tergagap. Kulit kuning langsatnya memerah menahan tangis. “A-aku nggak tahu kalau bakal jadi seserius ini.”“Ckkk….. “ Layla terduduk lemas di pinggir trotoar jalan. “Nggak harus buru-buru kayak gitu loh, Al. Kan kalau kamu belum bayar kitab isa cabut sewaktu-waktu
“Yailah cuma kecap doang,” ketus Alana santai. “Bukan masalah yang serius kan?”“Eh Mak Lampir! Gimana mau masak orek tempe kalo nggak ada kecap? Nggak enak lah!” Layla masih belum puas, mengaduk-aduk lagi tas belanjaannya sampai mengeluarkan semua belanjaannya ke atas meja dapur yang terbuat dari semen dan beralas keramik“Hahaha…. Jelek banget sih. Masa’ cantik-cantik gini dibilang Mak Lampir,” protes Alana tak peduli Layla sedang panik. “Mbak Lampir masih boleh. Jangan Mak laah.”Layla dengan enteng melempar satu kotak tempe utuh lumayan besar ke arah Alana. Meski sempat sedikit kaget tahu-tahu ada segelontor tempe terbang ke arahnya. Tapi dengan cekatan Alana berhasil menangkap sebungkus tempe yang dilempar sahabatnya itu.“Kamu potong-potong tempe dulu ya. Separuh untuk orek, separuh untuk digoreng biasa. Tahu kan bedanya?” P
“Selamat makan .... !!!!” pekik Zeline tiba-tiba di penghujung hening di tengah Layla dan Alana tengah memanjatkan do’a. Suaranya yang keras, tak ayal membuat dua orang temannya terperanjat kaget. Membuyarkan hening, digantikan dengan Layla dan Alana yang bertatapan bingung.“Se–selamat makan, Zel.” Layla dan Alana menyahuti bersamaan. Meski terbata-bata, meski terasa aneh. Iya wajar saja, di kampung mereka tidak ada yang saling mengucapkan.Makan ya makan saja, tidak ada yang mengucapkan ‘selamat makan’ atau sejenisnya. Jangankan Layla yang notabene orang miskin. Alana yang tergolong orang berada saja tak pernah saling mengucapkan selamat makan. Itu kenapa rasanya jadi agak aneh mendengar kalimat itu keluar dari mulut Zeline.Sarapan sekaligus makan siang yang dirangkap jadi satu hari ini terasa berbeda. Berbeda bagi tiga perempuan ini semua tentunya. Bagi Zeline, ini adalah kali pertama dirinya maka
Akhirnya untuk pertama kalinya Alana bisa memasak. Ya betul, karya perdananya adalah tempe yang satu sisinya gosong, sementara satu sisinya lagi masih setengah matang. Belum pernah ada cheff tersohor mana pun yang bisa menyamai kehebatan Alana dalam hal memasak tempe.“Oh, tempe ini?” balas Zeline. Mengangkat tempe separuh gosong itu dari atas piringnya. Melihat piring kedua temannya yang tak ada tempe seperti miliknya. Hanya ada tiga potong, dua sisanya masih di piring. Diam tak ada yang mau memungutnya, hanya Zeline yang masih sudi mengambil tempe itu.Siapa yang mengira Zeline justru tiba-tiba menggigit tempe itu di depan Layla dan Alana. Mengunyahnya, meringis, setengah terpejam menahan pahit di bagian gosong. Matanya yang sudah sipit makin menyipit lagi menegaskan kantung mata Zeline yang melebar.Setelah beberapa kunyahan, kemudian tenggorokannya bergerak naik turun. Seline benar-benar menelan tempe
Hari sudah beranjak jadi sore saat Zeline hanya bisa duduk terdiam menghentikan motornya di pinggir jalan. Duduk di atas trotoar berdebu membingkai jalan yang terbentang sepanjang tepian Sungai Gandong. Satu-satunya sungai besar yang membelah Kota Gani.Sebatang rokok baru saja menyala ujungnya di apitan tangan Zeline. Tangannya sibuk memasukkan kembali korek ke dalam saku saat angin berhembus pelan menerpa wajahnya. Rambutnya terbang, melambai mengikuti ke mana angin berembus. Turut serta membawa kepulan asap tipis yang keluar dari bibir dan lubang hidungnya oleh-oleh bakaran tembakau dari dalam paru-paruAliran sungai di bawah sana cukup bisa menggambarkan perasaan Zeline sekarang. Tanaman-tanaman selada air berkerumun membentuk pulau-pulau kecil di tepian sungai. Berebut tempat dengan lumut dan batang-batang enceng gondok yang selalu rutin dibersihkan dinas lingkungan hidup minimal sebualan sekali. Riak yang muncul karena angin, aliran air yang tampak tenang, air ke
Isapan terakhir, lebih panjang dari yang terakhir. Hingga bara api yang membakar lintingan tembakau itu terasa menyengat permukaan kulit jari telunjuknya. Zeline melempar puntung sisa rokoknya jauh, terbang hinggap di bahu aliran sungai. Terbawa air, hanyut entah sampai mana. Terbawa sampai laut atau hanya berhenti di dadaunan selada air dan enceng gondok Zeline sudah tidak peduli lagi.Ia harus meneruskan perjalanannya. Walau mulutnya terasa kecut, meski tenggorokannya kering dan Zeline tak punya air mineral. Ia menutup kembali helm kacanya setelah membetulkan kembali masker yang menutupi bagian bawah dagu hingga pangkal hidung. Zeline tak mau ada orang yang ia kenal tak sengaja bertemu atau melihatnya sampai di tempat yang ia tuju.Hari kedua, perjalanan menuju apartemen milik Om Firman. Zeline mau tidak mau harus berkelit lagi soal ini. Pura-pura pada Alana dan Layla kalau saudaranya menikah di dekat rumahnya. Pura-pura harus pulang ke ru