"Sarapan dulu Mas, sebelum berangkat." Lita meletakkan sepiring nasi hangat dengan lauk ikan pindang dan sedikit sambal di depanku. "Biar kubuatkan kopi."
"Terima kasih, Dek," jawabku. Perasaanku sebenarnya tidak enak, karena tidak jujur pada Lita jika hari ini aku akan pulang untuk menemui Mama."Ini kopinya, Mas," ucap Lita lagi sambil mengulurkan secangkir kopi padaku.Aku tersenyum, menerima cangkir itu dan kembali mengucapkan terima kasih. Lita masih berdiri di depanku. Dari bahasa tubuhnya, dia terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi ragu-ragu."Ada yang ingin Adek bicarakan?" tanyaku kemudian seraya menatapnya.Jelita langsung terlihat salah tingkah, lalu menjawab dengan sedikit terbata."Iya, Mas .... Aku ....""Duduklah di sini dulu, Dek," ucapku kemudian, seraya menggeser posisi dudukku.Lita dengan wajah ragu-ragu akhirnya duduk di sampingku."Sekarang katakan, Dek.""Mas janji tidak akan marah?" Jelita menatap ke arahku dengan pandangan takut-takut."Tentu saja tidak, Dek," sahutku.Lita terlihat menggigit bibirnya sebentar, sebelum menjawab, "Sebenarnya aku mau ijin pada Mas Damar ... untuk berjualan kue lagi."Kedua mataku membola sesaat, namun segera aku menyadari, jika nafkah yang selama ini kuberikan memang hanya pas-pasan, apalagi Lita lebih banyak memberikannya pada ibunya."Aku belakangan ini bisa menabung sedikit, Mas. Cukup untuk modal membeli bahan kue. Jadi aku ingin minta ijin Mas Damar dulu ...," lanjutnya dengan nada suara pelan, mungkin takut aku akan tersinggung.Aku menarik napas panjang, lalu memegang kedua tangan Lita."Mas benar-benar minta maaf, Dek ...," ucapku kemudian."Mas Damar jangan minta maaf," sahut Lita cepat. "Ini bukan salah Mas Damar. Aku tahu Mas Damar sudah memberikan yang terbaik untukku dan Ibu. Tapi ...."Wajah Lita terlihat berubah sendu. Aku mengerutkan kening, lalu menatap lebih lekat ke arahnya. Pasti ada alasan Lita ingin berjualan lagi, karena selama ini dia tidak pernah menuntut lebih dariku."Kenapa, Dek?""Sebenarnya ... sebentar lagi Vivi, anaknya Mbak Dahlia, berulang tahun. Dan kebetulan harinya sama dengan hari ulang tahun Ibuk. Pasti akan ada perayaan besar di rumahnya. Tahun lalu aku tidak bisa memberikan hadiah yang pantas untuk mereka, Mas. Jadi ....""Ya Allah, Dek." Aku langsung memeluk istriku itu, tak tahan lagi melihat wajah sedihnya.Entah kenapa hatiku terasa seperti teriris ujung sembilu. Tubuh istriku juga terasa semakin kurus saja. Kenapa di antara dua bersaudara, nasib mereka begitu dibedakan oleh orang tuanya? Punya dosa apakah dia?"Aduh, Mas Damar memelukku sampai susah napas," ucap Lita lirih.Aku tersentak, lalu merenggangkan pelukanku. Aku terlalu terbawa emosi sampai-sampai tak sadar mendekap Lita begitu erat. Perlahan kulepaskan dia, lalu mengusap buliran bening yang meleleh di kedua pipinya. Kuperhatikan wajahnya lekat. Lita sama sekali tidak jelek, tidak seperti yang selalu ibu dan Kakaknya ucapkan. Aku yakin jika dia merawat diri, dia bisa jauh lebih cantik dari Kakaknya."Maaf ya, Mas. Tidak apa-apa kok kalau Mas Damar tidak mengijinkan," ucap Dahlia kemudian. "Lagipula uangnya masih bisa dipakai untuk keperluan mendadak yang lainnya."Nggak, Dek. Mas mengijinkan," jawabku cepat. "Asal Adek berjanji tidak akan memaksakan diri. Mas akan jemput adek sepulang narik nanti."Wajah Lita seketika terlihat sumringah, lalu mengangguk pelan."Terima kasih, Mas."Ya, bukan aku menginginkan Lita kembali bekerja untuk membantuku. Aku lebih menginginkan dia memiliki alasan untuk bisa keluar rumah, sehingga tidak terus-menerus mendengarkan omelan ibunya. Mungkin Lita juga menginginkan hal itu.Bersabarlah, Dek. Aku yakin doa yang kamu langitkan setiap hari tak akan pernah sia-sia....Aku berdiri di depan rumah yang sudah berbulan-bulan lamanya tidak aku kunjungi itu. Tak banyak yang berubah dengan rumah itu. Rumah gaya eropa yang aku beli dari hasil kerja kerasku, setelah dulu sempat jatuh terpuruk dan hancur tak tersisa.Dalam waktu dua tahun, akhirnya aku bisa bangkit kembali. Tanah peninggalan Bapak yang kami jual untuk modal usahaku, akhirnya bisa kami beli kembali.Aku tahu Mama bukan membenci Lita, sehingga memberikan syarat yang begitu berat padaku. Dia hanya tidak ingin jika suatu saat aku terjatuh kembali dalam kondisi yang sama, masih ada orang yang mau hidup bersamaku untuk memberikan dukungannya. Hanya itu."Loh, Den Damar?"Aku tersentak dari lamunan ketika seorang wanita paruh baya datang menghampiriku yang cukup lama tertegun di halaman rumah. Dia Mbok Parmi, ART kami."Rupanya benar Den Damar. Nyonya sudah menunggu sejak pagi tadi, Den," ucapnya kemudian."Ah, iya, Mbok," jawabku."Ayo masuk, Den.""Baik, Mbok."Aku mengikuti Mbok Parmi masuk ke teras rumah, lalu membukakan pintu. Belum setahun, tapi rasanya cukup asing ketika memasuki rumahku sendiri."Damar." Tiba-tiba Mama berjalan cepat ke arahku. "Astaga, Damar. Kamu kurus sekali."Aku tak langsung menjawab ucapan Mama. Kuraih tangan wanita yang melahirkanku itu, tak bisa kupungkiri jika aku merindukannya."Masuklah, Mama sudah masak banyak untukmu. Kamu pasti lapar." Mama menarik tanganku, lalu membawaku berjalan menuju ruang makan.Dari jauh sudah tercium aroma lezat khas masakan Mama. Mama memintaku duduk, lalu cepat-cepat mengambilkan sepiring nasi dan sepotong besar ayam goreng."Makanlah dulu, Damar. Kita bicara setelah ini," ucap Mama lagi, sembari duduk di seberangku.Aku menatap ke arah piring di depanku, lalu menelan saliva. Tiba-tiba teringat wajah Lita, juga masakan buatannya. Selama menjadi istriku, tak pernah sekalipun kulihat Lita menikmati makanan lezat. Bahkan saat aku mendapatkan makanan dari pelanggan ojekku, dia akan memberikannya pada ibunya."Kenapa tidak dimakan, Damar?" Mama menatapku dengan dahi berkerut.Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba seseorang datang dan langsung duduk di samping Mama, membuatku terkejut."Mungkin Mas Damar menungguku, Tante," ucap wanita berambut ikal panjang itu.Mama tertawa, lalu merangkul gadis itu dan menatapku lagi."Ini Celyn, anaknya Tante Ratna. Kamu ingat dia kan, Damar?" ucap Mama kemudian.Aku tak menjawab. Perasaanku mulai tidak enak, memikirkan apa tujuan Mama memintaku pulang yang sebenarnya."Dia cantik kan, Damar? Pasti jauh lebih cantik dari istrimu. Semua ini dia yang bantu masak loh," ucap Mama lagi."Kedua tanganku seketika mengepal erat. Badanku seketika gemetar."Oh iya, dia juga gadis yang mandiri. Sudah punya perusahaan sendiri. Semuda ini sudah sukses. Hebat sekali, bukan?"Aku tak tahan lagi dengan ucapan Mama. Seketika aku berdiri sambil menggebrak meja."Jadi ini tujuan Mama memintaku pulang?!" teriakku.Wajah Mama seketika memerah karena kaget, begitupun dengan gadis bernama Celyn itu. Sungguh, seumur hidupku aku tidak pernah sekalipun membentak Mama. Aku selalu menurut apapun ucapannya. Namun kali ini dia sungguh membuatku hilang kesabaran."Mama tahu, tidak? Hampir setahun, ada seorang wanita yang mau menerimaku tanpa tahu siapa sebenarnya diriku! Wanita yang bersedia menahan lapar agar aku bisa makan lebih dulu! Wanita yang dalam setiap doanya lebih menginginkan kebahagiaanku dibanding dirinya sendiri!" Napasku memburu. Aku sungguh-sungguh berada dalam puncak emosi."Berani sekali Mama membandingkan wanita ini dengan istriku!!!""Ya Allah, Mbak Lia. Kenapa jadi seperti ini?"Lita mengelus nisan Kakaknya dengan raut wajah penuh kesedihan. Pihak kepolisian bertanggung jawab penuh atas proses pemakaman, dan jenazah Dahlia diurus oleh pihak rumah sakit, dan makam Dahlia bisa bersandingan dengan makam Bu Nani.Aku menatap tanah merah tempat Dahlia berada di pembaringan abadi itu. Padahal sudah beberapa kali pihak kepolisian membawakan Dahlia seorang psikiater, dan saat ini juga sedang menjalani perawatan non medis. Dahlia depresi, itu yang kami dengar. Namun aku tak menyangka jika dia akan bertindak seperti itu.Dahlia tidak pernah mau menerima tamu sejak terakhir kali aku dan Lita mengunjunginya waktu itu. Kami masih menitipkan beberapa barang untuknya, termasuk Alquran dan mukena untuk salat. Tapi ternyata ....Saat aku masih terdiam dalam lamunan, tiba-tiba terlihat David dan Nadia datang ke pemakaman itu. Mereka berdua langsung berjongkok di depan nisan, berseberangan dengan Lita."Ya Allah, Lia." David juga t
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Lita seraya menatapku."Ibuk ... ibuk sudah tersadar dari koma, Dek," jawabku."Benarkah? Alhamdulillah, ya Allah." Lita mengusap wajahnya penuh syukur. "Kalau begitu kita pulang sekarang, Mas.""B-baiklah, Dek." Aku ragu-ragu untuk mengatakan jika kondisi Bu Nani sudah kritis, takut membuat Lita gelisah.Kami semua akhirnya berpamitan pada Bu Narti untuk pulang, meskipun hari sudah mulai malam. Kami tidak bisa menunggu lagi sampai besok pagi, karena takut terjadi apa-apa nanti di rumah sakit.Perjalanan di malam hari terasa lebih lama. David menggantikanku menyetir ketika tahu aku kelelahan. Dia mengantarkanku dan Lita ke rumah sakit lebih dulu, sebelum mengantarkan Nadia untuk pulang. Vivi sudah tidur sepanjang perjalanan. Kasihan anak itu, seharian tertekan karena ulah Dahlia.Begitu sampai di rumah sakit, aku dan Lita langsung bergegas menuju ruangan tempat Bu Nani dirawat. Seorang Suster menyambut kami di sana."Ibu saya bagaimana, Sus?" tanya Lita
"Astaghfirullah! Mbak Lia melakukan perbuatan senekad itu?" Lita seketika berdiri dengan wajah tak percaya."Padahal wajah Dahlia sudah masuk data laporan kepolisian. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah mengambil Vivi dari sekolah?" tanyaku pada David."Entahlah, tapi pihak sekolah paud itu tadinya tidak curiga karena yang menjemput memang Mamanya. Saat mereka sadar, Dahlia sudah pergi membawa lari Vivi," jawab David sambil mengacak rambut."Minta rekaman CCTV dari setiap sudut sekolah, Bang. Jadi kita bisa tahu dengan siapa Dahlia datang, atau kendaraan yang dia naiki! Jangan lupa buat laporan ke pihak kepolisian juga," ucapku lagi."Iya, baik, Damar," jawab David lagi. Dia kemudian sibuk membuat panggilan telepon dengan wajah panik.Aku kemudian menatap ke arah Lita."Dek, kamu tidak punya kerabat atau saudara jauh yang kemungkinan bisa menjadi tempat Dahlia bersembunyi?" tanyaku padanya.Lita terdiam mendengar pertanyaanku. Dia tampak berpikir keras."Ibuk punya saudara jauh, M
"Sudah Mama duga, pasti ada yang tidak beres! Orang seperti Dahlia itu selamanya tidak akan pernah bertobat!" ucap Mama."Ya Allah, tega sekali Mbak Lia menipu Ibuk seperti ini." Lita menutup mulut dengan kedua tangan."Aduh, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu-menahu tentang masalah keluarga kalian. Saya hanya membeli rumah ini secara sah, tidak mau ikut campur masalah lainnya," ucap Ibu itu, wajahnya juga terlihat cemas."Tapi jika nanti kami membutuhkan Ibu sebagai saksi, kami harap ibu bersedia," ucapku."Saya mengerti, Mas," jawab Ibu itu lagi.Aku menarik napas panjang. Biar bagaimapun kami terpaksa melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Apalagi Dahlia membawa kabur semua uang penjualan rumah, di mana ada hak ibunya di sana."Ibuk! Ibuk!"Aku kaget ketika mendengar suara Lita berteriak. Saat aku menoleh, tubuh Bu Nani sudah mengejang. Kepalanya mendongak ke atas, dan kedua matanya terbelalak."Mas, ibuk kenapa ini, Mas?" Lita terlihat panik melihat keadaan ibunya, sampai har
"Alhamdulillah, akhirnya kita pulang."Mobil berhenti tepat di depan rumah Mama. Hari ini Lita sudah diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah. Mama memaksa agar kami pulang ke rumah yang ditempati Mama. Aku setuju saja, karena memang nanti ada yang menjaga Lita jika di sana."Aku takut nanti akan merepotkan Mama," ucap Lita, yang awalnya menolak."Repot apanya? Di rumah ada beberapa ART, gak akan repot," jawab Mama."Tapi, rumah kami ....""Rumah itu khusus dipakai untuk produksi saja. Jangan lagi dipakai untuk tinggal. Mama akan meminta orang untuk merenovasinya, menjadi pabrik kecil. Bau minyak dan mentega setiap hari mana bagus untuk kesehatanmu?" ucap Mama lagi, menyela."Mama gak bakal bisa dibantah, Dek ...," ucapku kemudian pada Lita. "Kita menurut saja."Akhirnya Lita bersedia untuk pulang ke rumah yang Mama tempati. Rumah kami. Baru pertama kali ini Lita menginjakkan kaki di sini. Dulu saat aku masih menjadi kekasih Dahlia, kami masih menempati rumah sederhana yang tak
"Katakan, Bu Nani!"Saat Mama membentak Bu Nani sekali lagi, aku tak bisa menahan diriku lagi untuk masuk ke dalam. Kulihat Mama menoleh dan langsung tersentak kaget ketika aku membuka pintu. Wajahnya seketika memucat."Damar?"Aku tak langsung bicara, tapi melayangkan pandanganku pada Bu Nani. Hatiku berdesir miris menatap keadaan wanita yang tadinya selalu berucap dengan nada tinggi itu.Badan Bu Nani yang terbaring itu tampak kaku, dengan sebelah tangan mengerut di dadanya. Bibirnya juga sudah tak lagi lurus, bergerak-gerak seperti akan berbicara sesuatu, namun tak sanggup. Hanya kedua matanya yang melebar menyempit mewakili bahasa tubuhnya."Astaghfirullah, Buk." Aku menelan ludah, seketika rasa sedih menyergap dada.Ya, meskipun ibu mertuaku itu selalu melontarkan kata-kata hinaan padaku, tapi melihatnya dalam kondisi yang demikian rasanya hatiku juga tak tega."Damar ...." Mama mendekat ke arahku. "Kamu ... sejak kapan ada di situ?"Aku masih menatap ke arah Bu Nani sekali lagi,