Share

Ujian

"Punya apa kamu berani melamar anak saya?"

Pertanyaan yang sama, yang Bu Nani ajukan padaku dua tahun yang lalu ketika melamar Dahlia. Wanita itu sama sekali tidak berubah. Entah apa yang membuatnya begitu angkuh, padahal kehidupannya biasa saja, bahkan jauh dari kata berada.

Aku melirik ke arah Jelita yang duduk tak jauh dariku. Tampaknya dia gelisah, terlihat dari bagaimana dia memilin jemarinya sejak tadi. Mungkin juga takut jika aku dipermalukan untuk kedua kali oleh sang Ibu.

"Damar ... Damar. Dulu kamu berani melamar Dahlia, padahal tidak punya apa-apa. Sekarang apa masih tetap sama dengan yang dulu? Kamu pikir putriku bisa hidup hanya dengan makan batu?" ucap Bu Nani lagi sambil menatap tajam padaku.

"Kamu juga, Lita!" Pandangan Bu Nani beralih pada putrinya. "Sejak kecil kamu gak pernah menurut sama Ibuk! Waktu lulus dari pesantren kemarin, bukannya Ibuk sudah bilang ada yang ingin menikahimu? Alasan saja kamu ingin kerja dulu, belajar berjualan dulu! Rupanya ngebet sama mantan pacar Kakakmu!"

"Buk, Lita juga baru tahu kalau Mas Damar itu pernah menjalin hubungan dengan Mbak Lia," jawab Lita dengan suara bergetar.

"Halah!" Bu Nani memotong ucapan Lita. "Mbakmu sudah cerita semuanya! Ngaku saja kalau kamu yang kegatelan! Masih mending sama orang kaya! Lah ini, sudah bekas, miskin pula!"

"Cukup, Bu Nani." Aku akhirnya menyahut, dengan nada suara yang masih kupaksa untuk tetap sopan, meskipun hatiku sudah mulai terbakar.

"Saya mencintai Jelita, dan saya berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab untuknya," ucapku kemudian.

"Memangnya hidup cuma butuh cinta? Kalau cuma punya tanggung jawab, Juragan Darsa yang mau menikahi Lita lebih mampu memberikan segalanya meskipun menjadi istri kedua!"

"Buk!" Lita akhirnya berdiri, lalu menatap ke arah ibunya dengan wajah yang lebih berani. "Ibuk rela Lita jadi istri kedua Juragan Darsa?"

"Kenapa tidak? Hidup itu bukan cuma butuh cinta, Lita! Kita butuh uang! Contoh kakakmu, hidupnya bahagia setelah nikah dengan pengusaha kaya!"

"Tapi Lita lebih butuh seorang imam yang mampu membimbing Lita, Buk," jawab Lita lagi.

"Imam? Juragan Darsa sudah ke tanah suci puluhan kali! Apa lagi yang kurang?"

"Lita tidak mau jadi istri kedua, Buk."

"Halah! Masih mending ada orang kaya yang mau nikahin kamu!"

"Cukup, Buk! Lita tetap mau menikah dengan Mas Damar!" Suara Lita meninggi, mungkin sudah lelah berdebat dengan sang Ibu.

Wajah Bu Nani terlihat geram, tapi sebelum sempat dia berucap lagi, seseorang muncul dari pintu rumah. Dahlia.

"Sudahlah, Buk, biarkan saja," ucap wanita itu sambil berjalan ke arah Ibunya. Dia kemudian menatap ke arahku dan Lita bergantian.

"Lagipula mereka memang pasangan yang serasi," lanjutnya dengan senyum mengejek.

Bu Nani terlihat membuang napas kesal, lalu menatap tajam ke arah Lita.

"Terserah kamu saja, Lita! Memang dasarnya kamu tidak pernah bisa menurut sama Ibuk! Nikah saja sana! Tapi gak usah mengeluh pada Ibuk kalau nanti hidup susah!" ucapnya kemudian.

"Percuma berdebat sama orang-orang yang lebih suka hidup susah, Buk. Lebih baik Ibuk ikut Lia belanja, daripada stress menghadapi mereka," ucap Dahlia lagi.

Akhirnya tanpa berkata apapun lagi, mereka berdua meninggalkanku dan Lita yang masih terdiam di ruang tamu. Aku menarik napas panjang. Berat memang, tapi akhirnya kami berdua bisa menikah dengan amat sangat sederhana. Tak ada perayaan, asal tercatat secara sah menurut agama dan negara.

Setelah menikah aku berencana mengajak Lita untuk mengontrak rumah, Namun Lita menolak. Lita masih ingin berbakti, apalagi sang Ibu menderita darah tinggi. Lita tak tega membiarkan wanita yang melahirkannya itu tinggal sendirian di rumah, meskipun Kakaknya sesekali datang menjenguknya.

Untuk sementara akhirnya aku beralih profesi sebagai tukang ojek online, dengan sedikit bantuan dari salah satu teman. Syukurlah aku bisa cepat beradaptasi dengan kehidupan baru. Itu karena sosok Lita yang selalu bisa menguatkan.

Aku mengusap wajah ketika tersadar dari lamunan. Waktu berlalu begitu cepat. Namun belum genap setahun aku menikah dengan Lita, seperti perjanjian kami waktu itu. Tapi kenapa Mama ingin bertemu denganku?

Aku menarik napas panjang, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku tanpa membalas pesan dari Mama lebih dulu. Perlahan aku berjalan mendekat ke arah Lita yang masih duduk di atas sajadahnya.

"Dek ...." Aku memegang pundak istriku itu pelan, namun masih membuatnya tersentak.

"Mas." Lita menoleh ke arahku, lalu cepat-cepat meraih tanganku dan menciumnya.

Aku tak langsung bicara, menatap ke arahnya yang masih mengenakan mukena yang entah sudah berumur berapa lama.

"Maafkan Mas ya, Dek?" ucapku kemudian, dengan suara hampir tak terdengar.

"Mas Damar belakangan sering sekali minta maaf," jawab Lita sambil mengukir senyum.

"Mas belum bisa membahagiakan Adek," ucapku lagi. "Mas belum bisa memberikan apa yang Adek mau."

"Aku bahagia kok, Mas." Lita tersenyum lagi. "Aku gak meminta lebih pada Mas Damar."

"Tapi kenapa Adek berdoa agar Mas menjadi kaya?"

Kedua mata Lita seketika membola, mungkin terkejut karena aku mendengar dia berdoa. Sesaat kemudian kedua matanya tampak berkaca, lalu dia menundukkan muka.

"Aku sudah terbiasa hidup susah, Mas," jawabnya lirih. "Aku sudah terbiasa dihina, direndahkan. Tapi ... hatiku begitu sakit jika ada yang menghina dan merendahkan Mas Damar ...."

"Ya Allah, Dek ...." Aku langsung memeluk wanita yang amat kucintai itu.

Tenggorokanku seketika terasa tercekat, tak mampu berkata apa-apa lagi. Padahal aku yang selama ini punya niat untuk membahagiakannya. Nyatanya dia yang lebih menginginkan kebahagiaanku melalui doa-doanya. Maafkan suamimu ini, Dek ....

Akhirnya aku menatap sekali lagi pesan yang Mama kirimkan ke layar ponselku. Meskipun belum jelas apa tujuan Mama memintaku pulang, tapi tak ada salahnya menuruti keinginannya. Kutarik napas panjang, lalu mulai mengetik balasan.

[ Aku akan pulang besok, Ma. ]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status