Mag-log in"Nyonya muda, mari saya bantu nyonya berpakaian sebelum masuk ke kamar tuan muda Kenzo." Ucap salah seorang pelayan yang memang ditugaskan untuk membersihkan tubuh Zenia sebelum masuk ke kamar Kenzo.Karena merasa tidak ada yang salah dengan semua itu, Zenia pun menurut begitu saja tanpa tahu apa yang telah disiapkan oleh ibu Kenzo untuk ia kenakan malam pertamanya dan Kenzo."Apa mereka bercanda?" Teriak Zenia dalam hati saat mendapati pakaian yang harus dikenakannya sangat jauh dari apa yang dia pikirkan.Tapi setelah berpikir beberapa saat, Zenia pikir ini juga tidak terlalu buruk. Sebab sebelumnya dia mendengar bahwa junior Kenzo tidak bereaksi setelah kecelakaan maut yang membuat kaki Kenzo lumpuh. Bahkan sebelum kematiannya saat masih menjadi Isabella Manik, kabar itu sudah merebak di kota Athena. Jadi mau pakai baju atau telanjang sekalipun, tidak akan berbahaya sama sekali. Tidak akan ada terjadi apapun antara dirinya dan Kenzo."Baiklah,. Jika memang harus mengenakan ini. Aka
Rasa canggung memenuhi ruangan sesaat. Lidya menggertakkan gigi, napasnya pendek. Ia tampak siap meledak. Matanya menyorot tajam ke arah Zenia, bibirnya mengeras.“Tunggu,” tiba-tiba suara laki-laki muda memotong, lebih berat dari biasanya. Rafi Alberto melangkah maju, menyandarkan diri pada meja, menatap Zenia dengan senyum yang berusaha meyakinkan. “Ma, Pa, jangan buru-buru. Tentang urusan Lidya di kampus, aku yang akan urus. Besok aku berangkat ke kampus, dan aku jamin… hari ini juga, ijazahnya akan keluar.”Kata-kata itu diucapkan dengan nada percaya diri yang dibuat-buat. Ia ingin menutup muka adiknya, menambal harga diri keluarga. Tapi ada yang di matanya tak sempat ia tutupi: sedikit panik. Itu terlihat ketika tangannya mengepal sekilas di belakang punggung.Zenia mengangguk pelan, seolah memberi ruang. Ia tidak bergairah menjerat Rafi. Ia menunggu.Rafi melangkah lebih dekat, suaranya berubah menjadi meyakinkan. “Aku yang akan bicara dengan pihak kampus. Aku yang akan urus adm
Untuk beberapa menit, Zenia hanya diam. Ia memegang cangkir teh hangat itu seolah-olah sedang menenangkan dirinya, padahal ia sedang menakar kata-katanya. Lidya dan kakaknya berhenti tertawa hanya untuk memastikan apakah perempuan kampungan ini sedang bersiap menangis atau membela diri.Tapi setelah menunggu, tidak ada air mata.dan tidak ada pula suara yang pecah.Hanya keheningan yang pelan-pelan berubah menjadi sesuatu yang membuat Lidya tidak nyaman.Zenia meletakkan cangkir itu kembali ke meja. Tangannya halus, gerakannya lembut. Mata yang tadi tertunduk kini terangkat perlahan, bukan menantang, tapi juga bukan sebuah cerminan keminderan.“Aku memang hanya gadis desa,” ucapnya dengan nada serendah kapas, “dan ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota setelah lima belas tahun lamanya.”Semua orang dalam ruangan menoleh.“Tapi…” Zenia menoleh pada ayah dan ibu mertuanya, bibirnya melengkung sedikit, “paling tidak, aku masih ingat mendiang ibuku pernah mengatakan… jika orang
Matahari pagi menempel di pagar besi keluarga Alberto seperti lampu yang tak mau padam. Di ujung jalan, sebuah mobil berhenti. Zenia membuka pintu, menurunkan sebuah koper usang dan satu bungkus plastik. Di atasnya hanya selembar kertas resmi, surat nikah dan kartu identitas yang basah sedikit karena hujan semalam.Tidak ada pelukan perpisahan.Tidak ada air mata yang diusap oleh tangan yang sayang.Hanya tiga orang yang menatap dari dalam mobil, lalu pergi meninggalkan Zenia di tepi jalan seperti sesuatu yang tidak lagi berguna.Zenia berdiri dengan tubuh yang gemetar walaupun bukan inginnya- mungkin ini adalah sisa ketakutan si pemilik asli tubuh walau sudah tidak berada di sana lagi.Zenia menatap penampilannya sejanak. Bajunya kusam, rambutnya masih lembap dari perjalanan panjang. "Ya Tuhan! Bagaimana dia bisa bertahan hidup dalam semua ini." Gumamnya dalam hati, kasihan dengan hidup si pemilik asli tubuhnya. Ya! Walaupun si pemilik tubuh telah pergi, tapi semua ingatan, kenangan,
Senja di kota Athena selalu indah, warna oranye keemasan yang memantul di gedung-gedung tinggi dan menerangi seluruh kota seperti karpet cahaya. Dan di tengah kilau itu, satu nama paling bersinar, satu sosok yang membuat investor tunduk dan lawan bisnis gentar: Isabela Manik.Wanita itu berdiri di balik kaca kantor lantai tiga puluh, menatap dunia yang telah ia bangun dengan tangannya sendiri. Rambut hitamnya jatuh rapi di bahu, matanya tajam namun lelah. Sudah berbulan-bulan ia bekerja tanpa jeda, tidak karena ambisi semata, tetapi karena firasat yang sejak lama mengusik:Ada seseorang yang ingin mengambil semua ini darinya.Namun sore itu, ia mencoba menenangkan hati.Kau terlalu curiga, Bella, katanya dalam hati. Tidak semua orang ingin menjatuhkanmu.Ia bahkan tidak sadar bahwa hari itu memang akan menjadi hari terakhirnya sebagai Ratu Bisnis Athena.***Ketukan pintu memecah lamunannya.“Masuk,” ucap Bella tanpa menoleh.Angkasa Wijaya melangkah masuk dengan langkah ringan. Setel







