Mag-log in
Senja di kota Athena selalu indah, warna oranye keemasan yang memantul di gedung-gedung tinggi dan menerangi seluruh kota seperti karpet cahaya. Dan di tengah kilau itu, satu nama paling bersinar, satu sosok yang membuat investor tunduk dan lawan bisnis gentar: Isabela Manik.
Wanita itu berdiri di balik kaca kantor lantai tiga puluh, menatap dunia yang telah ia bangun dengan tangannya sendiri. Rambut hitamnya jatuh rapi di bahu, matanya tajam namun lelah. Sudah berbulan-bulan ia bekerja tanpa jeda, tidak karena ambisi semata, tetapi karena firasat yang sejak lama mengusik:
Ada seseorang yang ingin mengambil semua ini darinya.
Namun sore itu, ia mencoba menenangkan hati.
Kau terlalu curiga, Bella, katanya dalam hati. Tidak semua orang ingin menjatuhkanmu.
Ia bahkan tidak sadar bahwa hari itu memang akan menjadi hari terakhirnya sebagai Ratu Bisnis Athena.
***
Ketukan pintu memecah lamunannya.
“Masuk,” ucap Bella tanpa menoleh.
Angkasa Wijaya melangkah masuk dengan langkah ringan. Setelan abu-abunya tampak sempurna, senyum hangatnya seolah mampu meruntuhkan tembok terdingin.
“Untukmu,” ujarnya lembut. “Kau tidak berhenti bekerja sejak pagi.”
Bella menerima gelas itu. “Terima kasih. Kau selalu tahu kapan aku butuh kopi.”
Angkasa tertawa kecil. “Karena aku memperhatikanmu.”
Kalimat itu membuat Bella menoleh, menatap pria yang sudah ia kenal bertahun-tahun. Mata Angkasa begitu lembut, seolah tak sanggup menyakiti siapa pun. Dan untuk sesaat, Bella merasa bersalah telah meragukannya.
“Jadi, kau sudah siap besok?” tanya Angkasa sambil bersandar di meja.
“Untuk merger?” Bella tersenyum. “Kau tahu, aku lahir untuk momen seperti itu, kan?” Ucapnya dengan sedikit sombong.
“Benar. Dan semua ini… akan menjadi milik kita.” Angkasa mengangkat tangannya, menyentuh pipi Bella pelan.
Bella terdiam.
Ada dentingan halus, suara gelas kopi yang bergetar di meja.
Atau mungkin itu hanya jantungnya sendiri.
“Angkasa,” bisiknya, “kau benar-benar… berada di sisiku, kan?”
Bukan tanpa alasan dia bertanya. Selama sebulan terakhir, Bella menerima laporan-laporan aneh: pembocoran strategi perusahaan, pergerakan saham yang tampak diatur seseorang, dan bayangan nama Angkasa yang terus muncul dalam dokumen-dokumen itu.
Namun Bella menepis semua itu. Ia terlalu mencintai pria itu. Ia percaya padanya sepenuhnya.
Angkasa tersenyum. “Tentu, Bella. Selalu.” Ucapnya dan meraih tangan Bella.
Hangat. Menenangkan. Meyakinkan.
Namun pada saat yang sama, sesuatu di dalam Bella terasa… salah. Insting bisnisnya! insting yang membuatnya jadi pemimpin termuda di Athena, berteriak bahwa ia sedang berdiri terlalu dekat dengan bahaya.
Bahaya yang menyamar sebagai kasih sayang.
Bukan dia tidak me-warning dirinya. Tapi cinta mematikan alarm dalam dirinya.
***
Malam mulai turun ketika Bella akhirnya memutuskan pulang. Ia masuk ke dalam mobilnya, mengenakan sabuk pengaman, dan menghela napas panjang.
"Satu hari lagi," gumamnya. "Setelah merger selesai, semuanya akan stabil. Aku janji akan mengurus pernikahan ku secepatnya dengan Angkasa."
Ponselnya berbunyi. Dan nama Angkasa tertulis di sana.
Bella tersenyum dan mengangkatnya.
"Hmm?"
"Hati-hati di jalan, Bella," suara Angkasa terdengar hangat.
"Kau terlalu khawatir," Bella tertawa kecil.
"Tentu. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."
Kata-kata itu terasa manis… tapi ada sesuatu yang aneh. Rasanya suara Angkasa terlalu tenang... dan terlalu terkendali.
Lalu terdengar bunyi ringan—klik—diikuti suara samar yang tidak seharusnya ada dalam panggilan telepon.
Seperti seseorang menutup sesuatu. Atau mungkin mengatur sesuatu.
"Aku akan tiba dalam dua puluh menit," kata Bella.
"Baik. Sampai jumpa."
Telepon pun terputus.
Bella memandang jalan yang sepi malam itu. Lampu-lampu kota Athena memantul di kaca depan mobil. Ia menginjak gas perlahan, mencoba menghilangkan rasa gelisah yang tidak jelas dari mana sumbernya.
Namun ketika mobil memasuki terowongan, getaran halus terasa di bawah kursi.
"…apa ini?"
Namun sayangnya sedetik berikutnya, dunia Bella meledak.
Suara dentuman memekakkan telinga. Cahaya putih membutakan. Mobil terpelanting, menabrak dinding beton. Sabuk pengaman menghantam dada Bella, membuatnya sulit bernapas. Segalanya terjadi terlalu cepat, namun sekaligus seperti gerakan lambat dalam mimpi buruk.
Kepalanya terantuk.
Bella terhuyung, mencoba membuka pintu mobil. Ia batuk, darah memenuhi mulutnya.
"T…tolong…"
Tapi tidak ada siapa pun di sana.
Lampu-lampu terowongan berkelip, kehilangan daya. Dan asap tebal menyelimuti mobilnya.
Bella tersungkur, tubuhnya mulai terasa dingin. Ia meraih ponsel, namun pandangannya gelap.
Dalam kabut setengah sadar itu, ia melihat seseorang berdiri di ujung terowongan.
Siluet seorang pria dan wanita
Berjalan Tenang. Dan jelas mereka tidak berlari untuk menolongnya.
“Ang… k… sa…” gumamnya.
Dan sebelum segalanya menghilang, ia melihat sesuatu yang menusuk jantungnya lebih dalam daripada pecahan kaca di tubuhnya:
Senyuman.
Dingin.
Senyuman terakhir yang dilihat Isabela Manik sebelum hidupnya padam.
***
Kegelapan menyambutnya seperti selimut es.
Suara detak jantung melambat.
Apa aku mati…?
Beginikah akhirnya? Dalam pengkhianatan?
Isabella ingin berteriak.
Namun kelopak matanya terpejam sebelum sempat berkata apa pun.
Hening.
Lalu…
Dari kehampaan itu, suara baru muncul. Jauh, tapi jelas.
“Zenia! Bangun! Jangan pura-pura mati ya!!”
Bella—atau siapa pun ia sekarang—perlahan membuka matanya.
Saat ia melihat sekelilingnya, jelas ini bukan di terowongan.
Tapi perubahan setting tempat yang membuatnya bingung bercampur heran saat ini tidak akan ada artinya saat dia tahu bahwa dia terbangun bukan di dalam tubuhnya.
"DImana ini?" Gumamnya, masih mencoba meraba situasi yang tak ia kenali.
Saat ini jelas ia berada di sebuah di kamar kecil berbau tanah, dengan seorang wanita berwajah dingin berdiri di atasnya.
“Cepat! Apa kau pikir dengan lompat ke dalam kolam dangkal itu kau akan mati dan aku tidak akan jadi mengantarkan mu ke depan gerbang rumah keluarga Alberto? Jangan terlalu banyak berkhayal, Zenia! Kau sudah menikah dengan si lumpuh Kenzo itu! Jadi tempat mu bukan di sini! Lagi pula kan sudah aku bilang kau hanya transit sesaat di sini dari rumah kumuh mu di desa ssebelum aku mengantar mu ke rumah suamimu yang cacat itu!"
"ZENIA???" Pekik Bella dalam hati, bahkan membuat matanya terbelalak.
"Menikah?"
"Kenzo? Kenzo Alberto? Musuh bebuyutan ku??"
Secepat kilat Bella bangun dan berlari mencari cermin atau apapun untuk bisa melihat wajahnya saat ini.
"Tidak mungkin ku hidup lagi tapi di tubuh orang lain kan? Ini terlalu novel untuk menjadi sebuah kenyataan!"
Tapi sayangnya semua celetukan asal itu seolah menamparnya saat dia melihat wajahnya di cermin lusuh di kamar itu.
"Ini...?" Serunya bingung sambil menyentuh wajahnya sendiri, menyadari tubuh yang bukan miliknya…
"Astaaga! ternyata benar! Aku hidup kembali!"
Dan orang pertama yang menatapnya dengan kebencian…bukan musuh, melainkan keluarga barunya:
OLivia Ramlan- adik tiri Zenia Ramlan.
"Nyonya muda, mari saya bantu nyonya berpakaian sebelum masuk ke kamar tuan muda Kenzo." Ucap salah seorang pelayan yang memang ditugaskan untuk membersihkan tubuh Zenia sebelum masuk ke kamar Kenzo.Karena merasa tidak ada yang salah dengan semua itu, Zenia pun menurut begitu saja tanpa tahu apa yang telah disiapkan oleh ibu Kenzo untuk ia kenakan malam pertamanya dan Kenzo."Apa mereka bercanda?" Teriak Zenia dalam hati saat mendapati pakaian yang harus dikenakannya sangat jauh dari apa yang dia pikirkan.Tapi setelah berpikir beberapa saat, Zenia pikir ini juga tidak terlalu buruk. Sebab sebelumnya dia mendengar bahwa junior Kenzo tidak bereaksi setelah kecelakaan maut yang membuat kaki Kenzo lumpuh. Bahkan sebelum kematiannya saat masih menjadi Isabella Manik, kabar itu sudah merebak di kota Athena. Jadi mau pakai baju atau telanjang sekalipun, tidak akan berbahaya sama sekali. Tidak akan ada terjadi apapun antara dirinya dan Kenzo."Baiklah,. Jika memang harus mengenakan ini. Aka
Rasa canggung memenuhi ruangan sesaat. Lidya menggertakkan gigi, napasnya pendek. Ia tampak siap meledak. Matanya menyorot tajam ke arah Zenia, bibirnya mengeras.“Tunggu,” tiba-tiba suara laki-laki muda memotong, lebih berat dari biasanya. Rafi Alberto melangkah maju, menyandarkan diri pada meja, menatap Zenia dengan senyum yang berusaha meyakinkan. “Ma, Pa, jangan buru-buru. Tentang urusan Lidya di kampus, aku yang akan urus. Besok aku berangkat ke kampus, dan aku jamin… hari ini juga, ijazahnya akan keluar.”Kata-kata itu diucapkan dengan nada percaya diri yang dibuat-buat. Ia ingin menutup muka adiknya, menambal harga diri keluarga. Tapi ada yang di matanya tak sempat ia tutupi: sedikit panik. Itu terlihat ketika tangannya mengepal sekilas di belakang punggung.Zenia mengangguk pelan, seolah memberi ruang. Ia tidak bergairah menjerat Rafi. Ia menunggu.Rafi melangkah lebih dekat, suaranya berubah menjadi meyakinkan. “Aku yang akan bicara dengan pihak kampus. Aku yang akan urus adm
Untuk beberapa menit, Zenia hanya diam. Ia memegang cangkir teh hangat itu seolah-olah sedang menenangkan dirinya, padahal ia sedang menakar kata-katanya. Lidya dan kakaknya berhenti tertawa hanya untuk memastikan apakah perempuan kampungan ini sedang bersiap menangis atau membela diri.Tapi setelah menunggu, tidak ada air mata.dan tidak ada pula suara yang pecah.Hanya keheningan yang pelan-pelan berubah menjadi sesuatu yang membuat Lidya tidak nyaman.Zenia meletakkan cangkir itu kembali ke meja. Tangannya halus, gerakannya lembut. Mata yang tadi tertunduk kini terangkat perlahan, bukan menantang, tapi juga bukan sebuah cerminan keminderan.“Aku memang hanya gadis desa,” ucapnya dengan nada serendah kapas, “dan ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota setelah lima belas tahun lamanya.”Semua orang dalam ruangan menoleh.“Tapi…” Zenia menoleh pada ayah dan ibu mertuanya, bibirnya melengkung sedikit, “paling tidak, aku masih ingat mendiang ibuku pernah mengatakan… jika orang
Matahari pagi menempel di pagar besi keluarga Alberto seperti lampu yang tak mau padam. Di ujung jalan, sebuah mobil berhenti. Zenia membuka pintu, menurunkan sebuah koper usang dan satu bungkus plastik. Di atasnya hanya selembar kertas resmi, surat nikah dan kartu identitas yang basah sedikit karena hujan semalam.Tidak ada pelukan perpisahan.Tidak ada air mata yang diusap oleh tangan yang sayang.Hanya tiga orang yang menatap dari dalam mobil, lalu pergi meninggalkan Zenia di tepi jalan seperti sesuatu yang tidak lagi berguna.Zenia berdiri dengan tubuh yang gemetar walaupun bukan inginnya- mungkin ini adalah sisa ketakutan si pemilik asli tubuh walau sudah tidak berada di sana lagi.Zenia menatap penampilannya sejanak. Bajunya kusam, rambutnya masih lembap dari perjalanan panjang. "Ya Tuhan! Bagaimana dia bisa bertahan hidup dalam semua ini." Gumamnya dalam hati, kasihan dengan hidup si pemilik asli tubuhnya. Ya! Walaupun si pemilik tubuh telah pergi, tapi semua ingatan, kenangan,
Senja di kota Athena selalu indah, warna oranye keemasan yang memantul di gedung-gedung tinggi dan menerangi seluruh kota seperti karpet cahaya. Dan di tengah kilau itu, satu nama paling bersinar, satu sosok yang membuat investor tunduk dan lawan bisnis gentar: Isabela Manik.Wanita itu berdiri di balik kaca kantor lantai tiga puluh, menatap dunia yang telah ia bangun dengan tangannya sendiri. Rambut hitamnya jatuh rapi di bahu, matanya tajam namun lelah. Sudah berbulan-bulan ia bekerja tanpa jeda, tidak karena ambisi semata, tetapi karena firasat yang sejak lama mengusik:Ada seseorang yang ingin mengambil semua ini darinya.Namun sore itu, ia mencoba menenangkan hati.Kau terlalu curiga, Bella, katanya dalam hati. Tidak semua orang ingin menjatuhkanmu.Ia bahkan tidak sadar bahwa hari itu memang akan menjadi hari terakhirnya sebagai Ratu Bisnis Athena.***Ketukan pintu memecah lamunannya.“Masuk,” ucap Bella tanpa menoleh.Angkasa Wijaya melangkah masuk dengan langkah ringan. Setel







