Home / Fantasi / TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR / Bab 5: semua yang kita lihat belum tentu benar.

Share

Bab 5: semua yang kita lihat belum tentu benar.

Author: SURGAVERSE
last update Last Updated: 2025-08-06 12:11:59

Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain.

Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?"

Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik."

Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina.

Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, rasanya seperti baru saja meninggalkan sebuah dunia lain.

---

Malam itu, Hina duduk di dekat jendela apartemen Arga, menatap bayangan kota yang diterangi lampu-lampu jalan. Dia masih memikirkan cermin itu, tentang bayangan yang melintas di pikirannya.

Arga mendekatinya, membawa dua cangkir teh. "Masih memikirkan cermin itu?"

Hina mengangguk pelan. "Aku merasa... ada sesuatu yang harus aku ingat. Sesuatu yang penting." Sebenarnya Arga juga terus memikirkan apa kata orang tua barusan, dia masih belum mengerti apa maksudnya.

"Mungkin itu memang bagian dari ingatanmu yang hilang," kata Arga. "Tapi, apa kau tidak takut?"

Hina menatapnya. "Tentu saja aku takut. Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya, mengapa aku ada di sini, dan mengapa aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku. Tapi jika aku tidak mencoba mencari tahu, aku mungkin akan selamanya tersesat."

Arga menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu, kita cari tahu bersama. Kau tidak sendirian."

Hina tersenyum kecil. "Terima kasih, Arga."

Mereka menikmati teh dalam keheningan, membiarkan malam membungkus mereka dalam misteri yang belum terpecahkan. Hina tahu bahwa perjalanan untuk menemukan jati dirinya baru saja dimulai. Dan dia merasa bahwa Arga adalah bagian penting dari perjalanan itu.

Malam itu, setelah percakapan mereka di dekat jendela, Arga mengamati Hina yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya. Dia bisa melihat sorot matanya yang penuh kebingungan, seolah berusaha menghubungkan kepingan-kepingan yang belum utuh di dalam benaknya.

"Besok kita bisa berjalan-jalan di sekitar kota," usul Arga. "Mungkin dengan melihat tempat-tempat di sini, kau bisa mengingat sesuatu."

Hina mengangguk pelan. "Itu ide yang bagus. Aku ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini dan... tentang diriku."

---

Keesokan paginya,

Hina duduk di sofa, bersila di depan tumpukan buku anak-anak dan catatan kecil milikku—buku kenang kenangan waktu aku masih TK. Di sampingnya, TV menyala pelan menampilkan acara variety show-penuh warna, suara cepat, dan tawa.

Arga duduk di kursi, bersandar sambil memperhatikan ekspresi bingung Hina yang mencoba menyalin kata "selamat pagi" di bukunya. Sepertinya Hina sedang mulai untuk mempelajari bahasa ringan sehari-hari di zaman ini.

Hina: (berbisik) "Sela... mat... pagi?"

Arga: (tersenyum) "Iya, bagus. Itu yang biasa orang bilang waktu bangun tidur."

Hina mengangguk pelan, lalu melirik ke arah TV.

Hina: "Kenapa mereka bicara sangat cepat...? Seperti... ledakan kecil di kepala."

Arga: (tertawa pelan) "Itu karena kamu belum terbiasa. Tapi tenang, lama-lama juga ngerti."

Hina memiringkan kepalanya, lalu menunjuk ke salah satu pembawa acara di TV yang berkata, "Gila, itu keren banget!"

Hina: "'Gila'? Apakah dia... memaki?"

Arga: "Ah, enggak. Di sini 'gila' kadang artinya kagum, bukan marah. Bahasa sekarang itu... fleksibel."

Hina: "Zamanmu... aneh."

Arga: "Zamanmu juga aneh."

(mereka saling menatap, lalu tertawa kecil bersama)

Arga menunjukkan beberapa istilah gaul di layar.

Arga: "Ini penting buat sehari-hari. Nih: 'gas', artinya ayo. 'Woles', artinya santai. 'Mager', artinya males gerak."

Hina: (menulis serius)

"Gas = ledakan atau uap panas. Woles = kelonggaran jiwa. Mager = malas guna revolusi."

Arga: "Itu terjemahan pujangga mana? Ini pelajaran, bukan nulis kitab!"

---

Setelah itu mereka keluar dari apartemen Arga. Hina tampak terpesona oleh banyak hal di sekelilingnya-lampu lalu lintas, kendaraan yang melaju cepat, bahkan papan iklan digital yang menampilkan promosi produk. Beberapa kali dia berhenti untuk mengamati sesuatu dengan ekspresi takjub dan bingung sekaligus.

"Eh, itu alat sihir yang waktu itu kita lihat, kenapa benda itu bisa bergerak sendiri?" tanyanya saat melihat sebuah pintu geser otomatis di depan minimarket.

Arga tertawa kecil. "Itu sensor. Pintu akan terbuka otomatis kalau ada orang yang mendekat."

Hina tampak kagum. Kini dia memberanikan diri menghampiri. Berjalan mendekat, lalu menjauh, lalu mendekat lagi, hanya untuk melihat pintu itu terbuka dan tertutup secara otomatis. Arga hanya bisa menggeleng sambil tersenyum.

Saat mereka melewati taman kota, Hina memperhatikan seorang anak kecil yang sedang makan es krim. Dia menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Kau mau coba?" tanya Arga, menyadari tatapan gadis itu.

Hina menoleh padanya, sedikit ragu, tapi akhirnya mengangguk. Arga membeli dua es krim dan memberikan satu padanya. Hina mencicipinya perlahan, lalu matanya berbinar.

"Ini... luar biasa!" serunya dengan ekspresi terkejut. "Begitu dingin dan manis! Aku belum pernah makan sesuatu seperti ini."

Arga menatapnya dengan heran. "Belum pernah? Kau benar-benar tidak ingat makanan seperti ini?"

Hina menggeleng sambil terus menikmati es krimnya. "Aku tidak tahu. Rasanya seperti pertama kali aku merasakan sesuatu seperti ini."

Arga mengamati ekspresinya. Dia terlihat begitu polos dan alami, seolah benar-benar berasal dari dunia yang berbeda. Tapi, di saat yang sama, ada sesuatu yang terasa familiar. Entah mengapa, melihat Hina membuatnya merasa aneh-seperti ada sesuatu yang pernah dia alami sebelumnya, tapi dia tidak bisa mengingatnya.

Ia melewati taman kecil di dekat kampus, Hina menyuruh untuk istirahat terlebih dahulu. Mereka duduk di sebuah bangku di dekat sebuah Kampus, aku belajar di kampus ini, karena ini libur semester jadi kampus ini terlihat sepi dan sunyi. Bunga Flamboyan terlihat bermekaran.

Hina menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit yang mulai berubah warna keemasan.

Hina: "Arga, menurutmu... di masa depan, kita akan seperti apa?"

Arga: tertawa kecil "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

Hina: mengangkat bahu "Entahlah. Aku hanya penasaran... Semua orang punya mimpi, kan? Tapi, apa semua orang bisa mencapainya?"

Arga terdiam sejenak, menatap es krimnya yang mengeluarkan uap tipis. Lalu, ia menoleh ke arah Hina yang masih menatap langit dengan mata yang penuh harapan dan keraguan sekaligus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 72: Akhir dari sebuah prolog.

    Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 71: Dibawah langit dan Flamboyan.

    Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.3: Hendrickson.

    Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.2: Hendrickson.

    “Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70: Hendrickson.

    Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 69: Titik balik sebuah kebencian.

    Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status