Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain.
Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?" Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik." Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina. Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, rasanya seperti baru saja meninggalkan sebuah dunia lain. --- Malam itu, Hina duduk di dekat jendela apartemen Arga, menatap bayangan kota yang diterangi lampu-lampu jalan. Dia masih memikirkan cermin itu, tentang bayangan yang melintas di pikirannya. Arga mendekatinya, membawa dua cangkir teh. "Masih memikirkan cermin itu?" Hina mengangguk pelan. "Aku merasa... ada sesuatu yang harus aku ingat. Sesuatu yang penting." Sebenarnya Arga juga terus memikirkan apa kata orang tua barusan, dia masih belum mengerti apa maksudnya. "Mungkin itu memang bagian dari ingatanmu yang hilang," kata Arga. "Tapi, apa kau tidak takut?" Hina menatapnya. "Tentu saja aku takut. Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya, mengapa aku ada di sini, dan mengapa aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku. Tapi jika aku tidak mencoba mencari tahu, aku mungkin akan selamanya tersesat." Arga menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu, kita cari tahu bersama. Kau tidak sendirian." Hina tersenyum kecil. "Terima kasih, Arga." Mereka menikmati teh dalam keheningan, membiarkan malam membungkus mereka dalam misteri yang belum terpecahkan. Hina tahu bahwa perjalanan untuk menemukan jati dirinya baru saja dimulai. Dan dia merasa bahwa Arga adalah bagian penting dari perjalanan itu. Malam itu, setelah percakapan mereka di dekat jendela, Arga mengamati Hina yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya. Dia bisa melihat sorot matanya yang penuh kebingungan, seolah berusaha menghubungkan kepingan-kepingan yang belum utuh di dalam benaknya. "Besok kita bisa berjalan-jalan di sekitar kota," usul Arga. "Mungkin dengan melihat tempat-tempat di sini, kau bisa mengingat sesuatu." Hina mengangguk pelan. "Itu ide yang bagus. Aku ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini dan... tentang diriku." --- Keesokan paginya, Hina duduk di sofa, bersila di depan tumpukan buku anak-anak dan catatan kecil milikku—buku kenang kenangan waktu aku masih TK. Di sampingnya, TV menyala pelan menampilkan acara variety show-penuh warna, suara cepat, dan tawa. Arga duduk di kursi, bersandar sambil memperhatikan ekspresi bingung Hina yang mencoba menyalin kata "selamat pagi" di bukunya. Sepertinya Hina sedang mulai untuk mempelajari bahasa ringan sehari-hari di zaman ini. Hina: (berbisik) "Sela... mat... pagi?" Arga: (tersenyum) "Iya, bagus. Itu yang biasa orang bilang waktu bangun tidur." Hina mengangguk pelan, lalu melirik ke arah TV. Hina: "Kenapa mereka bicara sangat cepat...? Seperti... ledakan kecil di kepala." Arga: (tertawa pelan) "Itu karena kamu belum terbiasa. Tapi tenang, lama-lama juga ngerti." Hina memiringkan kepalanya, lalu menunjuk ke salah satu pembawa acara di TV yang berkata, "Gila, itu keren banget!" Hina: "'Gila'? Apakah dia... memaki?" Arga: "Ah, enggak. Di sini 'gila' kadang artinya kagum, bukan marah. Bahasa sekarang itu... fleksibel." Hina: "Zamanmu... aneh." Arga: "Zamanmu juga aneh." (mereka saling menatap, lalu tertawa kecil bersama) Arga menunjukkan beberapa istilah gaul di layar. Arga: "Ini penting buat sehari-hari. Nih: 'gas', artinya ayo. 'Woles', artinya santai. 'Mager', artinya males gerak." Hina: (menulis serius) "Gas = ledakan atau uap panas. Woles = kelonggaran jiwa. Mager = malas guna revolusi." Arga: "Itu terjemahan pujangga mana? Ini pelajaran, bukan nulis kitab!" --- Setelah itu mereka keluar dari apartemen Arga. Hina tampak terpesona oleh banyak hal di sekelilingnya-lampu lalu lintas, kendaraan yang melaju cepat, bahkan papan iklan digital yang menampilkan promosi produk. Beberapa kali dia berhenti untuk mengamati sesuatu dengan ekspresi takjub dan bingung sekaligus. "Eh, itu alat sihir yang waktu itu kita lihat, kenapa benda itu bisa bergerak sendiri?" tanyanya saat melihat sebuah pintu geser otomatis di depan minimarket. Arga tertawa kecil. "Itu sensor. Pintu akan terbuka otomatis kalau ada orang yang mendekat." Hina tampak kagum. Kini dia memberanikan diri menghampiri. Berjalan mendekat, lalu menjauh, lalu mendekat lagi, hanya untuk melihat pintu itu terbuka dan tertutup secara otomatis. Arga hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Saat mereka melewati taman kota, Hina memperhatikan seorang anak kecil yang sedang makan es krim. Dia menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau mau coba?" tanya Arga, menyadari tatapan gadis itu. Hina menoleh padanya, sedikit ragu, tapi akhirnya mengangguk. Arga membeli dua es krim dan memberikan satu padanya. Hina mencicipinya perlahan, lalu matanya berbinar. "Ini... luar biasa!" serunya dengan ekspresi terkejut. "Begitu dingin dan manis! Aku belum pernah makan sesuatu seperti ini." Arga menatapnya dengan heran. "Belum pernah? Kau benar-benar tidak ingat makanan seperti ini?" Hina menggeleng sambil terus menikmati es krimnya. "Aku tidak tahu. Rasanya seperti pertama kali aku merasakan sesuatu seperti ini." Arga mengamati ekspresinya. Dia terlihat begitu polos dan alami, seolah benar-benar berasal dari dunia yang berbeda. Tapi, di saat yang sama, ada sesuatu yang terasa familiar. Entah mengapa, melihat Hina membuatnya merasa aneh-seperti ada sesuatu yang pernah dia alami sebelumnya, tapi dia tidak bisa mengingatnya. Ia melewati taman kecil di dekat kampus, Hina menyuruh untuk istirahat terlebih dahulu. Mereka duduk di sebuah bangku di dekat sebuah Kampus, aku belajar di kampus ini, karena ini libur semester jadi kampus ini terlihat sepi dan sunyi. Bunga Flamboyan terlihat bermekaran. Hina menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit yang mulai berubah warna keemasan. Hina: "Arga, menurutmu... di masa depan, kita akan seperti apa?" Arga: tertawa kecil "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?" Hina: mengangkat bahu "Entahlah. Aku hanya penasaran... Semua orang punya mimpi, kan? Tapi, apa semua orang bisa mencapainya?" Arga terdiam sejenak, menatap es krimnya yang mengeluarkan uap tipis. Lalu, ia menoleh ke arah Hina yang masih menatap langit dengan mata yang penuh harapan dan keraguan sekaligus.Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan, mereka kembali menelusuri lembar demi lembar buku itu, berharap menemukan jawaban atas misteri yang kini mengikat mereka berdua. Setelah beberapa lembar, mereka menemukan sebuah sketsa yang menggambarkan seorang pria dan wanita berdiri di tepi sungai dengan pemandangan kastil di belakang mereka. Di bawah sketsa itu terdapat tulisan: "Di bawah bulan purnama, sumpah itu terukir. Hanya mereka yang mengingat akan menemukan jalan pulang." "Demi langit yang menyaksikan dan bumi yang menjadi saksi, aku, Julian Astrea, berjanji sebagai pangeran yang tak akan mengingkari kata-kataku. Aku bersumpah dengan segenap jiwa dan raga, dengan darah yang mengalir dalam nadiku, bahwa cintaku padamu adalah keabadian yang tak tergoyahkan. Aku akan melindungi, mencintai, dan berjuang, bahkan jika takdir mencoba memisahkan kita, bahkan jika dunia menentang keberadaan kita. Aku bukanlah pria sempurna, namun hatiku telah memilihmu, dan tidak ada yang da
Pustakawan itu mengangguk pelan, lalu berbalik menuju rak tinggi di sudut ruangan. Ia mengulurkan tangannya yang keriput, menarik satu buku tua bersampul kulit dari sela-sela buku lain yang tertata rapi. Debu berhamburan saat ia meletakkannya di meja. "Buku ini mencatat berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan di kota ini. Mungkin kalian akan menemukan jawaban di dalamnya." Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, 2 orang yang merupakan laki laki dan perempuan muncul secara misterius di tengah kota. Ia mengenakan pakaian asing dan berbicara tentang masa depan yang belum pernah didengar siapa pun. Beberapa minggu kemudian, ia menghilang tanpa jejak... Hina menggenggam lengan Arga erat. Ini persis seperti apa yang mereka alami, tapi dalam pandangan masyarakat kuno. Arga menoleh dengan mata melebar. "Apa maksudnya semua ini? Apa mungkin kita... terhubung dengannya?" Pustakawan tua itu menutup buku
Semakin lama bersama Hina, Arga mulai mengalami kejadian yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan dunia yang lain muncul dan menghilang begitu saja, seolah batas antara masa kini dan masa lalu semakin menipis. Saat mereka berjalan bersama di sebuah jalan setapak yang dipenuhi keramaian kota, tiba-tiba, jalanan di bawah kaki mereka berubah. Batu-batu besar menggantikan aspal yang sebelumnya ada. Kereta kuda melintas, orang-orang mengenakan pakaian dari abad ke-19. Arga terperangah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, semuanya kembali seperti semula. Hina menggenggam lengannya erat. "Kamu lihat itu juga?" Hina bertanya dengan suara bergetar. Arga mengangguk, jantungnya berdetak kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Hina menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Aku juga tidak tahu... tapi ini bukan pertama kalinya." Suatu malam, Arga terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar tua dengan perabotan kayu antik, cahay
Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina. Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat. Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat." Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut." Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini." Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi." Arga t
Arga: "Menurutku... mimpi itu bukan soal berhasil atau tidak. Yang penting adalah kita mencoba dan berusaha. Kalau gagal, setidaknya kita tahu sudah berusaha." Hina: tersenyum tipis "Jadi, mimpi apa yang ingin kamu coba wujudkan, Arga?" Arga: menatap lurus ke depan "Aku ingin membangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Mungkin rumah, mungkin gedung... atau sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diingat." Hina menoleh ke Arga dengan tatapan penuh perhatian. Angin sepoi-sepoi membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi ia tidak peduli. Hina: "Itu terdengar seperti mimpi yang indah." Arga: tersenyum "Kalau kamu sendiri? Apa mimpimu?" Hina: tertawa kecil "Aku?" lalu menatap lurus ke depan "Aku ingin hidup bebas. Tidak terikat oleh apa pun. Aku ingin bisa pergi ke mana saja, melihat dunia, dan merasakan setiap momen tanpa harus takut akan masa depan." Arga memperhatikan ekspresi Hina yang tampak serius. Ada sesuatu di matanya
Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain. Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?" Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik." Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina. Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, ra