LOGINArga: "Menurutku... mimpi itu bukan soal berhasil atau tidak. Yang penting adalah kita mencoba dan berusaha. Kalau gagal, setidaknya kita tahu sudah berusaha."
Hina: tersenyum tipis "Jadi, mimpi apa yang ingin kamu coba wujudkan, Arga?" Arga: menatap lurus ke depan "Aku ingin membangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Mungkin rumah, mungkin gedung... atau sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diingat." Hina menoleh ke Arga dengan tatapan penuh perhatian. Angin sepoi-sepoi membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi ia tidak peduli. Hina: "Itu terdengar seperti mimpi yang indah." Arga: tersenyum "Kalau kamu sendiri? Apa mimpimu?" Hina: tertawa kecil "Aku?" lalu menatap lurus ke depan "Aku ingin hidup bebas. Tidak terikat oleh apa pun. Aku ingin bisa pergi ke mana saja, melihat dunia, dan merasakan setiap momen tanpa harus takut akan masa depan." Arga memperhatikan ekspresi Hina yang tampak serius. Ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan, seperti seseorang yang ingin berlari, tapi tidak tahu ke mana harus pergi. Arga: "Itu juga mimpi yang bagus." Hina: tersenyum lembut "Tapi... aku juga ingin tetap bersama orang yang berharga bagiku. Karena, percuma bisa ke mana saja kalau sendirian." Arga terdiam, menatap gadis di sampingnya. Rasanya ada sesuatu dalam kata-kata Hina yang menusuk hatinya, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan, tidak tau ingin berbicara apa. Angin kembali bertiup, membawa kelopak bunga sakura yang perlahan jatuh di pangkuan mereka. Arga: dengan suara pelan "Hina... kamu pasti akan menemukan kebebasan yang kamu cari." Hina: menatap Arga dengan mata yang bersinar lembut "Dan kamu pasti akan membangun sesuatu yang akan diingat selamanya." Mereka terdiam dalam keheningan yang nyaman, menikmati momen itu seolah ingin mengabadikannya dalam ingatan selamanya. "Kalau aku bisa memilih, aku ingin melihat bunga Flamboyan setiap tahun," kata Hina sambil mengulurkan tangannya untuk menangkap kelopak yang jatuh. Arga tersenyum kecil. "Kenapa?" "Karena mereka tidak pernah benar-benar pergi. Mereka jatuh, menghilang, lalu kembali lagi di tahun berikutnya. Indah, kan?" Hina menoleh padanya dengan mata berbinar. Merekapun melanjutkan perjalanan. Saat mereka berjalan lebih jauh ke pusat kota, Arga tiba-tiba merasa pusing. Pandangannya sedikit kabur, dan dalam sekejap, sebuah gambaran asing melintas di pikirannya. Dia melihat bayangan seorang gadis berdiri di bawah cahaya lilin. Gaun putih panjangnya melambai, dan suara lembutnya memanggil namanya dengan nada sendu. "Arga..." Arga tersentak, kembali ke realitas. Dia terengah-engah dan menatap sekeliling. Hina berdiri di sampingnya dengan tatapan khawatir. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Arga mengusap kepalanya. "Aku... aku baik-baik saja. Hanya merasa sedikit pusing." Hina menatapnya lebih lama, seolah mencoba mencari tahu sesuatu. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut. Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi perasaan aneh itu tidak sepenuhnya hilang dari benak Arga. Dia tidak tahu apa yang baru saja dia lihat, tapi satu hal yang pasti-kehadiran Hina mulai mengusik sesuatu yang terkubur jauh di dalam dirinya. --- Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di sebuah kafe kecil di sudut jalan. Arga mengajak Hina masuk, dan mereka duduk di dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan jalanan kota. Hina menatap menu di meja dengan penuh kebingungan. "Banyak sekali pilihan..." gumamnya. Arga tersenyum. "Mau aku pilihkan sesuatu untukmu?" Hina mengangguk cepat. "Aku tidak tahu apa yang enak." Arga memesan kopi untuk dirinya sendiri dan cokelat panas untuk Hina, bersama dengan beberapa camilan ringan. Saat pesanan tiba, Hina menatap cangkir cokelat panasnya dengan penasaran sebelum meniup permukaannya dan menyeruput perlahan. Mata gadis itu membesar seketika. "Hangat... dan manis!" ujarnya dengan antusias. Arga terkekeh. "Senang mendengarnya." Selama beberapa saat, mereka hanya duduk menikmati minuman masing-masing. Namun, Arga tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang masih tersisa sejak tadi. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha mengingat, tapi tidak bisa dijangkau. "Arga..." panggil Hina tiba-tiba. "Hmm?" Gadis itu menatapnya ragu-ragu. "Kau yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya?" Arga terdiam. "Kenapa kau berpikir begitu?" Hina mengaduk cokelat panasnya dengan sendok kecil. "Aku tidak tahu. Tapi setiap kali aku menatapmu, ada sesuatu yang terasa familiar. Seperti... aku pernah mengenalmu di suatu tempat." Arga menggenggam cangkir kopinya dengan erat. Dia tidak bisa berbohong-dia juga merasakan hal yang sama. Sebelum dia sempat menjawab, suara dentingan bel pintu masuk kafe menarik perhatian mereka. Seorang wanita tua dengan keranjang penuh bunga masuk, berjalan ke meja-meja untuk menawarkan dagangannya. Hina tampak tertarik dan memperhatikan wanita itu dengan saksama. Ketika si wanita tua mendekat, dia tersenyum ramah. "Mau membeli bunga, anak muda? Mawar merah melambangkan cinta, lili melambangkan kemurnian..." Hina menatap bunga-bunga itu dengan mata berbinar. "Bunga ini sangat indah..." bisiknya. Arga mengeluarkan beberapa lembar uang dan membeli setangkai lili putih. Dia menyerahkannya pada Hina. "Ini untukmu." Hina menerimanya dengan wajah terkejut, lalu tersenyum lembut. "Terima kasih... Aku merasa bunga ini mengingatkanku pada sesuatu, tapi aku belum tahu apa." Arga memperhatikannya dalam diam. Meskipun gadis itu tampak menikmati dunia modern dengan kekaguman polosnya, ada sesuatu di balik tatapannya-seperti perasaan kehilangan yang dalam. Di luar, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Arga tahu, ini baru permulaan. Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan dia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantuinya sejak bertemu Hina. Tanpa mereka sadari, sesuatu dari masa lalu mulai bergerak, perlahan tapi pasti.Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi
Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang
Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa
“Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat
Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men
Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de







