Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina.
Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat. Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat." Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut." Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini." Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi." Arga tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengarkan, memahami kebingungan yang dirasakan gadis itu. Karena jujur saja, dia juga mengalami hal serupa-rasa familiar yang tak bisa dijelaskan setiap kali dia menatap Hina. Saat mereka melanjutkan perjalanan, Hina tiba-tiba berhenti di depan sebuah toko yang menampilkan berbagai pakaian modern di etalase. "Pakaian seperti ini... berbeda sekali dengan yang aku kenakan," gumamnya sambil menyentuh gaunnya yang masih basah dan sedikit kusut karena hujan tadi. "Pakaian-pakaian itu terlalu terbuka, bagaimana perasaan pembelinya ya? Membeli pakaian-pakaian yang tidak layak dan kekurangan bahan seperti itu, itu sama sekali tidak nyaman dan tidak sopan, tapi anehnya banyak dari perempuan disini yang memakainya." "Eee... Kalau itu sih aku juga sepemikiran denganku (sebenarnya itu memang tren pakaian masa sekarang, jika aku jelaskan pada hina pasti dia tidak percaya dan akan tertawa atau lebih buruknya marah-marah karena itu bertentangan dengannya)." Arga tersenyum tipis. "Kalau kau mau, kita bisa membelikanmu sesuatu yang lebih nyaman." Hina menatapnya ragu. "Tapi aku tidak punya uang..." "Aku yang traktir," kata Arga santai. "Anggap saja sebagai bantuan kecil sampai kau mengingat semuanya." Hina tampak terkejut, lalu tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Arga. Kau benar-benar orang baik." Mereka pun masuk ke dalam toko. Hina tampak kewalahan dengan begitu banyak pilihan pakaian yang tersedia. Dia dengan hati-hati menyentuh kain-kain yang berbeda, terkadang tertawa kecil saat melihat model pakaian yang menurutnya aneh. Setelah beberapa saat, dia akhirnya memilih sebuah blus putih sederhana dan rok selutut berwarna biru tua. Arga mengangguk setuju. "Itu cocok untukmu." Setelah membayar, Hina masuk ke ruang ganti dan keluar dengan pakaian barunya. Dia berputar sekali, seolah ingin memastikan apakah pakaian itu benar-benar cocok untuknya. "Bagaimana?" tanyanya. Arga menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Kau terlihat... sangat berbeda. Tapi tetap Hina yang sama." Gadis itu tersipu, lalu merapikan rambutnya yang masih sedikit lembab. "Terima kasih, Arga. Aku merasa lebih nyaman sekarang." Mereka melanjutkan perjalanan kembali ke apartemen Arga. Kami sempat melewati sebuah jembatan yang indah berwarna merah. disana Arga melihat beberapa bayangan yang arga tak ketahui seperti menara jam kota, dengan retakan tipis di permukaannya. jalanan sepi dengan bayangan manusia ganda, salah satunya seperti kabur. dan pola di udara—mirip kaca pecah yang melingkar. "Hina." Arga menghentikan langkahnya. "Aku melihat sesuatu di dalam air." "Melihat apa?" "ehhhh..... tidak jadi deh." Arga pikir itu hanya halusinasinya karena Hina tidak melihatnya seperti petunjuk petunjuk sebelumnya. Malam semakin larut, dan udara mulai dingin. Saat mereka hampir sampai, Hina tiba-tiba berhenti. "Ada apa?" tanya Arga. Hina menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. "Aku merasa pernah melihat langit ini sebelumnya..." Arga ikut mendongak. "Ya, ini langit malam yang sama seperti kemarin dan hari sebelumnya." "Bukan itu maksudku..." Hina menggeleng pelan. "Langit ini... mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang penting." Arga menatapnya dengan serius. "Apa yang kau ingat?" Hina menggigit bibirnya, berusaha mengingat, tapi ekspresinya berubah frustasi. "Aku tidak tahu. Tapi rasanya... aku pernah berdiri di tempat yang sama, memandangi bintang-bintang ini. Dan ada seseorang di sampingku..." Arga merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan kuat. "Seseorang?" Hina mengerutkan kening, mencoba mengingat lebih keras. Tapi kemudian dia menghela napas panjang. "Aku tidak tahu. Rasanya hanya seperti... bayangan samar." Arga ingin bertanya lebih jauh, tapi dia bisa melihat kelelahan di wajah Hina. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk memaksanya mengingat. "Ayo, kita pulang dulu," katanya sambil berjalan lebih dulu. Hina mengangguk dan mengikutinya. Tapi di dalam hatinya, Arga tahu bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang mungkin lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. Menjelang Malam Setelah beberapa hari belajar, Hina tampak lelah. Buku tulisnya penuh catatan miring: Selamat pagi Terima kasih Gas bro = Bukan Uap/ledakan Mager = bukan penyakit Hina: "Bahasa ini tak sekaku tulisan kerajaan… bahasanya juga ada beberapa yang mirip. tapi jauh lebih aneh. sekarang aku sudah hampir menguasai bahasa masa kini, hanya tinggal beberapa kata kata aneh yang sulit dipahami" Arga: "Aneh tapi seru, kan?" Hina: "Persis sepertimu." Arga: "…Itu maksudnya pujian atau...?" Hina mengangkat bahu. “Bahasa modern, kan? Harus multitafsir.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arga merasa bahwa takdir mulai bergerak ke arahnya. Dia selalu menanyakannya, setelah semua yang ia lalui di kehidupannya yang suram. Apakah dia layak untuk merasakan kebahagiaan seperti ini?Ia berdiri di tengah ruangan gelap itu, seolah tubuhnya bebas-tapi pikirannya masih terpenjara. Semua luka, semua rasa kehilangan, semua suara yang membekas dalam kepalanya tidak benar-benar pergi. Ia hanya berdamai dengan kenyataan bahwa sebagian dari dirinya telah mati sejak lama. "Manusia itu aneh, ya," gumamnya dalam hati, lirih. "Kita ingin sembuh... tapi sebagian dari kita juga takut sembuh. Karena saat sembuh, kita harus melepaskan luka yang sudah terlalu lama kita peluk." Arga menatap cermin retak di sudut kamar itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat dirinya bukan sebagai musuh... tapi sebagai satu-satunya saksi dari semua perjalanan dan perjuangan hidupnya. "Aku ini... bukan pecundang," bisiknya. "Aku ini..." Kepalanya mendongak. Napasnya berat, tapi kali ini bukan karena sesak. Melainkan karena sebuah kesadaran yang menghantam dirinya: Bahwa hidup i
Malam itu, Arga tidak tidur. Ia duduk, memeluk lutut, seperti mayat yang menolak membusuk. Pandangannya kosong, tubuhnya dingin. Tapi pikirannya... penuh. Penuh dengan racun. Dan di dalam kekacauan itu, suara kecil dalam dirinya kembali berbisik-nyaris seperti doa yang kehilangan arah: "Kalau aku hilang... akankah dunia terasa lebih ringan?" Tidak ada jawaban. Hanya sunyi yang menatap balik-dan cermin yang merefleksikan luka yang tak bisa dilihat siapa pun. Arga masih kecil ketika pertama kali merasakan bahwa dunia ini bukan tempat yang aman. Ia duduk di pojok rumah, memeluk boneka singa kecil-hadiah terakhir dari ibunya. Malam itu hujan turun deras, membasahi jendela dengan gemuruh tak henti. Tapi yang lebih menusuk dari suara hujan adalah keheningan. Rumah itu terlalu sunyi... karena ibunya sudah tidak ada disana. Bukan karena meninggal
"Kenapa aku harus pergi?" Arga berpikir dalam... ...dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap. Ketika ia membuka mata, ia tak lagi berada di kamar. Ia berdiri di antara ladang bunga yang tak pernah ia lihat sebelumnya, di bawah langit ungu yang berkilauan. Angin berhembus pelan, membawa aroma yang menenangkan. Di kejauhan, seseorang berdiri membelakanginya-rambut panjang terurai, gaun putih berkibar. "Ibu?" bisiknya. Perempuan itu menoleh, tersenyum. Tapi sebelum ia sempat mendekat, dunia di sekitarnya mulai runtuh. Bunga-bunga layu, langit menjadi merah, dan suara tawa-tawa teman-temannya di sekolah-bergema di langit seperti gema neraka. "Kau anak buangan..." "Kenapa kamu masih hidup?" "Laki-laki macam apa kamu?" Arga menutup telinganya, tapi suara-suara itu terus menembus, seakan-akan berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia j
Hari-hari berjalan tanpa perubahan berarti, sampai suatu malam, saat ia menatap dirinya di cermin, ia mendengar suara lembut yang tak pernah ia duga. "Arga, aku di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi." Itu suara ibunya, tapi dari mana suara itu datang? Dalam cermin yang retak, ia bisa melihat sesuatu yang berbeda, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa... terhubung kembali dengan dunia. Hujan deras membasahi atap rumah. Suara air yang jatuh ke tanah terdengar seperti bisikan dunia yang tak mengerti. Arga menatap ke luar jendela, di mana langit yang kelabu menyelimuti segalanya. Ada rasa sunyi yang lebih dalam dari biasanya. Ada ruang kosong yang ia rasakan semakin luas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tak akan pernah keluar dari tempat ini. Kenapa dia hidup? Kenapa dia menderita? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benakny
Langit hari itu tak menangis, tapi hatinya sudah tenggelam. Arga duduk di depan jendela ketika ibunya berkemas cepat. Ibunya tak menjelaskan apa pun. Tak satu pun kata perpisahan, hanya sebuah bisikan. "Arga, maaf... jaga dirimu. Waktu akan menyatukan kita semua suatu saat nanti." Dan kemudian, suara pintu tertutup. Dan kemudian... sunyi. Selamanya. Ayahnya-seorang pria yang dulu penuh senyum-berubah seperti bayangan tembok. Ia tak pernah menanyakan kabar Arga di sekolah, tak pernah melihat wajahnya ketika makan malam. Sering kali, Arga berbicara sendiri, berharap suaranya cukup keras untuk menghidupkan kembali keluarganya. Tapi yang ia terima hanya: "Diam, Arga. Dunia ini tidak punya waktu untuk bocah lemah." Ayahnya bekerja sampai malam, pulang dalam keadaan mabuk, dan kadang melempar botol kosong ke temb
Sylvia menatapnya sejenak, lalu tersenyum nakal. "Kalau begitu, kau kalah telak. Rambutmu berantakan dan wajahmu… seperti orang habis putus cinta lima kali dalam sehari." "Rasanya lebih dari lima," balas Arga datar. Sylvia mengeluh pura-pura kecewa. "Yah, setidaknya kau masih bisa jawab candaan. Kupikir kau sudah berubah jadi batu." Arga tidak membalas. Tatapannya kosong, mengarah ke langit yang perlahan mulai dipenuhi warna senja. Sylvia menghela napas, lalu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Duduklah. Aku nggak akan gigit, meskipun kamu enak digoda." Arga menurut, duduk di sampingnya. Hening beberapa detik. "Kau tahu," ujar Sylvia, menoleh ke arahnya dengan senyum tipis, "aku sempat berpikir untuk meninju wajahmu agar kau sadar, tapi aku memutuskan membawakanku permen mint sebagai gantinya. Tapi, tentu, kamu tak mau."