Home / Fantasi / TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR / Bab 7: Dunia masa kini dan masa lalu adalah 2 hal yang berbeda.

Share

Bab 7: Dunia masa kini dan masa lalu adalah 2 hal yang berbeda.

Author: SURGAVERSE
last update Last Updated: 2025-08-06 12:12:20

Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina.

Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat.

Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat."

Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut."

Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini."

Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi."

Arga tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengarkan, memahami kebingungan yang dirasakan gadis itu. Karena jujur saja, dia juga mengalami hal serupa-rasa familiar yang tak bisa dijelaskan setiap kali dia menatap Hina.

Saat mereka melanjutkan perjalanan, Hina tiba-tiba berhenti di depan sebuah toko yang menampilkan berbagai pakaian modern di etalase.

"Pakaian seperti ini... berbeda sekali dengan yang aku kenakan," gumamnya sambil menyentuh gaunnya yang masih basah dan sedikit kusut karena hujan tadi.

"Pakaian-pakaian itu terlalu terbuka, bagaimana perasaan pembelinya ya? Membeli pakaian-pakaian yang tidak layak dan kekurangan bahan seperti itu, itu sama sekali tidak nyaman dan tidak sopan, tapi anehnya banyak dari perempuan disini yang memakainya."

"Eee... Kalau itu sih aku juga sepemikiran denganku (sebenarnya itu memang tren pakaian masa sekarang, jika aku jelaskan pada hina pasti dia tidak percaya dan akan tertawa atau lebih buruknya marah-marah karena itu bertentangan dengannya)."

Arga tersenyum tipis. "Kalau kau mau, kita bisa membelikanmu sesuatu yang lebih nyaman."

Hina menatapnya ragu. "Tapi aku tidak punya uang..."

"Aku yang traktir," kata Arga santai. "Anggap saja sebagai bantuan kecil sampai kau mengingat semuanya."

Hina tampak terkejut, lalu tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Arga. Kau benar-benar orang baik."

Mereka pun masuk ke dalam toko. Hina tampak kewalahan dengan begitu banyak pilihan pakaian yang tersedia. Dia dengan hati-hati menyentuh kain-kain yang berbeda, terkadang tertawa kecil saat melihat model pakaian yang menurutnya aneh.

Setelah beberapa saat, dia akhirnya memilih sebuah blus putih sederhana dan rok selutut berwarna biru tua. Arga mengangguk setuju. "Itu cocok untukmu."

Setelah membayar, Hina masuk ke ruang ganti dan keluar dengan pakaian barunya. Dia berputar sekali, seolah ingin memastikan apakah pakaian itu benar-benar cocok untuknya.

"Bagaimana?" tanyanya.

Arga menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Kau terlihat... sangat berbeda. Tapi tetap Hina yang sama."

Gadis itu tersipu, lalu merapikan rambutnya yang masih sedikit lembab. "Terima kasih, Arga. Aku merasa lebih nyaman sekarang."

Mereka melanjutkan perjalanan kembali ke apartemen Arga. Kami sempat melewati sebuah jembatan yang indah berwarna merah. disana Arga melihat beberapa bayangan yang arga tak ketahui seperti menara jam kota, dengan retakan tipis di permukaannya. jalanan sepi dengan bayangan manusia ganda, salah satunya seperti kabur. dan pola di udara—mirip kaca pecah yang melingkar.

"Hina." Arga menghentikan langkahnya.

"Aku melihat sesuatu di dalam air."

"Melihat apa?"

"ehhhh..... tidak jadi deh." Arga pikir itu hanya halusinasinya karena Hina tidak melihatnya seperti petunjuk petunjuk sebelumnya.

Malam semakin larut, dan udara mulai dingin. Saat mereka hampir sampai, Hina tiba-tiba berhenti.

"Ada apa?" tanya Arga.

Hina menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. "Aku merasa pernah melihat langit ini sebelumnya..."

Arga ikut mendongak. "Ya, ini langit malam yang sama seperti kemarin dan hari sebelumnya."

"Bukan itu maksudku..." Hina menggeleng pelan. "Langit ini... mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang penting."

Arga menatapnya dengan serius. "Apa yang kau ingat?"

Hina menggigit bibirnya, berusaha mengingat, tapi ekspresinya berubah frustasi. "Aku tidak tahu. Tapi rasanya... aku pernah berdiri di tempat yang sama, memandangi bintang-bintang ini. Dan ada seseorang di sampingku..."

Arga merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan kuat. "Seseorang?"

Hina mengerutkan kening, mencoba mengingat lebih keras. Tapi kemudian dia menghela napas panjang. "Aku tidak tahu. Rasanya hanya seperti... bayangan samar."

Arga ingin bertanya lebih jauh, tapi dia bisa melihat kelelahan di wajah Hina. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk memaksanya mengingat.

"Ayo, kita pulang dulu," katanya sambil berjalan lebih dulu.

Hina mengangguk dan mengikutinya. Tapi di dalam hatinya, Arga tahu bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang mungkin lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.

Menjelang Malam

Setelah beberapa hari belajar, Hina tampak lelah. Buku tulisnya penuh catatan miring:

Selamat pagi

Terima kasih

Gas bro = Bukan Uap/ledakan

Mager = bukan penyakit

Hina: "Bahasa ini tak sekaku tulisan kerajaan… bahasanya juga ada beberapa yang mirip. tapi jauh lebih aneh. sekarang aku sudah hampir menguasai bahasa masa kini, hanya tinggal beberapa kata kata aneh yang sulit dipahami"

Arga: "Aneh tapi seru, kan?"

Hina: "Persis sepertimu."

Arga: "…Itu maksudnya pujian atau...?"

Hina mengangkat bahu. “Bahasa modern, kan? Harus multitafsir.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arga merasa bahwa takdir mulai bergerak ke arahnya. Dia selalu menanyakannya, setelah semua yang ia lalui di kehidupannya yang suram. Apakah dia layak untuk merasakan kebahagiaan seperti ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 72: Akhir dari sebuah prolog.

    Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 71: Dibawah langit dan Flamboyan.

    Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.3: Hendrickson.

    Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.2: Hendrickson.

    “Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70: Hendrickson.

    Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 69: Titik balik sebuah kebencian.

    Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status