Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.
Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu.
"Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami.
"Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.
Aku menggeleng.
"Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku.
"Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku.
"Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam.
"Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus.
"Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah, Cindy pasti bisa bikinin," ujar Rimba ditimpali oleh Cindy dengan mengangkat jempolnya.
"Kamu mau nasi goreng rempah, beneran? Aku buatin khusus buat kamu, karena sodaranya Rimba, tunggu ya." Cindy bangkit dan sepertinya pergi ke arah dapur kafe ini.
"Kamu bilang sama Cindy kalau kamu sodara aku?"
Aku melirik ke arahnya.
"Memangnya kenapa? Apa aku harus bilang kalau aku ini istri kamu, gitu?"
"Ya, nggak. Aku kira kamu bakalan bilang musuh aku," ucapnya sambil terkekeh.
"Ya sudah, tunggu di sini. Aku carikan rujaknya, ya." Rimba bangkit dan mengacak puncak kepalaku.
Aku mengangguk kecil dan kembali melihat pertunjukan musik di panggung.
Seuluh menit kemudian, Cindy kembali dengan sepiring nasi goreng yang begitu menggugah selera. Setelah sekian lama tersiksa dengan perasaan mual, akhirnya aku bisa juga menemukan makanan yang cocok di hidung. Biasanya, jangankan makan, nyium baunya saja aku udah enek.
"Silakan, Nona Aline." Cindy menaruh piring itu di depanku. Wanginya begitu menggoda.
"Rimba ke mana?" tanya Cindy.
"Oh, dia lagi nyari rujak," jawabku sambil mengambil sendok dan mulai menyuap. Rasanya aku sudah tidak tahan untuk menunggu. Air liurku seolah menetes karena melihat makanan di hadapan.
"Kalian sepupuan atau gimana, sih? Rimba kayaknya sayang banget sama kamu," ujarnya yang berhasil membuatku tersedak.
Manusia itu? Sayang padaku? Oh, come on. Yang benar saja. Dia itu sudah menghancurkan hidup dan masa depanku. Jika saja aku tidak punya etika, sudah kuberitahu wanita di hadapanku ini.
"Ini, pesanannya sudah siap, Tuan Putri."
Untung saja Rimba segera datang dan menyelamatkanku dari pertanyaan Cindy.
"Kok cepet amat dapetnya? Hari gini, nyari rujak biasanya susah," tanya Cindy.
"Pas banget kebetulan di depan ada bapak-bapak tukang rujak mau pulang, masih ada sisa satu porsi," jawab Rimba sambil menaruh plastik berisi rujak di depanku. Melihat mangga muda, mulutku tambah ngiler. Aku singkirkan dulu piring nasi goreng, lalu mengambil plastik berisi rujak.
"Wah, nasi goreng rempah. Aku mau nyicip ya, Lin," tawar Rimba. Tak kupedulikan. Hasratku akan mangga muda jauh lebih besar. Aku ambil satu potong dan mencocol bumbunya. Ya Tuhan, sungguh nikmat.
Dengan sudut mata, aku bisa melihat jika Rimba begitu lahap memakan nasi goreng sisa aku tadi. Diiringi tatapan aneh dari Cindy.
"Lin, aku mau coba juga rujaknya, ya?" pinta Rimba.
Hih, ganggu kesenangan orang aja! Aku mendelik kesal.
"Satuu aja, Lin. Boleh, ya?" pintanya lagi. Jika saja tidak ada perempuan itu di depan kami, sudah pasti aku tidak akan memberikannya pada lelaki itu. Dengan berat hati, aku menggeser plastik cup berisi aneka buah juga bumbunya.
Rimba mencomot sepotong dan tampak meringis karena asam.
" Kalian kok aneh banget, sih, jam segini pada makan rujak?" tanya Cindy dengan tatapan heran.
Aku melirik pada Rimba, dan dia pun sama. Lalu pandangan kami beralih pada Cindy.
"Emmh ... itu ... eemh aku lagi gak enak mulut aja, pengen yang seger-seger," ucap Rimba.
Cindy terlihat meringis karena melihat kami makan rujak dengan lahap.
"Sebetulnya, aku lagi pengen kopi," ucap Rimba lagi.
Sekarang giliran aku yang meliriknya heran. Kenapa pikiran kami bisa sama? Aku juga tiba-tiba merindukan aroma kopi.
"Ya, sudah, tunggu, aku suruh Erny bikin kopi buat kamu."
Cindy menjentikan jarinya, saat seorang pelayan lewat di dekat kami.
"Erny, tolong bikinin kopi buat Rimba!" seru Cindy, gadis pelayan itu mengangguk.
"Kopi item aja ya, Ni," ujar Rimba.
"Kopi item? Biasanya kamu suka capucino? Kamu gak kesambet embah-embah kan, Rimba?" tanya Cindy dengan kening mengerut.
"Entahlah, aku rasanya pengen nyium bau kopi," ucapnya sambil tersenyum kecil.
Setelah secangkir kopi itu datang, aku langsung mendekat ke arah Rimba. Wangi itu begitu menggoda.
"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.
"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku."Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku."Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."Aku dan Rimba saling melempar pandangan."Ah, gak pap
"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke
"Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi."Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati."Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam."Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—""Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku.**"Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku."Beneran kamu mau beli peralatan bayi?"
"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku."Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.Aku mendengkus."Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku. Dia menunduk dan mengangguk pelan."Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya.""Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring."Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sam
Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos."Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih susu formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin,
Aline POVSengaja aku menawarkan harga segitu padanya. Agar harga dirinya semakin jatuh. Dari mana pula, dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kecuali jika dia minjem sama kakaknya.Cih, pake acara nangis segala. Bikin aku jengkel aja.Jujur, sebenernya aku juga merasa kasihan dengan anak itu, tapi aku telanjur benci dengan bapaknya. Apalagi saat kulihat bayi itu mirip sekali dengan bapaknya, bertambahlah rasa benciku padanya.Ya Tuhan, seandainya saja anak itu perempuan, dan mirip aku, pasti aku tidak akan sebenci itu pada anakku sendiri. Tapi ... ya Tuhan ... dia plek ketiplek banget sama bapaknya. Pantesan, saat hamil dulu aku begitu menyukai bau tubuhnya. Apa itu pengaruh ya? Ah, aku gak peduli.Ataukah karena aku begitu membenci Rimba, hingga bayi itu begitu mirip dengan dia? Bukankah kata orang kalau benci suka jadi mirip?Satu syarat lagi, aku mau memberikan ASI, tapi dengan menggunakan pompa ASI. Aku tidak mau menyusuinya secara langsung. Aku tidak mau kalau sampai merasa
"Kasian, ini, nangisnya udah kejer-kejer begini." Rimba menawar. Aku mencebik kesal. Ya sudahlah, mungkin akan lebih gampang juga jika aku langsung menyusuinya sekali-kali."Ya sudah, sini," ujarku padanya. Wajah Rimba tampak semringah. Dia lalu menyerahkan bayi yang baru berumur tiga minggu itu padaku. Aku risi dan kaku. Kok bisa ya, dia laki-laki tapi menggendong bayi dengan nyaman? Aku aja merasa kerepotan."Begini, Lin," katanya sambil membetulkan posisi tubuhku juga Rasya. Ada benernya juga. Posisiku sekarang jauh lebih nyaman.Aku mulai membuka baju bagian atas. Terlihat Rasya langsung mengemut payudaraku. Rimba melihat kami dengan tatapan haru."Heh, sana jauh-jauh. Mau ngintip, ya, kamu?" tuduhku. Dia melengos."Kita ini kan suami istri, Lin. Tidak ada batasan aurat," sanggahnya."Itu kan menurutmu, buatku, kamu itu bukan siapa-siapa!""Ya sudah, aku tunggu di luar saja kalau kamu gak suka aku di sini." Dia berbalik. Aku hanya bisa mendelik kesal. Rasya menyedot dengan kuat,
Hanya dalam waktu sebulan, tubuhku sudah mulai kembali langsing. Demi ini semua aku sama sekali tidak mengonsumsi karbohidrat. Olahraga pun hampir tiap hari kulakukan. Tak masalah, yang penting aku bisa kembali langsing dan cantik.Hari ini, jadwal pilates, sekalian aku mau ke salon. Rambut dan kukuku rasanya sudah tidak beraturan.Walau dengan make up tipis, itu sudah bisa menonjolkan kecantikanku. Tentu saja aku percaya diri, karena aku memang sudah cantik dari lahir. Sungguh. Aku tidak sedang bercanda sama kalian.Kecantikanku ini menurun dari Mama. Mataku bulat besar dengan bulu yang lentik. Hidungku mancung, bibir yang mungil ditambah kulitku yang kuning cerah.Baru saja aku mau mengambil tas selempang, terdengar tangisan Rasya dari boks bayinya. Aku hanya bisa mendengkus kesal. Ke mana si Rimba?"Rimbaaa!" teriakku dari kamar. Dia tak juga kunjung datang. Menyebalkan! Mana jadwal pilates sebentar lagi dimulai. Aku menengok jam yang melingkar di tangan. Bikin repot aja, nih, oran