Share

Bab 6

Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.

Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu.

"Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat.  Lalu, dia duduk di depan kami.

"Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.

Aku menggeleng.

"Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku.

"Aku lagi  pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku.

"Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam.

"Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus.

"Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah, Cindy pasti bisa bikinin," ujar Rimba ditimpali oleh Cindy dengan mengangkat jempolnya.

"Kamu mau nasi goreng rempah, beneran? Aku buatin khusus buat kamu, karena sodaranya Rimba, tunggu ya." Cindy bangkit dan sepertinya pergi ke arah dapur kafe ini.

"Kamu bilang sama Cindy kalau kamu sodara aku?"

Aku melirik ke arahnya.

"Memangnya kenapa? Apa aku harus bilang kalau aku ini istri kamu, gitu?"

"Ya, nggak. Aku kira kamu bakalan bilang musuh aku," ucapnya sambil terkekeh.

"Ya sudah, tunggu di sini. Aku carikan rujaknya, ya." Rimba bangkit dan mengacak puncak kepalaku.

Aku mengangguk kecil dan kembali melihat pertunjukan musik di panggung.

Seuluh menit kemudian, Cindy kembali dengan sepiring nasi goreng yang begitu menggugah selera. Setelah sekian lama tersiksa dengan perasaan mual, akhirnya aku bisa juga menemukan makanan yang cocok di hidung. Biasanya, jangankan makan, nyium baunya saja aku udah enek.

"Silakan, Nona Aline." Cindy menaruh piring itu di depanku. Wanginya begitu menggoda.

"Rimba ke mana?" tanya Cindy.

"Oh, dia lagi nyari rujak," jawabku sambil mengambil sendok dan mulai menyuap. Rasanya aku sudah tidak tahan untuk menunggu. Air liurku seolah menetes karena melihat makanan di hadapan.

"Kalian sepupuan atau gimana, sih? Rimba kayaknya sayang banget sama kamu," ujarnya yang berhasil membuatku tersedak.

Manusia itu? Sayang padaku? Oh, come on. Yang benar saja. Dia itu sudah menghancurkan hidup dan masa depanku. Jika saja aku tidak punya etika, sudah kuberitahu wanita di hadapanku ini.

"Ini, pesanannya sudah siap, Tuan Putri."

Untung saja Rimba segera datang dan menyelamatkanku dari pertanyaan Cindy.

"Kok cepet amat dapetnya? Hari gini, nyari rujak biasanya susah," tanya Cindy.

"Pas banget kebetulan di depan ada bapak-bapak tukang rujak mau pulang, masih ada sisa satu porsi," jawab Rimba sambil menaruh plastik berisi rujak di depanku. Melihat mangga muda, mulutku tambah ngiler. Aku singkirkan dulu piring nasi goreng, lalu mengambil plastik berisi rujak.

"Wah, nasi goreng rempah. Aku mau nyicip ya, Lin," tawar Rimba. Tak kupedulikan. Hasratku akan mangga muda jauh lebih besar. Aku ambil satu potong dan mencocol bumbunya. Ya Tuhan, sungguh nikmat.

Dengan sudut mata, aku bisa melihat jika Rimba begitu lahap memakan nasi goreng sisa aku tadi. Diiringi tatapan  aneh dari Cindy.

"Lin, aku mau coba juga rujaknya, ya?" pinta Rimba.

Hih, ganggu kesenangan orang aja! Aku mendelik kesal.

"Satuu aja, Lin. Boleh, ya?" pintanya lagi. Jika saja tidak ada perempuan itu di depan kami, sudah pasti aku tidak akan memberikannya pada lelaki itu. Dengan berat hati, aku menggeser plastik cup berisi aneka buah juga bumbunya.

Rimba mencomot sepotong dan tampak meringis karena asam.

" Kalian kok aneh banget, sih, jam segini pada makan rujak?" tanya Cindy dengan tatapan heran.

Aku melirik pada Rimba, dan dia pun sama. Lalu pandangan kami beralih pada Cindy.

"Emmh ... itu ... eemh aku lagi gak enak mulut aja, pengen yang seger-seger," ucap Rimba.

Cindy terlihat meringis karena melihat kami makan rujak dengan lahap.

"Sebetulnya, aku lagi pengen kopi," ucap Rimba lagi.

Sekarang giliran aku yang meliriknya heran. Kenapa pikiran kami bisa sama? Aku juga tiba-tiba merindukan aroma kopi.

"Ya, sudah, tunggu, aku suruh Erny bikin kopi buat kamu."

Cindy menjentikan jarinya, saat seorang pelayan lewat di dekat kami.

"Erny, tolong bikinin kopi buat Rimba!" seru Cindy, gadis pelayan itu mengangguk.

"Kopi item aja ya, Ni," ujar Rimba.

"Kopi item? Biasanya kamu suka capucino? Kamu gak kesambet embah-embah kan, Rimba?" tanya Cindy dengan kening mengerut.

"Entahlah, aku rasanya pengen nyium bau kopi," ucapnya sambil tersenyum kecil.

Setelah secangkir kopi itu datang, aku langsung mendekat ke arah Rimba. Wangi itu begitu menggoda.

"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status