"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.
Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.
Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.
Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku.
"Kamu mau?" tawarnya.
Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.
Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku.
"Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."
Aku dan Rimba saling melempar pandangan.
"Ah, gak papa. Mungkin hawanya aja bikin pengen yang begini," elak Rimba.
"Sorry, aku harus naik panggung lagi." Rimba bangkit dan kabur menyelamatkan diri.
Cindy menatap kepergian Rimba, lalu kembali padaku.
"Kamu beneran bukan ceweknya Rimba?" selidiknya. Aku yang sedang menikmati kopi langsung tersedak.
"Apa? Aku? Sama dia? No, no, no. Bukan tipe banget," jawabku sambil mengibaskan tangan.
"Beneran?" selidiknya lagi memastikan.
"Iyalah, masa boong."
"Soalnya Rimba gak pernah sampe bawa cewek ke sini. Apalagi sampai makan bekas orang. Dia paling anti," ucapnya meyakinkan.
Aku pun bingung tak bisa menjawabnya.
*
Pukul 21.00 live musik diakhiri. Riuh tepuk tangan dari para tamu terdengar.
Rimba segera turun setelah menyimpan gitarnya ke dalam tas. Dia mendekat padaku dan mengajak pulang. Kujawab dengan anggukan.
Sebelum meninggalkan kafe, Rimba pamit pada Cindy. Aku hanya mengekori lelaki itu dari belakang.
"Sampai ketemu lagi, Aline," ucap Cindy yang kujawab dengan senyum dan anggukan.
Saat kami keluar kafe, ternyata di luar sedang hujan walaupun tidak terlalu besar. Desah kecewa terdengar dari mulut Rimba.
"Aku bilang juga apa, pake mobil aja. Kamu sih, gak denger!" protesku.
"Iya, maaf. Tadi kan buru-buru karena kamu lama ganti bajunya," keluh Rimba.
"Lagian, kamu juga yang maksa aku ikut. Udah aku bilang aku di rumah aja," timpalku kesal.
"Aku takut kamu kenapa-napa, Lin. Papa kamu sudah wanti-wanti buat jagain kamu. Kalau aku ingkar itu namanya khianat," jelasnya panjang lebar. Aku mendelik kesal.
"Pake jas ujan aja, ya?" tanyanya. Aku pun menyetujuinya, karena badan ini rasanya sudah ingin berbaring di kasur.
Hujan semakin lebat. Petir terdengar saling menyambar. Aku duduk berdempet dengan Rimba. Walaupun aku sudah mundur, karena air hujan, juga karena bentuk jok yang tinggi ke belakang, membuat tubuhku kembali mendekat pada lelaki itu. Aku memberi jarak dengan tas selempang. Setidaknya kami tidak benar-benar menempel.
Setibanya di rumah, aku segera berganti baju dan selonjoran di kasur. Rimba pun sama. Dia menggelar bed cover seperti biasanya.
Entah karena perjalanan dengan motor, atau karena pengaruh kehamilan, kakiku terasa pegal sekali. Berkali-kali berusaha memejamkan mata, tapi aku tak bisa. Jadinya hanya gedebak-gedebuk tak karuan.
Rimba sepertinya bisa mendengar gerakan tubuhku yang tak mau diam. Dia bangun dan duduk.
"Kamu kenapa?" tanyanya dengan suara parau. Sepertinya dia sudah tertidur, tapi bangun lagi karena keributan yang kubuat.
"Nggak tau, kakiku sakit semua," ucapku ketus. Dia menggeser bed cover itu menjadi dekat dengan ranjangku. Aku perhatikan dalam diam. Dia mengulurkan tangannya ke arah kakiku. Aku menariknya agar menjauh dari jangkauan tangannya. Namun, dia menarik kaki ini mendekat padanya.
"Udah diem! Tidurlah!" ucapnya sambil memijit pelan kakiku. Aku ingin menepisnya, tapi tangannya keukeuh memegang kaki ini. Perlahan pijitannya membuatku semakin nyaman, hingga aku pun jatuh tertidur.
Cahaya mentari menerobos sela gorden yang tersingkap. Aku mengerjapkan mata. Kulihat Rimba tidur duduk di lantai, dengan posisi kepala menelungkup di pinggir kasur, dan tangannya menggenggam kakiku.
"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke
"Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi."Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati."Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam."Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—""Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku.**"Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku."Beneran kamu mau beli peralatan bayi?"
"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku."Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.Aku mendengkus."Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku. Dia menunduk dan mengangguk pelan."Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya.""Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring."Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sam
Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos."Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih susu formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin,
Aline POVSengaja aku menawarkan harga segitu padanya. Agar harga dirinya semakin jatuh. Dari mana pula, dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kecuali jika dia minjem sama kakaknya.Cih, pake acara nangis segala. Bikin aku jengkel aja.Jujur, sebenernya aku juga merasa kasihan dengan anak itu, tapi aku telanjur benci dengan bapaknya. Apalagi saat kulihat bayi itu mirip sekali dengan bapaknya, bertambahlah rasa benciku padanya.Ya Tuhan, seandainya saja anak itu perempuan, dan mirip aku, pasti aku tidak akan sebenci itu pada anakku sendiri. Tapi ... ya Tuhan ... dia plek ketiplek banget sama bapaknya. Pantesan, saat hamil dulu aku begitu menyukai bau tubuhnya. Apa itu pengaruh ya? Ah, aku gak peduli.Ataukah karena aku begitu membenci Rimba, hingga bayi itu begitu mirip dengan dia? Bukankah kata orang kalau benci suka jadi mirip?Satu syarat lagi, aku mau memberikan ASI, tapi dengan menggunakan pompa ASI. Aku tidak mau menyusuinya secara langsung. Aku tidak mau kalau sampai merasa
"Kasian, ini, nangisnya udah kejer-kejer begini." Rimba menawar. Aku mencebik kesal. Ya sudahlah, mungkin akan lebih gampang juga jika aku langsung menyusuinya sekali-kali."Ya sudah, sini," ujarku padanya. Wajah Rimba tampak semringah. Dia lalu menyerahkan bayi yang baru berumur tiga minggu itu padaku. Aku risi dan kaku. Kok bisa ya, dia laki-laki tapi menggendong bayi dengan nyaman? Aku aja merasa kerepotan."Begini, Lin," katanya sambil membetulkan posisi tubuhku juga Rasya. Ada benernya juga. Posisiku sekarang jauh lebih nyaman.Aku mulai membuka baju bagian atas. Terlihat Rasya langsung mengemut payudaraku. Rimba melihat kami dengan tatapan haru."Heh, sana jauh-jauh. Mau ngintip, ya, kamu?" tuduhku. Dia melengos."Kita ini kan suami istri, Lin. Tidak ada batasan aurat," sanggahnya."Itu kan menurutmu, buatku, kamu itu bukan siapa-siapa!""Ya sudah, aku tunggu di luar saja kalau kamu gak suka aku di sini." Dia berbalik. Aku hanya bisa mendelik kesal. Rasya menyedot dengan kuat,
Hanya dalam waktu sebulan, tubuhku sudah mulai kembali langsing. Demi ini semua aku sama sekali tidak mengonsumsi karbohidrat. Olahraga pun hampir tiap hari kulakukan. Tak masalah, yang penting aku bisa kembali langsing dan cantik.Hari ini, jadwal pilates, sekalian aku mau ke salon. Rambut dan kukuku rasanya sudah tidak beraturan.Walau dengan make up tipis, itu sudah bisa menonjolkan kecantikanku. Tentu saja aku percaya diri, karena aku memang sudah cantik dari lahir. Sungguh. Aku tidak sedang bercanda sama kalian.Kecantikanku ini menurun dari Mama. Mataku bulat besar dengan bulu yang lentik. Hidungku mancung, bibir yang mungil ditambah kulitku yang kuning cerah.Baru saja aku mau mengambil tas selempang, terdengar tangisan Rasya dari boks bayinya. Aku hanya bisa mendengkus kesal. Ke mana si Rimba?"Rimbaaa!" teriakku dari kamar. Dia tak juga kunjung datang. Menyebalkan! Mana jadwal pilates sebentar lagi dimulai. Aku menengok jam yang melingkar di tangan. Bikin repot aja, nih, oran
Sambil lewat, aku melihat-lihat koleksi terbaru di toko baju dengan merek ternama. Sudah berapa lama aku tidak ke sini?Aku melangkah masuk, disambut anggukan dan senyuman hangat dari gadis pelayan toko.Aku susuri lorong yang terpisah karena deretan baju yang tergantung memanjang. Begitu fokusnya, hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang yang juga sedang melihat-lihat koleksi baju di sini.Mataku membulat dan berbinar saat kulihat siapa dia. Kejadian dulu terulang lagi. Aku menabrak tubuhnya di mal ini."Aline?""Mas Rangga?"Pandangan kami bertemu. Sungguh cinta ini masih begitu besar padanya. Dia makin terlihat gagah juga tampan. Pakaiannya yang selalu rapi dengan rambut klimisnya, membuatku jatuh cinta berkali-kali."Ngapain kamu di sini?" tanyanya padaku."Emmh, lagi lihat-lihat, Mas. Apa kabar, Mas?" sapaku sedikit grogi. Ya Tuhan, untung saja aku baru dari salon. Seandainya saja kami bertemu dalam keadaan aku sedang kucel, mati, aku! Mana dia selalu terlihat sempurna."Baik. G