Share

Bab 7

"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.

Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.

Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.

Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku.

"Kamu mau?" tawarnya.

 Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.

Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku.

"Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."

Aku dan Rimba saling melempar pandangan.

"Ah, gak papa. Mungkin hawanya aja bikin pengen yang begini," elak Rimba.

"Sorry, aku harus naik panggung lagi." Rimba bangkit dan kabur menyelamatkan diri.

Cindy menatap kepergian Rimba, lalu kembali padaku.

"Kamu beneran bukan ceweknya Rimba?" selidiknya. Aku yang sedang menikmati kopi langsung tersedak.

"Apa? Aku? Sama dia? No, no, no. Bukan tipe banget," jawabku sambil mengibaskan tangan.

"Beneran?" selidiknya lagi memastikan.

"Iyalah, masa boong."

"Soalnya Rimba gak pernah sampe bawa cewek ke sini. Apalagi sampai makan bekas orang. Dia paling anti," ucapnya meyakinkan.

Aku pun bingung tak bisa menjawabnya.

*

Pukul 21.00 live musik diakhiri. Riuh tepuk tangan dari para tamu terdengar.

Rimba segera turun setelah menyimpan gitarnya ke dalam tas. Dia mendekat padaku dan mengajak pulang. Kujawab dengan anggukan.

Sebelum meninggalkan kafe, Rimba pamit pada Cindy. Aku hanya mengekori lelaki itu dari belakang.

"Sampai ketemu lagi, Aline," ucap Cindy yang kujawab dengan senyum dan anggukan.

Saat kami keluar kafe, ternyata di luar sedang hujan walaupun tidak terlalu besar.  Desah kecewa terdengar dari mulut Rimba.

"Aku bilang juga apa, pake mobil aja. Kamu sih, gak denger!" protesku.

"Iya, maaf. Tadi kan buru-buru karena kamu lama ganti bajunya," keluh Rimba.

"Lagian, kamu juga yang maksa aku ikut. Udah aku bilang aku di rumah aja," timpalku kesal.

"Aku takut kamu kenapa-napa, Lin. Papa kamu sudah wanti-wanti buat jagain kamu. Kalau aku ingkar itu namanya khianat," jelasnya panjang lebar. Aku mendelik kesal.

"Pake jas ujan aja, ya?" tanyanya. Aku pun menyetujuinya, karena badan ini rasanya sudah ingin berbaring di kasur.

Hujan semakin lebat. Petir terdengar saling menyambar. Aku duduk berdempet dengan Rimba. Walaupun aku sudah mundur, karena air hujan, juga karena bentuk jok yang tinggi ke belakang, membuat tubuhku kembali mendekat pada lelaki itu. Aku memberi jarak dengan tas selempang. Setidaknya kami tidak benar-benar menempel.

Setibanya di rumah, aku segera berganti baju dan selonjoran di kasur. Rimba pun sama. Dia menggelar bed cover seperti biasanya.

Entah karena perjalanan dengan motor, atau karena pengaruh kehamilan, kakiku terasa pegal sekali. Berkali-kali berusaha memejamkan mata, tapi aku tak bisa. Jadinya hanya gedebak-gedebuk tak karuan.

Rimba sepertinya bisa mendengar gerakan tubuhku yang tak mau diam. Dia bangun dan duduk.

"Kamu kenapa?" tanyanya dengan suara parau. Sepertinya dia sudah tertidur, tapi bangun lagi karena keributan yang kubuat.

"Nggak tau, kakiku sakit semua," ucapku ketus. Dia menggeser bed cover itu menjadi dekat dengan ranjangku. Aku perhatikan dalam diam. Dia mengulurkan tangannya ke arah kakiku. Aku menariknya agar menjauh dari jangkauan tangannya. Namun, dia menarik kaki ini mendekat padanya.

"Udah diem! Tidurlah!" ucapnya sambil memijit pelan kakiku. Aku ingin menepisnya, tapi tangannya keukeuh memegang kaki ini. Perlahan pijitannya membuatku semakin nyaman, hingga aku pun  jatuh tertidur.

Cahaya mentari menerobos sela gorden yang tersingkap. Aku mengerjapkan mata. Kulihat Rimba tidur duduk di lantai, dengan posisi kepala menelungkup di pinggir kasur, dan tangannya menggenggam kakiku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Cahaya mentari menerobos
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status