Share

Bab 8

"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online.

"Males," jawabku.

"Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang.

"Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.

Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!

"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus.

"Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.

Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.

Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!

Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli.

"Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke langit tanpa halangan. Karena itu kamu tidak boleh sembarangan bicara," cecar Mama.

Ah, Mama kan, tidak tau yang aku rasakan. Penderitaan seperti apa gara-gara bajingan itu. Aku bangkit sambil mengambil ponsel yang terjatuh lalu ke kamar.

Duk!

Sebuah tendangan terasa di perut sebelah kanan bawah. Apalagi ini? Kamu protes, hah?

Tiba-tiba saja perutku terasa sakit dan melilit. Ah, gara-gara mereka bawel, sih. Sepertinya aku memang harus ke dokter.

"Ma ...!"

"Ma ...!" teriakku.

Terdengar derap langkah, lalu pintu terbuka. Yang terlihat di sana bukan Mama, tapi orang itu.  Dia berlari ke arahku dengan wajah khawatir.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

"Perutku sakit ...."

"Sebelah mana?" tanyanya lagi dengan raut khawatir.

"Sana pergi! Aku gak manggil kamu. Mamaaaa!" Aku menjerit sambil menepis tangan Rimba yang mencoba menyentuh perutku. Tak lama, Mama pun datang ke kamar.

"Kamu kenapa, Lin? Kan ada Rimba," ujar Mama.

"Perutku sakit ... iih ... iihh." Aku memukuli perut yang terasa bergerak-gerak.

"Aline, gak boleh begitu. Kasian bayinya," ujar Mama. Rimba hanya menatapku dengan nanar.

"Aku benci! Aku gak mau anak ini!" jeritku disertai tangis. Mama segera merengkuhku dalam pelukannya.

"Sstt ... gak boleh gitu, Sayang. Bagaimanapun juga dia itu anakmu," bisik Mama sambil mengelus punggungku. Sementara Rimba bangkit perlahan dan meninggalkanku yang masih menangis.

"Kita ke dokter, ya?Biar bisa tahu gimana kondisi bayimu," bujuk Mama. Aku mengangguk pasrah.

"Rimbaa ...," teriak Mama. Lelaki itu pun langsung sigap mendekat.

"Iya, Tante."

"Kita bawa Aline ke dokter. Biar kita tau, apa penyebab sakitnya," ujar Mama.

"Sebentar, Ma, perutku masih sakit."

"Kan ada Rimba, dia bisa gendong kamu ke mobil," tawar Mama yang sontak membuatku ketar-ketir. Aku tidak mau kalau sampai orang itu menyentuhku lagi.

"Aku gak mau."

"Aline ... tolong kamu singkirkan dulu egomu itu. Ini semua demi kebaikan kamu juga bayi dalam perutmu ini," bujuk Mama.

Aku tidak punya pilihan. Mau tak mau, aku harus pasrah ketika lelaki itu membopongku ke mobil. Bau tubuhnya betul-betul membuatku melayang.

Ngidam yang aneh!

*

Mama memilih sebuah klinik dokter kandungan yang tak begitu jauh dari rumah. Sesampainya di sana, Rimba kembali membopongku masuk ke klinik itu.

Kalau selintas, orang-orang pasti berpikir kalau kami pasangan yang romantis. Padahal kan aslinya ... ah, kalian tau sendiri. Aku bahkan membencinya hingga ke ubun-ubun.

Untung saja pasiennya tidak terlalu banyak. Hanya menunggu dua orang, aku sudah dipanggil ke ruang dokter.

Aku disuruh berbaring di brankar, sementara dokter itu memberikan gel di atas perutku. Terasa dingin. Lalu, sebuah alat menari di atas perut. 

"Bagus, gak ada apa-apa. Ini sudah sekitar 26 minggu ya. Rasa sakit bisa terjadi karena peregangan dari otot rahim. Tidak perlu khawatir," ucap sang dokter. Terlihat raut bahagia di wajah Mama juga Rimba, tapi tidak denganku.

"Terus gimana kalau sakit lagi, Dok?" tanyaku. Karena memang kalau bayi ini lagi nendang-nendang, berasa ada yang lagi main bola dalam perut. Bikin gak bisa tidur.

"Wajar, karena di dalam ada janinnya. Kalau aktif berarti bayinya sehat," ujar Dokter.

Dokter itu memberikanku beberapa obat dan juga vitamin. Setelah itu kami pun pulang.

Sesampainya di rumah, aku mencari-cari info seputar kehamilan. Juga mencari postingan pertanyaan yang menyangkut masalah selama hamil.

Mataku tertuju pada sebuah postingan salah satu temanku semasa kuliah dulu. Aku ingat dia memang sudah menikah.

Dia membuat status di facebooknya.

'Duh, bayinya aktif banget. Perutku sampe melenting. Menyot kiri, menyot kanan. Bikin ngilu aja.'

Aku lihat banyak sekali yang mengomentari statusnya.

[Minta dielusin sama bapaknya, tuh!]

[Elus-elus aja sambil ngajak ngobrol, dia minta diperhatiin]

[Mau ditengokin sama bapaknya kaleee.]

Masih banyak lagi komentar-komentar dari teman-temannya yang lain.

Bener gak, sih, kalau bayi ini pengen dielusin sama bapaknya?

Ya, emang selama ini, jangankan Rimba, aku saja gak pernah ngelus atau ngajakin ngobrol bocah yang masih ada di perutku ini. Apa iya dia pengen diperhatiin?

Dug. Dug.

Dia nendang lagi. Bikin ngilu ulu hati. Aku coba elus perlahan di tempat dia menendang. Dia diam sebentar, lalu kembali melancarkan tendangan-tendangannya lagi.

Heuk!

Aku beneran merasa ngilu dengan tendangannya.

Di saat aku sedang merasakan kesakitan, tiba-tiba Rimba masuk ke kamar sambil membawa segelas susu. Aku hanya bisa diam merasakan bayi ajaib ini melakukan atraksi.

"Kenapa, Lin? Sakit lagi?" tanyanya sambil menaruh gelas di atas nakas. Aku diam tak menjawab. Hanya meringis dan meringkuk agar rasa sakitnya tidak terlalu kentara. Namun, lagi-lagi bayi sialan ini menendang ke ulu hati. Duh, sakitnya. Aku meringis.

"Sini, coba aku lihat." Rimba memegang perutku.

"Diem!" Aku menepisnya kuat.

"Sini, aku pengen lihat," ucapnya lagi sambil menarik bahuku agar posisiku menjadi telentang.

Dia duduk di lantai sambil memegang perutku yang sudah membuncit.

"Adek, lagi ngapain, sih? Kalau mau maen bola, jangan kenceng-kenceng, kasian Mama," ucapnya sambil mengelus perutku. Aku menatap lelaki di depan yang sedang mengajak bicara pada bocah ajaib dalam perutku ini.

Kini tendangan itu berubah menjadi gerakan-gerakan halus. Apakah bener bayi ini mendengar? Dih, kenapa aku malah jadi begini?

Pokoknya aku harus membenci mereka berdua!

"Kamu sama bapakmu sama-sama bikin aku sakit dan kesal," umpatku.

Rimba mengalihkan pandangannya padaku.

"Aline, kok kamu ngomong gitu, sih? Walau masih di dalam, dia udah bisa denger, bisa merasakan apa yang kamu rasakan," ucapnya sok tahu.

"Kata siapa? Jangan sok tau, deh."

Lelaki itu menghela napas panjang.

"Aku tiap hari membaca artikel tentang kehamilan, Lin. Makanya aku tahu. Kamu jangan sembarangan berucap, gimana kalau dia merasa sedih karena ucapanmu itu," ucapnya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status