"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online.
"Males," jawabku.
"Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang.
"Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.
Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!
"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus.
"Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.
Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.
Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!
Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli.
"Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke langit tanpa halangan. Karena itu kamu tidak boleh sembarangan bicara," cecar Mama.
Ah, Mama kan, tidak tau yang aku rasakan. Penderitaan seperti apa gara-gara bajingan itu. Aku bangkit sambil mengambil ponsel yang terjatuh lalu ke kamar.
Duk!
Sebuah tendangan terasa di perut sebelah kanan bawah. Apalagi ini? Kamu protes, hah?
Tiba-tiba saja perutku terasa sakit dan melilit. Ah, gara-gara mereka bawel, sih. Sepertinya aku memang harus ke dokter.
"Ma ...!"
"Ma ...!" teriakku.
Terdengar derap langkah, lalu pintu terbuka. Yang terlihat di sana bukan Mama, tapi orang itu. Dia berlari ke arahku dengan wajah khawatir.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"Perutku sakit ...."
"Sebelah mana?" tanyanya lagi dengan raut khawatir.
"Sana pergi! Aku gak manggil kamu. Mamaaaa!" Aku menjerit sambil menepis tangan Rimba yang mencoba menyentuh perutku. Tak lama, Mama pun datang ke kamar.
"Kamu kenapa, Lin? Kan ada Rimba," ujar Mama.
"Perutku sakit ... iih ... iihh." Aku memukuli perut yang terasa bergerak-gerak.
"Aline, gak boleh begitu. Kasian bayinya," ujar Mama. Rimba hanya menatapku dengan nanar.
"Aku benci! Aku gak mau anak ini!" jeritku disertai tangis. Mama segera merengkuhku dalam pelukannya.
"Sstt ... gak boleh gitu, Sayang. Bagaimanapun juga dia itu anakmu," bisik Mama sambil mengelus punggungku. Sementara Rimba bangkit perlahan dan meninggalkanku yang masih menangis.
"Kita ke dokter, ya?Biar bisa tahu gimana kondisi bayimu," bujuk Mama. Aku mengangguk pasrah.
"Rimbaa ...," teriak Mama. Lelaki itu pun langsung sigap mendekat.
"Iya, Tante."
"Kita bawa Aline ke dokter. Biar kita tau, apa penyebab sakitnya," ujar Mama.
"Sebentar, Ma, perutku masih sakit."
"Kan ada Rimba, dia bisa gendong kamu ke mobil," tawar Mama yang sontak membuatku ketar-ketir. Aku tidak mau kalau sampai orang itu menyentuhku lagi.
"Aku gak mau."
"Aline ... tolong kamu singkirkan dulu egomu itu. Ini semua demi kebaikan kamu juga bayi dalam perutmu ini," bujuk Mama.
Aku tidak punya pilihan. Mau tak mau, aku harus pasrah ketika lelaki itu membopongku ke mobil. Bau tubuhnya betul-betul membuatku melayang.
Ngidam yang aneh!
*
Mama memilih sebuah klinik dokter kandungan yang tak begitu jauh dari rumah. Sesampainya di sana, Rimba kembali membopongku masuk ke klinik itu.
Kalau selintas, orang-orang pasti berpikir kalau kami pasangan yang romantis. Padahal kan aslinya ... ah, kalian tau sendiri. Aku bahkan membencinya hingga ke ubun-ubun.
Untung saja pasiennya tidak terlalu banyak. Hanya menunggu dua orang, aku sudah dipanggil ke ruang dokter.
Aku disuruh berbaring di brankar, sementara dokter itu memberikan gel di atas perutku. Terasa dingin. Lalu, sebuah alat menari di atas perut.
"Bagus, gak ada apa-apa. Ini sudah sekitar 26 minggu ya. Rasa sakit bisa terjadi karena peregangan dari otot rahim. Tidak perlu khawatir," ucap sang dokter. Terlihat raut bahagia di wajah Mama juga Rimba, tapi tidak denganku.
"Terus gimana kalau sakit lagi, Dok?" tanyaku. Karena memang kalau bayi ini lagi nendang-nendang, berasa ada yang lagi main bola dalam perut. Bikin gak bisa tidur.
"Wajar, karena di dalam ada janinnya. Kalau aktif berarti bayinya sehat," ujar Dokter.
Dokter itu memberikanku beberapa obat dan juga vitamin. Setelah itu kami pun pulang.
Sesampainya di rumah, aku mencari-cari info seputar kehamilan. Juga mencari postingan pertanyaan yang menyangkut masalah selama hamil.
Mataku tertuju pada sebuah postingan salah satu temanku semasa kuliah dulu. Aku ingat dia memang sudah menikah.
Dia membuat status di facebooknya.
'Duh, bayinya aktif banget. Perutku sampe melenting. Menyot kiri, menyot kanan. Bikin ngilu aja.'
Aku lihat banyak sekali yang mengomentari statusnya.
[Minta dielusin sama bapaknya, tuh!]
[Elus-elus aja sambil ngajak ngobrol, dia minta diperhatiin]
[Mau ditengokin sama bapaknya kaleee.]
Masih banyak lagi komentar-komentar dari teman-temannya yang lain.
Bener gak, sih, kalau bayi ini pengen dielusin sama bapaknya?
Ya, emang selama ini, jangankan Rimba, aku saja gak pernah ngelus atau ngajakin ngobrol bocah yang masih ada di perutku ini. Apa iya dia pengen diperhatiin?
Dug. Dug.
Dia nendang lagi. Bikin ngilu ulu hati. Aku coba elus perlahan di tempat dia menendang. Dia diam sebentar, lalu kembali melancarkan tendangan-tendangannya lagi.
Heuk!
Aku beneran merasa ngilu dengan tendangannya.
Di saat aku sedang merasakan kesakitan, tiba-tiba Rimba masuk ke kamar sambil membawa segelas susu. Aku hanya bisa diam merasakan bayi ajaib ini melakukan atraksi.
"Kenapa, Lin? Sakit lagi?" tanyanya sambil menaruh gelas di atas nakas. Aku diam tak menjawab. Hanya meringis dan meringkuk agar rasa sakitnya tidak terlalu kentara. Namun, lagi-lagi bayi sialan ini menendang ke ulu hati. Duh, sakitnya. Aku meringis.
"Sini, coba aku lihat." Rimba memegang perutku.
"Diem!" Aku menepisnya kuat.
"Sini, aku pengen lihat," ucapnya lagi sambil menarik bahuku agar posisiku menjadi telentang.
Dia duduk di lantai sambil memegang perutku yang sudah membuncit.
"Adek, lagi ngapain, sih? Kalau mau maen bola, jangan kenceng-kenceng, kasian Mama," ucapnya sambil mengelus perutku. Aku menatap lelaki di depan yang sedang mengajak bicara pada bocah ajaib dalam perutku ini.
Kini tendangan itu berubah menjadi gerakan-gerakan halus. Apakah bener bayi ini mendengar? Dih, kenapa aku malah jadi begini?
Pokoknya aku harus membenci mereka berdua!
"Kamu sama bapakmu sama-sama bikin aku sakit dan kesal," umpatku.
Rimba mengalihkan pandangannya padaku.
"Aline, kok kamu ngomong gitu, sih? Walau masih di dalam, dia udah bisa denger, bisa merasakan apa yang kamu rasakan," ucapnya sok tahu.
"Kata siapa? Jangan sok tau, deh."
Lelaki itu menghela napas panjang.
"Aku tiap hari membaca artikel tentang kehamilan, Lin. Makanya aku tahu. Kamu jangan sembarangan berucap, gimana kalau dia merasa sedih karena ucapanmu itu," ucapnya lagi.
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan