Share

TEROR BUNGA TASBIH HITAM
TEROR BUNGA TASBIH HITAM
Penulis: La Bianconera

Part 1. Tidak Nyaman

Seorang laki-laki paruh baya dengan seragam security melangkah dengan tergesa begitu melihat BMW X5 M di depan pagar besi hitam yang menjulang tinggi.

Tak lama, ia pun tersenyum ramah pada tamu yang sangat dikenalnya--Marvinno dan juga Amelia, sang istri. Sepasang suami-istri muda yang merupakan sahabat baik anak majikannya, Evan.

"Assalamu'alaikum, Pak!" Marvinno segera menyapa security itu dengan ramah sambil menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Wa'alaikumsalam, Mas Inno silakan masuk."

"Terima kasih, Pak. Bapak ada, kan?"

"Ada, Mas. Tapi, kalau Mas Evan belum pulang," jawabnya.

Inno mengangguk lalu tersenyum. Seketika, ia memajukan mobilnya melewati pintu pagar dan memarkirnya di halaman rumah mewah yang dipenuhi tanaman hias itu.

Inno pun menoleh pada Amelia, sang istri yang masih menatap takjub pada bangunan megah di depannya dan tentunya tanaman hias.

"Wah! Rumah Mas Evan mirip istana," gumamnya jujur.

Hal itu membuat Inno tertawa lirih. "Ayo turun!" ajaknya.

Amelia pun mengangguk lalu sedikit memutar tubuh mengambil sebuah paper bag di jok belakang. Sedangkan Inno, turun lebih dahulu lalu menunggu istrinya itu.

Kedatangan keduanya segera disambut hangat sang pemilik rumah.

Mereka pun berbincang-bincang dengan akrab, meski terjeda sejenak ketika ART rumah menyuguhkan minuman dan makanan ringan untuk mereka.

Tak lama, Inno berdehem--berniat menyampaikan maksud utama kedatangan mereka ke rumah tersebut.

Sambil mengangsurkan kunci ke atas meja, laki-laki keturunan Italia itu berkata sopan sembari meminta maaf, "Kami sangat berterima kasih akan kepercayaan Om dan Tante yang mengizinkan kami menempati rumah itu. Maaf kalau saya merepotkan, ya Om."

Memang salah satu rumah milik Pak Rudi mereka sewa sebagai kantor sementara, selama kantor yang baru masih dalam tahap pembangunan.

"Kalian ini kan sahabat Evan. Jadi, kami sangat senang kalian tinggal di sana," kata Pak Rudi yang disetujui dengan anggukan kepala istrinya.

"Oh, iya, Evan bilang kalian akan kembali ke Italia dalam waktu dekat. Kapan berangkat?"

Mendengar pertanyaan dari Ibu sahabatnya, Inno pun menjawab, "Masih menunggu visa Amelia keluar, Tante."

"Semoga semua lancar, ya! Pasti kalian sangat sibuk." Ada jeda di sana sebelum kembali berkata, "Kenapa kalian nggak memutuskan tinggal di Indonesia saja sih, No?"

"Bisa digantung sama kakek kalau saya tidak kembali ke sana, Tante," jawab Inno sambil terkekeh. Hidupnya memang ruwet karena harus mondar-mandir Italia-Indonesia.

Di Italia, Inno adalah pewaris tunggal dari bisnis almarhum Agosto Morelli, sang ayah. Jika dia boleh memilih, dirinya ingin menetap di Indonesia seperti ketika remaja dulu. Namun, tanggung jawab besar telah dibebankan kepadanya kala usianya baru menginjak 20 tahun. Padahal, Inno dulu masih berstatus sebagai mahasiswa semester dua di sebuah Universitas Tinggi Negeri di Depok, Jawa Barat.

Lelaki beriris coklat hazel itu tersentak dari lamunan, ketika merasakan cubitan kecil mendarat di pahanya. Dia menoleh pada sang istri di sampingnya.

Namun, Inno masih bergeming. Dia mengira itu hanya kejahilan istrinya semata.

Padahal, bukan itu maksud Amelia memberi kode suaminya yang tak peka tersebut. Wanita cantik bermata bulat itu merasa ada keanehan di ruang tamu mewah milik keluarga Rudi Darmawan sejak beberapa menit yang lalu.

Seorang gadis kecil berusia sekitar empat tahunan berdiri kaku di pojok ruangan. Bahkan, dadanya berdesir aneh saat memandang gadis kecil dengan rambut sedikit ikal yang dikuncir kuda dengan asal.

Lalu, gadis kecil itu juga tengah menatapnya dengan tatapan sedih.

"Anak siapa? Nggak mungkin cucu Om Rudi berpakaian seperti itu, atau mungkin anak ART di sini? Tapi mana mungkin?" tanya hatinya dengan heran.

Akibat tak ada respons dari sang suami, Amelia kembali meminum teh hangatnya yang masih tersisa.

Dengan gerakan anggun dan hati-hati, dia meletakkan cangkir porselen itu ke atas meja.

Anehnya, saat pandangannya kembali tertuju ke pojok ruangan, dia tidak lagi melihat gadis kecil tersebut atau siapa pun di situ.

Hanya vas bunga besar di atas meja yang berisi replika bunga tulips yang terbuat dari kristal.

"Mas, sudah mau maghrib. Kita pulang yuk," bisik Amelia pada sang suami akhirnya. Jujur, dia benar-benar sudah merasa tidak nyaman.

Inno mengangguk dan memandang kedua orang paruh baya di seberang mereka. Namun, Pak Rudi yang memang seorang pebisnis itu terlihat sangat antusias mengajak Inno berbicara--tentunya seputar dunia perbisnisan yang membosankan bagi Amelia.

Melihat itu, dia merasa geram pada sang suami yang sama sekali tidak peka.

Kini, dia mencolek pinggang pria bertubuh jangkung atletis di sampingnya yang membuat laki-laki itu berjingkat lirih.

Inno kembali menoleh yang dibalas tatapan kesal wanita cantik itu.

"Em ... Om, Tante, sepertinya sudah hampir maghrib. Kami mungkin harus pamit dulu," pamitnya kemudian sambil tersenyum simpul, memegang pelan jemari tangan istrinya--mencegah Amelia supaya tidak mencubitnya lagi.

Melihat kemesraan keduanya, Pak Rudi dan Bu Rudi menjadi senyum-senyum melihat pemandangan di depan mereka. Keduanya terlihat sangat serasi.

"Maghrib di sini saja, Nak. Sekalian nungguin Evan pulang," pinta Bu Rudi.

Sayangnya, Inno menyadari Amelia ingin cepat pulang. Jadi, dengan halus, pria tersebut menolaknya, "Maaf Tante, ayah dan ibu sudah menunggu, InsyaAllah lain waktu kami ke sini lagi."

Pak Rudi dan istrinya kembali mengangguk disertai senyuman lalu memberikan pelukan perpisahan pada keduanya.

Namun ....

Jantung Amelia kembali berdegup kencang ketika bocah kecil itu tiba-tiba muncul dan melambaikan tangan dengan raut wajah sedih yang mendalam.

Amelia terdiam dengan rasa penasaran yang tinggi namun terpendam.

Perasaan aneh yang dia tidak mampu untuk sekedar mencernanya. Dan, entah mengapa seperti ada angin dingin yang mengiringi langkahnya meninggalkan rumah mewah keluarga pengusaha property dan real estate tersebut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status