Home / Romansa / TEROR BUNGA TASBIH HITAM / Part 1. Tidak Nyaman

Share

TEROR BUNGA TASBIH HITAM
TEROR BUNGA TASBIH HITAM
Author: La Bianconera

Part 1. Tidak Nyaman

last update Last Updated: 2022-07-11 08:34:29

Seorang laki-laki paruh baya dengan seragam security melangkah dengan tergesa begitu melihat BMW X5 M di depan pagar besi hitam yang menjulang tinggi.

Tak lama, ia pun tersenyum ramah pada tamu yang sangat dikenalnya--Marvinno dan juga Amelia, sang istri. Sepasang suami-istri muda yang merupakan sahabat baik anak majikannya, Evan.

"Assalamu'alaikum, Pak!" Marvinno segera menyapa security itu dengan ramah sambil menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Wa'alaikumsalam, Mas Inno silakan masuk."

"Terima kasih, Pak. Bapak ada, kan?"

"Ada, Mas. Tapi, kalau Mas Evan belum pulang," jawabnya.

Inno mengangguk lalu tersenyum. Seketika, ia memajukan mobilnya melewati pintu pagar dan memarkirnya di halaman rumah mewah yang dipenuhi tanaman hias itu.

Inno pun menoleh pada Amelia, sang istri yang masih menatap takjub pada bangunan megah di depannya dan tentunya tanaman hias.

"Wah! Rumah Mas Evan mirip istana," gumamnya jujur.

Hal itu membuat Inno tertawa lirih. "Ayo turun!" ajaknya.

Amelia pun mengangguk lalu sedikit memutar tubuh mengambil sebuah paper bag di jok belakang. Sedangkan Inno, turun lebih dahulu lalu menunggu istrinya itu.

Kedatangan keduanya segera disambut hangat sang pemilik rumah.

Mereka pun berbincang-bincang dengan akrab, meski terjeda sejenak ketika ART rumah menyuguhkan minuman dan makanan ringan untuk mereka.

Tak lama, Inno berdehem--berniat menyampaikan maksud utama kedatangan mereka ke rumah tersebut.

Sambil mengangsurkan kunci ke atas meja, laki-laki keturunan Italia itu berkata sopan sembari meminta maaf, "Kami sangat berterima kasih akan kepercayaan Om dan Tante yang mengizinkan kami menempati rumah itu. Maaf kalau saya merepotkan, ya Om."

Memang salah satu rumah milik Pak Rudi mereka sewa sebagai kantor sementara, selama kantor yang baru masih dalam tahap pembangunan.

"Kalian ini kan sahabat Evan. Jadi, kami sangat senang kalian tinggal di sana," kata Pak Rudi yang disetujui dengan anggukan kepala istrinya.

"Oh, iya, Evan bilang kalian akan kembali ke Italia dalam waktu dekat. Kapan berangkat?"

Mendengar pertanyaan dari Ibu sahabatnya, Inno pun menjawab, "Masih menunggu visa Amelia keluar, Tante."

"Semoga semua lancar, ya! Pasti kalian sangat sibuk." Ada jeda di sana sebelum kembali berkata, "Kenapa kalian nggak memutuskan tinggal di Indonesia saja sih, No?"

"Bisa digantung sama kakek kalau saya tidak kembali ke sana, Tante," jawab Inno sambil terkekeh. Hidupnya memang ruwet karena harus mondar-mandir Italia-Indonesia.

Di Italia, Inno adalah pewaris tunggal dari bisnis almarhum Agosto Morelli, sang ayah. Jika dia boleh memilih, dirinya ingin menetap di Indonesia seperti ketika remaja dulu. Namun, tanggung jawab besar telah dibebankan kepadanya kala usianya baru menginjak 20 tahun. Padahal, Inno dulu masih berstatus sebagai mahasiswa semester dua di sebuah Universitas Tinggi Negeri di Depok, Jawa Barat.

Lelaki beriris coklat hazel itu tersentak dari lamunan, ketika merasakan cubitan kecil mendarat di pahanya. Dia menoleh pada sang istri di sampingnya.

Namun, Inno masih bergeming. Dia mengira itu hanya kejahilan istrinya semata.

Padahal, bukan itu maksud Amelia memberi kode suaminya yang tak peka tersebut. Wanita cantik bermata bulat itu merasa ada keanehan di ruang tamu mewah milik keluarga Rudi Darmawan sejak beberapa menit yang lalu.

Seorang gadis kecil berusia sekitar empat tahunan berdiri kaku di pojok ruangan. Bahkan, dadanya berdesir aneh saat memandang gadis kecil dengan rambut sedikit ikal yang dikuncir kuda dengan asal.

Lalu, gadis kecil itu juga tengah menatapnya dengan tatapan sedih.

"Anak siapa? Nggak mungkin cucu Om Rudi berpakaian seperti itu, atau mungkin anak ART di sini? Tapi mana mungkin?" tanya hatinya dengan heran.

Akibat tak ada respons dari sang suami, Amelia kembali meminum teh hangatnya yang masih tersisa.

Dengan gerakan anggun dan hati-hati, dia meletakkan cangkir porselen itu ke atas meja.

Anehnya, saat pandangannya kembali tertuju ke pojok ruangan, dia tidak lagi melihat gadis kecil tersebut atau siapa pun di situ.

Hanya vas bunga besar di atas meja yang berisi replika bunga tulips yang terbuat dari kristal.

"Mas, sudah mau maghrib. Kita pulang yuk," bisik Amelia pada sang suami akhirnya. Jujur, dia benar-benar sudah merasa tidak nyaman.

Inno mengangguk dan memandang kedua orang paruh baya di seberang mereka. Namun, Pak Rudi yang memang seorang pebisnis itu terlihat sangat antusias mengajak Inno berbicara--tentunya seputar dunia perbisnisan yang membosankan bagi Amelia.

Melihat itu, dia merasa geram pada sang suami yang sama sekali tidak peka.

Kini, dia mencolek pinggang pria bertubuh jangkung atletis di sampingnya yang membuat laki-laki itu berjingkat lirih.

Inno kembali menoleh yang dibalas tatapan kesal wanita cantik itu.

"Em ... Om, Tante, sepertinya sudah hampir maghrib. Kami mungkin harus pamit dulu," pamitnya kemudian sambil tersenyum simpul, memegang pelan jemari tangan istrinya--mencegah Amelia supaya tidak mencubitnya lagi.

Melihat kemesraan keduanya, Pak Rudi dan Bu Rudi menjadi senyum-senyum melihat pemandangan di depan mereka. Keduanya terlihat sangat serasi.

"Maghrib di sini saja, Nak. Sekalian nungguin Evan pulang," pinta Bu Rudi.

Sayangnya, Inno menyadari Amelia ingin cepat pulang. Jadi, dengan halus, pria tersebut menolaknya, "Maaf Tante, ayah dan ibu sudah menunggu, InsyaAllah lain waktu kami ke sini lagi."

Pak Rudi dan istrinya kembali mengangguk disertai senyuman lalu memberikan pelukan perpisahan pada keduanya.

Namun ....

Jantung Amelia kembali berdegup kencang ketika bocah kecil itu tiba-tiba muncul dan melambaikan tangan dengan raut wajah sedih yang mendalam.

Amelia terdiam dengan rasa penasaran yang tinggi namun terpendam.

Perasaan aneh yang dia tidak mampu untuk sekedar mencernanya. Dan, entah mengapa seperti ada angin dingin yang mengiringi langkahnya meninggalkan rumah mewah keluarga pengusaha property dan real estate tersebut.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEROR BUNGA TASBIH HITAM    Part 90 End

    3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga

  • TEROR BUNGA TASBIH HITAM    Part 89 Jodoh Terakhir

    "Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama

  • TEROR BUNGA TASBIH HITAM    Part 88 Simpul Halal

    Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene

  • TEROR BUNGA TASBIH HITAM    Part 87 Menikah?

    Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu

  • TEROR BUNGA TASBIH HITAM    Part 86 Menyalahi Kesepakatan

    Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu

  • TEROR BUNGA TASBIH HITAM    Part 85 POV Inno

    "Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status