Share

Part 2. Wanita Misterius

Sayup-sayup terdengar suara merdu bacaan ayat suci Al Qur'an dari masjid luar komplek perumahan itu. Semakin lama, terdengar dengan jelas.

Inno pun memperlambat laju kendaraannya ketika melewati pertigaan--tepat di depan rumah bertype cluster dua lantai yang mereka sewa selama kurang lebih satu tahun.

Perlahan, Inno menurunkan kaca jendela mobilnya dan menoleh pada Amelia yang duduk diam di sampingnya.

"Om Rudi dan Tante Diah begitu baik, semoga rumah ini cepat ada yang menghuninya lagi ya Sayang, daripada kosong lama. Evan juga nggak mungkin tinggal di sini."

"Iya, semoga saja. Apalagi, tetangga di sini baik-baik semua. Kasihan juga tanaman aku yang nggak kebawa, pasti mati."

Mendengar pendapat istrinya, Inno hanya menarik napas. "Bukankah aku sama Heri sudah tanya mau dibawa semua atau nggak? Kamu jawab nggak. Sekarang berka-"

"--Mas!" seru Amelia memotong ucapan suaminya sembari mencegah Inno menutup kembali kaca jendela mobil.

Lelaki tampan itu sontak menoleh menatapnya dengan alis bertaut. "Ada apa lagi? Sudah adzan tuh. Kita harus segera ke masjid."

"Berhenti dulu," cegah Amelia ketika Inno hendak menginjak pedal gas. Walaupun dengan perasaan heran, laki-laki itu pun mengurungkan niat melajukan kembali mobilnya.

"Siapa yang ada di depan garasi itu? Padahal, tadi kita kunci semua. Nanti kalau kemalingan kita yang disalahin lho, Mas," kata Amelia yang lantas turun dari mobil dan diikuti oleh Inno.

Amelia berdiri di depan pintu pagar seolah-olah memperhatikan seseorang yang berdiri di dalam sana. Sosok seorang wanita dengan rambut kecoklatan tergerai lepas sebatas pinggang.

"Nggak ada siapa-siapa, kan? Kamu kenapa dari tadi bersikap aneh begitu sih, Sayang?" Inno menggelengkan kepala melihat keanehan dari wanitanya tersebut.

Namun, Amelia justru menoleh sebentar pada suaminya dan kembali mengarahkan pandangannya ke pekarangan rumah. Sayangnya, dia tak menemukan siapa pun di sana.

"Em, i-itu, tapi, Mas ..."

"Sudahlah, ayo pulang! Jangan sampai kita telat," kata Inno yang tidak ingin membuang waktu di situ.

Segera, dia menggandeng tangan istrinya untuk memasuki mobil.

Amelia akhirnya hanya menurut. Hanya saja, dia masih penasaran dengan sosok yang berdiri di sana.

Dan ... sebelum memasuki mobil, dia kembali menoleh ke arah pekarangan rumah....

"Astaghfirullah!" pekiknya lirih saat kembali melihat wanita tadi berdiri menatap ke arahnya, terlihat samar di keremangan senja.

"Ada apa denganmu Amelia? Jangan buang waktu," ucap Inno tegas tanpa mempedulikan tatapan protes dari istrinya. .

Sekali lagi Amelia menoleh, mencoba memastikan apa yang dilihatnya tadi.

Dia mengerjap, tetapi memang tidak ada siapa pun di sana, kecuali pekarangan rumah yang cukup luas dengan bermacam bunga hias yang dia tanam dan segerombolan bunga tasbih warna-warni tumbuh subur di samping pintu garasi.

Inno pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, meski beberapa kali sempat mengurangi laju kendaraannya dan menyempatkan diri menyapa beberapa tetangganya dulu yang hendak menuju ke masjid.

*****

"Mas," panggil Amelia ragu untuk memulai pembicaraan.

"Hm," jawab Inno singkat dengan deheman malas. Seolah sudah tahu apa yang hendak dibicarakan oleh istrinya.

"Mas, aku heran dengan wanita tadi siapa, ya? Dan anak kecil di rumah Om Rudi tadi?"

Inno tak menanggapi. Pria itu memilih fokus pada jalanan di depannya. Sedangkan Amelia berdecak kesal.

"Mas, aku lagi ngomong," protes Amelia dengan kesal. Inno menarik napas lelah dan menoleh sebentar pada istrinya.

"Aku tahu," jawabnya singkat.

"Terus?"

"Ya, apanya yang terus?"

"Ish, Mas Inno nyebelin," gerutu Amelia kesal.

"Aku kasih tahu. Jangan ganggu pikiranmu dengan khayalan nggak jelas, Sayang. Kamu butuh kesehatan extra untuk pergi ke Eropa. Di sana, sedang musim dingin. Jangan terlalu banyak berhalusinasi, paham?"

"Aku nggak berhalusinasi, Mas. Itu kenyataan! Aku melihatnya jelas tadi. Wanita dan bocah kecil itu sama-sama kaku dan menyedihkan. Mas Inno saja yang nggak percaya."

Lagi dan lagi Inno menarik napas lelah. Ucapan istrinya yang terkesan ngeyel menuntut Inno untuk lebih bersabar.

Dia memang tidak percaya ucapan sang Istri. Asumsinya, mungkin sang istri sedang tertekan karena mengurus segala keperluan untuk pergi ke Italia--meninggalkan keluarga, sahabat, juga tanaman-tanaman kesayangannya.

"Dan satu lagi, jangan bersikap genit walaupun sama suami sendiri di depan orang yang lebih tua. Itu nggak sopan. Kalau aku nggak bisa menahan diri, bagaimana?"

Genit katanya? Mendengar pernyataan itu, Amelia melotot. "Mas Inno saja yang aku kode nggak peka. Buat apa genit kalau tanpa digenitin saja sudah mesum?" balas Amelia dengan sewot lalu bibirnya maju ke depan.

"Hm, oke .... Sekarang, bisakah kamu membiarkan aku fokus mengemudi, Sayang?"

Tak ada jawaban, hanya tarikan napas kasar yang terdengar. Dia melirik sekilas pada wanita yang duduk di sebelahnya sambil mengulum senyum melihat bibir manyun sang istri yang justru terlihat sangat menggemaskan.

Lelaki berusia 25 tahun itu lalu menghentikan mobilnya di tempat parkir masjid komplek, mengajak sang istri menunaikan shalat maghrib terlebih dahulu. Lalu, keduanya pulang ke rumah orang tua Inno.

****

Semua berjalan seperti biasa. Kini Amelia dan suaminya sudah berbaring di atas kasur.

Sayangnya, Amelia tampak gelisah. Berulang kali dia mengubah posisi tidurnya yang tidak nyaman. Wanita cantik itu lalu menoleh, menatap wajah tenang suaminya yang tertidur pulas seolah tak terganggu sama sekali dengan pergerakannya.

Pria itu justru refleks melingkarkan lengan kekarnya ke perut sang istri.

Amelia kembali mencoba memejamkan mata, dengan menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya.

Namun, sampai kelopak matanya pedih, rasa kantuk tak kunjung datang.

Pukul 01.15 WIB.

Hujan deras yang mengguyur kota metropolitan dari sore hari, kini berganti rintikan kecil menyisakan udara dingin.

Amelia yang masih tidak bisa tidur, merasakan sebuah hembusan angin di punggungnya. Segera, Amelia menarik selimut lebih ke atas untuk menghalau udara dingin.

Namun, kini dia kembali merasakan angin dingin menerpa kulit wajahnya. Sontak ia menoleh pada arah angin dan menemukan bahwa gorden kamar yang menutupi jendela besar tampak bergerak pelan--sedikit terbuka.

Amelia pun bergumam lirih, "Pantesan dingin kayaknya jendelanya terbuka."

Dia mendongakkan wajah, kembali dipandanginya wajah Inno yang masih tertidur pulas di sampingnya yang tanpa jarak. Bahkan, hembusan napas hangatnya terasa di wajah Amelia.

Dengan gerakan pelan, disingkirkannya lengan yang memeluk tubuh rampingnya dengan posesif itu. Sepertinya, Inno masih begitu nyaman dan tidak terpengaruh dengan udara yang menurutnya sangat dingin ini.

Mungkin karena Inno telah terbiasa hidup di negara empat musim, dengan suhu minus belasan bahkan puluhan derajat?

Entahlah. Yang jelas, perlahan Amelia bangkit dan turun dari tempat tidur lalu melangkah mendekati jendela.

Dia memeriksa jendela yang ternyata masih tertutup rapat. Tak sengaja, pandangannya mengarah ke luar jendela.

Tentu saja, Amelia tidak menemukan apa-apa. Hanya ada deretan pohon palem dan flamboyan yang menjulang tinggi, menghiasi tepi jalanan kompleks perumahan elite tersebut.

Dia hendak kembali menutup gorden, tetapi suatu hal yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Di depan sana, tepat di seberang jalan, sosok wanita misterius yang tadi sore dilihatnya, kini tampak berdiri kaku di tengah jalan yang sepi.

Tepat di depan rumah mewah milik keluarga Inno.

"Astaghfirullah, kenapa wanita itu di situ?"

Amelia mengerjap beberapa kali dan mengusap-usap matanya. Wanita bergaun sebatas lutut warna merah itu masih mematung di depan sana!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status