Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
"Lebih cepat, Mas. Ough ... Ini enak."Langkah Amira terhenti saat mendengar suara lenguhan dan desahan dari nada yang berbeda. Satu suara laki-laki dan satunya perempuan. Diantara desahan ada suara bergetar yang saling memuji, menuntut."Kamu hebat, Sayang …."Ini adalah apartemen kekasihnya, Gilang. Pagi tadi, pria itu meminta Amira untuk membelikan beberapa keperluan. karenanya, kini di tangan wanita itu ada dua kantong kresek putih dari sebuah brand mini market yang berisi bumbu-bumbu keperluan dapur, makanan kemasan siap masak, dan peralatan mandi.Amira pun bisa dengan lancar memasukkan kode masuk apartemen yang sudah dihapalnya di luar kepala karena terlalu sering berkunjung kemari.Seharusnya dia berbelanja esok hari, tetapi karena hari ini waktunya lebih cepat lowong, jadilah dia memutuskan untuk membeli keperluan yang dipesan Gilang hari ini.Namun, setelah ia masuk, ia justru mendengar suara asing dari kamar Gilang.Tanpa berpikir panjang Amira langsung menekan handle pintu
Amira memandang lelaki yang ada di sampingnya dengan perasaan kesal yang kentara. Andi balik memandangnya dengan senyum lebar yang dibuat-buat.Setelah acara makan malam, mereka diminta untuk berbicara berdua saja. Jadilah, saat ini mereka duduk berdua di ruang tamu, sementara penghuni lain dan Bramono ngobrol asik di ruang keluarga rumah Amira. Suara mereka terdengar seperti gumaman dan sesekali ada tawa yang menghiasi."Kamu ngapain sih, ngomong seperti itu di hadapan orang tua kita," semprot Amira setelah sekian menit hanya ada kebisuan. "Kita ini belum kenal, lho. Lagian, kamu kemudaan buat aku.""Umur cuma Angka, Mira.""Heh, kamu gak kenal sopan santun, ya? Aku lebih tua dari kamu, jangan langsung nyebut nama." Amira mendelik.Andi menyeringai lucu. Tidak merasa terintimidasi dengan sikap Amira yang mengobarkan permusuhan. Bahkan, dia terlihat menikmati wajah Amira yang berubah kian cemberut."Ya, kan, kalau kita udah nikah, gak mungkin lagi aku manggil kamu dengan embel-embel,"
Di depan kamar Nattaya, lelaki bermata dalam itu berusaha menutup kamarnya dengan sekuat tenaga. Menghalangi agar Amira tidak masuk dan menghajarnya habis-habisan. Dia memang sempat mengejek Amira, dengan menunggunya di depan pintu sebelum menutup pintu ketika kakaknya itu tinggal beberapa langkah lagi mendekatinya.Jadilah, saat ini terjadi dorong-dorongan di antara keduanya. Nattaya yang berusaha menutup pintu dan Amira yang berusaha mendorongnya."Buka, Nata!" teriak Amira kesal. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melawan kekuatan Nattaya. "Aku ogah mati muda.""Aku cuma mau bicara," geram Amira."Emang aku percaya?" Nattaya terkekeh."Beneran ...." Suara Amira mengecil. Kekuatannya mendorong juga berkurang. "Aku tau kamu bohong, Kak. Aku gak bakal terkecoh."Amira memukul-mukul pintu dengan keras berkali-kali. Telapak tangannya terasa pedas. Mulutnya rapat menahan geram. "Buka!!!""Ogah!"Amira berpikir cepat. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya dari mulut. M
“Dia tunanganmu?” Sebelah alis Gilang terangkat tidak mempercayai pendengarannya.“Apa aku mengatakannya kurang jelas,” jawab Andi tanpa mengubah intonasi suaranya.“Kamu terlalu muda buatnya.” Gilang memundurkan langkahnya. “Sebaiknya jangan ikut campur.”“Aku harus ikut campur,” sanggah Andi. “Kamu menyakiti wanitaku.”Amira terperangah. Dipandangnya wajah Andi yang menatap tajam ke arah Gilang. Bagaimana bisa bocah tengil itu bisa berubah menjadi seserius ini, pikir Amira. Dia bahkan rela pasang badan untuknya.Gilang terkekeh mendengar ucapan Andi. “Apa kamu dibayar oleh Amira untuk mengatakan itu?” cemooh Gilang.“Uang Amira tidak cukup banyak untuk menyogokku.”Kedua tangan Gilang dimasukkannya ke dalam kantung celana. Ditatapnya lekat Andi seakan mencari kebohongan di dalamnya. Namun, wajah tegas Andi seakan menampik apa yang dipikirkannya.“Terserah.” Akhirnya Gilang berkata. “Apa seleramu lebih muda sekarang, Mir?” Gilang melongokan kepalanya. Amira masih berada di belakang
Rambut Amira seperti singa saat dia menuruni tangga. Wajahnya masih kusut masai dengan bekas eyeliner menggambar abstrak di bawah mata. Ketika kakinya menapaki dasar tangga, dia menguap lebar dengan bersuara. Menggaruk asal perutnya yang membuat baju kaos pink oversize bergambar Donald Bebek sedikit tersingkap. “Mira!!! “ Teriakan itu menyentakkan Amira yang langsung kaget bukan kepalang. Nyawanya belum benar-benar terkumpul, karena langsung bangun dari tidur tanpa melamun terlebih dahulu. Dia haus. Dalam kamarnya tidak tersedia air karena buru-buru tidur tadi malam. “Mama bikin kaget aja.” Amira mengurut dada. Akan tetapi, kekagetannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mendapati wajah Andi di belakang Ambarwati. Sejenak dia mematung, seakan pikirannya sedang loading. Dalam hati sebenarnya Amira malu, tetapi di hadapan Andi tentu saja wanita itu tidak ingin seperti ABG yang kalang kabut sendiri ketemu gebetan dalam keadaan sedang kacau.Berpura-pura santai, Amira hanya membenar