"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
"Lebih cepat, Mas. Ough ... Ini enak."Langkah Amira terhenti saat mendengar suara lenguhan dan desahan dari nada yang berbeda. Satu suara laki-laki dan satunya perempuan. Diantara desahan ada suara bergetar yang saling memuji, menuntut."Kamu hebat, Sayang …."Ini adalah apartemen kekasihnya, Gilang. Pagi tadi, pria itu meminta Amira untuk membelikan beberapa keperluan. karenanya, kini di tangan wanita itu ada dua kantong kresek putih dari sebuah brand mini market yang berisi bumbu-bumbu keperluan dapur, makanan kemasan siap masak, dan peralatan mandi.Amira pun bisa dengan lancar memasukkan kode masuk apartemen yang sudah dihapalnya di luar kepala karena terlalu sering berkunjung kemari.Seharusnya dia berbelanja esok hari, tetapi karena hari ini waktunya lebih cepat lowong, jadilah dia memutuskan untuk membeli keperluan yang dipesan Gilang hari ini.Namun, setelah ia masuk, ia justru mendengar suara asing dari kamar Gilang.Tanpa berpikir panjang Amira langsung menekan handle pintu
Amira memandang lelaki yang ada di sampingnya dengan perasaan kesal yang kentara. Andi balik memandangnya dengan senyum lebar yang dibuat-buat.Setelah acara makan malam, mereka diminta untuk berbicara berdua saja. Jadilah, saat ini mereka duduk berdua di ruang tamu, sementara penghuni lain dan Bramono ngobrol asik di ruang keluarga rumah Amira. Suara mereka terdengar seperti gumaman dan sesekali ada tawa yang menghiasi."Kamu ngapain sih, ngomong seperti itu di hadapan orang tua kita," semprot Amira setelah sekian menit hanya ada kebisuan. "Kita ini belum kenal, lho. Lagian, kamu kemudaan buat aku.""Umur cuma Angka, Mira.""Heh, kamu gak kenal sopan santun, ya? Aku lebih tua dari kamu, jangan langsung nyebut nama." Amira mendelik.Andi menyeringai lucu. Tidak merasa terintimidasi dengan sikap Amira yang mengobarkan permusuhan. Bahkan, dia terlihat menikmati wajah Amira yang berubah kian cemberut."Ya, kan, kalau kita udah nikah, gak mungkin lagi aku manggil kamu dengan embel-embel,"
Di depan kamar Nattaya, lelaki bermata dalam itu berusaha menutup kamarnya dengan sekuat tenaga. Menghalangi agar Amira tidak masuk dan menghajarnya habis-habisan. Dia memang sempat mengejek Amira, dengan menunggunya di depan pintu sebelum menutup pintu ketika kakaknya itu tinggal beberapa langkah lagi mendekatinya.Jadilah, saat ini terjadi dorong-dorongan di antara keduanya. Nattaya yang berusaha menutup pintu dan Amira yang berusaha mendorongnya."Buka, Nata!" teriak Amira kesal. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melawan kekuatan Nattaya. "Aku ogah mati muda.""Aku cuma mau bicara," geram Amira."Emang aku percaya?" Nattaya terkekeh."Beneran ...." Suara Amira mengecil. Kekuatannya mendorong juga berkurang. "Aku tau kamu bohong, Kak. Aku gak bakal terkecoh."Amira memukul-mukul pintu dengan keras berkali-kali. Telapak tangannya terasa pedas. Mulutnya rapat menahan geram. "Buka!!!""Ogah!"Amira berpikir cepat. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya dari mulut. M
“Dia tunanganmu?” Sebelah alis Gilang terangkat tidak mempercayai pendengarannya.“Apa aku mengatakannya kurang jelas,” jawab Andi tanpa mengubah intonasi suaranya.“Kamu terlalu muda buatnya.” Gilang memundurkan langkahnya. “Sebaiknya jangan ikut campur.”“Aku harus ikut campur,” sanggah Andi. “Kamu menyakiti wanitaku.”Amira terperangah. Dipandangnya wajah Andi yang menatap tajam ke arah Gilang. Bagaimana bisa bocah tengil itu bisa berubah menjadi seserius ini, pikir Amira. Dia bahkan rela pasang badan untuknya.Gilang terkekeh mendengar ucapan Andi. “Apa kamu dibayar oleh Amira untuk mengatakan itu?” cemooh Gilang.“Uang Amira tidak cukup banyak untuk menyogokku.”Kedua tangan Gilang dimasukkannya ke dalam kantung celana. Ditatapnya lekat Andi seakan mencari kebohongan di dalamnya. Namun, wajah tegas Andi seakan menampik apa yang dipikirkannya.“Terserah.” Akhirnya Gilang berkata. “Apa seleramu lebih muda sekarang, Mir?” Gilang melongokan kepalanya. Amira masih berada di belakang
Rambut Amira seperti singa saat dia menuruni tangga. Wajahnya masih kusut masai dengan bekas eyeliner menggambar abstrak di bawah mata. Ketika kakinya menapaki dasar tangga, dia menguap lebar dengan bersuara. Menggaruk asal perutnya yang membuat baju kaos pink oversize bergambar Donald Bebek sedikit tersingkap. “Mira!!! “ Teriakan itu menyentakkan Amira yang langsung kaget bukan kepalang. Nyawanya belum benar-benar terkumpul, karena langsung bangun dari tidur tanpa melamun terlebih dahulu. Dia haus. Dalam kamarnya tidak tersedia air karena buru-buru tidur tadi malam. “Mama bikin kaget aja.” Amira mengurut dada. Akan tetapi, kekagetannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mendapati wajah Andi di belakang Ambarwati. Sejenak dia mematung, seakan pikirannya sedang loading. Dalam hati sebenarnya Amira malu, tetapi di hadapan Andi tentu saja wanita itu tidak ingin seperti ABG yang kalang kabut sendiri ketemu gebetan dalam keadaan sedang kacau.Berpura-pura santai, Amira hanya membenar
Langkah Amira terhenti seketika. Matanya terbelalak lebar dan menyembunyikan geram. Baru saja dia keluar dari lift yang langsung menghadap ke lobi kantor. Pada sofa yang memang disediakan untuk para tamu, dia melihat Andi sedang duduk santai sambil memegang ponselnya. Kepala lelaki itu tertunduk dan terlihat fokus pada benda yang ada di dalam genggamannya. "Mir, ngapain kamu tiba-tiba diam?" tanya Daisy. Suaranya sedikit keras karena memang dia berada beberapa langkah di depan Amira dan baru menyadari bahwa wanita itu tidak berjalan di sampingnya. Amira tergeragap. Memandang Daisy dengan mata mengerjap-ngerjap. Sepintas, dia masih sempat melirik ke arah Andi dan berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya. Kalau bisa, wanita yang hari ini mengenakan blazer hitam dan rok ketat bandage warna merah itu ingin pergi secara diam-diam dari kantornya. Kehadiran Andi sudah bisa ditebaknya, pasti ingin menunggunya pulang. Tapi buat apa? Apa cowok itu sengaja datang hanya untuk menunju
Mata Andi dan Gilang bertemu melalui cermin. Keduanya menampakkan pancaran yang dingin.Andi baru saja membasuh wajahnya dan menepuk-nepuk lembut kedua pipinya saat salah satu pintu toilet terbuka. Gilang keluar dari sana dengan wajah lega walau sesaat kemudian raut mukanya berubah kaku. Itu saat dia memandang ke depan, pada dinding yang dihiasi cermin lebar dan panjang yang ada di depan wastafel.Langkah Gilang perlahan saat dia juga mendekati wastafel. Dia memberi jarak sekitar satu meter dari Andi. Sebenarnya Andi ingin mengabaikan saja kehadiran Gilang. Dia sempat tercenung sejenak, kemudian kembali pada aktivitasnya. Menarik tisu yang ada di bawah cermin untuk mengeringkan jejak-jejak air yang tersisa di wajah."Kita ketemu lagi," ujar Gilang tiba-tiba sambil meletakan kedua telapak tangan di bawah kran wastafel.Andi hanya menjawab dengan deheman kecil. Tidak berniat membuka pembicaraan."Masih berniat berpura-pura menjadi tunangan Amira?" Suara Gilang sinis, membuat Andi tiba-