Share

Bab 6

Langkah Amira terhenti seketika. Matanya terbelalak lebar dan menyembunyikan geram.

Baru saja dia keluar dari lift yang langsung menghadap ke lobi kantor. Pada sofa yang memang disediakan untuk para tamu, dia melihat Andi sedang duduk santai sambil memegang ponselnya. Kepala lelaki itu tertunduk dan terlihat fokus pada benda yang ada di dalam genggamannya.

"Mir, ngapain kamu tiba-tiba diam?" tanya Daisy. Suaranya sedikit keras karena memang dia berada beberapa langkah di depan Amira dan baru menyadari bahwa wanita itu tidak berjalan di sampingnya.

Amira tergeragap. Memandang Daisy dengan mata mengerjap-ngerjap. Sepintas, dia masih sempat melirik ke arah Andi dan berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya. Kalau bisa, wanita yang hari ini mengenakan blazer hitam dan rok ketat bandage warna merah itu ingin pergi secara diam-diam dari kantornya.

Kehadiran Andi sudah bisa ditebaknya, pasti ingin menunggunya pulang. Tapi buat apa? Apa cowok itu sengaja datang hanya untuk menunjukkan dirinya di depan semua kolega Amira?

Kalau iya, aku akan membunuhnya, pikir Amira.

"Nggak," jawab Amira gugup. "Aku ...."

"Sayang!" pekik Andi memutus perkataan Amira. Lelaki itu langsung memasukan ponsel ke dalam saku celana belakang setelah berdiri dengan buru-buru.

Sialan.

"Ayo kita jalan." Setengah berlari Amira menghampiri Daisy dan menggandeng lengannya. Dia juga memaksa wanita itu untuk cepat-cepat berjalan kembali menuju pintu keluar.

"Apa-apaa, sih, Mir," ujar Daisy bingung.

Sejenak tadi dia juga terpada pada pekikan "sayang" yang dilontarkan Andi. Daisy melihat cowok itu dan merasa kagum seketika melihat wajah dan postur tubuhnya yang sempurna.

"Buruan kita keluar," kata Amira sambil menggeratakkan giginya. Namun, Daisy bertahan. Seakan tidak ingin beranjak dari tempatnya dan menikmati pemandangan wajah tampan yang tak jauh darinya.

Andi berjalan sambil menggeret koper silver ukuran 24 menuju ke arah Amira. Wajahnya terlihat kusam dan lelah, tetapi senyuman lebar menghias indah di wajahnya. Dia melambai ke arah Amira, walau gadis itu langsung membuang muka ke arah lain, seolah-olah sedang berpura-pura tidak melihatnya.

"Cowok itu sedang melambai ke kita," bisik Daisy. Dengan pedenya, teman akrab Amira itu mengangkat tangan dan membalas lambaian tangan Andi.

"Jangan ganjen," kata Amira Sinis. Menggapai tangan Daisy untuk menurunkannya.

Amira kini sudah terperangkap. Dia sudah tidak bisa lagi berusaha untuk tidak terlihat oleh Andi.

"Kita pulang sekarang?" Andi berkata tanpa rasa bersalah saat dia sudah berada di hadapan Amira dan Daisy. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, memandangi dua wanita di depannya bergantian.

Sikut Daisy menusuk tulang rusuk Amira. "Siapa?" tanya Daisy pada Amira dengan suara mendesis.

Seakan paham, Andi menepuk jidatnya sendiri dan kemudian mengulurkan tangan. "Maaf, aku lupa mengenalkan diri, Mbak," kata Andi sopan. "Aku Andi, tun ...."

Amira menendang betis Andi dengan ujung sepatunya hingga membuat cowok itu meringis menahan sakit. "Aww!"

Daisy melepas tawanya tanpa malu. Beberapa karyawan yang melewati area lobi itu mengarah pandangan padanya dengan tatapan penasaran. Meski begitu, tidak ada yang berhenti melangkah untuk mencari tahu.

"Jadi dia berondong itu?" tanya Daisy setelah tawanya sedikit mereda.

Andi mengusap tulang keringnya dan melompat kecil tiga kali sebelum kembali menurunkan kakinya. Tubuhnya menunduk agar ujung tangannya bisa tetap mengusap bekas tendangan Amira yang masih sakit.

"Wah, ucapan kangenmu bener-bener beda, Mira," ucap Andi. Wajahnya masih meringis, tetapi tetap mengembangkan bibir.

"Siapa yang kangen," sentak Amira dengan wajah memerah. "Kamu ngapain tiba-tiba datang kemari?"

"Takutnya kangenmu udah di ubun-ubun," jawab Andi sambil menegakkan badannya. Dadanya sedikit membusung mengisi udara. "Jadi, dari bandara aku langsung ke sini."

"Gila."

"Udah tau. Kan, gila karena kamu."

Daisy terus saja tertawa. Dia terlihat menekan perutnya untuk menahan tawa agar semakin tidak lepas kendali.

Amira memutar kedua bola matanya. Menahan rasa jengah dan kesal, dia mengambil langkah dan berjalan menuju lobi. Kepalanya tertunduk dan memandang ujung sepatu heelsnya yang melangkah cepat. Tidak dihiraukannya lagi Daisy yang masih terus tertawa dan Andi yang terpana dengan kepergiannya.

"Aku pergi dulu, Mbak. Lain kali kita kenalan dengan lebih baik." Andi menggeret kopernya dan berjalan cepat. Dilihatnya Amira yang sudah membuka pintu, sehingga dia setengah berlari mendekati wanita itu.

***

"Kamu mau mati, ya?"

Amira membalik tubuhnya menghadap Andi yang sudah duduk di sampingnya di dalam mobil.

"Gak lah, nikah sama kamu aja, belum."

Amira menghela napas. Berurusan dengan Andi dalam situasi apapun selalu membuatnya naik pitam dengan segala rayuannya. Dan semakin dia murka, sepertinya cowok itu terlihat begitu menikmatinya. Apa begini bukti seorang cowok suka sama perempuan di jaman sekarang? pikir Amira.

"Kamu seriusan dari bandara langsung ke kantorku?" Amira berusaha bersabar. Ditariknya selt belt dan melintangkan di depan tubuhnya. Kedua tangannya mencengkram erat kemudi hingga buku-buku jemarinya memutih.

"Iya, aku kangen kamu."

"Kenapa gak langsung pulang?" Amira mengabaikan perkataan Andi. Dia mulai menyalakan mobil dan mulai menjalankan mobil dengan pelan keluar parkiran. Sepertinya dia akan menjadi supir Andi sore ini untuk mengantarnya pulang.

"Kan aku tadi udah jawab," sahut Andi. "Apa kamu pengen dengar lagi kalau aku kangen kamu. Suka, ya?"

"Jangan banyak bacot."

"Kamu nanya, ya, kujawab. Aku mana bisa mengabaikan kamu."

Bersama Andi juga selalu membuat Amira menghela napas panjang. Wanita sampai berpikir, apa kehadiran Andi di hidupnya untuk mengajarkan kesabaran padanya? Atau, ada karma buruk yang sedang menimpanya.

"Rumah kamu di mana?" Amira menghentikan mobilnya di belakang mobil Rush yang terhenti karena lampu merah. Keadaan jalanan memang sedang ramai oleh aktivitas sore orang-orang yang mencoba pulang setelah lelah bekerja. Namun, hal tersebut tidak menimbulkan kemacetan yang panjang.

"Kamu rumahku," jawab Andi lembut. Kepalanya yang bersandar di sandaran kursi menoleh ke arah Amira yang tetap memandang lurus ke depan. Dia tidak juga menghilangkan senyum karena tahu wanita itu sedang meliriknya.

"Aku nanya serius," kata Amira. "Mau aku antar pulang atau kutinggal di tengah jalan?"

Andi menghela napas panjang. "Kita bisa makan dulu, gak? Aku lapar, capek juga."

Sebenarnya Amira ingin menolak, tetapi saat dia melengah ke arah cowok itu dan melihat gurat lelah dari wajahnya, dia mengurungkan niatnya.

"Mau makan di mana?" tanya Amira datar.

"Ke El Barlito, ya. Lagi pengen makan burung dara."

Amira mengangguk. Dia tidak protes, padahal jalan yang dilaluinya sekarang harus memutar jauh untuk bisa sampai ke sana. Apalagi, setelah perkataannya terakhir, Andi tidak bersuara lagi. Saat Amira melirik, mata cowok itu terpejam.

Di lampu merah yang kembali membuat Amira menghentikan mobilnya, hati-hati Amira menolehkan kepalanya. Memandang wajah Andi yang tampak damai saat terlelap.

Matahari sore menerpa wajahnya. Membuat wajah oval dengan rahang tegas itu begitu menawan. Amira tidak bisa menyangkal, cowok itu begitu tampan. Tanpa ekspresi tengilnya yang selalu menggoda Amira, dia mengakui hatinya bisa bergetar. Hidung bangir Andi begitu pas menghias wajahnya. Belum lagi bibirnya terlihat sensual dan menggoda. Membuatnya ingin menenggelamkan bibirnya ke dalam lumatan lembut cowok itu.

Hah, apa yang kupikirkan, batin Amira.

Berkali-kali Amira menggelengkan kepalanya. Menghapus pikiran kotor yang tiba-tiba merayap dalam otaknya.

Sial, dalam diam saja dia bisa mengganggu pikiranku.

Setengah jam kemudian akhirnya mereka sampai di pelataran parkir El Barlito Cafe. Mata Andi masih terpejam, seolah kelelahan memerangkapnya tanpa sadar.

Amira ragu untuk membangunkan Andi. Dia berkaca pada dirinya sendiri yang selalu kesal dibangunkan saat sedang terlelap. Kepalanya selalu saja pusing jika dikagetkan dari tidur yang nyenyak. Namun, sampai kapan dia harus menunggu Andi terbangun?

Setelah berpikir beberapa saat, Amira memutuskan untuk menunggu. Mungkin hingga lima belas menit saja atau sampai batas mana kesabarannya berujung. Dia meraih ponselnya yang tersimpan dalam tas yang diletakkan di antara persneling. Membuka notifikasi W******p yang bertuliskan nama Daisy.

[Gila aja kalau kamu sampai nolak dia]

[Matamu buta apa, sampai gak bisa lihat barang bagus]

Amira melirik Andi. Tersenyum kecil dengan penyamaan Daisy yang menganggap Andi sebagai barang. Meski dia tahu, kalau sebenarnya hal itu kiasan.

[Aku ketuaan buat dia] balas Amira. Kedua jempol jarinya mengetik begitu cepat huruf-huruf yang ada di keyboard ponsel.

[Umur lagi 🙃 Basi]

Amira tertawa kecil. Hal itu ternyata bisa mengganggu tidur lelap Andi.

Buru-buru Amira mematikan ponselnya saat Andi menggeliat.

"Kita sudah sampai?" tanya Andi sambil mengusap wajahnya. "Kenapa gak bangunkan aku?"

"Tidurmu nyenyak. Aku gak mau mengganggu."

"Oh, so sweet banget sayangku ini."

Mulai lagi.

Merasa jengah, Amira membuka pintu mobil lalu meraih tas dan menyandangkannya ke bahu. Dia menunggu Andi keluar dari mobil sebelum berjalan bersama memasuki cafe.

Mereka memilih meja yang ada di bagian belakang. Di sekitar meja itu sedang tidak ada orang dan terasa lebih tenang.

"Kamu suka makan di sini?" tanya Andi sambil menjatuhkan bokongnya di kursi.

"Aku baru pertama kali ke sini."

"Kamu juga coba burung dara panggangnya kalau begitu, paling rekomen."

Seorang waiters mendekati mereka berdua. Amira memilih mengikuti saja menu yang dipesan Andi.

Setelah waiters itu pergi, Andi pamit menuju ke toilet. Katanya ingin mencuci muka menghilangkan ngantuk.

Lebih dari sepuluh menit Andi tidak juga kembali ke meja mereka. Membuat Amira gelisah.

Toilet cafe ini berada di bagian lain yang tidak terlihat dari tempat mereka duduk. Beberapa kali Amira mengarahkan pandangan pada arah Andi tadi menghilang sebelum berbelok pada pembatas ruangan cafe.

Perasaan Amira semakin resah saat seorang waiter berjalan mendekatinya dengan wajah yang tegang.

"Mbak, bisa ikut saya?" tanya waiter itu tegang tapi tetap menunjukkan kesopanan. "Teman Mbak tadi sedang berkelahi di toilet."

Tak ada menyembunyikan keterkagetan, Amira hanya membuka mulut lebar. Tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status