Langkah Amira terhenti seketika. Matanya terbelalak lebar dan menyembunyikan geram.
Baru saja dia keluar dari lift yang langsung menghadap ke lobi kantor. Pada sofa yang memang disediakan untuk para tamu, dia melihat Andi sedang duduk santai sambil memegang ponselnya. Kepala lelaki itu tertunduk dan terlihat fokus pada benda yang ada di dalam genggamannya."Mir, ngapain kamu tiba-tiba diam?" tanya Daisy. Suaranya sedikit keras karena memang dia berada beberapa langkah di depan Amira dan baru menyadari bahwa wanita itu tidak berjalan di sampingnya.Amira tergeragap. Memandang Daisy dengan mata mengerjap-ngerjap. Sepintas, dia masih sempat melirik ke arah Andi dan berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya. Kalau bisa, wanita yang hari ini mengenakan blazer hitam dan rok ketat bandage warna merah itu ingin pergi secara diam-diam dari kantornya.Kehadiran Andi sudah bisa ditebaknya, pasti ingin menunggunya pulang. Tapi buat apa? Apa cowok itu sengaja datang hanya untuk menunjukkan dirinya di depan semua kolega Amira?Kalau iya, aku akan membunuhnya, pikir Amira."Nggak," jawab Amira gugup. "Aku ....""Sayang!" pekik Andi memutus perkataan Amira. Lelaki itu langsung memasukan ponsel ke dalam saku celana belakang setelah berdiri dengan buru-buru.Sialan."Ayo kita jalan." Setengah berlari Amira menghampiri Daisy dan menggandeng lengannya. Dia juga memaksa wanita itu untuk cepat-cepat berjalan kembali menuju pintu keluar."Apa-apaa, sih, Mir," ujar Daisy bingung.Sejenak tadi dia juga terpada pada pekikan "sayang" yang dilontarkan Andi. Daisy melihat cowok itu dan merasa kagum seketika melihat wajah dan postur tubuhnya yang sempurna."Buruan kita keluar," kata Amira sambil menggeratakkan giginya. Namun, Daisy bertahan. Seakan tidak ingin beranjak dari tempatnya dan menikmati pemandangan wajah tampan yang tak jauh darinya.Andi berjalan sambil menggeret koper silver ukuran 24 menuju ke arah Amira. Wajahnya terlihat kusam dan lelah, tetapi senyuman lebar menghias indah di wajahnya. Dia melambai ke arah Amira, walau gadis itu langsung membuang muka ke arah lain, seolah-olah sedang berpura-pura tidak melihatnya."Cowok itu sedang melambai ke kita," bisik Daisy. Dengan pedenya, teman akrab Amira itu mengangkat tangan dan membalas lambaian tangan Andi."Jangan ganjen," kata Amira Sinis. Menggapai tangan Daisy untuk menurunkannya.Amira kini sudah terperangkap. Dia sudah tidak bisa lagi berusaha untuk tidak terlihat oleh Andi."Kita pulang sekarang?" Andi berkata tanpa rasa bersalah saat dia sudah berada di hadapan Amira dan Daisy. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, memandangi dua wanita di depannya bergantian.Sikut Daisy menusuk tulang rusuk Amira. "Siapa?" tanya Daisy pada Amira dengan suara mendesis.Seakan paham, Andi menepuk jidatnya sendiri dan kemudian mengulurkan tangan. "Maaf, aku lupa mengenalkan diri, Mbak," kata Andi sopan. "Aku Andi, tun ...."Amira menendang betis Andi dengan ujung sepatunya hingga membuat cowok itu meringis menahan sakit. "Aww!"Daisy melepas tawanya tanpa malu. Beberapa karyawan yang melewati area lobi itu mengarah pandangan padanya dengan tatapan penasaran. Meski begitu, tidak ada yang berhenti melangkah untuk mencari tahu."Jadi dia berondong itu?" tanya Daisy setelah tawanya sedikit mereda.Andi mengusap tulang keringnya dan melompat kecil tiga kali sebelum kembali menurunkan kakinya. Tubuhnya menunduk agar ujung tangannya bisa tetap mengusap bekas tendangan Amira yang masih sakit."Wah, ucapan kangenmu bener-bener beda, Mira," ucap Andi. Wajahnya masih meringis, tetapi tetap mengembangkan bibir."Siapa yang kangen," sentak Amira dengan wajah memerah. "Kamu ngapain tiba-tiba datang kemari?""Takutnya kangenmu udah di ubun-ubun," jawab Andi sambil menegakkan badannya. Dadanya sedikit membusung mengisi udara. "Jadi, dari bandara aku langsung ke sini.""Gila.""Udah tau. Kan, gila karena kamu."Daisy terus saja tertawa. Dia terlihat menekan perutnya untuk menahan tawa agar semakin tidak lepas kendali.Amira memutar kedua bola matanya. Menahan rasa jengah dan kesal, dia mengambil langkah dan berjalan menuju lobi. Kepalanya tertunduk dan memandang ujung sepatu heelsnya yang melangkah cepat. Tidak dihiraukannya lagi Daisy yang masih terus tertawa dan Andi yang terpana dengan kepergiannya."Aku pergi dulu, Mbak. Lain kali kita kenalan dengan lebih baik." Andi menggeret kopernya dan berjalan cepat. Dilihatnya Amira yang sudah membuka pintu, sehingga dia setengah berlari mendekati wanita itu.***"Kamu mau mati, ya?"Amira membalik tubuhnya menghadap Andi yang sudah duduk di sampingnya di dalam mobil."Gak lah, nikah sama kamu aja, belum."Amira menghela napas. Berurusan dengan Andi dalam situasi apapun selalu membuatnya naik pitam dengan segala rayuannya. Dan semakin dia murka, sepertinya cowok itu terlihat begitu menikmatinya. Apa begini bukti seorang cowok suka sama perempuan di jaman sekarang? pikir Amira."Kamu seriusan dari bandara langsung ke kantorku?" Amira berusaha bersabar. Ditariknya selt belt dan melintangkan di depan tubuhnya. Kedua tangannya mencengkram erat kemudi hingga buku-buku jemarinya memutih."Iya, aku kangen kamu.""Kenapa gak langsung pulang?" Amira mengabaikan perkataan Andi. Dia mulai menyalakan mobil dan mulai menjalankan mobil dengan pelan keluar parkiran. Sepertinya dia akan menjadi supir Andi sore ini untuk mengantarnya pulang."Kan aku tadi udah jawab," sahut Andi. "Apa kamu pengen dengar lagi kalau aku kangen kamu. Suka, ya?""Jangan banyak bacot.""Kamu nanya, ya, kujawab. Aku mana bisa mengabaikan kamu."Bersama Andi juga selalu membuat Amira menghela napas panjang. Wanita sampai berpikir, apa kehadiran Andi di hidupnya untuk mengajarkan kesabaran padanya? Atau, ada karma buruk yang sedang menimpanya."Rumah kamu di mana?" Amira menghentikan mobilnya di belakang mobil Rush yang terhenti karena lampu merah. Keadaan jalanan memang sedang ramai oleh aktivitas sore orang-orang yang mencoba pulang setelah lelah bekerja. Namun, hal tersebut tidak menimbulkan kemacetan yang panjang."Kamu rumahku," jawab Andi lembut. Kepalanya yang bersandar di sandaran kursi menoleh ke arah Amira yang tetap memandang lurus ke depan. Dia tidak juga menghilangkan senyum karena tahu wanita itu sedang meliriknya."Aku nanya serius," kata Amira. "Mau aku antar pulang atau kutinggal di tengah jalan?"Andi menghela napas panjang. "Kita bisa makan dulu, gak? Aku lapar, capek juga."Sebenarnya Amira ingin menolak, tetapi saat dia melengah ke arah cowok itu dan melihat gurat lelah dari wajahnya, dia mengurungkan niatnya."Mau makan di mana?" tanya Amira datar."Ke El Barlito, ya. Lagi pengen makan burung dara."Amira mengangguk. Dia tidak protes, padahal jalan yang dilaluinya sekarang harus memutar jauh untuk bisa sampai ke sana. Apalagi, setelah perkataannya terakhir, Andi tidak bersuara lagi. Saat Amira melirik, mata cowok itu terpejam.Di lampu merah yang kembali membuat Amira menghentikan mobilnya, hati-hati Amira menolehkan kepalanya. Memandang wajah Andi yang tampak damai saat terlelap.Matahari sore menerpa wajahnya. Membuat wajah oval dengan rahang tegas itu begitu menawan. Amira tidak bisa menyangkal, cowok itu begitu tampan. Tanpa ekspresi tengilnya yang selalu menggoda Amira, dia mengakui hatinya bisa bergetar. Hidung bangir Andi begitu pas menghias wajahnya. Belum lagi bibirnya terlihat sensual dan menggoda. Membuatnya ingin menenggelamkan bibirnya ke dalam lumatan lembut cowok itu.Hah, apa yang kupikirkan, batin Amira.Berkali-kali Amira menggelengkan kepalanya. Menghapus pikiran kotor yang tiba-tiba merayap dalam otaknya.Sial, dalam diam saja dia bisa mengganggu pikiranku.Setengah jam kemudian akhirnya mereka sampai di pelataran parkir El Barlito Cafe. Mata Andi masih terpejam, seolah kelelahan memerangkapnya tanpa sadar.Amira ragu untuk membangunkan Andi. Dia berkaca pada dirinya sendiri yang selalu kesal dibangunkan saat sedang terlelap. Kepalanya selalu saja pusing jika dikagetkan dari tidur yang nyenyak. Namun, sampai kapan dia harus menunggu Andi terbangun?Setelah berpikir beberapa saat, Amira memutuskan untuk menunggu. Mungkin hingga lima belas menit saja atau sampai batas mana kesabarannya berujung. Dia meraih ponselnya yang tersimpan dalam tas yang diletakkan di antara persneling. Membuka notifikasi W******p yang bertuliskan nama Daisy.[Gila aja kalau kamu sampai nolak dia][Matamu buta apa, sampai gak bisa lihat barang bagus]Amira melirik Andi. Tersenyum kecil dengan penyamaan Daisy yang menganggap Andi sebagai barang. Meski dia tahu, kalau sebenarnya hal itu kiasan.[Aku ketuaan buat dia] balas Amira. Kedua jempol jarinya mengetik begitu cepat huruf-huruf yang ada di keyboard ponsel.[Umur lagi 🙃 Basi]Amira tertawa kecil. Hal itu ternyata bisa mengganggu tidur lelap Andi.Buru-buru Amira mematikan ponselnya saat Andi menggeliat."Kita sudah sampai?" tanya Andi sambil mengusap wajahnya. "Kenapa gak bangunkan aku?""Tidurmu nyenyak. Aku gak mau mengganggu.""Oh, so sweet banget sayangku ini."Mulai lagi.Merasa jengah, Amira membuka pintu mobil lalu meraih tas dan menyandangkannya ke bahu. Dia menunggu Andi keluar dari mobil sebelum berjalan bersama memasuki cafe.Mereka memilih meja yang ada di bagian belakang. Di sekitar meja itu sedang tidak ada orang dan terasa lebih tenang."Kamu suka makan di sini?" tanya Andi sambil menjatuhkan bokongnya di kursi."Aku baru pertama kali ke sini.""Kamu juga coba burung dara panggangnya kalau begitu, paling rekomen."Seorang waiters mendekati mereka berdua. Amira memilih mengikuti saja menu yang dipesan Andi.Setelah waiters itu pergi, Andi pamit menuju ke toilet. Katanya ingin mencuci muka menghilangkan ngantuk.Lebih dari sepuluh menit Andi tidak juga kembali ke meja mereka. Membuat Amira gelisah.Toilet cafe ini berada di bagian lain yang tidak terlihat dari tempat mereka duduk. Beberapa kali Amira mengarahkan pandangan pada arah Andi tadi menghilang sebelum berbelok pada pembatas ruangan cafe.Perasaan Amira semakin resah saat seorang waiter berjalan mendekatinya dengan wajah yang tegang."Mbak, bisa ikut saya?" tanya waiter itu tegang tapi tetap menunjukkan kesopanan. "Teman Mbak tadi sedang berkelahi di toilet."Tak ada menyembunyikan keterkagetan, Amira hanya membuka mulut lebar. Tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.Gilang mengusap-usap punggung tangan Gladis dengan jempolnya. Keduanya sedang duduk di taman belakang rumah gadis itu. Hanya berdua dan ditemani sunyi dan desiran angin lembut yang melambaikan pohon rindang yang berdiri kokoh di sana."Yank, kamu gampang banget dekat sama orang baru, ya?" tanya Gilang setelah sesaat mereka dalam kebisuan.Gladis yang tadi melihat ke depan, memutar lehernya. Memandang tunangannya degan dahi berkerut. "Maksudnya?""Bukannya kamu baru mengenal Amira? Kok, sudah bisa main bareng aja sama dia seharian?"Gladis memang menceritakan kemana saja dia seharian tadi menghilang beberapa saat lalu kepada Gilang. Betapa senangnya dia mendapat teman baru yang bisa bersabar dengan dirinya, mengganggu hari libur wanita itu, dan menyeretnya untuk menemaninya seharian."Mbak Amira menyenangkan, kok?" Gladis tersenyum lebar, seolah tidak bisa menyembunyikan betapa puasnya waktu yang telah dia jalani hari ini. "Dia juga benar-benar tulus.""Kamu yakin dia seperti itu?" Seb
Bagaimana Amira merasa ilfil, apa yang diungkapkan Gladis tidak sesuai dengan ekspektasinya mengenai keburukan yang ada pada diri Andi.Gadis itu hanya mengumbar hal umum dari seorang lelaki, terlalu menuntut pada orang yang disayanginya, terlalu protektif, sedikit gila kerja, menarik diri kalau ada masalah karena ingin merasakannya sendiri, cepat emosi kalau orang yang disayangi Andi teraniya,Bagaimana mungkin hal tersebut dipikir Gladis merupakan hal negatif dari seorang Andi?"Itu bukan hal negatif, Gladis." Amira mendesah. Selama satu jam dia mendengar pemaparan Gladis dengan gemas."Lha, bagiku iya, Mbak," kata Gladis sambil bersungut. "Mbak bisa bayangkan, kan, waktu aku pernah putus sama pacarku waktu SMA, Andi selalu mengekoriku. Bukan cuma mengekori, dia selalu bertampang sangar sama cowok yang mencoba mendekatiku. Katanya itu buat melindungiku, biar aku gak patah hati lagi."Amira menggeleng. "Itu bukti rasa sayang, Gladis.""Tapi rasanya itu terlalu annoying." Gladis mengg
"Kalau usia di bawah sepuluh tahun bukan dianggap perasaan cinta ..." Gladis menjeda ucapannya, seakan berpikir sejenak. Bola matanya terlihat bergerak ke atas, seakan sedang memandang memori di dalam otaknya. Kemudian dia menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. "Gak, aku sepertinya gak pernah jatuh cinta sama Andi sedikit pun." Entah mengapa hal itu membuat Amira bernapas dengan lega tanpa sadar. Saat menyadarinya, dia berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lengannya yang coba disekanya karena keringat yang mengucur deras di setiap pori-porinya. Pembicaraan mereka tadi harus terputus terapis bergerak ke arah punggung atas Gladis. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya, agar Amira mau sabar menunggu jawabannya. Setelahnya mereka hanya menikmati pijatan yang diberikan tanpa ada yang bicara lagi. Baru di kamar sauna Gladis akhirnya menjawab pertanyaan Amira. Padahal, Amira sendiri sudah tidak penasaran lagi dan sempat lupa dengan pertanyaan itu. Tubuhnya dibuat rileks hingga m
Amira membuka mata dengan malas. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ponselnya terletak di atas nakas.Sambil bergelung, Amira menjulurkan tangannya dengan malas. Meraih ponsel yang tidak mau berhenti. Pudar sudah keinginan Minggunya untuk bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Padahal dia sudah menyiapkan deretan film untuk ditonton hari ini sekedar untuk menghabiskan waktu.Dahi Amira berkerut saat melihat deretan angka di layar ponsel. Nomor baru. Dia mendesah berat, menekan tombol merah untuk mematikan deringan, ingin melanjutkan tidur kembali.Sialnya, ponselnya berbunyi kembali. Amira mematikan kembali. Ponsel itu memekak kembali. Menyerah, Amira akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Ingin mendamprat siapapun yang ada di seberang sana.Akan tetapi, belum saja Amira mengeluarkan suara setelah menekan tombol hijau, suara di seberang sana sudah bicara."Mbak, ini Gladis. Aku butuh bantuan, Mbak."***Ternyata bantuan yang diucapkan Gladis bukan hal penting yang
Suara deru ombak itu mendebur lalu memecah di bibir pantai yang tidak terlalu ramai. Lima puluh meter dari mobil Andi terparkir ada banyak cahaya dari restoran pinggir pantai ataupun gazebo-gazebo yang disediakan bagi para pengunjung. Sedang di area mereka, hanya ada pencahayaan dari tiang-tiang listrik yang berjarak setiap sepuluh meter.Mereka berdua duduk di atas kap mobil Anda karena area sekitar mereka banyak ranting, batang pohon, dan juga sampah plastik. Keduanya duduk bersisian, memandang jauh pada hamparan laut gelap yang bertepi langit.Pantai itu tak jauh dari kota, hanya berjarak sekitar satu jam saja. Menjadikannya destinasi yang tetap diburu meski malam hari.Sudah dua puluh menit mereka berada di sana, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Menikmati embusan angin yang bertiup sedikit kencang yang mampu menerbangkan helai-helai rambut. Sering kali Amira memperbaiki rambutnya agar tidak menyapu wajah."Kamu sering ke sini?" tanya Amira memecah kesunyian, sambil merapa
"Jangan katakan kamu ingin pergi dengan teman-temanmu?" Amira memandang Nattaya dengan kesal.Baru saja adiknya itu mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang dengan Amira dan Andi. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang laki-laki yang berkumpul. Sesekali mereka melihat ke arah Amira, tetapi saat mata wanita itu bertatapan dengan ketiganya, mereka segera mengalihkan pandangan."Andi gak bakal nyulik Kakak, kok. Jangan drama, deh," kilah Nattaya. Sejenak dia mengalihkan pandangan pada Andi yang berdiri di belakang Amira. Dia menyembunyikan senyum.Di belakang Amira, Andi mengacungkan jempol dengan senyum lebar."Kamu gak sengaja menjebak aku berduaan dengan Andi, kan?" Amira memandang curiga. "Dih, nethink mulu. Udah ah." Nattaya memandang ke balik punggung Amira. "Bro, titip kakakku tersayang. Hibur ya, habis patah hati soalnya mantan pacarnya tunangan."Sontak saja Amira menendang betis Nattaya, membuat adik laki-lakinya berteriak keras sambil refleks mengusap kakinya. Oran