Share

Bab 7

Mata Andi dan Gilang bertemu melalui cermin. Keduanya menampakkan pancaran yang dingin.

Andi baru saja membasuh wajahnya dan menepuk-nepuk lembut kedua pipinya saat salah satu pintu toilet terbuka. Gilang keluar dari sana dengan wajah lega walau sesaat kemudian raut mukanya berubah kaku. Itu saat dia memandang ke depan, pada dinding yang dihiasi cermin lebar dan panjang yang ada di depan wastafel.

Langkah Gilang perlahan saat dia juga mendekati wastafel. Dia memberi jarak sekitar satu meter dari Andi.

Sebenarnya Andi ingin mengabaikan saja kehadiran Gilang. Dia sempat tercenung sejenak, kemudian kembali pada aktivitasnya. Menarik tisu yang ada di bawah cermin untuk mengeringkan jejak-jejak air yang tersisa di wajah.

"Kita ketemu lagi," ujar Gilang tiba-tiba sambil meletakan kedua telapak tangan di bawah kran wastafel.

Andi hanya menjawab dengan deheman kecil. Tidak berniat membuka pembicaraan.

"Masih berniat berpura-pura menjadi tunangan Amira?" Suara Gilang sinis, membuat Andi tiba-tiba saja kesal. "Jujur saja, berapa sebenarnya kamu dibayar Amira?"

"Kenapa menurutmu aku harus dibayar, atau apa kamu yang begitu?"

Andi meremas tisu yang sudah menjadi basah setelah dia usapkan di wajahnya. Dia berdiri menghadap Gilang dengan tatapan waspada. Bisa saja lelaki di depannya sengaja memulai pembicaraan hanya untuk menyulut pertengkaran.

Pertanyaan Andi terasa begitu ganjil dan Gilang tidak bisa menjawabnya. Dia berpikir, tidak mungkin lelaki yang jauh lebih muda di hadapannya ini mengetahui siapa tunangannya. Bukan berarti dia bertunangan karena dibayar, tetapi tunangannya memang kaya. Jauh lebih kaya darinya dan bisa menunjang kesuksesannya. 

Akan tetapi, Gilang belum ingin berhenti mengganggu Andi. Dia melancarkan serangan lain yang bisa menghancurkan perasaan Andi, kalau memang benar mereka bertunangan.

Setelah berpisah, Amira sudah dua kali menggagalkan pendekatannya dengan wanita lain walau dia sadar hal itu terjadi karena rasa sakit hati wanita itu. Kali ini tidak ada salahnya sedikit membalasnya.

"Apa kamu pikir, berhubungan dengan wanita yang lebih matang seperti Amira akan lebih menantang karena dia lebih berpengalaman?" Sudut bibir Gilang terangkat meremehkan. "Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Tidur dengannya membosankan, terlalu pasif."

"Apa maksudmu?" Kini amarah Andi sudah terkumpul di ubun-ubun. Dia bisa menahan diri saat dirinya yang dipojokan. Namun, melihat ekspresi Gilang yang mencemooh Amira, dadanya terasa bergemuruh. Begitu mudah api amarah tersulut.

Gilang merasa menang karena berhasil memprovokasi Andi. Dia berpura-pura mendesah berat, seolah sedang ingin mengumpulkan banyak kata untuk memberi nasihat bijak.

"Hanya ingin memberi nasehat sesuai pengalaman," kata Gilang sambil tersenyum kecil. "Bukankah setiap lelaki menginginkan wanitanya memuaskannya di ranjang? Kamu tidak akan mendapatkan hal itu dari Amira. Trust me."

"Kurang ajar," geram Andi.

Gerakan Andi begitu cepat sampai tidak bisa diprediksi oleh Gilang. Tau-tau tubuhnya terderong dengan lengan Andi berada di batang lehernya. Tangan cowok itu terkepal kuat di sisi wajahnya, siap melancarkan pukulan.

"Mulut brengsekmu tidak pantas merendahkan Amira."

Begitu susah Gilang menelan ludahnya melewati tenggorokan. Sesaat dia panik, tetapi buru-buru mengatasi situasi.

Gilang mengangkat kedua tangannya untuk mendorong lengan Andi dari lehernya. Ternyata tenaga cowok itu kuat juga, sehingga dia perlu tenaga ekstra untuk membuat lengan Andi terdorong ke belakang dan bisa memberi jarak untuknya bernapas lega.

"Kamu jangan munafik." Suara Gilang tersengal dan dia mengusap-usap lehernya.

"Otakku tidak seperti isi kepalamu, Brengsek."

"Apa aku perlu memberitahu titik rangsang Amira yang sangat dia sukai?"

"Diam!"

Gilang terkekeh. Memandang Andi dengan waspada. Bisa saja lelaki itu melancarkan lagi serangan, tetapi Gilang merasa yakin, kali ini dia sudah siap.

"Jangan merasa sok jagoan, percuma." Gilang mengamati Andi mulai dari wajah hingga ke kaki, lalu ke atas lagi. Bermain-main sebentar tidak ada salahnya, pikirnya. "Aku sudah meniduri Amira berulang-ulang kali. Pembelaanmu ini, konyol. Seakan dia masih suci."

"Aku bilang diam!" Suara Andi menggema dan menggelegar. 

Pintu toilet paling depan terbuka, menimbulkan suara saat pintu itu terhempas ke dinding karena buru-buru terbuka. Satu orang keluar begitu cepat, melesat melewati ruangan menuju pintu toilet dan hilang di baliknya setelah terbuka dan tertutup kembali. Sepertinya dia tidak ingin ikut campur atau menjadi saksi atas apa saja yang kemungkinan terjadi di ruangan itu.

"Aku bisa diam," Gilang mengangkat bahu malas, "tapi itu tidak akan mengubah kenyataan."

Andi maju dengan cepat dan kali ini dengan yakin melancarkan tinjunya dengan kuat mengarah pada wajah Gilang. Namun, kewaspadaan Gilang membuatnya sudah membaca apa yang akan dilakukan cowok itu, sehingga dengan beraninya dia menangkap kepalan tangan Andi dan menahannya dengan sekuat tenaga. Kaki Gilang bahkan terseret sekitar lima senti saat menahan kekuatan Andi.

"Tidak kali ini, Bro." Gilang menyeringai, merasa menang.

Hal yang tidak diduga Gilang adalah tendangan Andi di perutnya. Membuatnya terdorong ke belakang dan menghempas pada dinding dingin ruangan toilet yang berwarna abu-abu muda. 

Ditekan Gilang perutnya yang terasa nyeri hingga ke kepala. Ada rasa panas menjalari bagian perutnya dan membuat keringat di punggungnya berproduksi lebih banyak.

Lelaki berpotongan rambut undercut itu mengerang kesakitan. Dengan bertopang pada punggungnya, dia berusaha menegakkan diri walau terhuyung dua kali akibat rasa sakit yang masih merajai.

Dengan berhasil melancarkan tendangan pada Gilang, tidak membuat Andi merasa langsung puas. Dia tetap momfokuskan pandangannya pada lelaki yang sedang mengibas-ngibaskan tangannya itu dengan sorot mata tajam.

Gilang maju dengan tinjuan yang kokoh. Kakinya menapak dengan kuat saat berada beberapa senti dari Andi untuk menumpukan semua kekuatan pada kepalannya.

Jika saja Andi tidak bisa menghindar, pastilah pukulan itu bisa mengenai pipinya dan menyemburkan darah segar.

Gilang kembali ingin melancarkan serangan, tetapi pintu di belakang mereka kembali terbuka. Kali ini, beberapa orang tampak menyerbu masuk dan langsung menangkap tubuh Andi dan Gilang. Memisahkan perkelahian yang terjadi.

"Tolong jangan buat keributan di sini, Mas." Suara lelaki berusia pertengahan 30an itu terdengar nyaring di telinga Andi. Wajahnya tirus dengan bayangan hitam di bawah mata, membuat lelaki itu tampak lebih tua dari usianya sesungguhnya. Dia sedang sekuat tenaga mengekang tubuh Andi yang lebih tinggi darinya dengan menekan kedua tangan cowok itu ke belakang. Berhimpitan dengan tubuhnya.

Di sisi lain, dua orang sedang memegangi Gilang yang tampak bergerak liar melepaskan diri dari kungkungan orang-orang yang menahannya. Dia menjadi lebih marah sekarang karena belum berhasil membalaskan rasa sakitnya.

***

Dengan langkah cepat Amira mengikuti waiter yang tadi mengabarkan padanya bahwa Andi sedang berkelahi di toilet. Wajahnya begitu cemas sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Mengapa cowok itu malah bertengkar di tempat umum seperti ini? Siapa yang dia temui, sampai-sampai melakukan hal memalukan itu?

Semua pertanyaan berkelebat serentak di kepala Amira. Membuatnya ingin bergegas sampai di tempat tujuan.

Saat dilihatnya pintu toilet berada beberapa langkah lagi darinya, Amira berlari mendahului si waiter dan menghambur memasuki ruangan. Dia tercenung melihat ke tengah ruangan toilet, dimana ada lima orang lelaki yang sedang berkumpul. Tiga di antaranya sedang memegangi tubuh dua orang lelaki, yang salah satunya dikenali wanita itu dengan memperhatikan baju kaos polo warna biru yang tadi dikenakan Andi.

"Gilang." Suara Amira tercekat saat dia semakin memasuki toilet dan rencananya ingin mendekati Andi. 

Dari balik tubuh Andi akhirnya dia mengetahui siapa yang saling berhadapan dengan cowok itu yang kini memasang wajah memerah dan masam.

Andi yang memang sudah tenang dan pegangannya telah dikendorkan oleh lelaki yang tadi menahannya, berbalik mendengar suara Amira. Wajahnya terkejut melihat wanita itu telah berdiri di belakangnya dengan mulut berkerucut.

"Mir," kata Andi seperti desisan. Dia melangkah ingin meraih lengan Amira, tetapi wanita itu mengelak dengan gusar.

"Apa sebenarnya yang kalian lakukan," ujar Amira dengan suara bergetar.

Belum sempat Andi menjawab dan membuat bibirnya menggantung terbuka, derap langkah cepat terdengar di belakang Amira disertai dengan pekikan tinggi, " Mas Gilang!"

Seorang gadis yang mengenakan crop top putih yang dipadukan dengan high waisted pants meluncur cepat melewati Amira dan Andi. Dia langsung memeluk pinggang Andi dengan kuat untuk menghempaskan rasa khawatirnya.

Gilang menghentakkan dengan sekuat tenaga tangan-tangan yang sedang memeganginya. Membalas pelukan gadis itu dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Kamu kenapa, Mas? Apa yang terjadi?" cecar gadis itu dengan kepala mendongak.

Bibir Gilang menutup rapat tidak menjawab. Dia belum memutuskan pandangan tajam dari Andi.

Melihat Gilang yang bungkam, gadis itu mengikuti arah pandangan pria yang dipeluknya. Ingin mengenali wajah siapa yang telah bertengkar dengan lelaki itu dan kalau bisa akan membalaskan apa yang telah dilakukannya.

"Andi?" kata gadis itu tidak percaya.

"Gladis?" Pelipis Andi berkedut mengenali sosok gadis yang tadi berteriak. "Gilang ...." cicit Andi halus nyaris tidak terdengar.

Kaki Andi mundur dua langkah dengan napas tertahan saat Gladis maju ingin mendekatinya. "Jangan bilang tunanganmu itu dia?" 

"Iya, dia," sahut Gladis bingung.

Andi mengusap wajahnya kuat. Menarik udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi dada yang kembali sesak.

"Siapa dia, Sayang?" tanya Gilang pada Gladis. Tiba-tiba saja dia merasa khawatir dengan interaksi keduanya. Apalagi tadi Andi sempat menyebut bahwa tunangannya itu pernah bercerita tentangnya pada cowok itu.

"Dia sahabatku yang pernah aku ceritakan," jawab Gladis lembut sambil setengah memutar kepalanya memandang Gilang.

Amira mengedip sekali, mulai memahami apa yang sedang terjadi. Terutama antara kebingungan yang melanda Andi dan Gladis.

Ini hal yang dramatis, pikir Amira. Tidak menyangka gadis yang akan menjadi tunangan Gilang ternyata sahabat Andi. Walau begitu, wanita itu berpikir cepat dan mengambil kesempatan. 

Sengaja dia memandang Gilang dengan tatapan licik. Bibir tipis wanita itu menyeringai penuh arti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status