Share

Bab 5

Rambut Amira seperti singa saat dia menuruni tangga. Wajahnya masih kusut masai dengan bekas eyeliner menggambar abstrak di bawah mata. 

Ketika kakinya menapaki dasar tangga, dia menguap lebar dengan bersuara. Menggaruk asal perutnya yang membuat baju kaos pink oversize bergambar Donald Bebek sedikit tersingkap. 

“Mira!!! “ 

Teriakan itu menyentakkan Amira yang langsung kaget bukan kepalang. Nyawanya belum benar-benar terkumpul, karena langsung bangun dari tidur tanpa melamun terlebih dahulu. Dia haus. Dalam kamarnya tidak tersedia air karena buru-buru tidur tadi malam. 

“Mama bikin kaget aja.” Amira mengurut dada. 

Akan tetapi, kekagetannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mendapati wajah Andi di belakang Ambarwati. 

Sejenak dia mematung, seakan pikirannya sedang loading. Dalam hati sebenarnya Amira malu, tetapi di hadapan Andi tentu saja wanita itu tidak ingin seperti ABG yang kalang kabut sendiri ketemu gebetan dalam keadaan sedang kacau.

Berpura-pura santai, Amira hanya membenarkan kaos yang dikenakannya. Mengedikan bahu seakan tidak peduli. 

“Ngapain bocah itu pagi-pagi di sini, Ma.” Amira berusaha untuk senormal mungkin bersuara. Suaranya masih parau khas orang bangun tidur. 

“Pagi kepalamu!” sentak Ambarwati. Lalu wanita itu berjalan sambil berdecak melewati Amira. Sejenak dia melirik sinis ke arah Amira dan menurun naikan matanya saat berhadapan dengan anak tertuanya itu. “Malu sedikit dengan tingkahmu di depan calon tunanganmu,” desis Ambarwati. 

Amira memutar bola mata malas dengan embusan napas panjang. Disambut Ambarwati dengan mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya. 

“Dasar jorok,” ketus Ambarwati, “cepat sikat gigi sana. Kamu kok makin bikin malu Mama. “

“Biasanya juga gini, Ma.” Amira membela diri. 

Ambarwati yang gemas menjitak kepala Amira. Mendorong tubuh anak perempuannya itu untuk kembali menapaki tangga. Memerintah tanpa suara agar Amira membersihkan diri. 

“Iya, iya,” ujar Amira sambil melangkah dengan malas. 

Ibunya berjalan kembali tanpa membalik. Kesempatan itu digunakan Amira untuk berhenti melangkah dan menatap Andi yang masih bergeming dengan beberapa kantong plastik di tangannya. 

“Kamu gak punya kerjaan, ya, pagi-pagi ke sini?” Amira menatap Andi tajam. “Katanya pengusaha, tapi sibuknya di mari.”

Terkekeh kecil, Andi menjalan mendekat. Membuat Amira menaiki tangga dengan mundur. 

“Temani mertua belanja, Sayang,” ucap Andi sambil terkekeh. Membuat Amira langsung memasang wajah masam. 

***

Ketika turun kembali ke lantai bawah, dengan tubuh yang sudah bersih dan wangi walau hanya menggunakan kaos oblong hitam bertulis “Cari Papa” dan celana denim selutut, Amira membayangkan akan mendapati wajah Andi. 

Sebenarnya dia ingin di hari Minggu ini bersantai dan gegoleran tanpa pikiran. Makan-nonton, makan-tidur. Tidak melakukan apapun selain merelaksasi diri dengan tidak ngapa-ngapain. Namun, dengan kehadiran Andi tadi, entah mengapa rencana sempurna itu akan buyar. 

Dadanya sudah berat dengan kehadiran Andi saja. Belum lagi memikirkan segala gombalan yang coba dilancarkan Andi. Kenapa dia tidak sadar diri saja, menjauh, pikir Amira. 

“Masak apa, Ma?” tanya Amira saat memasuki ruang makan yang tersambung dengan dapur. Amira berusaha mengabaikan keberadaan Andi yang sedang duduk di depan meja makan dan sedang mengunyah sesuatu entah apa. 

“Katanya Andi suka soto ayam, Mama mau buatkan buat dia dan kita semua,” jawab Ambarwati tanpa repot mengalihkan pandangan dari kentang yang sedang di irisnya. 

“Seharusnya Mama masak kesukaanku saja hari ini,” ucap Amira cemberut. “Dia punya ibu yang bisa memasakan untuknya di rumah.”

Ambarwati mengerem kerjaannya. Dia menatap Amira dengan mata membelalak, kemudian melirik Andi dengan tatapan tidak enak sejenak. 

“Privilege calon mantu,” celetuk Andi santai. 

Kan, kesal Amira dalam hati. Dia pun pura-pura tidak mendengar. 

Langkah Amira mendekati Ambarwati dan berdiri di sampingnya. Meraih wortel dan peeler, lalu mengupas sayur orange itu. 

“Ibu Andi sudah tiada,” cicit Ambarwati dengan suara rendah meski masih terdengar telinga Amira. Wanita yang sudah memasuki usia 55 tahun itu mengatakannya sambil terus menggerakan tangan dengan pekerjaannya. 

Amira tertegun. 

Ditatapnya Andi yang terus memakan makanan yang ada di hadapannya. Kali ini Amira mengetahui apa yang sedang dinikmati cowok itu, rujak buah. 

Perasaan Amira jadi tidak enak. Dia merasa bersalah sudah menyindir tadi. 

Akan tetapi, perasaan itu tiba-tiba saja menguap saat Andi memberikan kecupan jauh. Kini dia ingin mengiris Andi.

***

Amira dan Andi duduk berdua di teras belakang rumah wanita itu. Menghadap kebun yang lebih banyak ditanami sayuran oleh Ambarwati.

Kemarin pembicaraan yang ingin dikemukakan Amira gagal gara-gara insiden Gilang. Untuk itu, wanita itu ingin melanjutkannya hari ini. Dia tidak ingin menunda-nunda waktu.

“Aku minta maaf karena gak tau … mamamu …” Amira memulai pembicaraannya dengan ragu.

“Waktu bersedih udah lama lewat,” potong Andi santai. Tidak ingin membuat perasaan Amira gak enak.

Amira mengangguk. Merasa lega. Bagaimanapun, perkataannya tadi kelewatan.

“Kalau kamu masak tiap hari di rumahku, aku pasti lebih bahagia,” tambah Andi lagi sambil terkekeh.

Mulai lagi. Amira mengembus napas pendek.

“Kita harus bicara,” ujar Amira mengabaikan tingkah usil Andi.

“Tentang kita?” Andi memutar tubuhnya menghadap Amira. Wajah lelaki itu terlihat bersemangat. “Bagaimana kalau memulainya dari bulan madu.”

Amira mendelik kesal. Menatap tajam ke arah Andi.

“Matanya jangan gitu amat dong Sayang, kan jadi gemes.” Andi terkekeh.

Dalam hati Amira terus mengafirmasi dirinya untuk sabar, jangan terpancing. Pembicaraan mereka kali ini tidak boleh berakhir sia-sia. Dia sudah menyusun banyak hal dalam kepalanya untuk membuat Andi mengubah rencana, untuk tidak menikah dengannya.

“Kamu mau dengarin aku ngomong, gak?” kata Amira berusaha menahan rasa geramnya. 

“Jangankan dengarin kamu ngomong, dengarin omelanmu tiap hari aku juga mau."

Dengan memutar bola matanya, Amira mengabaikan perkataan Andi yang terakhir. Dia memilih berdehem satu kali untuk memulai perkataannya.

"Mari kita berkenalan dulu," ujar Amira. "Kita sama-sama baru mengenal kemarin, dan gak ada hal mendalam yang kita saling ketahui untuk lanjut ke hubungan lebih serius."

"Aku lebih suka langsung menikahimu dan mengenal kemudian," sahut Andi. "Aku gak mau keduluan orang lain, lho."

Amira membuka mulutnya ingin menyanggah, tetapi perkataannya langsung terhenti karena Andi kembali menyerobot perkataannya.

"Aku udah nunggu kamu lama, Amira. Kesempatan ini gak datang dua kali." 

Wajah Andi tiba-tiba serius, membuat Amira merasa aura cowok itu jadi berbeda. Membuatnya gugup. Apalagi mata tajamnya menatap intens ke arah wanita itu dan tak ada kebohongan di dalamnya.

Ditatap lekat seperti itu membuat Amira jadi salah tingkah. 

Wanita itu teringat kejadian kemarin, saat aura Andi berubah 180 derajat dari sikap tengilnya. Sikap yang membuatnya sempat merinding.

Kemarin, dia seakan menyaksikan lelaki dewasa yang memiliki tatapan tajam yang bisa menusuk hatinya kalau dibiarkan.

"Kamu mau terima tawaranku atau aku gak mau kenal kamu sama sekali?" Amira berusaha menguasai diri. "Aku bisa pergi dari rumahku jika itu perlu, kalau aku dipaksa menikah."

Wajah Andi langsung panik. Matanya terbelalak. Dalam sekejap, otak cowok itu tiba-tiba blank. 

"Kamu cuma bercanda, kan?" 

"Kamu pikir, aku ga bisa gila macam kamu? "

Otak Andi mencoba menggali memori bagaimana Nattaya pernah menggambarkan sosok kakaknya itu padanya. Pada kesempatan lalu, saat mereka mengobrol dan Andi mencoba menggali tentang Amira. 

Bisa jadi Amira perempuan yang nekat, tapi apa seberani itu?

Bukannya Andi tidak percaya kalau Amira bisa kabur dari rumah. Perempuan itu mandiri dan sudah bisa hidup ditopang dengan kekuatannya sendiri. Namun, pergi dari rumah sama saja dengan menabuh perang dengan kedua orang tuanya, bukan?

“Kalau aku menolak?” Andi mencoba menawar.

“Aku akan membunuhmu kalau kamu muncul di depanku.”

Kaget sejenak, Andi kemudian tertawa beberapa saat. Setelah itu dia mendesah panjang dan berkata, “Sepertinya aku nggak punya pilihan lain.”

“Pilihan yang bagus.” Amira langsung menyambar pernyataan Andi.

***

[Jangan sedih ya, Sayang. Aku pergi gak lama, kok]

Amira membaca pesan dari Andi tanpa berniat untuk membalasnya. Dia meletakkan saja ponselnya di samping keyboard dan kembali fokus pada design produk yang baru masuk di emailnya.

Hampir setengah jam Amira memusatkan diri untuk mengoreksi design konten sosial media untuk branding produk minuman kemasan yang akan segera diluncurkan. Mengirim hasil koreksi itu kembali pada designer yang mengerjakan dan memintanya untuk merevisi sesuai dengan poin koreksi yang telah dibuatnya.

"Mir, makan yuk." Ada tangan yang menepuk bahu Amira dan membuat wanita itu terlonjak. 

Amira mendapati Daisy, rekan kerjanya sejak dia pertama kali bekerja di perusahaan ini, nyengir lebar ke arahnya.

"Kamu selalu saja bikin jantungku mau copot," seru Amira diakhiri dengan decakan.

"Kamu aja yang kalo kerja selalu tegang."

"Aku fokus, bukan tegang."

"Sama aja."

Amira memutar bola mata. Mengarah kembali ke layar desktop dan segera menekan tombol sleep.

"Mau makan dimana emang?" tanya Amira sambil menyambar tas yang ada di atas meja kerjanya.

"Nyari lalap, yuk."

Lima belas menit kemudian Amira dan Daisy sudah sampai di sebuah rumah makan yang mengunggulkan menu tradisional. Rumah makan ini tidak terlalu penuh, membuat mereka mudah untuk memilih meja.

"Gimana dengan berondongmu?" tanya Daisy, setelah mereka berdua memesan makanan dan waiters yang menulis pesanan mereka berlalu.

"Dia bukan berondongku, ya? Kami cuma kenalan," seru Amira.

"Kenalan yang udah dilamar."

"Catat, ya. Aku belum nerima!"

Daisy mendesah. "Kenapa gak dicoba aja, sih. Kapan lagi dapat berondong. Dia ganteng, kan?"

"Bukan masalah gantengnya, ya, Dais. Aku bukan pemuja tampang. Ini masalah chemistry."

"Bagaimana mau punya chemistry, kamunya aja gak buka diri."

"Siapa bilang," sergah Amira langsung. Dia mengingat kejadian dua hari lalu, saat dia pasrah Andi menggenggam tangannya sepanjang jalan menuju tempat parkir mall. Genggaman yang diakui membuatnya merasa nyaman. 

Daisy memandangi Amira dengan tatapan curiga. "Ada yang belum kamu ceritakan?"

"Wajib gitu aku cerita?" Amira salah tingkah. 

Daisy memandang sinis. "Jadi gitu kamu sekarang, ya. Oke, jangan curhat lagi sama aku. "

Amira meraih tisu di depannya dan menggumpalnya dengan gemas, lalu melemparkannya pada teman kerjanya itu.

"Dah, pinter ngancem kamu sekarang, ya," sungut Amira. Dia memasang wajah cemberut yang beberapa detik kemudian langsung pudar. Berganti menceritakan apa yang dilakukan Andi setelah pertemuan mereka dengan Gilang.

Cerita Amira tidak begitu antusias dan terkesan datar. Namun, tanggapan Daisy saat mendengarkan apa yang dikatakan Amira yang membuatnya berbeda.

Daisy menganggap apa yang dilakukan Andi begitu manis dan perhatian. Membuatnya kadang tertawa cekikikan dan memukul meja merasa gemas.

"Astaga, kok bisa kamu gak feeling apa-apa dengan sikap berondong itu," kata Daisy sambil tertawa. "Kamu benar-benar numb apa?"

Amira memutar bola mata malas. "Rasanya annoying, tau," ujar Amira. "Dia maksa gitu dan aku gak bisa buat apa-apa karena tangannya kuat banget gak mau lepasin."

"Dia perhatian."

"Dia suka seenaknya," kata Amira kesal. "Dia pikir aku masih remaja apa."

"Halah, dulu Gilang yang gituin kamu, kamu juga meleleh. Karena kamu gak punya rasa aja, jadi berasa sikapnya annoying," sanggah Daisy.

Amira ingin menyanggah lagi, tapi dia harus menelan perkataannya ketika pesanan mereka datang. 

"Menurutku ya, kamu coba aja jalani dulu sama itu berondong." Daisy lah yang memulai pembicaraan setelah waiter pergi. "Menurut adekmu dia baik, kan?"

Meski tidak ingin mengakui, Amira mengangguk lambat. 

"Gak mungkin juga kan, Nattaya menjerumuskan kamu sama temannya yang salah?"

Nattaya cukup protektif walau tingkahnya slengean gitu, ujar Amira dalam hati. 

"Kamu bikin perjanjian aja sama si berondong, kalau gak cocok, bisa bubar," lanjut Daisy lagi.

"Aku gak mau kasih harapan sama anak orang."

"Dia pria dewasa, pasti paham kalau gak cocok gak bisa dipaksa," tukas Daisy. "Lagian, kamu juga ga tau akhirnya bagaimana. Siapa tau kalau kamu gak pura-pura buka diri, malah kalian klop."

"Jatuh cinta sama yang lebih muda gak ada dalam kamusku," kilahku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status